Siang itu, saat jam makan siang tiba. Haris kembali ke ruangan Divisi Bedah Umum setelah melakukan pemeriksaan pada beberapa pasiennya. Ia hendak memeriksa ponselnya, tapi urung ketika seseorang membuka pintu ruangan dan menegurnya.
"Kamu udah selesai?"Haris menoleh dan berbalik, mendapati Lisa yang berjalan ke tempatnya."Udah makan siang?" tegur Lisa kembali."Belum," sahut Haris tanpa menunjukkan ekspresi lain di wajah datarnya."Kamu terlalu ceroboh kemarin," celetuk Lisa."Tentang apa?""Kamu dan Julia. Meskipun kalian akrab, kalian nggak perlu menunjukkan itu di depan istri kamu. Itu namanya bunuh diri."Haris tak memberikan respon. Lisa kemudian melangkah lebih dekat dan berdiri tepat di hadapan Haris. Perhatiannya langsung tertuju pada bagian leher Haris yang sebagian tertutupi oleh kerah kemeja. Ia mengangkat tangannya, menyingkap salah satu sisi kerah kemeja dan melihat apa yang kini menghiasi leher pria itu.Lisa tiba-tiba memberikan tatapan tajam, sedangkan Haris justru memalingkan wajahnya. Terlihat tak nyaman dengan posisi mereka saat ini."Lebih baik kamu-" ucapan Haris terhenti ketika Lisa tiba-tiba menarik kerah kemejanya dan wanita itu langsung mencium lehernya dengan memberikan gigitan kecil.Tak ada penolakan yang berarti, Haris diam saja dan itu menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa dengan tindakan Lisa. Dan pada nyatanya mereka memiliki hubungan di luar perkiraan orang-orang di sekitarnya. Mereka adalah sepasang kekasih, bahkan sebelum mereka terikat pernikahan dengan pasangan masing-masing. Dulu Haris menikahi Karina di saat ia masih menjalin hubungan dengan Lisa dan saat itu Lisa sudah lebih dulu menikah. Akan tetapi mereka masih enggan untuk memutuskan hubungan di antara mereka. Mereka menjalani kehidupan rumah tangga masing-masing, tapi juga terus bersama hingga detik ini. Namun, semenjak Lisa hamil, sikap Haris mengalami perubahan. Lisa merasa bahwa sikap pria itu semakin dingin padanya.Lisa menjauhkan wajahnya dan menaruh kedua tangannya pada bahu Haris. Dia kemudian berbicara, mengungkapkan kecemburuannya. "Jangan berlebihan. Kamu tahu, aku terpaksa akrab dengan istri kamu."Lisa kemudian memeluk Haris. "Kamu tahu, aku cintanya cuma sama kamu. Mau itu Karina atau Julia, aku nggak suka. Tolong jaga perasaan aku."Haris menghela napas dan memalingkan pandangannya. Namun, kala itu netranya yang menajam menuju pada satu tempat. Di balik pintu ruangan itu, sosok familiar tampak berdiri dan melihat ke dalam ruangan. Haris menarik tangan Lisa sedikit kasar. Ia menyingkirkan wanita itu dan berjalan cepat menuju pintu.Pintu terbuka, Karina masih terpaku di sana dengan mata yang terasa memanas. Sedangkan di samping kakinya, tas miliknya tergeletak setelah terlepas dari tangannya ketika ia melihat apa yang tengah dilakukan oleh suaminya."Karina?" tegur Haris."K-kamu?" ujar Karina dengan suara yang sedikit bergetar.Lisa yang penasaran pun melongokkan kepalanya dan terperangah saat menemukan sosok Karina."Kita harus bicara," ujar Haris dengan sikap yang tenang meski baru saja ketahuan bermesraan dengan wanita lain."Kamu dan Mbak Lisa? Kalian ..." Karina tak bisa melanjutkan ucapannya. Hatinya hancur dan bahkan lebih hancur ketika ia mendapati sikap Haris yang sangat tenang seakan tak pernah melakukan kesalahan apapun."Kamu berselingkuh, Mas?" ujar Karina dengan suara yang lirih.Karena sudah terlanjur ketahuan, Lisa pun tak berniat melarikan diri. Ia menghampiri pasangan suami istri itu dan datang menengahi."Karina? Udah lama di sini?"Kedua tangan Karina