Julia mengobati luka yang didapatkan oleh Haris. Haris sepertinya tak lagi memiliki muka untuk muncul di hadapan Julia hingga ia terus menghindari kontak mata dengan wanita itu. Julia lantas menarik dagu Haris, berniat mengobati sisi yang disembunyikan oleh Haris dan hal itu membuat pandangan mereka sempat beradu.
"Syukurlah kalau kamu masih punya rasa malu," ujar Julia tak acuh.Haris menahan tangan Julia. "Kamu boleh pergi.""Semua orang udah tahu, apa yang akan kamu lakukan sekarang?"Haris melepaskan tangan Julia dan berpaling, mengambil kaca matanya dan mengenakannya kembali. Ia menyahut, "itu bukan urusan kamu.""Kamu masih nggak tahu atau hanya pura-pura?"Haris terdiam memandang Julia."Aku khawatir," ujar Julia."Aku bukan orang yang pantas untuk kamu khawatirkan."Sebuah panggilan masuk ke ponsel Haris, terlihat sang ayah memanggil. Ia pun bangkit dan berbicara pada Julia untuk kali terakhir."Kita hanya perlu menjadi orang asing waktu bertemu."Haris kemudian meninggalkan Julia yang memandangnya dengan tatapan prihatin. Ada sedikit penyesalan di sana yang entah ditujukan untuk apa. Dari departemennya, Haris bergegas menuju ruangan direktur di mana Brata Dananjaya—sang ayah tengah menunggunya.Haris mengetuk pintu sebelum masuk. Tanpa rasa malu ia berjalan menghampiri Brata yang berdiri membelakangi pintu. Haris kemudian menghentikan langkahnya di dekat meja tamu."Aku udah ada di sini, Pa," ujar Haris.Brata kemudian berbalik dan menghampiri putranya. Satu pukulan lantas mendarat pada wajah Haris hingga membuat wajah Haris berpaling."Masih berani kamu datang kemari setelah apa yang kamu perbuat!" sentak Brata, terlihat sangat marah karena putra kebanggaannya telah mempermalukan dirinya."Berselingkuh saja sudah menjadi aib, dan sekarang kamu justru berselingkuh dengan wanita yang sudah berkeluarga. Di mana otak kamu, Haris! Apa yang kurang dari istri kamu sehingga kamu memilih jalan sesat ini dan mempermalukan keluarga besar kamu?!"Mengambil napas dalam, Haris kemudian memandang sang ayah. "Nggak ada hal yang ingin aku jelaskan ke Papa.""Kamu!" Brata kembali menampar wajah Haris bersamaan dengan pintu yang terbuka dan Karina mematung di sana.Brata menghela napas frustasi dan berpaling. Ia kemudian menegur Karina. "Kamu sudah datang? Papa mau bicara dengan kalian."Karina menutup pintu dan berjalan mendekat. Tanpa membuat kontak mata dengan Haris, Karina duduk di sofa panjang tepat di samping Haris berdiri.Brata kemudian duduk di single sofa, berusaha untuk mengendalikan kemarahannya dan menegur Haris dengan pembawaan yang lebih tenang."Duduk kamu."Haris kemudian mengambil tempat duduk di samping Karina. Tampak Karina yang tak lagi menunjukkan perasaannya terhadap pria yang sudah mencampakkan dengan cara yang memalukan.Brata kembali menghela napas sebelum membuka pembicaraan. "Papa tidak mau basa-basi. Karina, apa kamu sudah tahu apa yang dilakukan suami kamu?"Karina menatap ragu, hal apakah yang tengah dibicarakan oleh ayah mertuanya. Ia bahkan tidak tahu jika skandal besar telah terjadi di tempat itu. Hanya saja saat ia datang, pandangan orang-orang seperti tengah mengasihaninya."Maksud Papa apa?""Dia udah tahu semuanya, Pa," sahut Haris.Karina memandang Haris dengan tatapan terkejut. "Tentang perselingkuhan itu?" batinnya tak percaya."Jadi kamu sudah tahu jika suami kamu ini berselingkuh dengan wanita yang sudah berkeluarga?" tanya Brata yang kembali menyita perhatian Karina."Pa—""Semua orang di rumah sakit ini sudah tahu bahwa suami kamu menjalin hubungan dengan wanita hamil yang sudah berkeluarga. Kamu tidak perlu menutupi apapun lagi. Semua sudah tahu betapa gilanya suami kamu ini. Benar-benar memalukan."Karina