Setelah kejadian kemarin saat Raccel melihat Nicholas bersama kekasihnya, Raccel pun tidak keluar kamar sekalipun dia mendengar suara Nicholas saat ada di rumahnya. Raccel menjadi sangat sedih, seperti ada kekecewaan besar dalam hidupnya yang membuatnya merasa selama ini apa dia usahakan adalah hal yang sia-sia. "Semua hal yang aku inginkan benar-benar tidak bisa aku wujudkan, dari beasiswa, hingga... Kak Nicho," gumam Raccel menatap ke arah luar jendela kamarnya. "Apa ini memang bukan yang terbaik buat Raccel?" Di tengah lamunannya, tiba-tiba pintu kamar gadis itu terketuk, Raccel pun langsung menoleh ke depan. Dia berjalan membuka pintu kamarnya. Muncul Dalena di depannya kini. "Sayang, kok tidak keluar sama sekali? Raccel tidak makan, ya?" tanya Dalena memasang wajah cemas. "Kenapa? Raccel sakit?" "Tidak papa kok Mom, belum lapar saja. Ini juga mau keluar," jawab Raccel. Dalena mengulurkan tangannya mengusap pipi Raccel."Ya sudah, ayo turun ke bawa, makan yang banyak biar t
Atas permintaan Dalena, akhirnya Nicholas membawa Raccel ke apartemennya. Sepanjang jalan gadis itu terus menangis dan meminta maaf entah pada siapa, mengatakan kalau dia tidak bermaksud membuat adiknya meninggal.Bahkan sesampainya di apartemen milik Nicholas, Raccel masih menangis. "Sudah, jangan menangis lagi. Di sini sudah tidak ada Daddy-mu, Raccel..." Nicholas memeluknya. Gadis itu duduk di tepi ranjang dan memeluk tubuh Nicholas dengan erat. "Besok pagi antarkan Raccel ke tempat Oma, Kak," pintanya dengan wajah kacau dan sedih tak berujung. Nicholas mengusap satu pipi Raccel, ia menyadari betapa pedih dan beratnya hidup gadis yang ia sayangi ini. Setelah kematian adik bayinya, Raccel menderita penyakit yang bahkan dia obati sampai saat ini karena kecelakaan waktu itu. Dan menyedihkannya lagi, dia harus kehilangan kasih sayang Papanya, padahal Nicholas yakin, kalau Raccel adalah gadis yang sangat baik. "Raccel, Kakak sangat percaya padamu. Kakak tahu kau adalah gadis yang
"Nicho, terima kasih sudah menjaga Raccel di sini ya, kalau tidak ada dirimu, Tante tidak tahu harus bagaimana..." Dalena mengucapkan itu dengan sangat tulus sembari mendekap Raccel yang kini memeluknya. "Iya Tante, sama-sama. Tidak masalah... Raccel sudah seperti adik saya sendiri," jawab Nicholas mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala Raccel. Gadis itu tidak mau melepaskan pelukannya pada sang Mama. Rasa sedih yang Raccel rasakan hanya akan semakin bertumpuk-tumpuk. "Sayang, sudah yuk... Ayo pulang," ajak Dalena menangkup kedua pipi Raccel. "Raccel mau pulang ke rumah Oma," pintanya. "Kalau Raccel pulang ke rumah Oma, nanti Mommy sendirian. Raccel kan tahu, Kakak sangat sibuk dan Daddy juga sama sibuknya, Sayang..." Dalena menangkup kedua pipi Raccel. Gadis itu masih berkaca-kaca kedua matanya. Sesekali dia sesenggukan dan menundukkan kepalanya. Sedangkan Cassel hanya duduk di samping sang Mama dan diam memperhatikan Raccel. Sesungguhnya Cassel kesal karena Raccel sanga
