Pintu kamar terbuka dari luar.
"Sayang," tegur Haris. Tak seperti pasangan lainnya yang menegur dengan suara yang manis, Haris menegur dengan wajah yang kaku dan sikap yang terkesan dingin.Karina langsung menoleh."Kita berangkat sekarang," ujar Haris kembali. Tapi bukannya langsung pergi, Haris justru menunggu Karina."Mas, aku cantik nggak?" tanya Karina, lengkap dengan senyum lebarnya ketika ia sudah berada di hadapan Haris.Tak langsung menjawab, Haris mengangkat tangan kirinya menyentuh wajah Karina. Memberikan usapan kecil dan berkata, "cantik."Seulas senyum tipis itu kembali di wajah Haris ketika ia menarik kembali tangannya. Dan dengan pujian kecil itu, senyuman lebar kembali menghiasi wajah Karina. Sudah tujuh tahun bersama, suaminya itu tetap irit berbicara. Dan bahkan hampir tidak pernah merayunya."Nggak ada yang ketinggalan?"Karina menggeleng."Kita berangkat sekarang."Karina memberikan anggukan dan mereka pun bergegas meninggalkan rumah. Malam itu Haris mengajak Karina untuk menghadiri pernikahan salah satu rekan kerjanya."Gimana kabar mama kamu?" Haris memulai pembicaraan ketika mereka sudah berada dalam perjalanan."Mama baik-baik aja. Kemarin aku cek, tekanan darahnya juga normal.""Besok kamu bawa mama ke rumah sakit, udah waktunya check up bulanan. Kamu bilang dulu kalau mau datang, biar aku kosongkan jadwal aku.""Kamu nggak perlu repot-repot kayak gitu, Mas. Siapapun dokternya sama aja kok."Meski sudah tujuh tahun bersama Haris, Karina masih merasa tak enak hati karena Haris terus saja mengutamakannya dan juga ibunya. Ibu Karina saat ini menjalankan klinik kecantikan dan setiap hari Karina datang untuk membantu menjalankan bisnis sang ibu."Aku lebih tenang kalau aku yang memeriksa mama.""Tapi kalau kamu memang sibuk, jangan dipaksain. Kasian pasien-pasien kamu yang lain."Karina yang sebelumnya memandang Haris, kemudian mengalihkan pandangannya ke depan. Akan tetapi, kala itu Haris tiba-tiba meraih satu tangannya dan menggenggamnya. Karina sontak memandang tangannya sebelum memandang wajah Haris dan tersenyum, lalu membalas genggaman tangan sang suami.•••••Mereka kemudian sampai di tempat pesta. Haris bergegas turun dan membukakan pintu untuk Karina. Ia juga menjaga agar kepala Karina tidak terbentur bagian atap mobil ketika keluar saat Karina terlihat repot dengan gaun yang dikenakan oleh wanita itu.Haris menutupkan pintu dan menyodorkan lengannya yang langsung digandeng oleh Karina. Keduanya kemudian berjalan memasuki gedung."Kartu undangannya ada di kamu, kan?" tegur Haris dalam perjalanan.Karina mengangguk dan menunjukkan kartu undangan yang ia pegang bersama tas kecilnya. Namun saat akan menyerahkannya pada Haris, kartu undangan itu justru terlepas dari tangannya."Ya ampun!" celetuk Karina.Haris bergegas mengambil kartu undangan tersebut. Tapi dalam waktu bersamaan, seseorang juga mengambil benda itu sehingga Haris menghentikan pergerakannya. Ia mengangkat pandangannya dan menegakkan tubuhnya. Menemukan wajah yang tak asing lagi baginya.Julia, wanita yang kini menyodorkan kartu undangan itu ke hadapan Haris. Tentu saja keduanya sudah saling mengenal dengan sangat baik karena Julia juga bekerja di rumah sakit yang sama dengan Haris. Hanya saja berbeda departemen. Jika Haris berada di Divisi Bedah Umum, maka Julia