Beberapa Tahun Kemudian...Cuaca di kota London memasuki musim semi, seorang gadis cantik dengan pakaian seragam sekolah menengah ke atas tengah berdiri di halte di sekolahnya. Raccel sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik, pintar, dan pekerja keras. Sekarang ia baru saja menduduki bangku kelas dua belas menengah atas. "Kakak jadi jemput Raccel atau tidak? Nanti kalau pulang telat Daddy marah-marah lagi!" seru gadis itu mengomeli Cassel. "Iya Raccel, tunggu di situ sebentar!" balas Cassel di balik panggilan tersebut. Raccel langsung memutus panggilan tersebut dan ia berdiri di sana memeluk beberapa buku miliknya. Sampai akhirnya seorang temannya berjalan mendekat. "Loh, Raccel, kau belum pulang?" tanya Camilan. "Emmm, Kakakku belum datang," jawab Raccel. "Tumben terlambat..." Camilan kini duduk di samping Raccel. Wajah Raccel menjadi sedih, gadis itu padahal sudah bersiap ingin pulang cepat karena semalam Cassel bilang padanya kalau Nicholas akan datang ke rumahnya untuk meng
Setelah mengantarkan Raccel pulang siang tadi, sampai malam pun Nicholas masih berada di kediaman Damien. Pemuda itu sibuk membicarakan bisnis bersama Damien dan Cassel di lantai satu. Sementara Raccel, gadis itu berada di selasar lantai dua. Raccel sibuk menulis sesuatu di buku diary miliknya, sesekali dia menatap ke lantai satu di mana Nicholas berada sekarang."Hemm, selesai!" Raccel menutup buku diary miliknya. Gadis berambut panjang sepinggang itu memperhatikan terus ke arah Nicholas di lantai satu. "Kak Nicho jarang sekali ke sini sejak dia kuliah, sekali ke sini dia banyak berubah dan diam. Apa dia sudah punya pacar?" gumam Raccel bertanya entah pada siapa. Raccel mendengus pelan, gadis itu menutup bukunya dan berjalan turun ke lantai satu. "Bagaimana Cho? Kata Papamu kau mau bertunangan dengan anak Om Giles?" tanya Damien pada Nicholas saat tiba-tiba Raccel berada di lantai satu. "Entahlah Om, aku juga masih fokus pada karierku dulu," jawab Nicholas. "Tapi bagi Om kala
Keesokan harinya, Raccel terbangun pukul setengah tiga dini hari dan langsung gegas belajar. Hingga saat pukul tujuh pagi, gadis itu masih mengantuk. Raccel duduk menundukkan kepalanya di teras, bahkan saat ada seseorang yang datang, dia tidak tahu. "Heuhh...!" "Astaga, Raccel!" Nicholas yang berusaha berjalan naik ke atas teras, pemuda itu langsung merangkul Raccel saat gadis itu hampir terjerembab ke lantai. Raccel pun terkejut, dia kembali membuka kedua matanya dan mendongak menatap Nicholas. Laki-laki itu menatap cemas. "Kau tidak papa? Kalau sakit tidak usah pergi ke sekolah," ujarnya menyentuh kening Raccel dengan lembut. "Tidak papa, kok!" Raccel langsung menepis tangan Nicholas begitu saja. Nicholas merasa tidak enak, gadis ini tidak seperti kemarin. Perasaan dia kemarin masih manja kepadanya. "Kau begadang lagi? Mengerjakan apa?" tanya Nicholas beralih duduk di sampingnya. "Apa ada tugas yang membuatmu kesulitan?" Raccel menggeleng. "Tidak usah peduli sama Raccel la
"Ayo, bisa jalan sendiri atau Kakak gendong?" Raccel menggelengkan kepalanya, tas merah muda miliknya dibawa oleh Nicholas. Mereka berdua keluar dari gerbang sekolah dan bergegas masuk ke dalam mobil. Gadis itu tidak mengeluarkan suaranya sama sekali, sampai Nicholas merasakan kemarahan Raccel, entah padanya, atau pada orang rumah. "Raccel tidak mau pulang, nanti Daddy marah kalau tahu Raccel tidak sekolah," ujar gadis itu. "Heem, ke apartemen Kakak saja," jawab Nicholas.Laki-laki itu menoleh ke arah Raccel yang kini mengusap air matanya. "Raccel, kalau ada apa-apa itu bilang, jangan diam saja..." "Tidak ada apa-apa kok," kilahnya, tapi dia menangis. Nicholas semakin mengerti, wanita itu memang kadang menyebalkan. Lain di mulut lain di hati, saat dia bilang baik-baik saja, maka keadaan yang sebenarnya benar-benar kacau dan hancur. "Perutmu sangat sakit?" tanya Nicholas meraih lengan Raccel. Saat diperhatikan seperti ini, Raccel merasa sedih. Dia ingin memiliki orang yang ben