terkepal kuat. Bagaimana bisa, itulah yang bisa dipikirkan oleh Karina saat ini. Wanita yang ia pikir sudah seperti saudara baginya justru melakukan hal serendah ini."Aku minta maaf, tapi sepertinya kamu udah tahu. Aku pikir ini waktu yang tepat untuk saling jujur.""Kamu pergi sekarang," tegur Haris.Karina memilih untuk salah paham, berpikir bahwa kalimat itu untuk dirinya. Padahal jelas-jelas kalimat itu ditujukan untuk Lisa. Karina mengambil kembali tasnya dan hendak pergi, tapi sebuah tangan menahan tangannya. Sayangnya itu bukanlah Haris, melainkan Lisa.Lisa kemudian berkata, "perlu kamu tahu, aku lebih dulu bertemu dengan Haris dibandingkan dengan kamu. Hubungan kami lebih lama dibandingkan dengan pernikahan kalian. Aku minta maaf, tapi ini kenyataan yang harus kamu terima."Plak!Tanpa keraguan, Karina menampar wajah Lisa sehingga Lisa refleks melepaskan tangannya. Karina menatap tajam penuh kebencian. Akan tetapi hatinya hancur ketika ia menemukan perut Lisa yang membesar. Hanya satu yang ada dalam pikirannya saat ini, bayi itu adalah hasil hubungan gelap suaminya dengan wanita itu."Kenapa? Kamu mau aku memahami situasi kalian? Kenapa harus aku? Kamu benar-benar keterlaluan, Mbak Lisa. Aku salah paham selama ini. Kalian benar-benar bukan manusia," ujar Karina, tak bisa memaki karena sadar dengan tempat mereka berada saat ini.Dengan kekecewaan dan kemarahan yang menjadi satu, Karina kemudian meninggalkan keduanya sembari menahan tangisnya. Sementara Haris, pria itu bergeming. Tak melakukan apapun selain hanya memandang kepergian Karina. Kenapa dia tidak mengejar Karina dan menjelaskan situasi yang terjadi?Karina berjalan dengan terburu-buru dan sibuk menyeka air matanya sehingga ia tidak sengaja menabrak bahu seseorang dan membuat ponselnya terlempar."Maaf," ujar seseorang yang baru saja bertabrakan dengan Karina. Dia adalah Julia yang kini memandang penuh tanya setelah menyadari bahwa Karina menangis."Karina? Kamu istrinya Haris, kan?""Saya permisi," ujar Karina yang buru-buru pergi, melupakan ponselnya yang sebelumnya terlempar.Julia menatap heran. Ia memandang ke arah Karina datang sebelumnya dan yakin jika Karina baru saja meninggal Divisi Bedah Umum."Apa mereka berantem?" gumam Julia. Saat akan pergi, Julia melihat ponsel milik Karina. Ia pun memungutnya. Dan karena Karina tak lagi terlihat, Julia memutuskan untuk menyerahkan ponsel itu pada Haris.Ketika hendak membuka pintu Divisi Bedah Umum, pintu ruangan sudah terbuka lebih dulu dari dalam. Lisa keluar dengan wajah yang terlihat kesal. Tanpa saling menegur, Lisa pergi begitu saja dengan hentakan kaki yang sangat kesal.Julia kemudian masuk dan menghampiri Haris yang duduk dengan wajah murung. Meski Haris tak memiliki banyak ekspresi di wajahnya, Julia yang sudah berteman sangat lama dengan Haris sangat tahu perubahan suasana hati pria itu. Julia mendekat dengan menarik sebuah kursi di samping Haris. Ia menyodorkan ponsel milik Karina di atas meja yang langsung menarik perhatian Haris."Aku ketemu sama istri kamu di depan."Haris menunduk dan menghela napas. Ia tidak perlu menjelaskan apapun, Julia sudah tahu semuanya."Istri kamu udah tahu semuanya?" tegur Julia.Haris memalingkan wajahnya, terlihat enggan untuk berbicara. Julia kemudian meraih salah satu punggung tangan Haris untuk menarik perhatian laki-laki itu."Ini yang aku takutkan. Aku udah kasih tahu ke kamu, nggak cuma satu kali. Lisa juga udah punya kehidupan sendiri. Kenapa kalian nggak bisa menerima kenyataan dan jalan masing-masing. Kalau udah kayak gini, kamu sendiri