bertugas di Divisi Bedah Toraks."Hai," tegur Julia, lengkap dengan senyum ramahnya. "Kebetulan banget ketemu di sini."Haris mengambil kartu undangan miliknya dan membalas teguran Julia. "Sendirian?"Julia mengangguk dan melirik ke arah Karina. "Perempuan cantik ini?"Haris menarik lembut tangan Karina, membawa wanita itu ke sampingnya sebelum memperkenalkannya di depan Julia."Istriku, Karina." Haris sekilas memandang Karina. "Sayang, ini Julia. Rekan aku di rumah sakit.""Hai." Julia lebih dulu mengulurkan tangannya. "Julia.""Karina.""Persis seperti yang dibilang sama Haris. Kamu cantik," puji Julia."Terima kasih, tapi kamu juga cantik."Kedua wanita itu saling bertukar senyuman tipis yang canggung dan Haris memutuskan pertemuan mereka."Kami masuk dulu."Haris menarik lembut tangan Karina dan Karina refleks memindahkan tangannya untuk menggandeng lengan Haris. Mereka menghampiri resepsionis dan mengisi daftar tamu sebelum memasuki tempat pesta. Sesaat setelah mereka masuk, Julia pun menyusul di belakang.Malam itu Karina kembali berbaur dengan rekan-rekan kerja suaminya. Tak begitu canggung karena bukan hanya sekali Karina menghadiri pesta seperti ini. Beberapa rekan wanita Haris pun sudah cukup akrab dengan Karina.Saat pesta berjalan, Haris meninggalkan Karina untuk berkumpul dengan rekan-rekannya. Dari mejanya, Karina memperhatikan Haris yang terkadang mengulas senyum ketika berbicara dengan para rekan kerja pria itu."Udah tujuh tahun, tapi aku belum pernah liat dia ketawa," gumam Karina.Melihat suaminya yang menurutnya sangat mempesona malam itu, Karina mengeluarkan ponselnya dan menyalakan kamera. Berniat mengambil gambar Haris, dia justru terpesona pada suaminya sendiri ketika ia memperbesar tampilan gambar. Sikap dingin yang sangat kontras dengan wajah manisnya, Karina benar-benar sudah terbius oleh pria kaku dari keluarga Dananjaya itu."Suami aku ganteng banget," gumam Karina.Tanpa sadar Karina tersenyum hingga senyumnya pudar ketika sosok lain masuk dalam sorotan kameranya. Karina melihat secara langsung. Wanita bernama Julia itu bergabung dengan kerumunan. Karina tak heran dengan hal itu, yang membuatnya sedikit heran adalah sikap Julia yang tiba-tiba merangkul bahu Haris. Keduanya terlihat sangat akrab dan bahkan berbagi senyuman lebar. Senyuman yang tidak pernah diberikan oleh Haris padanya."Baru kali ini aku lihat perempuan itu. Mas Haris kayaknya deket banget sama perempuan itu," gumam Karina, entah kenapa garis senyum di wajahnya tak lagi terlihat."Liatin apa sih? Serius banget."Karina sedikit kaget ketika seseorang tiba-tiba bersuara di dekatnya. Ia menoleh, seorang wanita duduk di sampingnya. Dan wanita itu adalah salah satu rekan kerja Haris."Mbak Lisa juga di sini?"Wanita bernama Lisa itu mengangguk. "Aku udah di sini dari tadi, aku udah perhatiin kamu sejak kamu masuk tadi.""Ya ampun, Mbak. Aku nggak tahu, harusnya Mbak Lisa langsung negur aku."Lisa tersenyum lebar. "Kamu itu, kayak sama siapa aja."Pandangan Karina terjatuh pada perut Lisa yang terlihat membesar. "Mbak Lisa hamil?""Lima bulan," celetuk Lisa dengan suara berbisik dan diakhiri dengan senyuman lebar.Karina refleks menutup mulutnya menggunakan salah satu tangannya yang dalam beberapa detik kembali ia turunkan. "Ya ampun, selamat ya, Mbak Lisa.""Thank you ... kamu kapan nyusulnya? Jangan lama-lama, biar anak kita nanti bisa temenan.""Maunya sih gitu, Mbak. Tapi mau gimana lagi? Belum dikasih sampai sekarang.""Kamu yang sabar aja. Aku aja nunggu sembilan tahun dulu baru mau dikasih."Lisa mengalihkan pandangannya ke tempat yang sebelumnya menarik atensi Karina."Haris ada di sana?"Karina mengangguk dan kembali memandang ke tempat suaminya. Kala itu Julia masih berada di samping Haris. Tapi ia sedikit kaget ketika melihat tangan Julia yang tanpa ragu menggandeng lengan Haris di depan umum."Kok?" gumam Karina.Lisa yang mendengar ucapan Karina lantas kembali memandang wanita yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri itu."Itu bukan orang dari divisinya Haris," ujar Lisa dan menarik kembali atensi Karina."Maksud Mbak Lisa?""Orang-orang yang sama Haris, mereka dari Divisi Bedah Toraks. Kamu lihat perempuan yang ada di samping Haris!""Mbak Lisa juga kenal sama Julia?""Kamu kenal Julia?" Lisa sedikit kaget.Karina menggeleng. "Enggak, tadi cuma kebetulan ketemu di depan dan Mas Haris kenalin dia ke aku.""Oh ... iya, aku kenal. Dia itu anak baru di Divisi Bedah Toraks. Gosipnya dia itu jadi anak emas di sana. Posisinya asisten dokter, katanya sih lulusan kampus luar negeri."Karina kembali memandang ke tempat Haris. "Mereka kayaknya udah dekat banget.""Ada gosip, katanya mereka itu dulu pernah satu SMA.""Pantas kelihatan akrab," gumam Karina. Tapi tetap saja ia merasa kurang suka dengan skinship yang dilakukan oleh Julia. Tak peduli jika mereka adalah teman yang sangat dekat, sudah seharusnya Julia bisa menjaga sikap saat berada di tempat umum. Terlebih lagi di hadapannya. Jujur saja, respon yang ditunjukkan oleh Haris membuatnya merasa tidak senang. Karina cemburu.Pesta berakhir, Haris dan Karina sudah kembali ke rumah dan bersiap untuk beristirahat. Keluar dari kamar mandi, Haris langsung menuju ruang kerjanya. Ia kembali mengenakan kaca matanya untuk mengecek sesuatu di layar komputernya.Sesaat kemudian Karina menyusul. Berdiri di ambang pintu, ia sejenak memperhatikan suaminya sebelum memutuskan untuk mendekatinya. Tak ingin mengganggu pekerjaan Haris, Karina berdiri di samping kursi yang diduduki oleh Haris dan memastikan apa yang saat ini dilakukan oleh suaminya."Kamu tidur aja dulu, sebentar lagi aku selesai," ujar Haris tanpa membagi perhatiannya dari layar komputer di hadapannya.Bukannya menjawab, Karina justru bergelayut pada sandaran sofa. Tak ada kalimat yang terucap, ia hanya menunggu. Hanya dengan cara itu Haris akan menjadi lebih peka dengan keadaan. Dan hal itu terbukti ampuh.Haris meraih tangan Karina, membawa Karina duduk di atas pangkuannya dengan posisi tubuh menghadap ke samping. Karina pun refleks mengalungkan tangann
Siang itu, saat jam makan siang tiba. Haris kembali ke ruangan Divisi Bedah Umum setelah melakukan pemeriksaan pada beberapa pasiennya. Ia hendak memeriksa ponselnya, tapi urung ketika seseorang membuka pintu ruangan dan menegurnya. "Kamu udah selesai?" Haris menoleh dan berbalik, mendapati Lisa yang berjalan ke tempatnya. "Udah makan siang?" tegur Lisa kembali. "Belum," sahut Haris tanpa menunjukkan ekspresi lain di wajah datarnya. "Kamu terlalu ceroboh kemarin," celetuk Lisa. "Tentang apa?" "Kamu dan Julia. Meskipun kalian akrab, kalian nggak perlu menunjukkan itu di depan istri kamu. Itu namanya bunuh diri." Haris tak memberikan respon. Lisa kemudian melangkah lebih dekat dan berdiri tepat di hadapan Haris. Perhatiannya langsung tertuju pada bagian leher Haris yang sebagian tertutupi oleh kerah kemeja. Ia mengangkat tangannya, menyingkap salah satu sisi kerah kemeja dan melihat apa yang kini menghiasi leher pria itu. Lisa tiba-tiba memberikan tatapan tajam, sedangkan Haris