Dalena memutuskan hal terpenting dalam hidupnya. Wanita itu menemui Damien di kantornya siang ini setelah dia menyiapkan makan siang untuk Raccel. Dalena sadar kalau antara dia dan Damien tidak pernah ribut besar sebelumnya. Tapi kali ini Dalena tidak akan tinggal diam, ia tidak ingin putrinya terus tumbuh dalam kehidupan yang pahit dan hitam. Dan kini Dalena berdiri di depan pintu ruangan CEO, di mana suaminya berada di dalam sana, cepat Dalena membuka pintu itu dan masuk. "Damien..." Dalena langsung memanggilnya pelan. "Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, kali ini aku ingin membahas hal serius." Evan menatapnya sejenak, sebelum laki-laki itu mengangguk. "Duduk, dan katakan ada apa? Kalau masih ingin membahas Raccel, lebih baik—""Lebih baik kita pisah saja, Damien," sela Dalena dengan cepat menghentikan ucapan Damien saat itu juga. Mendengar apa yang istrinya katakan, lantas Damien menatap wajah Dalena dengan serius. "A-apa kau katakan barusan, Dalena?" Damien langsung ber
Damien kembali dari kantor pukul tujuh malam. Laki-laki itu terkejut saat melihat rumahnya dalam keadaan gelap gulita seperti rumah kosong. Pembantunya memang sedang libur, dan satu jam yang lalu Cassel mengatakan padanya dia masih ada jadwal praktek, lalu di mana istrinya? "Dalena..."Rumah itu sunyi sepi dan dingin hawa di sekitarnya. "Ke mana Dalena?" gumam Damien kebingungan. Laki-laki itu berlari menyalakan penerangan di dalam rumahnya. Rumah masih bersih seperti pagi tadi, bahkan menu makanan pagi tadi masih ada di atas meja makan utuh tak tersentuh. "Dalena...! Raccel..!" teriak Damien memanggil-manggil. Langkah kaki Damien cepat menuju ke lantai dua, laki-laki itu membuka pintu kamarnya dan ia melihat lemari pakaian yang terbuka. "Tidak, tidak mungkin dia pergi? Dalena... Dalena kau masih ada di sini kan, Dalena!" teriak Damien. Laki-laki itu berlari masuk ke dalam kamar milik Raccel, semua buku dan barang-barang milik Raccel tidak ada di kamar itu. "Raccel... Kalian
Saat Cassel pulang, isi rumahnya nampak kacau dengan. Banyak pecahan beling vas bunga di mana-mana. Tak kaget dengan Daddy-nya yang sangat emosional. Cassel hanya ingin melihat apa yang membuat Daddy-nya marah, kehilangan Mommy-nya, Raccel, atau keduanya?"Dad..." Suara Cassel membuat Damien yang tengah berdiri di dalam ruangan kerja, menatap pemandangan di luar. Damien nampak diam termenung. Damien menoleh menatap putranya. "Di mana Mommy dan Adikmu, Cassel?" tanya Damien dengan nada dingin. "Aku tidak tahu, Dad," jawab Cassel lemas. "Nicholas yang menghubungiku. Dia mencari Raccel, bahkan aku tidak bisa menghubungi Raccel." Damien mengepalkan tangannya, laki-laki itu sebenarnya tahu kalau Cassel pasti menyembunyikan Mommy dan Adiknya, karena Damien paham betapa Cassel sangat mencintai mereka berdua. "Mommy tidak mungkin pergi tanpa alasan, Dad. Harusnya Daddy sadar atas apa yang Daddy selalu katakan pada Raccel. Kadang Cassel juga bertanya-tanya..." Cassel menatap sang Daddy
Nicholas melirik Raccel yang kini menangis, dia menyalahkan dirinya sendiri saat melihat gadis itu tidak mau mengatakan apapun padanya. "Raccel, Kakak tidak bermaksud memarahimu," ujar Nicholas mengulurkan tangannya mengusap pucuk kepala Raccel. "Sudah Kak, berhenti di sini saja," ujar Raccel. "Tidak. Antarkan sampai tempat di mana kau tinggal." "Tidak mau! Nanti Kakak adukan ke Daddy!" pekik Raccel marah. Saat itu juga mobil hitam milik Nicholas langsung terhenti seketika. Nicholas menatap Raccel dengan tatapan tajam.Raccel langsung terdiam seketika, tertunduk dengan kedua mata terpejam. "Sejak kapan kau membentakku, Raccel? Bahkan aku selalu berada di pihakmu. Aku mencarimu hingga tengah malam, aku mengkhawatirkanmu sebagai diriku sendiri! Bukan sebagai mata-mata Papamu! Mengerti?!" pekik Nicholas marah. Dia kesal, sangat kesal saat Raccel menunjukkan sisi asing padanya. Hal itu membuat Nicholas meras jauh dari Raccel. Raccel menangis mencengkeram tali tas yang dia pakai.
