Raccel terbangun dari tidurnya pagi ini dalam ruangan kamar inapnya yang sepi. Gadis itu mencari-cari di mana Mommy-nya berada. Seperti biasa, sejak bertemu dengan Dalena, tiap kali bangun tidur, pasti yang ia cari adalah Mommy-nya. "Mommy ke mana? Biasanya kan ada Mommy," gumam gadis itu menyibak selimutnya. Raccel terdiam sejenak, ia menatap kakinya yang masih tidak ada rasa. "Bagaimana menggerakkannya? Mommy ke mana?" Gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri. Sebisa mungkin Raccel berusaha, ia mengambil sebuah tongkat di sampingnya. Raccel berusaha menggunakan kaki kanannya yang terasa kebas dan berat. Ia berusaha keras untuk sampai ke pintu. Setelah berhasil keluar, Raccel berjalan ke satu lorong dan mencari-cari seseorang. Lorong itu, benar-benar sangat sepi. Sampai akhirnya langkah Raccel terhenti di depan sebuah ruangan di mana ia mendengar suara Mommy dan Daddy-nya di dalam bersama seorang dokter. "Dokter, bagaimana mungkin anak kami tidak bisa berjalan normal lagi?! Apa
Beberapa Hari Kemudian...Hari ini Raccel sudah dibawa pulang, Damien pun mengajaknya kembali pulang ke rumah mereka. Raccel menjadi pendiam, berubah tak seceria dulu lagi. Gadis itu merasa semua mimpi dan cita-citanya patah karena kakinya yang sakit. Dan kini, gadis itu tengah duduk diam di dekat jendela menatap pemandangan hujan di luar. Dan sudah tiga jam lamanya. "Sayang, Raccel sedang apa diam di sini terus? Mau Mommy bantu ke kamar?" Dalena mendekati putrinya. "Tidak Mom, Raccel mau di sini saja," jawab gadis itu. Dalena tersenyum mengusap pipi gembil Raccel. Wanita itu ikut duduk di samping Raccel saat ini. Diam-diam Raccel merasa kecewa, setelah membuat Raccel sakit, kini Nicholas tidak lagi terlihat batang hidungnya. Raccel menjadi semakin yakin kalau laki-laki itu, tidak pantas untuknya. "Daddy hari ini pasti pulang lebih sore," ujar Dalena sembari membukakan bungkus biskuit untuk Raccel. "Hemm? Kenapa memangnya Mom? Bukannya Daddy janji mau makan malam bersama kita
Jam menunjukkan pukul tujuh malam, Raccel berada di dalam kamarnya ditemani oleh Cassel. Mereka berdua nampak sibuk dengan susunan mainan puzzle milik Raccel yang baru saja dibelikan oleh Damien sore tadi. Meskipun terdengar dan terlihat sangat kekanakan, namun Damien tahu kalau putrinya sangat menyukai mainan puzzle sejak kecil. "Huhhh... Ini gerbang castilnya, Sayang. Jangan diambil bata balok yang ini, Raccel!" seru Cassel memukul pelan punggung tangan sang adik. "Tapi ini mirip dengan bata pilarnya, Kak!" teriak Raccel. "Alah tidak boleh pokoknya, susun saja yang lainnya." Cassel asik tengkurap di atas ranjang. Raccel cemberut sembari menatap sang Kakak. Mereka berdua sangat asik bermain seolah-olah mereka ini masih bocah. Sampai akhirnya pintu kamar Raccel terketuk, dan si kembar menoleh ke depan. Di sana berdiri Nicholas membawa sebuah paper bag besar di tangannya. "Nicho," sapa Cassel. "Masuk!" Nicholas berjalan masuk ke dalam kamar itu, dia menatap Raccel yang kini la
Nicholas tiba di depan sebuah tempat, di mana Kalila sedang menunggunya di sana. Gadis itu nampak cemberut saat Nicholas datang. "Kenapa lama sekali, sih?" tanya gadis itu. "Apa adiknya Cassel itu manja sekali padamu, sampai-sampai kau tidak bisa lepas dari dia?!" Dengan wajah kesal, Kalila menggerutu dan mengomeli Nicholas. Tak berbohong kalau Nicholas dan Kalila memang beberapa hari ini sangat dekat. Selain teman sekolah, Mamanya Kalila juga teman baik Mamanya Nicholas. "Raccel sakit, jadi aku menjenguknya," jawab Nicholas singkat. "Tapi kau itu perhatian sekali padanya, Cho! Aku sampai setengah jam menunggumu di sini! Ganjen sekali dia masih kecil!" serunya kesal. Saat itu juga Nicholas mematikan lagi mesin mobilnya. Dia menoleh menatap Kalila dengan tatapan datarnya. "Apa maksudmu?" tanya Nicholas. "Ya... Ya tidak, aku kan bicara soal fakta. Kau selalu mengutamakan dia dibandingkan aku! Padahal aku kan—""Raccel sekarang tidak bisa berjalan lagi! Itu semua karena aku, kau