Malam tiba, klinik kecantikan milik ibu Karina sudah tutup, tapi hingga detik ini Karina memutuskan untuk menetap di sana. Seharian ini ia terus menyiksa batinnya tanpa bisa membagikan apa yang ia lihat sebelumnya kepada sang ibu. Karina tidak ingin menyeret siapapun ke dalam masalahnya.Terduduk di depan meja resepsionis, Karina masih tidak bisa mempercayai apa yang kini terjadi di hidupnya. Rumah tangganya yang harmonis justru memiliki cacat yang bahkan tak ia sadari selama ini. Karina tidak menyangka, ia berpikir jika suaminya berselingkuh, maka wanita itu adalah Julia, bukannya Lisa—perempuan yang dahulu mendekatinya lebih dulu dan menawarkan hubungan baik. Wanita yang kini tengah hamil lima bulan. Itu benar-benar di luar dugaan. Di saat ia mewaspadai kehadiran wanita lain, dia justru mengabaikan orang yang menusuknya dari belakang."Kenapa harus Mbak Lisa? Kenapa bukan Julia? Kenapa aku harus kenal orang itu?" gumam Karina.Untuk kali pertama setelah ia memutuskan untuk menerima
"Ceraikan aku, atau aku yang gugat kamu."Haris terdiam, sementara air mata Karina sudah mulai berjatuhan meski wanita itu berusaha untuk tetap terlihat kuat. Pandangan Haris sempat terjatuh, menghembuskan napas dalam dengan pelan sebelum ia kembali memandang Karina dan berbicara."Silakan lakukan apa yang kamu mau."Ucapan Haris berhasil menyentak batin Karina, seperti sebuah pukulan yang meruntuhkan dinding pertahanannya. Dan ketika Haris memutuskan untuk pergi, Karina tak bisa lagi berpura-pura baik-baik saja.Berpegangan pada meja, Karina membiarkan isak tangis keluar dari mulutnya. Tanpa ada kata maaf, seakan tak pantas untuk diperjuangkan. Karina ditinggalkan begitu saja. Sebenarnya siapa yang bersalah di sana?Tubuh Karina merosot ke lantai. Tak lagi peduli tentang apapun, ia menangis dengan suara yang keras. Memukul dadanya sendiri yang terasa sesak dan menyakitkan. Hanya dengan satu kesalahan yang dilakukan oleh suaminya, pria kaku berhati dingin itu membuangnya dengan cara y
Julia mengobati luka yang didapatkan oleh Haris. Haris sepertinya tak lagi memiliki muka untuk muncul di hadapan Julia hingga ia terus menghindari kontak mata dengan wanita itu. Julia lantas menarik dagu Haris, berniat mengobati sisi yang disembunyikan oleh Haris dan hal itu membuat pandangan mereka sempat beradu."Syukurlah kalau kamu masih punya rasa malu," ujar Julia tak acuh.Haris menahan tangan Julia. "Kamu boleh pergi.""Semua orang udah tahu, apa yang akan kamu lakukan sekarang?"Haris melepaskan tangan Julia dan berpaling, mengambil kaca matanya dan mengenakannya kembali. Ia menyahut, "itu bukan urusan kamu.""Kamu masih nggak tahu atau hanya pura-pura?"Haris terdiam memandang Julia."Aku khawatir," ujar Julia."Aku bukan orang yang pantas untuk kamu khawatirkan."Sebuah panggilan masuk ke ponsel Haris, terlihat sang ayah memanggil. Ia pun bangkit dan berbicara pada Julia untuk kali terakhir."Kita hanya perlu menjadi orang asing waktu bertemu."Haris kemudian meninggalkan J