bingung dengan keadaan ini. Kenapa hubungan yang bertahun-tahun dirahasiakan oleh suaminya tiba-tiba menjadi konsumsi publik tepat setelah ia mengetahui perselingkuhan mereka. Jika seperti ini, dia lah orang yang akan didakwa telah menyebarkan berita perselingkuhan mereka."Kamu sudah meminta maaf pada istri kamu, Haris?"Haris bungkam dan sebagai gantinya Karina yang berbicara."Mas Haris udah meminta maaf, Pa. Entah itu tulus atau enggak. Tapi aku rasa semua udah percuma sekarang.""Apa maksud kamu, Karin?""Aku akan menggugat cerai Mas Haris."Batin Brata tersentak, tentu saja berita itu jauh lebih mengejutkan dibandingkan dengan kabar perselingkuhan putranya."Karin, apa maksud kamu? Kamu jangan bercanda. Kamu mau bercerai?"Karina mengangguk yakin dan sekilas memandang Haris. "Mas Haris juga nggak keberatan dengan hal itu, Pa. Aku menghargai keputusan Mas Haris yang tetap ingin melanjutkan hubungannya dengan Lisa. Aku nggak mau menjadi penghalang untuk hubungan mereka lagi.""Kamu cuma perlu pergi tanpa omong kosong ini," gumam Haris yang kemudian bertemu dengan tatapan marah Karina."Omong kosong macam apa ini!" Brata murka dan langsung berdiri menunjukkan kemarahannya."Siapa yang mengizinkan kalian bercerai?!""Rumah tangga ini kami berdua yang menjalani, Pa. Dan ini udah menjadi keputusan bersama. Mas Haris mengizinkan aku untuk mengajukan gugatan.""Kamu tahu apa resikonya jika kamu bercerai dengan Haris? Kamu tidak akan mendapatkan apapun. Jangan lupa dengan hal itu, Karin.""Aku nggak butuh uang sepeserpun dari Mas Haris. Papa nggak perlu khawatir, aku akan angkat kaki dengan tangan kosong.""Karin, kamu jangan bodoh. Perempuan yang sudah membuat suami kamu tergila-gila itu sudah berkeluarga. Dia juga akan dikeluarkan dari rumah sakit ini. Kamu tidak perlu khawatir, hubungan mereka sudah berakhir. Jangan mengorbankan rumah tangga kamu!""Ini bukan tentang siapa yang akan pergi dan tetap tinggal, Pa. Ini tentang kepercayaan yang udah nggak bisa lagi aku berikan ke anak Papa. Bahkan saat aku bilang kayak gini, anak Papa nggak mengatakan apapun. Itu artinya dia memang nggak mau berusaha untuk memperjuangkan rumah tangga ini.""Haris! Kamu dengar ucapan istri kamu!"Karina beranjak berdiri. Hatinya akan semakin sakit jika ia berlama-lama di sana dan berdebat dengan ayah mertuanya di saat Haris tak melakukan apapun."Aku pikir semuanya udah jelas, Pa. Baik aku mau pun Mas Haris menolak untuk memperjuangkan rumah tangga ini. Terima kasih karena udah menerima aku sebagai menantu di keluarga Papa selama ini. Sekarang waktunya aku pamit. Dan juga... aku minta maaf. Meski ini nggak sopan ... aku memulangkan anak Papa sekarang. Tolong terima Mas Haris kembali dalam keadaan seperti sedia kala."Haris mengarahkan pandangannya pada Karina. Bukan ia yang memulangkan istrinya, tapi justru dia lah yang dipulangkan oleh istrinya. Dalam keadaan ini, bisakah ia tetap disebut sebagai laki-laki. Seorang istri yang memulangkan suaminya, itu terdengar seperti pihak perempuan yang ingin menginjak-injak harga diri laki-laki.Setelah mengatakan kalimat yang sebenarnya sangat kurang ajar itu, Karina melenggang pergi dengan hati yang sudah tertutup. Tak peduli meski setelah ini ia akan menangis lagi. Tapi setidaknya ia merasa sedikit lega karena perselingkuhan suaminya terbongkar tanpa campur tangan darinya.Brata kembali terduduk dengan wajah yang terlihat sangat terkejut. Ia tersenyum tak percaya. "Menantu perempuanku memulangkan anak laki-lakiku. Puas kamu menghina papa kamu seperti ini, Haris!"Haris tak menjawab, ia pun beranjak berdiri."Papa menolak perceraian kalian!" tandas Brata.Haris menyahut dengan tenang. "Haikal udah baik-baik aja