Sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Escalante, di dalam mobil Raccel hanya diam dan tidak mengoceh apapun. Nicholas merasa tidak nyaman kalau gadis kecil ini tidak berisik. Laki-laki muda itu menoleh ke arahnya dan mengusap pucuk kepala Raccel tiba-tiba. "Kenapa diam saja? Tidak suka bertemu dengan teman-teman Kakak?" tanya Nicholas. "Heem, karena mereka kita tidak berbincang," jawab Raccel jujur. Mendengar jawaban Raccel, lantas Nicholas terkekeh. Memang ada-ada saja si Raccel ini. "Apa yang ingin kau obrolkan dengan Kakak, Raccel?" tanya pemuda itu. "Banyak sekali. Tapi sudah tidak mood," jawab gadis itu membuang muka. Dia masih suka merajuk, dan Nicholas sudah hafal betul dengan Raccel yang seperti ini. Nicholas tidak mengatakan apapun lagi, dia menerka-nerka di mana salah dirinya pada Raccel hingga gadis ini marah padanya. Namun Nicholas juga tidak merasa kalau dirinya melakukan hal yang buruk pada Raccel, hingga dia mengesampingkan hal tersebut.Sampai beberapa
Siang ini di sekolahnya, Raccel dipanggil oleh kepala sekolah untuk menghadap. Gadis itu harap-harap tak sabar, apakah dirinya lolos, atau tidak?Sampai akhirnya Raccel masuk ke dalam ruangan kepala sekolah dan berhadapan langsung dengan gurunya. "Siang Madam," sapa Raccel tersenyum. Wanita itu tersenyum. "Selamat siang, Raccelia... Mari masuk," ajaknya. Raccel pun segera masuk ke dalam ruangan itu. Ia duduk berhadapan dengan kepala sekolah, di sampingnya ada Revvan, teman seangkatannya yang sangat populer karena tampan dan pintarnya. "Hai," sapa Revvan berbisik. "Hai Van," balas Raccel tersenyum ceria. "Semoga kau beruntung, Raccel," bisik laki-laki muda itu. Dengan antusias, Raccel menganggukkan kepalanya. Ia masih memperhatikan kepala sekolahnya yang kini mendekati mereka membawa sebuah berkas di tangannya. "Raccel, Revvan, hari ini penilaian untuk uji coba perlombaan internasional sudah final nilainya, jadi salah satu dari kalian bisa mendapatkan kesempatan untuk ikut berl
Nicholas berlari menuju roof top gedung sekolah itu. Dia sendirian dan berjalan mencari-cari sampai akhirnya laki-laki itu melihat seorang gadis yang duduk diam di sana memeluk tas sekolahnya. Tanpa ditanya pun Nicholas tahu siapa gadis itu. Ia berjalan mendekati Raccel yang nampak diam melamun. "Raccel..," panggil Nicholas dengan sangat pelan. Gadis itu langsung mengangkat wajahnya menatap Nicholas penuh dengan keterkejutan. Namun Raccel buru-buru menyeka air matanya, meskipun wajah itu tidak bisa berbohong kalau dia menangis. Nicholas menekuk kedua lututnya dan duduk di hadapan gadis itu. "Kenapa? Kenapa tidak pulang?" tanya Nicholas menyentuh kepala Raccel. Gadis itu hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Wajah Raccel benar-benar sembab, entah berapa jam lamanya dia berada di sana. "Ini sudah malam, ayo pulang... Kasihan Mommy-mu mencarimu," bujuk Nicholas dengan sabar. "Pulanglah sendiri," jawab Raccel menyembunyikan wajahnya. Nicholas menghela na
Cassel tidak bisa tidur sama sekali, ia juga tidak berani menemui Raccel di kamarnya. Kini Cassel duduk di sebuah sofa di depan pintu kamar Raccel, saat jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Setelah Nicholas menceritakan semuanya pada Cassel dan Dalena, di sana Cassel merasa sangat sedih atas apa yang terjadi pada sang adik. "Huhhh... Kenapa malah jadi begini?" gumam Cassel lirih. Pemuda itu beranjak dari duduknya dan mendekati kamar sang adik. Cassel perlahan-lahan membuka pintu kamar Raccel. Saat kamar terbuka, Cassel melihat kekacauan di kamar bernuansa merah muda tersebut. "Raccel..." Cassel menatap Raccel yang masih belum tidur. "Kakak," lirih Raccel, gadis itu duduk di atas ranjang memeluk bonekanya. "Kenapa belum tidur?" tanya Cassel masuk ke dalam sana mendekati Raccel. Adik kembarannya itu langsung berdiri dengan lutut, mengulurkan kedua tangannya pada Cassel. Dan Cassel langsung memberikan pelukan pada Raccel. Ia mengusap kepala sang adik dengan penuh kasih sa