Karina kembali ke hotel tempat ia menginap setelah mengurus berkas perceraiannya. Berdiri menghadap jendela, Karina memandang kota dengan hati yang kosong. Dalam sekejap, kebahagiaan yang ia anggap sempurna langsung hancur tak bersisa. Hingga detik ini Karina masih belum bisa berkata jujur pada sang ibu. Hatinya belum siap. Karena ia pasti akan menangis jika sampai ibunya tahu tentang rumah tangganya yang hancur. Dalam situasi ini, Karina tak ingin menangis sendirian lagi. Bel pintu berbunyi. Karina bergegas membuka pintu, berpikir bahwa pesanannya beberapa waktu yang lalu sudah datang. Namun, ketika pintu terbuka, sebuah kejutan kecil datang. Lisa tiba-tiba masuk dan langsung menampar wajah Karina. "Kurang ajar kamu! Begini cara kamu balas dendam?!" hardik Lisa. Karina menghela napas pelan. Sesaat kemudian ia menampar balik wajah Lisa. "akh!" pekik Lisa. "Harusnya aku yang datang ke tempat kamu, bukan kamu yang datang ke sini!" Karina balas menghardik. "Karina!" Lisa menggeram.
Karina kembali ke hotel tempat ia menginap setelah mengurus berkas perceraiannya. Berdiri menghadap jendela, Karina memandang kota dengan hati yang kosong. Dalam sekejap, kebahagiaan yang ia anggap sempurna langsung hancur tak bersisa. Hingga detik ini Karina masih belum bisa berkata jujur pada sang ibu. Hatinya belum siap. Karena ia pasti akan menangis jika sampai ibunya tahu tentang rumah tangganya yang hancur. Dalam situasi ini, Karina tak ingin menangis sendirian lagi. Bel pintu berbunyi. Karina bergegas membuka pintu, berpikir bahwa pesanannya beberapa waktu yang lalu sudah datang. Namun, ketika pintu terbuka, sebuah kejutan kecil datang. Lisa tiba-tiba masuk dan langsung menampar wajah Karina. "Kurang ajar kamu! Begini cara kamu balas dendam?!" hardik Lisa. Karina menghela napas pelan. Sesaat kemudian ia menampar balik wajah Lisa. "akh!" pekik Lisa. "Harusnya aku yang datang ke tempat kamu, bukan kamu yang datang ke sini!" Karina balas menghardik. "Karina!" Lisa menggeram.
Julia mengobati luka yang didapatkan oleh Haris. Haris sepertinya tak lagi memiliki muka untuk muncul di hadapan Julia hingga ia terus menghindari kontak mata dengan wanita itu. Julia lantas menarik dagu Haris, berniat mengobati sisi yang disembunyikan oleh Haris dan hal itu membuat pandangan mereka sempat beradu."Syukurlah kalau kamu masih punya rasa malu," ujar Julia tak acuh.Haris menahan tangan Julia. "Kamu boleh pergi.""Semua orang udah tahu, apa yang akan kamu lakukan sekarang?"Haris melepaskan tangan Julia dan berpaling, mengambil kaca matanya dan mengenakannya kembali. Ia menyahut, "itu bukan urusan kamu.""Kamu masih nggak tahu atau hanya pura-pura?"Haris terdiam memandang Julia."Aku khawatir," ujar Julia."Aku bukan orang yang pantas untuk kamu khawatirkan."Sebuah panggilan masuk ke ponsel Haris, terlihat sang ayah memanggil. Ia pun bangkit dan berbicara pada Julia untuk kali terakhir."Kita hanya perlu menjadi orang asing waktu bertemu."Haris kemudian meninggalkan J