sekarang, udah waktunya Papa biarin Karina pergi.""Jaga bicara kamu! Papa tidak mau tahu. Tidak akan ada perceraian! Tinggalkan perempuan itu dan kalau perlu, kamu berlutut di hadapan Karina!""Tanah kuburan papa Karina udah kering, Papa bisa berhenti sekarang.""Apa kamu bilang?"Haris mengabaikan Brata dan melenggang pergi."Haris! Jangan kurang ajar kamu! Ingat apa yang katakan. Tidak ada perceraian!"Brak!!Karina kembali ke hotel tempat ia menginap setelah mengurus berkas perceraiannya. Berdiri menghadap jendela, Karina memandang kota dengan hati yang kosong. Dalam sekejap, kebahagiaan yang ia anggap sempurna langsung hancur tak bersisa. Hingga detik ini Karina masih belum bisa berkata jujur pada sang ibu. Hatinya belum siap. Karena ia pasti akan menangis jika sampai ibunya tahu tentang rumah tangganya yang hancur. Dalam situasi ini, Karina tak ingin menangis sendirian lagi. Bel pintu berbunyi. Karina bergegas membuka pintu, berpikir bahwa pesanannya beberapa waktu yang lalu sudah datang. Namun, ketika pintu terbuka, sebuah kejutan kecil datang. Lisa tiba-tiba masuk dan langsung menampar wajah Karina. "Kurang ajar kamu! Begini cara kamu balas dendam?!" hardik Lisa. Karina menghela napas pelan. Sesaat kemudian ia menampar balik wajah Lisa. "akh!" pekik Lisa. "Harusnya aku yang datang ke tempat kamu, bukan kamu yang datang ke sini!" Karina balas menghardik. "Karina!" Lisa menggeram.
Pintu kamar terbuka dari luar."Sayang," tegur Haris. Tak seperti pasangan lainnya yang menegur dengan suara yang manis, Haris menegur dengan wajah yang kaku dan sikap yang terkesan dingin.Karina langsung menoleh."Kita berangkat sekarang," ujar Haris kembali. Tapi bukannya langsung pergi, Haris justru menunggu Karina."Mas, aku cantik nggak?" tanya Karina, lengkap dengan senyum lebarnya ketika ia sudah berada di hadapan Haris.Tak langsung menjawab, Haris mengangkat tangan kirinya menyentuh wajah Karina. Memberikan usapan kecil dan berkata, "cantik."Seulas senyum tipis itu kembali di wajah Haris ketika ia menarik kembali tangannya. Dan dengan pujian kecil itu, senyuman lebar kembali menghiasi wajah Karina. Sudah tujuh tahun bersama, suaminya itu tetap irit berbicara. Dan bahkan hampir tidak pernah merayunya."Nggak ada yang ketinggalan?"Karina menggeleng. "Kita berangkat sekarang."Karina memberikan anggukan dan mereka pun bergegas meninggalkan rumah. Malam itu Haris mengajak Kar
Pesta berakhir, Haris dan Karina sudah kembali ke rumah dan bersiap untuk beristirahat. Keluar dari kamar mandi, Haris langsung menuju ruang kerjanya. Ia kembali mengenakan kaca matanya untuk mengecek sesuatu di layar komputernya.Sesaat kemudian Karina menyusul. Berdiri di ambang pintu, ia sejenak memperhatikan suaminya sebelum memutuskan untuk mendekatinya. Tak ingin mengganggu pekerjaan Haris, Karina berdiri di samping kursi yang diduduki oleh Haris dan memastikan apa yang saat ini dilakukan oleh suaminya."Kamu tidur aja dulu, sebentar lagi aku selesai," ujar Haris tanpa membagi perhatiannya dari layar komputer di hadapannya.Bukannya menjawab, Karina justru bergelayut pada sandaran sofa. Tak ada kalimat yang terucap, ia hanya menunggu. Hanya dengan cara itu Haris akan menjadi lebih peka dengan keadaan. Dan hal itu terbukti ampuh.Haris meraih tangan Karina, membawa Karina duduk di atas pangkuannya dengan posisi tubuh menghadap ke samping. Karina pun refleks mengalungkan tangann