Sejak kejadian di ruang makan satu jam yang lalu, Raccel pun kini duduk di ruang keluarga bersama anjing kecilnya. Di ruang tamu seberang, ada Nicholas dengan Damien dan Cassel. Mereka nampak membicarakan hal-hal penting. Sampai tiba-tiba saja ada yang datang dan seseorang berdiri di depan pintu rumah. "Permisi..." Salam seseorang bersuara laki-laki. Di sana, Cassel langsung beranjak dari duduknya. Dia melihat pemuda berseragam sekolah seperti seragam milik Raccel. "Oh, temannya Raccel?" tanya Cassel. "Iya. Saya Revvan, teman sekelas Raccel," jawab pemuda itu. Dan Cassel pun menganggukkan kepalanya, kini dia paham jadi anak laki-laki ini bernama Revvan yang berhasil mendapatkan beasiswa, kabarnya dia adalah seorang kapten basket, dan salah satu murid unggulan yang terkenal. "Oh sebentar ya, aku panggilkan adikku," ujar Cassel. "Iya Kak," jawab Revvan, dia tidak tahu kalau Cassel adalah kembaran Raccel. Dari arah ruang tamu, Nicholas terus menatap anak sekolah yang kemarin men
Saat Nicholas mengantarkan Cassel pulang setelah dari kantor bersama, Nicholas melihat ada Raccel bersama teman laki-lakinya bernama Revvan, di teras. Nicholas pun ikut turun sembari membawa beberapa berkas-berkas di tangannya. "Yuk! Main billiard di belakang!" ajak Cassel berjalan sembari menepuk pundak Nicholas. Mereka berdua melewati Raccel dan Revvan. Di sana nampak Raccel yang tengah membuka-buka beberapa kertas pelajaran. Gadis itu mendongak menatap Nicholas yang meliriknya dan Reevan, dan tidak menyapa Raccel sama sekali. "Oh ya Raccel, ngomong-ngomong kau nanti ingin kuliah di mana? Kita bareng saja, bagaimana?" ajak Revvan. "Emm, Raccel tidak tahu. Masih bingung... Tapi kan Revvan sudah dapat beasiswa, kenapa tidak dimanfaatkan?" tanya Raccel bingung."Aku tidak ingin menjadi dokter, aku ingin jadi arsitek," jawab Revvan tersenyum tipis. "Emmm, begitu ya. Kalau Raccel ingin kuliah mengambil kelas musik," jawab gadis itu. Mereka berdua mengobrol dan bercanda, di balik
Keesokan harinya Raccel sudah kembali bersekolah, teman-temannya memberikan semangat untuk Raccel, dan hal itu yang membuat Raccel kembali bersemangat menjalani hari-harinya lagi.Raccel kini sedang berada di kelasnya bersama dengan Revvan, anak laki-laki itu sibuk mengerjakan tugas di bangku Raccel. "Raccel..." "Hem? Ada apa?" "Kalau aku boleh tahu, apa kemarin itu kakakmu juga, ya? Yang mengantarkan camilan ke depan, sekaligus mengusirku secara halu!" seru Revvan. Raccel menghentikan menulisnya, gadis itu menoleh pada Revvan. "Itu Kak Nicholas, dia anak teman Daddy-ku. Dia juga temanku sejak kecil," jawab Raccel kembali menoleh. "Sepertinya tidak suka denganku, apa dia menyukaimu?" tanya Revvan tiba-tiba. Sontak Raccel menatap temannya itu. "Emmm, kalau suka denganku sih... Sepertinya bisa dikatakan, tidak mungkin..." Raccel langsung memasang wajah sedih. "Kenapa begitu? Seenaknya saja memutuskan. Padahal dia belum mengatakan perasaannya padamu, kan? Kemarin saja dia terli
Setelah kejadian kemarin saat Raccel melihat Nicholas bersama kekasihnya, Raccel pun tidak keluar kamar sekalipun dia mendengar suara Nicholas saat ada di rumahnya. Raccel menjadi sangat sedih, seperti ada kekecewaan besar dalam hidupnya yang membuatnya merasa selama ini apa dia usahakan adalah hal yang sia-sia. "Semua hal yang aku inginkan benar-benar tidak bisa aku wujudkan, dari beasiswa, hingga... Kak Nicho," gumam Raccel menatap ke arah luar jendela kamarnya. "Apa ini memang bukan yang terbaik buat Raccel?" Di tengah lamunannya, tiba-tiba pintu kamar gadis itu terketuk, Raccel pun langsung menoleh ke depan. Dia berjalan membuka pintu kamarnya. Muncul Dalena di depannya kini. "Sayang, kok tidak keluar sama sekali? Raccel tidak makan, ya?" tanya Dalena memasang wajah cemas. "Kenapa? Raccel sakit?" "Tidak papa kok Mom, belum lapar saja. Ini juga mau keluar," jawab Raccel. Dalena mengulurkan tangannya mengusap pipi Raccel."Ya sudah, ayo turun ke bawa, makan yang banyak biar t