Hari sudah gelap, Raccel berbaring di atas ranjangnya. Gadis itu menatap layar ponselnya dan membaca sebuah pesan masuk dari Nicholas. 'Sudah baikan? Apa masih sakit? Jangan lupa minum obatnya,' ujar laki-laki itu dalam bentuk pesan. Raccel tersenyum manis. Ia pun langsung menghubungi Nicholas saat itu juga. "Halo Kak Nicho..." "Halo Cil! Kenapa telfon-telfon Nicho, hah?!" balas suara di balik panggilan itu. Lantas Raccel menatap layar ponselnya, itu benar nomor Nicholas, tapi kenapa malah terdengar suara Cassel! "Ihhh... Kakak! Berikan ponselnya ke Kak Nicho!" pekik Raccel. Suara gelak tawa terdengar di sana, sebelum akhirnya menjadi senyap. Sepertinya Nicholas membawa ponselnya menjauh dari Cassel yang tengah memutar musik. "Halo, kenapa hem?" Suara Nicholas terdengar di sana. "Kak Nicho... Emm, besok Kak Nicho ke rumah?" tanya Raccel."Heem. Besok ada yang aku bahas dengan Daddy-mu. Kenapa?" "Tidak papa. Cuma tanya saja!" balas gadis itu. Kekehan terdengar di balik pangg
'Terima kasih sudah perhatian sama Raccel kemarin ya, Kak Nicho. Semangat kerjanya. Dari Raccel...' Nicholas menutup kertas berwarna merah muda itu dan ia tersenyum, ditatapnya empat donat dengan toping kacang kesukaannya. Nicholas tidak tega memakan donat itu, terlalu lucu, apalagi saat ia membayangkan Raccel yang begitu bersemangat membuatkan makanan ini untuknya. "Selamat pagi, Nicho..." Sapa seseorang membuka pintu ruangan kerja Nicholas. Seorang gadis cantik berpakaian formal yang kini menatapnya, namun gadis itu teralihkan pada kotak berisi donat dan sebuah surat. "Kau mendapatkan kejutan?" tanya gadis itu, dia adalah Siessa. "Heem, dari anak Pak Damien," jawab Nicholas. "Oh, Raccel? Yang masih sekolah itu, kan? Baik sekali dia padamu, apa kau menyukai gadis yang masih bocah dan kekanakan seperti dia?" tanya Siessa. Nicholas menatapnya dengan wajah dingin. "Apa kau mendengar aku mengatakan itu di mulutku?" balas pemuda itu. "Letakkan berkasnya dan segera pergi!" Gadis
Raccel terbangun dari tidurnya, gadis itu membuka mata dan merasakan selimut yang hangat menutupi tubuhnya. Tubuh Raccel terasa lelah, aktivitasnya setiap hari yang padat dan dipenuhi dengan kerja keras membuat gadis itu selalu mengeluh tentang hari-harinya. "Heemmm, sudah bangun?" Suara Nicholas membuat Raccel mendongakkan kepalanya. Gadis itu diam dan membenamkan wajahnya pada bantal."Kak, ini jam berapa?" tanya Raccel menyibak selimutnya. "Jam sepuluh," jawab Nicholas. "Daddy belum hubungi Kakak?" tanya Raccel. "Belum, tidurlah lagi. Nanti kalau sudah dihubungi Daddy, Kakak akan membangunkanmu," ujar Nicholas.Raccel menggeleng, ia kembali mengucek kedua matanya dan langsung meraih bukunya, Raccel menatap beberapa soal yang sudah dikerjakan. Gadis itu mendongakkan kepalanya dan mengusap wajahnya pelan sebelum dia beranjak dari duduknya melangkah berjalan ke arah dapur. Raccel menuang air dingin dan meminumnya."Kakak, Kak Nicho punya camilan apa?" tanya Raccel berdiri di a
Sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Escalante, di dalam mobil Raccel hanya diam dan tidak mengoceh apapun. Nicholas merasa tidak nyaman kalau gadis kecil ini tidak berisik. Laki-laki muda itu menoleh ke arahnya dan mengusap pucuk kepala Raccel tiba-tiba. "Kenapa diam saja? Tidak suka bertemu dengan teman-teman Kakak?" tanya Nicholas. "Heem, karena mereka kita tidak berbincang," jawab Raccel jujur. Mendengar jawaban Raccel, lantas Nicholas terkekeh. Memang ada-ada saja si Raccel ini. "Apa yang ingin kau obrolkan dengan Kakak, Raccel?" tanya pemuda itu. "Banyak sekali. Tapi sudah tidak mood," jawab gadis itu membuang muka. Dia masih suka merajuk, dan Nicholas sudah hafal betul dengan Raccel yang seperti ini. Nicholas tidak mengatakan apapun lagi, dia menerka-nerka di mana salah dirinya pada Raccel hingga gadis ini marah padanya. Namun Nicholas juga tidak merasa kalau dirinya melakukan hal yang buruk pada Raccel, hingga dia mengesampingkan hal tersebut.Sampai beberapa