Siang itu, saat jam makan siang tiba. Haris kembali ke ruangan Divisi Bedah Umum setelah melakukan pemeriksaan pada beberapa pasiennya. Ia hendak memeriksa ponselnya, tapi urung ketika seseorang membuka pintu ruangan dan menegurnya. "Kamu udah selesai?" Haris menoleh dan berbalik, mendapati Lisa yang berjalan ke tempatnya. "Udah makan siang?" tegur Lisa kembali. "Belum," sahut Haris tanpa menunjukkan ekspresi lain di wajah datarnya. "Kamu terlalu ceroboh kemarin," celetuk Lisa. "Tentang apa?" "Kamu dan Julia. Meskipun kalian akrab, kalian nggak perlu menunjukkan itu di depan istri kamu. Itu namanya bunuh diri." Haris tak memberikan respon. Lisa kemudian melangkah lebih dekat dan berdiri tepat di hadapan Haris. Perhatiannya langsung tertuju pada bagian leher Haris yang sebagian tertutupi oleh kerah kemeja. Ia mengangkat tangannya, menyingkap salah satu sisi kerah kemeja dan melihat apa yang kini menghiasi leher pria itu. Lisa tiba-tiba memberikan tatapan tajam, sedangkan Haris
Malam tiba, klinik kecantikan milik ibu Karina sudah tutup, tapi hingga detik ini Karina memutuskan untuk menetap di sana. Seharian ini ia terus menyiksa batinnya tanpa bisa membagikan apa yang ia lihat sebelumnya kepada sang ibu. Karina tidak ingin menyeret siapapun ke dalam masalahnya.Terduduk di depan meja resepsionis, Karina masih tidak bisa mempercayai apa yang kini terjadi di hidupnya. Rumah tangganya yang harmonis justru memiliki cacat yang bahkan tak ia sadari selama ini. Karina tidak menyangka, ia berpikir jika suaminya berselingkuh, maka wanita itu adalah Julia, bukannya Lisa—perempuan yang dahulu mendekatinya lebih dulu dan menawarkan hubungan baik. Wanita yang kini tengah hamil lima bulan. Itu benar-benar di luar dugaan. Di saat ia mewaspadai kehadiran wanita lain, dia justru mengabaikan orang yang menusuknya dari belakang."Kenapa harus Mbak Lisa? Kenapa bukan Julia? Kenapa aku harus kenal orang itu?" gumam Karina.Untuk kali pertama setelah ia memutuskan untuk menerima
"Ceraikan aku, atau aku yang gugat kamu."Haris terdiam, sementara air mata Karina sudah mulai berjatuhan meski wanita itu berusaha untuk tetap terlihat kuat. Pandangan Haris sempat terjatuh, menghembuskan napas dalam dengan pelan sebelum ia kembali memandang Karina dan berbicara."Silakan lakukan apa yang kamu mau."Ucapan Haris berhasil menyentak batin Karina, seperti sebuah pukulan yang meruntuhkan dinding pertahanannya. Dan ketika Haris memutuskan untuk pergi, Karina tak bisa lagi berpura-pura baik-baik saja.Berpegangan pada meja, Karina membiarkan isak tangis keluar dari mulutnya. Tanpa ada kata maaf, seakan tak pantas untuk diperjuangkan. Karina ditinggalkan begitu saja. Sebenarnya siapa yang bersalah di sana?Tubuh Karina merosot ke lantai. Tak lagi peduli tentang apapun, ia menangis dengan suara yang keras. Memukul dadanya sendiri yang terasa sesak dan menyakitkan. Hanya dengan satu kesalahan yang dilakukan oleh suaminya, pria kaku berhati dingin itu membuangnya dengan cara y
Karina kembali ke hotel tempat ia menginap setelah mengurus berkas perceraiannya. Berdiri menghadap jendela, Karina memandang kota dengan hati yang kosong. Dalam sekejap, kebahagiaan yang ia anggap sempurna langsung hancur tak bersisa. Hingga detik ini Karina masih belum bisa berkata jujur pada sang ibu. Hatinya belum siap. Karena ia pasti akan menangis jika sampai ibunya tahu tentang rumah tangganya yang hancur. Dalam situasi ini, Karina tak ingin menangis sendirian lagi. Bel pintu berbunyi. Karina bergegas membuka pintu, berpikir bahwa pesanannya beberapa waktu yang lalu sudah datang. Namun, ketika pintu terbuka, sebuah kejutan kecil datang. Lisa tiba-tiba masuk dan langsung menampar wajah Karina. "Kurang ajar kamu! Begini cara kamu balas dendam?!" hardik Lisa. Karina menghela napas pelan. Sesaat kemudian ia menampar balik wajah Lisa. "akh!" pekik Lisa. "Harusnya aku yang datang ke tempat kamu, bukan kamu yang datang ke sini!" Karina balas menghardik. "Karina!" Lisa menggeram.