yang bingung. Sekarang, aku tanya ke kamu. Bayi yang ada di perut Lisa, itu bukan anak kamu, kan?"Haris tak menjawab, ia justru menunduk, menutupi wajahnya menggunakan satu tangan dan kembali menghela napas."Kamu jangan keterlaluan, Haris. Aku nggak mau lihat kamu jadi laki-laki brengsek. Kamu harus tegas sekarang. Perempuan mana yang akan kamu perjuangkan! Istri kamu sendiri, atau istri orang?""Ini bukan urusan kamu, Julia. Sebaiknya kamu diam," ujar Haris dengan sikap yang dingin, tak bermaksud menghardik Julia."Ini memang bukan urusan aku, aku juga nggak berniat untuk ikut campur. Tapi sebagai teman, aku cuma mau mengingatkan. Masa kamu dan Lisa udah berakhir. Selama ini kalian terlalu memaksakan diri. Kapan kalian bisa menerima kenyataan? Kamu yakin bahkan kamu benar-benar mencintai Lisa? Aku pikir itu bukan cinta. Kamu hanya terlalu nyaman dengan hubungan itu sampai-sampai kamu mengabaikan status kalian."Haris yang sudah pusing dengan keadaan lantas memandang Julia. "Aku akan mengurus masalah aku sendiri, tolong jangan ikut campur.""Jangan menjadi laki-laki yang jahat," ujar Julia sebelum meninggalkan ruangan itu.Dan yang bisa dilakukan oleh Haris saat ini hanyalah menunduk, memikirkan apa yang sudah terjadi hari ini dan bagaimana ia akan menghadapinya.Malam tiba, klinik kecantikan milik ibu Karina sudah tutup, tapi hingga detik ini Karina memutuskan untuk menetap di sana. Seharian ini ia terus menyiksa batinnya tanpa bisa membagikan apa yang ia lihat sebelumnya kepada sang ibu. Karina tidak ingin menyeret siapapun ke dalam masalahnya.Terduduk di depan meja resepsionis, Karina masih tidak bisa mempercayai apa yang kini terjadi di hidupnya. Rumah tangganya yang harmonis justru memiliki cacat yang bahkan tak ia sadari selama ini. Karina tidak menyangka, ia berpikir jika suaminya berselingkuh, maka wanita itu adalah Julia, bukannya Lisa—perempuan yang dahulu mendekatinya lebih dulu dan menawarkan hubungan baik. Wanita yang kini tengah hamil lima bulan. Itu benar-benar di luar dugaan. Di saat ia mewaspadai kehadiran wanita lain, dia justru mengabaikan orang yang menusuknya dari belakang."Kenapa harus Mbak Lisa? Kenapa bukan Julia? Kenapa aku harus kenal orang itu?" gumam Karina.Untuk kali pertama setelah ia memutuskan untuk menerima
"Ceraikan aku, atau aku yang gugat kamu."Haris terdiam, sementara air mata Karina sudah mulai berjatuhan meski wanita itu berusaha untuk tetap terlihat kuat. Pandangan Haris sempat terjatuh, menghembuskan napas dalam dengan pelan sebelum ia kembali memandang Karina dan berbicara."Silakan lakukan apa yang kamu mau."Ucapan Haris berhasil menyentak batin Karina, seperti sebuah pukulan yang meruntuhkan dinding pertahanannya. Dan ketika Haris memutuskan untuk pergi, Karina tak bisa lagi berpura-pura baik-baik saja.Berpegangan pada meja, Karina membiarkan isak tangis keluar dari mulutnya. Tanpa ada kata maaf, seakan tak pantas untuk diperjuangkan. Karina ditinggalkan begitu saja. Sebenarnya siapa yang bersalah di sana?Tubuh Karina merosot ke lantai. Tak lagi peduli tentang apapun, ia menangis dengan suara yang keras. Memukul dadanya sendiri yang terasa sesak dan menyakitkan. Hanya dengan satu kesalahan yang dilakukan oleh suaminya, pria kaku berhati dingin itu membuangnya dengan cara y
