Damien duduk diam di ruangan kerjanya, laki-laki itu kini sering diabaikan oleh istri dan juga putrinya. Ia merasa sedih, namun juga Damien tidak mengerti kenapa dia bisa bersikap berat sebelah pada anaknya. Saat Damien mengusap wajahnya dan merasakan kejenuhan yang dia rasakan, sampai tiba-tiba terdengar suara sesuatu yang jatuh di dapur. "Hemm? Suara apa?" gumam Damien beranjak cepat dari duduknya saat itu juga. Laki-laki itu berjalan keluar dan melihat Raccel yang berada di dapur. Anak itu menumpahkan kotak susu cokelatnya di lantai, hingga sebagian berserakan. "Sayang, sedang apa?" tanya Damien mendekatinya. "Mau minum susu cokelat, tapi kotaknya tinggi, terus Raccel naik sini, jatuh deh..." Anak itu berusaha mengumpulkan bubuk susu cokelat yang berserakan di lantai. "Astaga Sayang, tidak usah dikumpulkan. Ayo cuci tangan, besok Daddy belikan lagi." Damien mengangkat tubuh kecil Raccel dan mendudukkannya di atas meja marmer. Raccel menggaruk kepalanya dan rambutnya yang ber
Pagi ini Raccel dan Cassel berangkat ke sekolah bersama. Diantarkan oleh Damien yang akan menemani Dalena ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungannya Minggu ini. Si Cassel tidak drama sama sekali, anak laki-laki itu sudah asik berlari ke arah sekolahnya. Tapi tidak dengan Raccel yang masih berdiri di depan gerbang memegangi rok panjang Mamanya. "Mom, Raccel mau ikut Mommy sama Daddy saja. Tidak usah sekolah, Raccel sudah pintar!" seru akan itu beralih menatap Dalena. "Masa sudah pintar sih? Kok Daddy tidak yakin?" Damien menekuk kedua lututnya dan mengusap pipi gembil Raccel. Anak perempuannya itu tambah manyun dan menunjukkan ekspresi ingin menangis. "Ikut ya Dad, nanti ke game zone," pintanya. "Kalau pulang sekolah nanti, baru boleh ke game zone. Sekarang Mommy sama Daddy mau ke rumah sakit dulu, Sayang. Katanya Raccel mau tahu, adiknya laki-laki atau perempuan." Dalena merayu putri kecilnya. "Iya tapi Raccel ikut!" pekiknya menghentakkan kaki. "Kalau ikut pokoknya nanti
Dua Bulan Kemudian...Kegalauan pagi ini tengah dirasakan oleh Dalena. Pasalnya Lizi tidak bisa menjaga si kembar lagi, entah kenapa dan tiba-tiba saja gadis itu menghentikan pekerjaannya dan berkata dia akan menikah. Gadis itu baru saja pulang bersama seseorang yang menjemputnya. Dalena bersama si kembar kini galau berat, dan sedih. "Cassel sedih," ucap Cassel cemberut. "Raccel juga. Sudah tidak punya teman main, tidak punya orang yang suka belain Raccel," ujar anak perempuan itu mencebikkan bibirnya. Di samping mereka, berdiri Dalena yang masih sibuk berpikir kenapa Lizi tiba-tiba berhenti bekerja seperti ini. Namun sebagai seorang Ibu, Dalena lebih mengutamakan anak-anaknya untuk tidak sedih, apalagi menikah mungkin juga sudah menjadi pilihan Lizi, apalagi gadis itu juga sudah dewasa. "Tidak papa Sayang, kan masih ada Mami," ujar Dalena pada mereka berdua. "Tapi kan Mami capek ngurus Raccel, kan Raccel nakal," ujar Cassel. Mendengar hal itu, lantas Raccel langsung menoleh d
"Daddy, katanya mau jalan-jalan? Raccel ikut..." Suara Raccel mengiringi tiap langkah Damien. Begitupun dengan Cassel, namun hanya saja anak laki-laki Damien itu tidak bersuara. Si kembar menagih janji Damien yang katanya siang ini akan mengajak si kembar jalan-jalan, dan dua anaknya itu pun sudah amat antusias menantikannya. "Jadi apa tidak sih, Pi?" tanya Cassel dengan bibir mengerucut menatap Damien. "Papi masih sibuk, kembar. Siang ini Papi mau pergi," jawab Damien masuk ke dalam ruangan kerjanya. "Papi tapi kan sudah janji sama kembar!" seru Cassel menatap kesal Damien. "Daddy nakal! Daddy masa lupa!" pekik Raccel berkacak pinggang. Damien masih sibuk dengan beberapa berkas yang ia rapikan di atas meja saat ini. Mendengar suara keributan anak-anaknya, Dalena lantas masuk ke dalam ruangan itu dan menatap suaminya yang dikerumuni oleh dua buah hatinya. "Sayang, apa tidak bisa diwakilkan ke Thom saja? Nanti Papa pasti juga akan mampir, kan?" Dalena merasa kasihan pada si ke
