Setelah dua minggu lebih berlalu, Dalena mati-matian membujuk Raccel untuk kembali pulang ke rumah dan ikut dengan Thom. Anak itu meskipun merasa terpaksa namun akhirnya dia kembali luluh. Mereka berdua kini tengah rebahan di dalam kamar milik Raccel. "Mommy, nanti malam Raccel mau bobo sama Mommy, boleh?" tanya anak itu sembari satu tangannya menangkup kedua pipi Dalena. "Boleh dong Sayang, nanti mau tidur di kamarnya Mommy, atau di sini?" tawar Dalena mengelus pucuk kepala putri cantiknya. "Di sini saja, nanti kalau di kamar Mommy, Daddy marah sama Raccel," jawab anak itu cemberut. Dalena tersenyum manis mengecup pipi gembil Raccel. Sampai akhirnya mereka berdua mendengar suara heboh Cassel dan Damien di luar. Terdengar mereka sangat bahagia saat ini, dan Dalena pun segera beranjak dari atas tempat tidurnya untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka saat ini. "Ayo ikut, Sayang," ajak Dalena mengulurkan tangannya pada Raccel. "Oke Mom!" Anak itu meraih tangan Dal
Damien duduk diam di ruangan kerjanya, laki-laki itu kini sering diabaikan oleh istri dan juga putrinya. Ia merasa sedih, namun juga Damien tidak mengerti kenapa dia bisa bersikap berat sebelah pada anaknya. Saat Damien mengusap wajahnya dan merasakan kejenuhan yang dia rasakan, sampai tiba-tiba terdengar suara sesuatu yang jatuh di dapur. "Hemm? Suara apa?" gumam Damien beranjak cepat dari duduknya saat itu juga. Laki-laki itu berjalan keluar dan melihat Raccel yang berada di dapur. Anak itu menumpahkan kotak susu cokelatnya di lantai, hingga sebagian berserakan. "Sayang, sedang apa?" tanya Damien mendekatinya. "Mau minum susu cokelat, tapi kotaknya tinggi, terus Raccel naik sini, jatuh deh..." Anak itu berusaha mengumpulkan bubuk susu cokelat yang berserakan di lantai. "Astaga Sayang, tidak usah dikumpulkan. Ayo cuci tangan, besok Daddy belikan lagi." Damien mengangkat tubuh kecil Raccel dan mendudukkannya di atas meja marmer. Raccel menggaruk kepalanya dan rambutnya yang ber
Pagi ini Raccel dan Cassel berangkat ke sekolah bersama. Diantarkan oleh Damien yang akan menemani Dalena ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungannya Minggu ini. Si Cassel tidak drama sama sekali, anak laki-laki itu sudah asik berlari ke arah sekolahnya. Tapi tidak dengan Raccel yang masih berdiri di depan gerbang memegangi rok panjang Mamanya. "Mom, Raccel mau ikut Mommy sama Daddy saja. Tidak usah sekolah, Raccel sudah pintar!" seru akan itu beralih menatap Dalena. "Masa sudah pintar sih? Kok Daddy tidak yakin?" Damien menekuk kedua lututnya dan mengusap pipi gembil Raccel. Anak perempuannya itu tambah manyun dan menunjukkan ekspresi ingin menangis. "Ikut ya Dad, nanti ke game zone," pintanya. "Kalau pulang sekolah nanti, baru boleh ke game zone. Sekarang Mommy sama Daddy mau ke rumah sakit dulu, Sayang. Katanya Raccel mau tahu, adiknya laki-laki atau perempuan." Dalena merayu putri kecilnya. "Iya tapi Raccel ikut!" pekiknya menghentakkan kaki. "Kalau ikut pokoknya nanti