Julia mengobati luka yang didapatkan oleh Haris. Haris sepertinya tak lagi memiliki muka untuk muncul di hadapan Julia hingga ia terus menghindari kontak mata dengan wanita itu. Julia lantas menarik dagu Haris, berniat mengobati sisi yang disembunyikan oleh Haris dan hal itu membuat pandangan mereka sempat beradu."Syukurlah kalau kamu masih punya rasa malu," ujar Julia tak acuh.Haris menahan tangan Julia. "Kamu boleh pergi.""Semua orang udah tahu, apa yang akan kamu lakukan sekarang?"Haris melepaskan tangan Julia dan berpaling, mengambil kaca matanya dan mengenakannya kembali. Ia menyahut, "itu bukan urusan kamu.""Kamu masih nggak tahu atau hanya pura-pura?"Haris terdiam memandang Julia."Aku khawatir," ujar Julia."Aku bukan orang yang pantas untuk kamu khawatirkan."Sebuah panggilan masuk ke ponsel Haris, terlihat sang ayah memanggil. Ia pun bangkit dan berbicara pada Julia untuk kali terakhir."Kita hanya perlu menjadi orang asing waktu bertemu."Haris kemudian meninggalkan J
Karina kembali ke hotel tempat ia menginap setelah mengurus berkas perceraiannya. Berdiri menghadap jendela, Karina memandang kota dengan hati yang kosong. Dalam sekejap, kebahagiaan yang ia anggap sempurna langsung hancur tak bersisa. Hingga detik ini Karina masih belum bisa berkata jujur pada sang ibu. Hatinya belum siap. Karena ia pasti akan menangis jika sampai ibunya tahu tentang rumah tangganya yang hancur. Dalam situasi ini, Karina tak ingin menangis sendirian lagi. Bel pintu berbunyi. Karina bergegas membuka pintu, berpikir bahwa pesanannya beberapa waktu yang lalu sudah datang. Namun, ketika pintu terbuka, sebuah kejutan kecil datang. Lisa tiba-tiba masuk dan langsung menampar wajah Karina. "Kurang ajar kamu! Begini cara kamu balas dendam?!" hardik Lisa. Karina menghela napas pelan. Sesaat kemudian ia menampar balik wajah Lisa. "akh!" pekik Lisa. "Harusnya aku yang datang ke tempat kamu, bukan kamu yang datang ke sini!" Karina balas menghardik. "Karina!" Lisa menggeram.
Pintu kamar terbuka dari luar."Sayang," tegur Haris. Tak seperti pasangan lainnya yang menegur dengan suara yang manis, Haris menegur dengan wajah yang kaku dan sikap yang terkesan dingin.Karina langsung menoleh."Kita berangkat sekarang," ujar Haris kembali. Tapi bukannya langsung pergi, Haris justru menunggu Karina."Mas, aku cantik nggak?" tanya Karina, lengkap dengan senyum lebarnya ketika ia sudah berada di hadapan Haris.Tak langsung menjawab, Haris mengangkat tangan kirinya menyentuh wajah Karina. Memberikan usapan kecil dan berkata, "cantik."Seulas senyum tipis itu kembali di wajah Haris ketika ia menarik kembali tangannya. Dan dengan pujian kecil itu, senyuman lebar kembali menghiasi wajah Karina. Sudah tujuh tahun bersama, suaminya itu tetap irit berbicara. Dan bahkan hampir tidak pernah merayunya."Nggak ada yang ketinggalan?"Karina menggeleng. "Kita berangkat sekarang."Karina memberikan anggukan dan mereka pun bergegas meninggalkan rumah. Malam itu Haris mengajak Kar
Pesta berakhir, Haris dan Karina sudah kembali ke rumah dan bersiap untuk beristirahat. Keluar dari kamar mandi, Haris langsung menuju ruang kerjanya. Ia kembali mengenakan kaca matanya untuk mengecek sesuatu di layar komputernya.Sesaat kemudian Karina menyusul. Berdiri di ambang pintu, ia sejenak memperhatikan suaminya sebelum memutuskan untuk mendekatinya. Tak ingin mengganggu pekerjaan Haris, Karina berdiri di samping kursi yang diduduki oleh Haris dan memastikan apa yang saat ini dilakukan oleh suaminya."Kamu tidur aja dulu, sebentar lagi aku selesai," ujar Haris tanpa membagi perhatiannya dari layar komputer di hadapannya.Bukannya menjawab, Karina justru bergelayut pada sandaran sofa. Tak ada kalimat yang terucap, ia hanya menunggu. Hanya dengan cara itu Haris akan menjadi lebih peka dengan keadaan. Dan hal itu terbukti ampuh.Haris meraih tangan Karina, membawa Karina duduk di atas pangkuannya dengan posisi tubuh menghadap ke samping. Karina pun refleks mengalungkan tangann
