Keesokan paginya, Nicholas sudah datang ke kantor milik Damien. Tidak biasanya pemuda itu berada di sana, dan dia tampak menunggu Damien. Sedangkan Damien yang baru saja datang, dia pun gegas menghampiri Nicholas. "Cho, kenapa tidak di rumah saja tadi?" tanya Damien pada pemuda itu. "Tidak Om. Mulai sekarang aku tidak lagi mengurus berkas dan semua hal di perusahaan Papa," jawab Nicholas. "Hah?" Damien sedikit terkejut dengan pernyataan pemuda itu. "Apa maksudmu, Cho?" Sembari bertanya, Damien berjalan mendekati kursi kerjanya dan duduk di sana, ia menatap Nicholas yang nampak ragu-ragu ingin mengatakan sesuatu. "Aku baru saja bertengkar dengan Papa, Om. Papa memintaku menikahi anak teman Mama yang jelas-jelas hanya memanfaatkan aku saja. Aku tidak mau bersangkutan lagi dengan Papa dalam hal apapun. Jadi aku memutuskan untuk melepaskan tanggunganku di perusahaan Papa, dan aku ingin mengambil perusahaanku yang selama ini Om kelola bersamaku, untuk aku kendalikan sendiri dengan pa
Seperti yang Raccel katakan pada Nicholas kalau malam ini ia akan pergi ke rumah sakit untuk mengecekkan kondisinya. Dan benar saja, Nicholas ikut menggantikan Damien yang ternyata sedang sangat sibuk. Hingga ia lah yang mengantarkan Raccel dan Dalena. "Ruangannya ada di ujung sana, Nicho. Tante titip Raccel dulu ya, Tante harus menyerahkan berkas ini di depan," ujar Dalena menunjukkan berkas rumah sakit milik Raccel. "Iya Tante," jawab Nicholas mengangguk. Nicholas mendorong pelan kursi roda yang Raccel duduki saat ini. Raccel nampak was-was dan takut. Setiap kali pemeriksaan, dia selalu berpikir yang tidak-tidak. Padahal Raccel sangat ingin cepat sembuh dan kembali berjalan normal seperti gadis seumurannya. Mereka sudah sampai di depan sebuah ruangan. Dan hanya mereka yang berada di lorong itu. "Kenapa diam saja?" tanya Nicholas membungkukkan badannya menengok wajah cantik Raccel. "Tidak papa," jawab gadis itu dengan jemari tangannya yang saling meremas. Nicholas memperhati
Keesokan paginya, Raccel terbangun dengan tubuh yang sudah merasa lebih baik. Gadis itu memeluk boneka beruang miliknya. Bersamaan dengan hal itu, pintu kamar Raccel terbuka dan nampak Dalena berjalan masuk membawa segelas susu vanila hangat. "Selamat pagi, Sayang," sapa Dalena tersenyum pada putrinya. "Pagi Mommy," balas Raccel. Gadis itu langsung duduk dan merentangkan kedua tangannya. Raccel menyibak selimut merah mudanya pelan dan menatap kedua kakinya. Gadis itu mengusap lututnya dan turun hingga ke betis. Kedua mata Raccel melebar seketika. "Mommy!" pekik gadis itu. Dalena yang tengah membuka gorden di kamar Raccel pun langsung menoleh cepat ke arah sang putri. "Iya Sayang, kenapa? Masih sakit?" tanya Dalena mendekati Raccel. "Mommy pegang kaki Raccel coba, Mom!" pinta gadis itu menarik lengan sang Mama. Dalena pun menyentuh lutut dan betis Raccel sebelum putrinya itu tersenyum lebar.Entah apa yang dirasakan oleh Raccel, namun melihat dia tersenyum senang seperti ini
Raccel sangat antusias sekali hari ini, dia ingin memberitahu Nicholas kalau dia sudah hampir pulih. Namun saat Raccel berjalan ke lantai satu. Di sana ia melihat Nicholas yang nampak baru saja datang dengan wajahnya yang memerah. "Kak Nicho..." Langkah Nicholas pun langsung terhenti saat itu juga. Ia menatap Raccel yang kini berjalan tertatih ke arahnya. Gadis itu mendongakkan kepala dengan kedua mata mengerjap pelan. "Kakak menangis, ya?" tanya Raccel tiba-tiba, dia mencekel pergelangan tangan Nicholas. "Ada apa, Kak?"Nicholas menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak papa, Raccel ... Kakak hanya lelah saja." "Kalau lelah Kakak istirahat saja," tutur gadis itu menatapnya dengan sangat perhatian. Namun tetap saja Nicholas menggelengkan kepalanya. Pemuda itu menatap sekitar yang memperhatikan seisi rumah Raccel yang sangat sepi. "Mommy dan Daddy ke mana?" tanya Nicholas sembari merangkul Raccel. "Mommy dan Daddy masih ada acara, Kak. Teman Daddy, Ibunya meninggal. Jadi Daddy da