"Maaf Tuan, kondisi Nyonya benar-benar kritis. Kami harus mengambil tindakan cepat." Dokter menjelaskan pada Damien di depan ruangan operasi dengan wajah panik. "Lalu, bagaimana dok?" Damien sudah di ujung kebingungannya. "Kami hanya bisa memberi satu pilihan, menyelamatkan nyawa Ibu atau bayinya," jawab dokter itu. Mendengar hal itu, Damien tidak kuasa menahan air matanya. Namun bagaimanapun juga Dalena harus tetap hidup, Dalena harus tetap menjadi teman hidupnya selamanya. Dan bayi laki-lakinya, Damien yang sangat memimpikan anak laki-laki lagi, kini telah pupus dan sirna. "Tolong selamatkan Ibunya dok," ucap Damien dengan wajah kacau. "Selamatkan istri saya." Dokter mengangguk. "Baik Tuan, silakan ikut dengan suster untuk menandatangani surat-suratnya." Damien lantas diajak ke sebuah ruangan bersama seorang suster. Ia menandatangani sebuah berkas rumah sakit. Setelah itu ia duduk menekuk kedua lututnya dan menutup wajahnya, Damien menyembunyikan tangisnya. Andai saja ia m
Damien menemani Dalena di dalam sebuah ruangan. Satu jam yang lalu, istrinya baru saja sadar. Di sana, Dalena hanya diam dan merasakan tubuhnya seperti mati rasa setelah sehari semalam tidak sadarkan diri. Dalena sendiri juga tahu, kalau dia telah kehilangan bayinya. "Sayang, kau bisa mendengarku, kan?" Damien menggenggam satu tangan Dalena dan mengecup punggung tangannya berkali-kali. Dalena meliriknya dengan wajah pucat. "Raccel... Di mana Raccel?" tanya wanita itu pelan dan lirih. "Ada, dia dirawat di depan. Raccel tidak papa," jawab Damien tersenyum mengusap kening Dalena. Kedua mata Dalena kembali tertutup, lalu terbuka lagi. Ia mengusap perutnya lembut dan memperhatikan langit-langit ruangannya. "Bayi kita sudah tiada, Damien," ujar Dalena menatap suaminya. "Jangan marah..." "Tidak, aku tidak marah padamu. Tidak, Sayang." Damien mengecup kening dan kedua pipi Dalena dengan penuh kasih sayang. Ia mengelus pipi putih Dalena. "Terima kasih kau sudah bertahan, Sayang. Terim
Kondisi Raccel sudah membaik, meskipun dokter mengatakan pada Lora kalau Raccel akan sering mengalami pusing. Dan lebih baiknya kalau Raccel rutin mengecekkan kondisi kesehatannya. Lora pagi ini membawa Raccel pulang, setelah berhari-hari dirawat di rumah sakit. Bahkan Kelvan juga sibuk mencari rumah di sana, dia ingin tinggal di sana sampai Dalena sembuh dan ia bersama Lora bisa menjaga Cassel dan juga Raccel. "Semoga kau cepat sembuh ya nak," bisik Kelvan mengecup pucuk kepala Raccel. Cucu perempuannya itu tertidur dalam gendongan Lora. Mereka berdua baru saja sampai di rumah, dan Lora membaringkan tubuh kecil Raccel di atas ranjang kecil di dalam ruangan di depan sebuah televisi besar. Lora menutup pagar matras tebal yang menutupi sekeliling kasur. Kedua matanya masih sembab setelah semalam menangisi Raccel. "Cassel kau antarkan sekolah kan, Pa?" tanya Lora. "Iya Ma, aku juga sudah meminta izin pada guru sekolah Raccel." Seketika Lora duduk di atas alas lantai d
Keesokan harinya adalah hari minggu, Raccel sedang bermain di teras bersama Cassel yang menemaninya. Cassel juga sangat baik, dia rela mondar-mandir dari dalam rumah mengambilkan camilan dan meminta sang Oma membuatkan susu cokelat untuk adik kembarannya. "Adik Raccel jangan ke mana-mana, Kakak ambilkan boneka kuda poni di dalam ya," ujar Cassel menatap Raccel. "Heem, bawakan donatnya Raccel!" seru anak itu. "Okay!" Cassel berlari masuk ke dalam rumah. Raccel terdiam menatap kedua kakinya yang sekarang ini diperban dari lutut ke bawah, dan dua-duanya. Banyak bekas luka baret di sana yang masih belum kering. Setelah itu, Raccel juga kehilangan sedikit keseimbangannya hingga dia harus mencari pegangan untuk berdiri. "Ini apa? Kenapa kaki Raccel dipasang seperti ini sih?" cicit anak itu menarik-narik benang perban di kakinya yang tebal. Barulah setelah itu Cassel muncul. Anak laki-laki itu menarik tangan Raccel seketika. "Jangan disentuh perbannya, nanti kalau lepas Dokter George