Karina kembali ke hotel tempat ia menginap setelah mengurus berkas perceraiannya. Berdiri menghadap jendela, Karina memandang kota dengan hati yang kosong. Dalam sekejap, kebahagiaan yang ia anggap sempurna langsung hancur tak bersisa. Hingga detik ini Karina masih belum bisa berkata jujur pada sang ibu. Hatinya belum siap. Karena ia pasti akan menangis jika sampai ibunya tahu tentang rumah tangganya yang hancur. Dalam situasi ini, Karina tak ingin menangis sendirian lagi. Bel pintu berbunyi. Karina bergegas membuka pintu, berpikir bahwa pesanannya beberapa waktu yang lalu sudah datang. Namun, ketika pintu terbuka, sebuah kejutan kecil datang. Lisa tiba-tiba masuk dan langsung menampar wajah Karina. "Kurang ajar kamu! Begini cara kamu balas dendam?!" hardik Lisa. Karina menghela napas pelan. Sesaat kemudian ia menampar balik wajah Lisa. "akh!" pekik Lisa. "Harusnya aku yang datang ke tempat kamu, bukan kamu yang datang ke sini!" Karina balas menghardik. "Karina!" Lisa menggeram.
Julia mengobati luka yang didapatkan oleh Haris. Haris sepertinya tak lagi memiliki muka untuk muncul di hadapan Julia hingga ia terus menghindari kontak mata dengan wanita itu. Julia lantas menarik dagu Haris, berniat mengobati sisi yang disembunyikan oleh Haris dan hal itu membuat pandangan mereka sempat beradu."Syukurlah kalau kamu masih punya rasa malu," ujar Julia tak acuh.Haris menahan tangan Julia. "Kamu boleh pergi.""Semua orang udah tahu, apa yang akan kamu lakukan sekarang?"Haris melepaskan tangan Julia dan berpaling, mengambil kaca matanya dan mengenakannya kembali. Ia menyahut, "itu bukan urusan kamu.""Kamu masih nggak tahu atau hanya pura-pura?"Haris terdiam memandang Julia."Aku khawatir," ujar Julia."Aku bukan orang yang pantas untuk kamu khawatirkan."Sebuah panggilan masuk ke ponsel Haris, terlihat sang ayah memanggil. Ia pun bangkit dan berbicara pada Julia untuk kali terakhir."Kita hanya perlu menjadi orang asing waktu bertemu."Haris kemudian meninggalkan J
"Ceraikan aku, atau aku yang gugat kamu."Haris terdiam, sementara air mata Karina sudah mulai berjatuhan meski wanita itu berusaha untuk tetap terlihat kuat. Pandangan Haris sempat terjatuh, menghembuskan napas dalam dengan pelan sebelum ia kembali memandang Karina dan berbicara."Silakan lakukan apa yang kamu mau."Ucapan Haris berhasil menyentak batin Karina, seperti sebuah pukulan yang meruntuhkan dinding pertahanannya. Dan ketika Haris memutuskan untuk pergi, Karina tak bisa lagi berpura-pura baik-baik saja.Berpegangan pada meja, Karina membiarkan isak tangis keluar dari mulutnya. Tanpa ada kata maaf, seakan tak pantas untuk diperjuangkan. Karina ditinggalkan begitu saja. Sebenarnya siapa yang bersalah di sana?Tubuh Karina merosot ke lantai. Tak lagi peduli tentang apapun, ia menangis dengan suara yang keras. Memukul dadanya sendiri yang terasa sesak dan menyakitkan. Hanya dengan satu kesalahan yang dilakukan oleh suaminya, pria kaku berhati dingin itu membuangnya dengan cara y