Dua Bulan Kemudian...Kegalauan pagi ini tengah dirasakan oleh Dalena. Pasalnya Lizi tidak bisa menjaga si kembar lagi, entah kenapa dan tiba-tiba saja gadis itu menghentikan pekerjaannya dan berkata dia akan menikah. Gadis itu baru saja pulang bersama seseorang yang menjemputnya. Dalena bersama si kembar kini galau berat, dan sedih. "Cassel sedih," ucap Cassel cemberut. "Raccel juga. Sudah tidak punya teman main, tidak punya orang yang suka belain Raccel," ujar anak perempuan itu mencebikkan bibirnya. Di samping mereka, berdiri Dalena yang masih sibuk berpikir kenapa Lizi tiba-tiba berhenti bekerja seperti ini. Namun sebagai seorang Ibu, Dalena lebih mengutamakan anak-anaknya untuk tidak sedih, apalagi menikah mungkin juga sudah menjadi pilihan Lizi, apalagi gadis itu juga sudah dewasa. "Tidak papa Sayang, kan masih ada Mami," ujar Dalena pada mereka berdua. "Tapi kan Mami capek ngurus Raccel, kan Raccel nakal," ujar Cassel. Mendengar hal itu, lantas Raccel langsung menoleh d
"Daddy, katanya mau jalan-jalan? Raccel ikut..." Suara Raccel mengiringi tiap langkah Damien. Begitupun dengan Cassel, namun hanya saja anak laki-laki Damien itu tidak bersuara. Si kembar menagih janji Damien yang katanya siang ini akan mengajak si kembar jalan-jalan, dan dua anaknya itu pun sudah amat antusias menantikannya. "Jadi apa tidak sih, Pi?" tanya Cassel dengan bibir mengerucut menatap Damien. "Papi masih sibuk, kembar. Siang ini Papi mau pergi," jawab Damien masuk ke dalam ruangan kerjanya. "Papi tapi kan sudah janji sama kembar!" seru Cassel menatap kesal Damien. "Daddy nakal! Daddy masa lupa!" pekik Raccel berkacak pinggang. Damien masih sibuk dengan beberapa berkas yang ia rapikan di atas meja saat ini. Mendengar suara keributan anak-anaknya, Dalena lantas masuk ke dalam ruangan itu dan menatap suaminya yang dikerumuni oleh dua buah hatinya. "Sayang, apa tidak bisa diwakilkan ke Thom saja? Nanti Papa pasti juga akan mampir, kan?" Dalena merasa kasihan pada si ke
"Maaf Tuan, kondisi Nyonya benar-benar kritis. Kami harus mengambil tindakan cepat." Dokter menjelaskan pada Damien di depan ruangan operasi dengan wajah panik. "Lalu, bagaimana dok?" Damien sudah di ujung kebingungannya. "Kami hanya bisa memberi satu pilihan, menyelamatkan nyawa Ibu atau bayinya," jawab dokter itu. Mendengar hal itu, Damien tidak kuasa menahan air matanya. Namun bagaimanapun juga Dalena harus tetap hidup, Dalena harus tetap menjadi teman hidupnya selamanya. Dan bayi laki-lakinya, Damien yang sangat memimpikan anak laki-laki lagi, kini telah pupus dan sirna. "Tolong selamatkan Ibunya dok," ucap Damien dengan wajah kacau. "Selamatkan istri saya." Dokter mengangguk. "Baik Tuan, silakan ikut dengan suster untuk menandatangani surat-suratnya." Damien lantas diajak ke sebuah ruangan bersama seorang suster. Ia menandatangani sebuah berkas rumah sakit. Setelah itu ia duduk menekuk kedua lututnya dan menutup wajahnya, Damien menyembunyikan tangisnya. Andai saja ia m
Damien menemani Dalena di dalam sebuah ruangan. Satu jam yang lalu, istrinya baru saja sadar. Di sana, Dalena hanya diam dan merasakan tubuhnya seperti mati rasa setelah sehari semalam tidak sadarkan diri. Dalena sendiri juga tahu, kalau dia telah kehilangan bayinya. "Sayang, kau bisa mendengarku, kan?" Damien menggenggam satu tangan Dalena dan mengecup punggung tangannya berkali-kali. Dalena meliriknya dengan wajah pucat. "Raccel... Di mana Raccel?" tanya wanita itu pelan dan lirih. "Ada, dia dirawat di depan. Raccel tidak papa," jawab Damien tersenyum mengusap kening Dalena. Kedua mata Dalena kembali tertutup, lalu terbuka lagi. Ia mengusap perutnya lembut dan memperhatikan langit-langit ruangannya. "Bayi kita sudah tiada, Damien," ujar Dalena menatap suaminya. "Jangan marah..." "Tidak, aku tidak marah padamu. Tidak, Sayang." Damien mengecup kening dan kedua pipi Dalena dengan penuh kasih sayang. Ia mengelus pipi putih Dalena. "Terima kasih kau sudah bertahan, Sayang. Terim
