Keesokan harinya, Raccel tidak mau pulang ke rumahnya. Anak itu ikut dengan Thom dan semalam pun dia tidur di paviliun dengan Lizi yang diminta oleh Thom untuk menemani Raccel. Pagi ini Raccel akan sekolah, anak itu sudah diurus oleh Lizi lebih dulu. Raccel mengekori Lizi dan dia kini duduk di teras belakang membawa sepiring makanan. Dalena merasa sedih, sehari semalam dia tidak melihat Raccel di rumah. Bahkan Damien juga mengabaikan putri kecilnya. "Sayang, kenapa sarapan di sini? Ayo sarapan di dalam sama Mommy dan Kakak," bujuk Dalena pada Raccel. Anak itu menggelengkan kepalanya. "Tidak mau, Daddy marah-marah terus. Raccel tidak mau tinggal di rumah, Raccel mau ikut Paman Thom." Hati Dalena merasa sakit, ia mengusap pipi Raccel dan Dalena ingin menangis. "Sayang, Mommy tidak papa kok. Daddy tidak marah sama Raccel," ujar Dalena berkaca-kaca. "Mommy kangen sama Raccel, Sayang." "Mommy sudah punya Cassel sama Adik," jawab Raccel memakan buah-buahan di piringnya. "Tapi Mommy
Setelah dua minggu lebih berlalu, Dalena mati-matian membujuk Raccel untuk kembali pulang ke rumah dan ikut dengan Thom. Anak itu meskipun merasa terpaksa namun akhirnya dia kembali luluh. Mereka berdua kini tengah rebahan di dalam kamar milik Raccel. "Mommy, nanti malam Raccel mau bobo sama Mommy, boleh?" tanya anak itu sembari satu tangannya menangkup kedua pipi Dalena. "Boleh dong Sayang, nanti mau tidur di kamarnya Mommy, atau di sini?" tawar Dalena mengelus pucuk kepala putri cantiknya. "Di sini saja, nanti kalau di kamar Mommy, Daddy marah sama Raccel," jawab anak itu cemberut. Dalena tersenyum manis mengecup pipi gembil Raccel. Sampai akhirnya mereka berdua mendengar suara heboh Cassel dan Damien di luar. Terdengar mereka sangat bahagia saat ini, dan Dalena pun segera beranjak dari atas tempat tidurnya untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka saat ini. "Ayo ikut, Sayang," ajak Dalena mengulurkan tangannya pada Raccel. "Oke Mom!" Anak itu meraih tangan Dal
Damien duduk diam di ruangan kerjanya, laki-laki itu kini sering diabaikan oleh istri dan juga putrinya. Ia merasa sedih, namun juga Damien tidak mengerti kenapa dia bisa bersikap berat sebelah pada anaknya. Saat Damien mengusap wajahnya dan merasakan kejenuhan yang dia rasakan, sampai tiba-tiba terdengar suara sesuatu yang jatuh di dapur. "Hemm? Suara apa?" gumam Damien beranjak cepat dari duduknya saat itu juga. Laki-laki itu berjalan keluar dan melihat Raccel yang berada di dapur. Anak itu menumpahkan kotak susu cokelatnya di lantai, hingga sebagian berserakan. "Sayang, sedang apa?" tanya Damien mendekatinya. "Mau minum susu cokelat, tapi kotaknya tinggi, terus Raccel naik sini, jatuh deh..." Anak itu berusaha mengumpulkan bubuk susu cokelat yang berserakan di lantai. "Astaga Sayang, tidak usah dikumpulkan. Ayo cuci tangan, besok Daddy belikan lagi." Damien mengangkat tubuh kecil Raccel dan mendudukkannya di atas meja marmer. Raccel menggaruk kepalanya dan rambutnya yang ber
Pagi ini Raccel dan Cassel berangkat ke sekolah bersama. Diantarkan oleh Damien yang akan menemani Dalena ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungannya Minggu ini. Si Cassel tidak drama sama sekali, anak laki-laki itu sudah asik berlari ke arah sekolahnya. Tapi tidak dengan Raccel yang masih berdiri di depan gerbang memegangi rok panjang Mamanya. "Mom, Raccel mau ikut Mommy sama Daddy saja. Tidak usah sekolah, Raccel sudah pintar!" seru akan itu beralih menatap Dalena. "Masa sudah pintar sih? Kok Daddy tidak yakin?" Damien menekuk kedua lututnya dan mengusap pipi gembil Raccel. Anak perempuannya itu tambah manyun dan menunjukkan ekspresi ingin menangis. "Ikut ya Dad, nanti ke game zone," pintanya. "Kalau pulang sekolah nanti, baru boleh ke game zone. Sekarang Mommy sama Daddy mau ke rumah sakit dulu, Sayang. Katanya Raccel mau tahu, adiknya laki-laki atau perempuan." Dalena merayu putri kecilnya. "Iya tapi Raccel ikut!" pekiknya menghentakkan kaki. "Kalau ikut pokoknya nanti