Sejak pagi hingga malam hari Nicholas berada di kediaman Damien. Setelah berjam-jam menunggu Damien pulang, saat laki-laki itu tiba, barulah Nicholas kembali melanjutkan pekerjaannya. Bahkan setelah pukul sepuluh malam dia baru saja pulang. Raccel yang duduk di ruang keluarga, dia melambaikan tangannya saat Nicholas berpamitan pulang. "Hati-hati, ya..." Raccel tersenyum manis. Nicholas mengangguk sebelum dia keluar dari kediaman Damien. Sedang Cassel yang menatap Adik kembarannya, laki-laki itu langsung menutup kedua mata Raccel dengan satu telapak tangannya sebelum dia menoleh ke arah Nicholas di luar yang tertawa dengan tingkah Cassel. "Sudah, sudah sana pulang! Heehhh ... modusnya ke adikku besok lagi! Sudah malam!" teriak Cassel. Raccel menarik-narik tangan Cassel. "Hihhh ... Kakak apa-apaan, sih!" pekik Raccel kesal. "Sudah jangan pura-pura, seisi rumah ini juga tahu kalau kau pacaran sama Nicho! Pantas saja itu si Puppy ke sini terus!" seru Cassel sembari menggigit roti
BEBERAPA BULAN KEMUDIAN..."Kann ... apa kubilang! Nilaimu tertinggi, Raccel! Ya ampun, aku merasa tidak berguna sekolah ini!"Omelan panjang lebar itu terdengar dari Camila yang kini membuka beberapa lembar kertas ujiannya. Sedangkan Raccel yang membuka beberapa hasil ujiannya, dia tersenyum puas karena nilainya sangat tinggi. Bahkan lebih unggul daripada Revvan. Gadis itu merasa sangat senang, mungkin ini berkat belajarnya yang sangat keras dan juga dukungan dari orang-orang di sekitarnya, termasuk Nicholas yang selalu menyempatkan waktu untuk mengajari Raccel. "Aku harus memberitahu Kak Nicho," gumam Raccel mengambil ponselnya. Namun belum Raccel menghubungi Nicholas, tiba-tiba Revvan mendekati Raccel. "Selamat ya, Raccel ... aku ikut senang nilaimu menjadi yang tertinggi. Kerja kerasmu berbuah baik," ujar Revvan tersenyum tulus. "Iya Revvan, terima kasih. Nilaimu juga sama tingginya denganku, hanya selisih berapa poin saja, kan?" "Heem, ngomong-ngomong ... kau akan melanjut
Tiba akhirnya saat hari sudah sore, dan Revvan berkunjung ke rumah Raccel. Laki-laki muda itu membawa sepeda motornya yang memiliki keranjang di bagian belakang sisi kanan dan kirinya. Raccel berdiri di dekat motor milik Revvan dan ia menatap beberapa ekor kucing cantik di dalam keranjang itu. "Ya ampun Revvan, ini mau dibawa ke mana?" tanya Raccel menoleh pada temannya sebelum kembali menatap kucing-kucing itu. "Mereka lucu sekali. Apalagi yang putih ini, lucu, kepalanya besar, bulunya lembut, suaranya juga keras kalau mengeong!" Revvan pun tersenyum. "Ini namanya Twicy, dia diadopsi sejak usia lima hari. Mereka akan aku bawa ke klinik hewan. Mama kan punya penangkaran kucing, di sana banyak kucing dan setiap bulan aku yang harus mengantarkan kucing-kucing ini ke Dokter hewan." "Wahhh ... begitu ya? Raccel gendong, boleh?" pinta gadis itu. "Tentu saja. Aku ada yang kecil, apa kau mau?" tawar Revvan menatap Raccel yang sangat seneng. "Tunggu sebentar, biar aku ambilkan." "Mau!
Keesokan harinya, Nicholas tidak berbohong bila dia benar-benar membelikan seekor kucing yang Raccel inginkan di sebuah pet shop. Mereka berdua kini datang bersama, Nicholas mendorong kursi roda di mana Raccel duduk dan mereka asik memilih kucing-kucing di sana. "Kau bisa memilih yang mana saja yang kau mau, Sayang," bisik Nicholas membungkukkan badannya dan berbisik di samping pipi Raccel. "Iya. Aku mau yang berwarna putih," jawab Raccel memilih-milih. Gadis itu menatap semua deretan keranjang di depannya. Para hewan-hewan mungil menggemaskan yang memasang wajah gemas saat ia mendekatinya. "Sepertinya mereka mau dibeli semuanya ya, Kak," ujar Raccel tersenyum. "Ya jangan dong, nanti ditaruh di mana kalau dibeli semua?" Nicholas mendekati sebuah keranjang kucing. Ia mengambil seekor kucing putih dan bercorak sedikit warna cokelat. Ia menunjukkan pada Raccel. "Sayang lihat, ini lucu sekali," ujar Nicholas membawa kucing itu pada Raccel. "Wahh ... iya, hidungnya tidak ada Kak,"