Julia mengobati luka yang didapatkan oleh Haris. Haris sepertinya tak lagi memiliki muka untuk muncul di hadapan Julia hingga ia terus menghindari kontak mata dengan wanita itu. Julia lantas menarik dagu Haris, berniat mengobati sisi yang disembunyikan oleh Haris dan hal itu membuat pandangan mereka sempat beradu."Syukurlah kalau kamu masih punya rasa malu," ujar Julia tak acuh.Haris menahan tangan Julia. "Kamu boleh pergi.""Semua orang udah tahu, apa yang akan kamu lakukan sekarang?"Haris melepaskan tangan Julia dan berpaling, mengambil kaca matanya dan mengenakannya kembali. Ia menyahut, "itu bukan urusan kamu.""Kamu masih nggak tahu atau hanya pura-pura?"Haris terdiam memandang Julia."Aku khawatir," ujar Julia."Aku bukan orang yang pantas untuk kamu khawatirkan."Sebuah panggilan masuk ke ponsel Haris, terlihat sang ayah memanggil. Ia pun bangkit dan berbicara pada Julia untuk kali terakhir."Kita hanya perlu menjadi orang asing waktu bertemu."Haris kemudian meninggalkan J
"Ceraikan aku, atau aku yang gugat kamu."Haris terdiam, sementara air mata Karina sudah mulai berjatuhan meski wanita itu berusaha untuk tetap terlihat kuat. Pandangan Haris sempat terjatuh, menghembuskan napas dalam dengan pelan sebelum ia kembali memandang Karina dan berbicara."Silakan lakukan apa yang kamu mau."Ucapan Haris berhasil menyentak batin Karina, seperti sebuah pukulan yang meruntuhkan dinding pertahanannya. Dan ketika Haris memutuskan untuk pergi, Karina tak bisa lagi berpura-pura baik-baik saja.Berpegangan pada meja, Karina membiarkan isak tangis keluar dari mulutnya. Tanpa ada kata maaf, seakan tak pantas untuk diperjuangkan. Karina ditinggalkan begitu saja. Sebenarnya siapa yang bersalah di sana?Tubuh Karina merosot ke lantai. Tak lagi peduli tentang apapun, ia menangis dengan suara yang keras. Memukul dadanya sendiri yang terasa sesak dan menyakitkan. Hanya dengan satu kesalahan yang dilakukan oleh suaminya, pria kaku berhati dingin itu membuangnya dengan cara y
Malam tiba, klinik kecantikan milik ibu Karina sudah tutup, tapi hingga detik ini Karina memutuskan untuk menetap di sana. Seharian ini ia terus menyiksa batinnya tanpa bisa membagikan apa yang ia lihat sebelumnya kepada sang ibu. Karina tidak ingin menyeret siapapun ke dalam masalahnya.Terduduk di depan meja resepsionis, Karina masih tidak bisa mempercayai apa yang kini terjadi di hidupnya. Rumah tangganya yang harmonis justru memiliki cacat yang bahkan tak ia sadari selama ini. Karina tidak menyangka, ia berpikir jika suaminya berselingkuh, maka wanita itu adalah Julia, bukannya Lisa—perempuan yang dahulu mendekatinya lebih dulu dan menawarkan hubungan baik. Wanita yang kini tengah hamil lima bulan. Itu benar-benar di luar dugaan. Di saat ia mewaspadai kehadiran wanita lain, dia justru mengabaikan orang yang menusuknya dari belakang."Kenapa harus Mbak Lisa? Kenapa bukan Julia? Kenapa aku harus kenal orang itu?" gumam Karina.Untuk kali pertama setelah ia memutuskan untuk menerima