Malam tiba, klinik kecantikan milik ibu Karina sudah tutup, tapi hingga detik ini Karina memutuskan untuk menetap di sana. Seharian ini ia terus menyiksa batinnya tanpa bisa membagikan apa yang ia lihat sebelumnya kepada sang ibu. Karina tidak ingin menyeret siapapun ke dalam masalahnya.Terduduk di depan meja resepsionis, Karina masih tidak bisa mempercayai apa yang kini terjadi di hidupnya. Rumah tangganya yang harmonis justru memiliki cacat yang bahkan tak ia sadari selama ini. Karina tidak menyangka, ia berpikir jika suaminya berselingkuh, maka wanita itu adalah Julia, bukannya Lisa—perempuan yang dahulu mendekatinya lebih dulu dan menawarkan hubungan baik. Wanita yang kini tengah hamil lima bulan. Itu benar-benar di luar dugaan. Di saat ia mewaspadai kehadiran wanita lain, dia justru mengabaikan orang yang menusuknya dari belakang."Kenapa harus Mbak Lisa? Kenapa bukan Julia? Kenapa aku harus kenal orang itu?" gumam Karina.Untuk kali pertama setelah ia memutuskan untuk menerima
Siang itu, saat jam makan siang tiba. Haris kembali ke ruangan Divisi Bedah Umum setelah melakukan pemeriksaan pada beberapa pasiennya. Ia hendak memeriksa ponselnya, tapi urung ketika seseorang membuka pintu ruangan dan menegurnya. "Kamu udah selesai?" Haris menoleh dan berbalik, mendapati Lisa yang berjalan ke tempatnya. "Udah makan siang?" tegur Lisa kembali. "Belum," sahut Haris tanpa menunjukkan ekspresi lain di wajah datarnya. "Kamu terlalu ceroboh kemarin," celetuk Lisa. "Tentang apa?" "Kamu dan Julia. Meskipun kalian akrab, kalian nggak perlu menunjukkan itu di depan istri kamu. Itu namanya bunuh diri." Haris tak memberikan respon. Lisa kemudian melangkah lebih dekat dan berdiri tepat di hadapan Haris. Perhatiannya langsung tertuju pada bagian leher Haris yang sebagian tertutupi oleh kerah kemeja. Ia mengangkat tangannya, menyingkap salah satu sisi kerah kemeja dan melihat apa yang kini menghiasi leher pria itu. Lisa tiba-tiba memberikan tatapan tajam, sedangkan Haris
Pesta berakhir, Haris dan Karina sudah kembali ke rumah dan bersiap untuk beristirahat. Keluar dari kamar mandi, Haris langsung menuju ruang kerjanya. Ia kembali mengenakan kaca matanya untuk mengecek sesuatu di layar komputernya.Sesaat kemudian Karina menyusul. Berdiri di ambang pintu, ia sejenak memperhatikan suaminya sebelum memutuskan untuk mendekatinya. Tak ingin mengganggu pekerjaan Haris, Karina berdiri di samping kursi yang diduduki oleh Haris dan memastikan apa yang saat ini dilakukan oleh suaminya."Kamu tidur aja dulu, sebentar lagi aku selesai," ujar Haris tanpa membagi perhatiannya dari layar komputer di hadapannya.Bukannya menjawab, Karina justru bergelayut pada sandaran sofa. Tak ada kalimat yang terucap, ia hanya menunggu. Hanya dengan cara itu Haris akan menjadi lebih peka dengan keadaan. Dan hal itu terbukti ampuh.Haris meraih tangan Karina, membawa Karina duduk di atas pangkuannya dengan posisi tubuh menghadap ke samping. Karina pun refleks mengalungkan tangann
Pintu kamar terbuka dari luar."Sayang," tegur Haris. Tak seperti pasangan lainnya yang menegur dengan suara yang manis, Haris menegur dengan wajah yang kaku dan sikap yang terkesan dingin.Karina langsung menoleh."Kita berangkat sekarang," ujar Haris kembali. Tapi bukannya langsung pergi, Haris justru menunggu Karina."Mas, aku cantik nggak?" tanya Karina, lengkap dengan senyum lebarnya ketika ia sudah berada di hadapan Haris.Tak langsung menjawab, Haris mengangkat tangan kirinya menyentuh wajah Karina. Memberikan usapan kecil dan berkata, "cantik."Seulas senyum tipis itu kembali di wajah Haris ketika ia menarik kembali tangannya. Dan dengan pujian kecil itu, senyuman lebar kembali menghiasi wajah Karina. Sudah tujuh tahun bersama, suaminya itu tetap irit berbicara. Dan bahkan hampir tidak pernah merayunya."Nggak ada yang ketinggalan?"Karina menggeleng. "Kita berangkat sekarang."Karina memberikan anggukan dan mereka pun bergegas meninggalkan rumah. Malam itu Haris mengajak Kar