Kondisi Raccel sudah membaik, meskipun dokter mengatakan pada Lora kalau Raccel akan sering mengalami pusing. Dan lebih baiknya kalau Raccel rutin mengecekkan kondisi kesehatannya. Lora pagi ini membawa Raccel pulang, setelah berhari-hari dirawat di rumah sakit. Bahkan Kelvan juga sibuk mencari rumah di sana, dia ingin tinggal di sana sampai Dalena sembuh dan ia bersama Lora bisa menjaga Cassel dan juga Raccel. "Semoga kau cepat sembuh ya nak," bisik Kelvan mengecup pucuk kepala Raccel. Cucu perempuannya itu tertidur dalam gendongan Lora. Mereka berdua baru saja sampai di rumah, dan Lora membaringkan tubuh kecil Raccel di atas ranjang kecil di dalam ruangan di depan sebuah televisi besar. Lora menutup pagar matras tebal yang menutupi sekeliling kasur. Kedua matanya masih sembab setelah semalam menangisi Raccel. "Cassel kau antarkan sekolah kan, Pa?" tanya Lora. "Iya Ma, aku juga sudah meminta izin pada guru sekolah Raccel." Seketika Lora duduk di atas alas lantai d
Sejak pagi hingga sore hari, di kediaman Keluarga Escalante sangat sibuk. Mereka menyiapkan pesta keluarga untuk malam ini. Hingga siang berganti malam, rumah megah berlantai dua itu nampak dihiasi dengan meriah lampu-lampu di luar rumah, maupun di dalam rumah. Dalena tersenyum melihat anak-anaknya berkumpul bersama. "Baru kali ini acara akhir tahun menjadi sangat meriah, iya kan, Sayang?" Dalena menoleh pada sang suami yang berdiri di sampingnya."Iya. Mungkin itu semua karena kita bisa melihat anak-anak kita, menantu kita, cucu kita berkumpul bersama. Sangat membahagiakan, Sayang." Damien merangkul pundak Dalena memperhatikan pemandangan ruangan di dalam rumah yang sudah dihias dengan indah oleh Cassel dan Nicholas sejak siang tadi. Sampai tiba-tiba saja, Elsa dan Gissele muncul dari arah lantai dua. Di sana nampak Gissele cemberut dan bersedekap dengan wajah kesalnya. "Ada apa, Sayang? Sini..." Damien melambaikan tangannya pada Gissele. Dalena juga ikut melambaikan tangannya
Salju turun cukup tebal kemarin, dan siang ini Cassel mengajak anak istrinya untuk pergi membelikan beberapa makanan, dan juga hadiah. Mereka akan menghabiskan beberapa hari di musim dingin bersama dengan keluarga Cassel. Mereka bertiga datang ke sebuah pusat perbelanjaan. Di sana, Gissele sibuk memilih mainan, camilan, dan hiasan-hiasan yang menarik perhatiannya. "Sayang, jangan mengambil gantungan banyak-banyak, nanti mau ditaruh di mana lagi?" Elsa merebut beberapa boneka gantung yang Gissele ambil. "Gissele mau itu, Ma!" seru bocah itu menunjuk ke sebuah lonceng-lonceng kecil. "Astaga ... untuk apa, Sayang?" Elsa mengusap wajahnya. "Sana, Gissele sama Papa saja. Minta gendong Papa." Anak itu cemberut. Kalau sudah bersama Papanya, dia tidak akan diturunkan dari stroller. Namun, meskipun dengan wajah protes, Gissele pun patuh dengan Elsa dan anak itu mendekati Cassel, meminta gendong dan meminta didudukkan di atas stroller miliknya. "Sudah ... Gissele duduk di sana saja, se