Damien dan Dalena membawa Raccel ke rumah sakit. Dokter yang merawat sakit Raccel sejak kecil pun masih setia merawatnya setiap kali Raccel kontrol. Dalena selalu tidak tenang bila Raccel kembali sakit. Wanita itu kini menemani Raccel, di sampingnya ada Damien yang merangkulnya. "Dokter... Raccel tidak papa kan, dok?" tanya Dalena cemas. "Tidak papa Nyonya. Tapi bukankah saya sudah berkali-kali bilang pada Raccel, untuk tidak berlari atau melangkah terburu-buru. Keseimbangan yang Raccel miliki itu kurang, cidera yang dia alami saat kecil ini sangat serius, efeknya bisa sampai dewasa hingga tua nanti." Penjelasan dokter itu membuat Dalena menjadi lemas. Wanita itu mengangguk dan kembali melirik Raccel yang hanya diam. Dalena tidak tahu apa yang membuat Raccel berlari, biasanya gadis itu tidak pernah berupaya keras hingga melukai fisiknya. "Apa tidak ada pengobatan yang paling bagus agar putri kamu bisa beraktivitas normal, dok?" tanya Damien. "Tidak ada Tuan, karena ini cidera b
Sejak pagi hingga sore hari, di kediaman Keluarga Escalante sangat sibuk. Mereka menyiapkan pesta keluarga untuk malam ini. Hingga siang berganti malam, rumah megah berlantai dua itu nampak dihiasi dengan meriah lampu-lampu di luar rumah, maupun di dalam rumah. Dalena tersenyum melihat anak-anaknya berkumpul bersama. "Baru kali ini acara akhir tahun menjadi sangat meriah, iya kan, Sayang?" Dalena menoleh pada sang suami yang berdiri di sampingnya."Iya. Mungkin itu semua karena kita bisa melihat anak-anak kita, menantu kita, cucu kita berkumpul bersama. Sangat membahagiakan, Sayang." Damien merangkul pundak Dalena memperhatikan pemandangan ruangan di dalam rumah yang sudah dihias dengan indah oleh Cassel dan Nicholas sejak siang tadi. Sampai tiba-tiba saja, Elsa dan Gissele muncul dari arah lantai dua. Di sana nampak Gissele cemberut dan bersedekap dengan wajah kesalnya. "Ada apa, Sayang? Sini..." Damien melambaikan tangannya pada Gissele. Dalena juga ikut melambaikan tangannya
Salju turun cukup tebal kemarin, dan siang ini Cassel mengajak anak istrinya untuk pergi membelikan beberapa makanan, dan juga hadiah. Mereka akan menghabiskan beberapa hari di musim dingin bersama dengan keluarga Cassel. Mereka bertiga datang ke sebuah pusat perbelanjaan. Di sana, Gissele sibuk memilih mainan, camilan, dan hiasan-hiasan yang menarik perhatiannya. "Sayang, jangan mengambil gantungan banyak-banyak, nanti mau ditaruh di mana lagi?" Elsa merebut beberapa boneka gantung yang Gissele ambil. "Gissele mau itu, Ma!" seru bocah itu menunjuk ke sebuah lonceng-lonceng kecil. "Astaga ... untuk apa, Sayang?" Elsa mengusap wajahnya. "Sana, Gissele sama Papa saja. Minta gendong Papa." Anak itu cemberut. Kalau sudah bersama Papanya, dia tidak akan diturunkan dari stroller. Namun, meskipun dengan wajah protes, Gissele pun patuh dengan Elsa dan anak itu mendekati Cassel, meminta gendong dan meminta didudukkan di atas stroller miliknya. "Sudah ... Gissele duduk di sana saja, se