Siang itu, saat jam makan siang tiba. Haris kembali ke ruangan Divisi Bedah Umum setelah melakukan pemeriksaan pada beberapa pasiennya. Ia hendak memeriksa ponselnya, tapi urung ketika seseorang membuka pintu ruangan dan menegurnya. "Kamu udah selesai?" Haris menoleh dan berbalik, mendapati Lisa yang berjalan ke tempatnya. "Udah makan siang?" tegur Lisa kembali. "Belum," sahut Haris tanpa menunjukkan ekspresi lain di wajah datarnya. "Kamu terlalu ceroboh kemarin," celetuk Lisa. "Tentang apa?" "Kamu dan Julia. Meskipun kalian akrab, kalian nggak perlu menunjukkan itu di depan istri kamu. Itu namanya bunuh diri." Haris tak memberikan respon. Lisa kemudian melangkah lebih dekat dan berdiri tepat di hadapan Haris. Perhatiannya langsung tertuju pada bagian leher Haris yang sebagian tertutupi oleh kerah kemeja. Ia mengangkat tangannya, menyingkap salah satu sisi kerah kemeja dan melihat apa yang kini menghiasi leher pria itu. Lisa tiba-tiba memberikan tatapan tajam, sedangkan Haris
Pesta berakhir, Haris dan Karina sudah kembali ke rumah dan bersiap untuk beristirahat. Keluar dari kamar mandi, Haris langsung menuju ruang kerjanya. Ia kembali mengenakan kaca matanya untuk mengecek sesuatu di layar komputernya.Sesaat kemudian Karina menyusul. Berdiri di ambang pintu, ia sejenak memperhatikan suaminya sebelum memutuskan untuk mendekatinya. Tak ingin mengganggu pekerjaan Haris, Karina berdiri di samping kursi yang diduduki oleh Haris dan memastikan apa yang saat ini dilakukan oleh suaminya."Kamu tidur aja dulu, sebentar lagi aku selesai," ujar Haris tanpa membagi perhatiannya dari layar komputer di hadapannya.Bukannya menjawab, Karina justru bergelayut pada sandaran sofa. Tak ada kalimat yang terucap, ia hanya menunggu. Hanya dengan cara itu Haris akan menjadi lebih peka dengan keadaan. Dan hal itu terbukti ampuh.Haris meraih tangan Karina, membawa Karina duduk di atas pangkuannya dengan posisi tubuh menghadap ke samping. Karina pun refleks mengalungkan tangann
Pintu kamar terbuka dari luar."Sayang," tegur Haris. Tak seperti pasangan lainnya yang menegur dengan suara yang manis, Haris menegur dengan wajah yang kaku dan sikap yang terkesan dingin.Karina langsung menoleh."Kita berangkat sekarang," ujar Haris kembali. Tapi bukannya langsung pergi, Haris justru menunggu Karina."Mas, aku cantik nggak?" tanya Karina, lengkap dengan senyum lebarnya ketika ia sudah berada di hadapan Haris.Tak langsung menjawab, Haris mengangkat tangan kirinya menyentuh wajah Karina. Memberikan usapan kecil dan berkata, "cantik."Seulas senyum tipis itu kembali di wajah Haris ketika ia menarik kembali tangannya. Dan dengan pujian kecil itu, senyuman lebar kembali menghiasi wajah Karina. Sudah tujuh tahun bersama, suaminya itu tetap irit berbicara. Dan bahkan hampir tidak pernah merayunya."Nggak ada yang ketinggalan?"Karina menggeleng. "Kita berangkat sekarang."Karina memberikan anggukan dan mereka pun bergegas meninggalkan rumah. Malam itu Haris mengajak Kar