"Mommy dan Daddy ingin kalian menginap di sini. Kapan kalian bisa? Daddy ingin membuat party bersama kalian juga..." Suara di balik panggilan itu adalah suara Dalena yang kini bertanya pada Elsa dan Cassel. Setelah hampir tiga mingguan Cassel dan Elsa tidak datang ke kediaman orang tuanya karena sibuk. "Mungkin besok malam kita akan ke sana Mom, besok kan sudah mulai libur akhir tahun," jawab Cassel tersenyum."Iya. Janji ya, Nak ... Mommy sudah sangat kangen dengan Cucu cantik Mommy," ujar wanita itu. Cassel beranjak dari duduknya, laki-laki itu melangkah masuk ke dalam kamar. Dia menunjukkan kamera ponselnya ke arah Gissele yang kini tengah mengacau pekerjaan Elsa. Karena Elsa mempunyai banyak pesanan hingga menyentuh hampir seribu bouquet selama musim dingin ini, dia pun membawa beberapa bunga dan membentuknya di rumah. "Sayang, dicari Oma, katanya Oma kangen," ujar Cassel menyerahkan ponselnya pada Gissele.Anak cantik dengan rambut pirang cerah itu langsung melebarkan kedua
Pagi setelah menginap di tempat orang tua Cassel, esok harinya Elsa nampak sibuk di rumah. Gadis itu kini tampak bergelut dengan beberapa pekerjaan rumah, termasuk membuat banyak kue yang akan ia antarkan ke panti asuhan seperti biasa. "Mama buat kue banyak sekali? Mau dibawa ke panti, ya?" tanya Gissele yang kini membantu Mamanya memasukkan beberapa kue dalam sebuah box. "Iya Sayang. Tapi Gissele tidak usah ikut, ya ... Gissele di rumah saja dengan Tante Raccel dan Oma," ujar Elsa menatap putrinya. Dan dengan patuh Raccel menyetujui hal itu. Bukan tanpa alasan Raccel melarang putri kecilnya untuk ikut, melainkan sejak awal, pengurus panti meminta Elsa untuk tidak sering-sering lagi membawa Gissele ke panti, mereka takut Gissele ingat masa dulu dan tidak mau pulang lagi ke rumah. Anak perempuan itu mengangguk patuh, namun dia cemberut, seolah-olah dia memang tidak setuju dengan apa yang Mamanya pinta padanya. "Mama, hari ini Gissele mau pergi beli sepatu baru kata Papa," ujar an
Setelah kondisi Elsa kembali sehat, Cassel pun memutuskan untuk mengajak istrinya pergi jalan-jalan bersamanya dan putri mereka.Setelah puas menemani Gissele bermain di taman dan game zone, mereka bertiga kini pergi ke rumah orang tua Cassel. Kedatangan mereka disambut dengan sangat hangat, terlebih lagi di sana ada Raccel dan anak kembarnya. "Wahh, Cucu Oma akhirnya ke sini juga!" seru Dalena mengendong Gissele dan mengecup pipi gembul anak itu. "Gissele...!" Suara Raccel membuat Gissele menoleh, anak perempuan dengan dress merah muda itu langsung berlari ke arah Raccel di ruang tengah. Sementara Elsa, gadis itu meletakkan paper bag berisi makanan di atas meja, dan Cassel juga berjalan ke dapur mengambil minuman dingin. "Raccel di sini sejak kapan, Mom? Nicho ke mana?" tanya Cassel menatap sang Mama. "Nicholas sedang ada urusan kantor dengan Daddy, mereka ke luar kota, Sayang. Raccel memang sekarang Mommy minta untuk pindah ke sini, merawat Lovia dan Livia sendirian itu sangat
"Dokter Cassel, apakah ada jadwal yang lain lagi hari ini?" Cassel menoleh ke belakang saat rekannya bertanya, begitu Cassel keluar dari ruangan operasi. Cassel menggelengkan kepalanya. "Tidak dok. Aku akan pulang cepat hari ini karena istriku sedang sakit," jawab Cassel sembari tersenyum. "Oh begitu, baiklah..." Tanpa menjawab apapun lagi, Cassel segera bergegas keluar dari dalam ruangan itu dan ia berjalan ke arah ruangannya sendiri.Laki-laki dengan jas putih itu membuka ruangan pribadinya. Di sana, Cassel langsung meraih ponsel miliknya dan ia melihat apakah dirinya mendapatkan pesan dari Elsa atau tidak?Cassel menghela napasnya panjang dan tersenyum. Baru saja dia ingin melihat pesan, Elsa sudah memberikan kabar lebih dulu padanya."Hemm, tumben sekali dia memintaku membawakan makanan? Biasanya juga selalu menolak," gumam Cassel. Segera Cassel menghubungi Elsa. "Halo Sayang, kau ingin menitip makanan apa, hem?" tanya laki-laki itu. "Bukan aku. Tapi Gissele, dia ingin mela