"Mommy dan Daddy ingin kalian menginap di sini. Kapan kalian bisa? Daddy ingin membuat party bersama kalian juga..." Suara di balik panggilan itu adalah suara Dalena yang kini bertanya pada Elsa dan Cassel. Setelah hampir tiga mingguan Cassel dan Elsa tidak datang ke kediaman orang tuanya karena sibuk. "Mungkin besok malam kita akan ke sana Mom, besok kan sudah mulai libur akhir tahun," jawab Cassel tersenyum."Iya. Janji ya, Nak ... Mommy sudah sangat kangen dengan Cucu cantik Mommy," ujar wanita itu. Cassel beranjak dari duduknya, laki-laki itu melangkah masuk ke dalam kamar. Dia menunjukkan kamera ponselnya ke arah Gissele yang kini tengah mengacau pekerjaan Elsa. Karena Elsa mempunyai banyak pesanan hingga menyentuh hampir seribu bouquet selama musim dingin ini, dia pun membawa beberapa bunga dan membentuknya di rumah. "Sayang, dicari Oma, katanya Oma kangen," ujar Cassel menyerahkan ponselnya pada Gissele.Anak cantik dengan rambut pirang cerah itu langsung melebarkan kedua
Pagi setelah menginap di tempat orang tua Cassel, esok harinya Elsa nampak sibuk di rumah. Gadis itu kini tampak bergelut dengan beberapa pekerjaan rumah, termasuk membuat banyak kue yang akan ia antarkan ke panti asuhan seperti biasa. "Mama buat kue banyak sekali? Mau dibawa ke panti, ya?" tanya Gissele yang kini membantu Mamanya memasukkan beberapa kue dalam sebuah box. "Iya Sayang. Tapi Gissele tidak usah ikut, ya ... Gissele di rumah saja dengan Tante Raccel dan Oma," ujar Elsa menatap putrinya. Dan dengan patuh Raccel menyetujui hal itu. Bukan tanpa alasan Raccel melarang putri kecilnya untuk ikut, melainkan sejak awal, pengurus panti meminta Elsa untuk tidak sering-sering lagi membawa Gissele ke panti, mereka takut Gissele ingat masa dulu dan tidak mau pulang lagi ke rumah. Anak perempuan itu mengangguk patuh, namun dia cemberut, seolah-olah dia memang tidak setuju dengan apa yang Mamanya pinta padanya. "Mama, hari ini Gissele mau pergi beli sepatu baru kata Papa," ujar an
Setelah kondisi Elsa kembali sehat, Cassel pun memutuskan untuk mengajak istrinya pergi jalan-jalan bersamanya dan putri mereka.Setelah puas menemani Gissele bermain di taman dan game zone, mereka bertiga kini pergi ke rumah orang tua Cassel. Kedatangan mereka disambut dengan sangat hangat, terlebih lagi di sana ada Raccel dan anak kembarnya. "Wahh, Cucu Oma akhirnya ke sini juga!" seru Dalena mengendong Gissele dan mengecup pipi gembul anak itu. "Gissele...!" Suara Raccel membuat Gissele menoleh, anak perempuan dengan dress merah muda itu langsung berlari ke arah Raccel di ruang tengah. Sementara Elsa, gadis itu meletakkan paper bag berisi makanan di atas meja, dan Cassel juga berjalan ke dapur mengambil minuman dingin. "Raccel di sini sejak kapan, Mom? Nicho ke mana?" tanya Cassel menatap sang Mama. "Nicholas sedang ada urusan kantor dengan Daddy, mereka ke luar kota, Sayang. Raccel memang sekarang Mommy minta untuk pindah ke sini, merawat Lovia dan Livia sendirian itu sangat
"Dokter Cassel, apakah ada jadwal yang lain lagi hari ini?" Cassel menoleh ke belakang saat rekannya bertanya, begitu Cassel keluar dari ruangan operasi. Cassel menggelengkan kepalanya. "Tidak dok. Aku akan pulang cepat hari ini karena istriku sedang sakit," jawab Cassel sembari tersenyum. "Oh begitu, baiklah..." Tanpa menjawab apapun lagi, Cassel segera bergegas keluar dari dalam ruangan itu dan ia berjalan ke arah ruangannya sendiri.Laki-laki dengan jas putih itu membuka ruangan pribadinya. Di sana, Cassel langsung meraih ponsel miliknya dan ia melihat apakah dirinya mendapatkan pesan dari Elsa atau tidak?Cassel menghela napasnya panjang dan tersenyum. Baru saja dia ingin melihat pesan, Elsa sudah memberikan kabar lebih dulu padanya."Hemm, tumben sekali dia memintaku membawakan makanan? Biasanya juga selalu menolak," gumam Cassel. Segera Cassel menghubungi Elsa. "Halo Sayang, kau ingin menitip makanan apa, hem?" tanya laki-laki itu. "Bukan aku. Tapi Gissele, dia ingin mela