Keesokan harinya, Raccel hari ini sudah mulai bersekolah kembali diantarkan oleh sang Papa. Dan kini, Raccel berada di dalam kelas ditemani oleh Revvan yang membantunya mengerjakan tugas dan memberi penjelasan pada Raccel. "Raccel, aku kenapa dengan kakimu? Emmm... Yang dibilang anak-anak saat mereka menguping di ruang guru tidak benar kan? Kau pasti bisa berjalan lagi, kan?" Revvan menatap Raccel sembari menyangga kepala. Raccel hanya tersenyum tipis. "Revvan, bisa jalan atau tidaknya aku nanti, aku tidak tahu," jawab gadis itu. "Tapi kau harus bisa berjalan, Raccel. Katanya kita akan satu kampus nanti," seru Revvan tersenyum menarik pipi Raccel. "Hemmm... Iya, iya! Jangan menarik pipiku dong!" seru Raccel memukul lengan Revvan. Revvan pun hanya terkekeh, anak laki-laki itu sangat menyukai Raccel. Sejak dulu, bahkan saat pertama kali dia melihat Raccel ketika mereka satu sekolah menengah atas. Tiba-tiba beberapa teman-teman perempuan Raccel masuk ke dalam kelas. "Heemmm, suda
Nicholas tidak langsung mengajak Raccel pulang ke rumahnya. Melainkan dia mengajak Raccel pergi ke suatu tempat. "Kita mau ke mana, Kak? Jangan pergi jauh-jauh!" seru Raccel menatap pemandangan di luar jendela mobil. "Sudah, ikut saja." "Emmm... Tumben Kak Nicho sedang tidak dengan pacar Kakak," ujar Raccel. Mendengar kata 'pacar' yang Raccel katakan, Nicholas tahu siapa yang dimaksud oleh Raccel saat ini. Namun dia hanya tersenyum tipis. "Kakak ingin berdua denganmu dulu." Raccel pun cemberut. Jawabannya sungguh tidak ia senangi. Gadis cantik itu membuka tas sekolahnya, Raccel mengambil ponsel miliknya dan ia menghubungi seseorang. Sementara Nicholas di sampingnya hanya diam dan meliriknya saja. "Halo... Nanti saja ya kalau ke rumah, aku masih pergi dengan Kakakku," ujar Raccel pada seseorang di balik panggilan itu. "Iya, semangat ya, Revvan..." Panggilan itu kembali ditutup oleh Raccel. Gadis itu tersenyum manis memeluk ponselnya. "Ingat, masih sekolah jangan pacar-pacara
Raccel masih berada di restoran yang sama dengan Nicholas dan juga Kalila. Tak jarang Raccel menatap was-was pada gadis yang lebih dewasa darinya itu. "Dimakan, kalau dingin nanti tidak enak," ujar Nicholas menoleh pada Raccel dan tersenyum manis. Raccel hanya mengangguk menggigit ujung kedua sumpit yang ada di tangannya. Nicholas tahu, selain hamburger, makanan yang Raccel sukai adalah ramen. Dan tepat sekali restoran yang mereka datangi saat ini memiliki menu istimewa tersebut, bahkan Nicholas memesan makanan yang sama. "Mau daging? Kakak tidak terlalu suka," ujar Nicholas melirik Raccel yang memakan lebih dulu daging pada makanan itu. "Emm, eemm, mau," jawab gadis itu mengangguk. "Bagus, makan yang banyak," ucap Nicholas mengusap pucuk kepala Raccel. Kalila yang menonton kedekatan mereka pun merasa jengah, apalagi dia tidak pernah melihat Nicholas selembut ini sebelumnya, pada siapapun. Tapi kenapa dengan gadis SMA ini Nicholas terlihat sangat lembut dan memiliki sisi peny
Sesampainya di depan rumah, Raccel sudah nampak tenang. Rumah nampak sepi, teringat Dalena menghubungi Nicholas dan menitipkan anak gadisnya pada Nicholas untuk beberapa jam ke depan. "Rumah masih sepi, Kakak temani, ya," bujuk Nicholas menatap Raccel dan menyentuh pucuk kepalanya. "Tidak usah, Raccel bisa sendiri," jawab Raccel menyeka air matanya. "Raccel..." "Kakak pulang saja sana, Raccel mau masuk ke rumah." Gadis itu menepis tangan Nicholas. Setelah itu, Nicholas melepaskannya. Dia berdiri di teras dan diam memperhatikan Raccel yang berjalan tertatih-tatih dengan tongkatnya membuka pintu rumah. Raccel menutup pintu tanpa menguncinya. Dia berjalan mendekati anak tangga, dengan kedua mata berkaca-kaca menahan tangis. "Raccel tidak suka! Raccel benci semua ini!" teriak gadis itu marah dan kesal. Raccel melepaskan kedua tongkat di tangannya dan benar, kakinya sama sekali tidak kuat menopang berat tubuhnya hingga dia terjatuh di bawah anak tangga. Dia menangis hebat dan kera