Tak biasanya Gissele bangun saat hari masih petang. Anak kecil perempuan dengan rambut cokelat terang itu, sudah bermain di karpet tebal di bawah ranjang. Ocehannya yang sedang asik mengajak bonekanya berbincang itu membuat Cassel terbangun dari tidurnya tiba-tiba. Cassel yang memeluk Elsa pun sontak melepaskannya dan ia menoleh ke samping. "Loh, Gissele!" pekiknya lirih. "Papa ... Gissele di sini, Pa!" seru anak perempuan itu mengacungkan tangannya. Cassel menyergah napasnya pelan mengetahui putri kecilnya berada di bawah sana. Segera Cassel menyibak selimutnya dan berjalan mendekati Gissele yang duduk memegang mainannya. "Sayang, kenapa di sini? Ini masih petang, Gissele tidak mengantuk, hem?" tanya Cassel mengusap pucuk kepala putri kecilnya. Anak itu hanya diam dan menggelengkan kepalanya. Sebelum akhirnya Gissele merangkak mengambil botol susu miliknya dan menyerahkan pada Cassel."Apa Sayang?" tanya Cassel menatap sang putri."Buatkan susu, Pa. Gissele mau minum susu," u
Elsa dan Cassel menuhi permintaan Luna untuk datang ke sebuah rumah makan mewah di sebuah hotel berbintang malam ini. Tentunya Elsa membawa Gissele yang kini tidak mau berjalan kaki, setelah punya stroller baru, dia ingin memamerkan stroller miliknya pada semua orang. Termasuk pada Nenek dan Kakeknya.Mereka bertiga pun kini baru saja masuk ke dalam restoran tersebut. "Emmm ... di mana, Ma?" tanya Gissele menoleh ke kanan dan ke kiri dalam kereta kecilnya. "Gissele Sayang!" pekik Luna melambaikan tangannya ke arah Elsa dan Cassel. Mereka pun menoleh. "Oh, ternyata di sana!" seru Elsa terkekeh.Segera Cassel mendorong stroller milik Gissele dan mereka berjalan mendekati meja di mana kedua orang tua Elsa berada. Luna dan suaminya pun berada di sana."Ya ampun, Cucu Nenek lucu sekali," seru Vania mengangkat tubuh mungil Gissele dari atas stroller."Naik kereta baru, Sayang? Punya kereta warnanya merah muda, bagus sekali..." Teddy ikut gembira dengan kedatangan Gissele. Elsa bersala
Elsa mengantarkan makan siang yang ia siapkan untuk Cassel siang ini. Bersama dengan Gissele, mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Semua rekan-rekan Cassel menyapa Elsa dengan ramahnya, karena mereka semua tahu siapa Elsa sebenarnya, yang tak lain adalah istri dari calon direktur rumah sakit. "Selamat siang Nyonya Elsa," sapa salah satu rekan kerja suaminya, dia adalah Dokter Agnes. "Selamat siang, Dokter Agnes ... emm, apa suami saya masih ada jadwal operasi?" tanya Elsa bertanya pada wanita si depannya itu. "Oh, sepertinya sudah selesai. Saya melihat beliau tadi berada di ruangannya," jawab Agnes. "Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu..." "Iya Nyonya, silakan..."Elsa pun bergegas kembali mendorong stroller di mana Gissele duduk di dalam tempat itu sambil meminum susunya di dalam botol. Mereka berdua berjalan menuju ke arah ruangan kerja Cassel. Di sana, Elsa mengetuk pintu ruangan tersebut. Pintu itu tidak sepenuhnya ditutup. Hingga Cassel yang sedang beris