Tak biasanya Gissele bangun saat hari masih petang. Anak kecil perempuan dengan rambut cokelat terang itu, sudah bermain di karpet tebal di bawah ranjang. Ocehannya yang sedang asik mengajak bonekanya berbincang itu membuat Cassel terbangun dari tidurnya tiba-tiba. Cassel yang memeluk Elsa pun sontak melepaskannya dan ia menoleh ke samping. "Loh, Gissele!" pekiknya lirih. "Papa ... Gissele di sini, Pa!" seru anak perempuan itu mengacungkan tangannya. Cassel menyergah napasnya pelan mengetahui putri kecilnya berada di bawah sana. Segera Cassel menyibak selimutnya dan berjalan mendekati Gissele yang duduk memegang mainannya. "Sayang, kenapa di sini? Ini masih petang, Gissele tidak mengantuk, hem?" tanya Cassel mengusap pucuk kepala putri kecilnya. Anak itu hanya diam dan menggelengkan kepalanya. Sebelum akhirnya Gissele merangkak mengambil botol susu miliknya dan menyerahkan pada Cassel."Apa Sayang?" tanya Cassel menatap sang putri."Buatkan susu, Pa. Gissele mau minum susu," u
Elsa dan Cassel menuhi permintaan Luna untuk datang ke sebuah rumah makan mewah di sebuah hotel berbintang malam ini. Tentunya Elsa membawa Gissele yang kini tidak mau berjalan kaki, setelah punya stroller baru, dia ingin memamerkan stroller miliknya pada semua orang. Termasuk pada Nenek dan Kakeknya.Mereka bertiga pun kini baru saja masuk ke dalam restoran tersebut. "Emmm ... di mana, Ma?" tanya Gissele menoleh ke kanan dan ke kiri dalam kereta kecilnya. "Gissele Sayang!" pekik Luna melambaikan tangannya ke arah Elsa dan Cassel. Mereka pun menoleh. "Oh, ternyata di sana!" seru Elsa terkekeh.Segera Cassel mendorong stroller milik Gissele dan mereka berjalan mendekati meja di mana kedua orang tua Elsa berada. Luna dan suaminya pun berada di sana."Ya ampun, Cucu Nenek lucu sekali," seru Vania mengangkat tubuh mungil Gissele dari atas stroller."Naik kereta baru, Sayang? Punya kereta warnanya merah muda, bagus sekali..." Teddy ikut gembira dengan kedatangan Gissele. Elsa bersala
Elsa mengantarkan makan siang yang ia siapkan untuk Cassel siang ini. Bersama dengan Gissele, mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Semua rekan-rekan Cassel menyapa Elsa dengan ramahnya, karena mereka semua tahu siapa Elsa sebenarnya, yang tak lain adalah istri dari calon direktur rumah sakit. "Selamat siang Nyonya Elsa," sapa salah satu rekan kerja suaminya, dia adalah Dokter Agnes. "Selamat siang, Dokter Agnes ... emm, apa suami saya masih ada jadwal operasi?" tanya Elsa bertanya pada wanita si depannya itu. "Oh, sepertinya sudah selesai. Saya melihat beliau tadi berada di ruangannya," jawab Agnes. "Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu..." "Iya Nyonya, silakan..."Elsa pun bergegas kembali mendorong stroller di mana Gissele duduk di dalam tempat itu sambil meminum susunya di dalam botol. Mereka berdua berjalan menuju ke arah ruangan kerja Cassel. Di sana, Elsa mengetuk pintu ruangan tersebut. Pintu itu tidak sepenuhnya ditutup. Hingga Cassel yang sedang beris