Dua Bulan Kemudian...Kegalauan pagi ini tengah dirasakan oleh Dalena. Pasalnya Lizi tidak bisa menjaga si kembar lagi, entah kenapa dan tiba-tiba saja gadis itu menghentikan pekerjaannya dan berkata dia akan menikah. Gadis itu baru saja pulang bersama seseorang yang menjemputnya. Dalena bersama si kembar kini galau berat, dan sedih. "Cassel sedih," ucap Cassel cemberut. "Raccel juga. Sudah tidak punya teman main, tidak punya orang yang suka belain Raccel," ujar anak perempuan itu mencebikkan bibirnya. Di samping mereka, berdiri Dalena yang masih sibuk berpikir kenapa Lizi tiba-tiba berhenti bekerja seperti ini. Namun sebagai seorang Ibu, Dalena lebih mengutamakan anak-anaknya untuk tidak sedih, apalagi menikah mungkin juga sudah menjadi pilihan Lizi, apalagi gadis itu juga sudah dewasa. "Tidak papa Sayang, kan masih ada Mami," ujar Dalena pada mereka berdua. "Tapi kan Mami capek ngurus Raccel, kan Raccel nakal," ujar Cassel. Mendengar hal itu, lantas Raccel langsung menoleh d
"Daddy, katanya mau jalan-jalan? Raccel ikut..." Suara Raccel mengiringi tiap langkah Damien. Begitupun dengan Cassel, namun hanya saja anak laki-laki Damien itu tidak bersuara. Si kembar menagih janji Damien yang katanya siang ini akan mengajak si kembar jalan-jalan, dan dua anaknya itu pun sudah amat antusias menantikannya. "Jadi apa tidak sih, Pi?" tanya Cassel dengan bibir mengerucut menatap Damien. "Papi masih sibuk, kembar. Siang ini Papi mau pergi," jawab Damien masuk ke dalam ruangan kerjanya. "Papi tapi kan sudah janji sama kembar!" seru Cassel menatap kesal Damien. "Daddy nakal! Daddy masa lupa!" pekik Raccel berkacak pinggang. Damien masih sibuk dengan beberapa berkas yang ia rapikan di atas meja saat ini. Mendengar suara keributan anak-anaknya, Dalena lantas masuk ke dalam ruangan itu dan menatap suaminya yang dikerumuni oleh dua buah hatinya. "Sayang, apa tidak bisa diwakilkan ke Thom saja? Nanti Papa pasti juga akan mampir, kan?" Dalena merasa kasihan pada si ke
"Maaf Tuan, kondisi Nyonya benar-benar kritis. Kami harus mengambil tindakan cepat." Dokter menjelaskan pada Damien di depan ruangan operasi dengan wajah panik. "Lalu, bagaimana dok?" Damien sudah di ujung kebingungannya. "Kami hanya bisa memberi satu pilihan, menyelamatkan nyawa Ibu atau bayinya," jawab dokter itu. Mendengar hal itu, Damien tidak kuasa menahan air matanya. Namun bagaimanapun juga Dalena harus tetap hidup, Dalena harus tetap menjadi teman hidupnya selamanya. Dan bayi laki-lakinya, Damien yang sangat memimpikan anak laki-laki lagi, kini telah pupus dan sirna. "Tolong selamatkan Ibunya dok," ucap Damien dengan wajah kacau. "Selamatkan istri saya." Dokter mengangguk. "Baik Tuan, silakan ikut dengan suster untuk menandatangani surat-suratnya." Damien lantas diajak ke sebuah ruangan bersama seorang suster. Ia menandatangani sebuah berkas rumah sakit. Setelah itu ia duduk menekuk kedua lututnya dan menutup wajahnya, Damien menyembunyikan tangisnya. Andai saja ia m
Damien menemani Dalena di dalam sebuah ruangan. Satu jam yang lalu, istrinya baru saja sadar. Di sana, Dalena hanya diam dan merasakan tubuhnya seperti mati rasa setelah sehari semalam tidak sadarkan diri. Dalena sendiri juga tahu, kalau dia telah kehilangan bayinya. "Sayang, kau bisa mendengarku, kan?" Damien menggenggam satu tangan Dalena dan mengecup punggung tangannya berkali-kali. Dalena meliriknya dengan wajah pucat. "Raccel... Di mana Raccel?" tanya wanita itu pelan dan lirih. "Ada, dia dirawat di depan. Raccel tidak papa," jawab Damien tersenyum mengusap kening Dalena. Kedua mata Dalena kembali tertutup, lalu terbuka lagi. Ia mengusap perutnya lembut dan memperhatikan langit-langit ruangannya. "Bayi kita sudah tiada, Damien," ujar Dalena menatap suaminya. "Jangan marah..." "Tidak, aku tidak marah padamu. Tidak, Sayang." Damien mengecup kening dan kedua pipi Dalena dengan penuh kasih sayang. Ia mengelus pipi putih Dalena. "Terima kasih kau sudah bertahan, Sayang. Terim