"Ceraikan aku, atau aku yang gugat kamu."Haris terdiam, sementara air mata Karina sudah mulai berjatuhan meski wanita itu berusaha untuk tetap terlihat kuat. Pandangan Haris sempat terjatuh, menghembuskan napas dalam dengan pelan sebelum ia kembali memandang Karina dan berbicara."Silakan lakukan apa yang kamu mau."Ucapan Haris berhasil menyentak batin Karina, seperti sebuah pukulan yang meruntuhkan dinding pertahanannya. Dan ketika Haris memutuskan untuk pergi, Karina tak bisa lagi berpura-pura baik-baik saja.Berpegangan pada meja, Karina membiarkan isak tangis keluar dari mulutnya. Tanpa ada kata maaf, seakan tak pantas untuk diperjuangkan. Karina ditinggalkan begitu saja. Sebenarnya siapa yang bersalah di sana?Tubuh Karina merosot ke lantai. Tak lagi peduli tentang apapun, ia menangis dengan suara yang keras. Memukul dadanya sendiri yang terasa sesak dan menyakitkan. Hanya dengan satu kesalahan yang dilakukan oleh suaminya, pria kaku berhati dingin itu membuangnya dengan cara y
Malam tiba, klinik kecantikan milik ibu Karina sudah tutup, tapi hingga detik ini Karina memutuskan untuk menetap di sana. Seharian ini ia terus menyiksa batinnya tanpa bisa membagikan apa yang ia lihat sebelumnya kepada sang ibu. Karina tidak ingin menyeret siapapun ke dalam masalahnya.Terduduk di depan meja resepsionis, Karina masih tidak bisa mempercayai apa yang kini terjadi di hidupnya. Rumah tangganya yang harmonis justru memiliki cacat yang bahkan tak ia sadari selama ini. Karina tidak menyangka, ia berpikir jika suaminya berselingkuh, maka wanita itu adalah Julia, bukannya Lisa—perempuan yang dahulu mendekatinya lebih dulu dan menawarkan hubungan baik. Wanita yang kini tengah hamil lima bulan. Itu benar-benar di luar dugaan. Di saat ia mewaspadai kehadiran wanita lain, dia justru mengabaikan orang yang menusuknya dari belakang."Kenapa harus Mbak Lisa? Kenapa bukan Julia? Kenapa aku harus kenal orang itu?" gumam Karina.Untuk kali pertama setelah ia memutuskan untuk menerima
Siang itu, saat jam makan siang tiba. Haris kembali ke ruangan Divisi Bedah Umum setelah melakukan pemeriksaan pada beberapa pasiennya. Ia hendak memeriksa ponselnya, tapi urung ketika seseorang membuka pintu ruangan dan menegurnya. "Kamu udah selesai?" Haris menoleh dan berbalik, mendapati Lisa yang berjalan ke tempatnya. "Udah makan siang?" tegur Lisa kembali. "Belum," sahut Haris tanpa menunjukkan ekspresi lain di wajah datarnya. "Kamu terlalu ceroboh kemarin," celetuk Lisa. "Tentang apa?" "Kamu dan Julia. Meskipun kalian akrab, kalian nggak perlu menunjukkan itu di depan istri kamu. Itu namanya bunuh diri." Haris tak memberikan respon. Lisa kemudian melangkah lebih dekat dan berdiri tepat di hadapan Haris. Perhatiannya langsung tertuju pada bagian leher Haris yang sebagian tertutupi oleh kerah kemeja. Ia mengangkat tangannya, menyingkap salah satu sisi kerah kemeja dan melihat apa yang kini menghiasi leher pria itu. Lisa tiba-tiba memberikan tatapan tajam, sedangkan Haris
Pesta berakhir, Haris dan Karina sudah kembali ke rumah dan bersiap untuk beristirahat. Keluar dari kamar mandi, Haris langsung menuju ruang kerjanya. Ia kembali mengenakan kaca matanya untuk mengecek sesuatu di layar komputernya.Sesaat kemudian Karina menyusul. Berdiri di ambang pintu, ia sejenak memperhatikan suaminya sebelum memutuskan untuk mendekatinya. Tak ingin mengganggu pekerjaan Haris, Karina berdiri di samping kursi yang diduduki oleh Haris dan memastikan apa yang saat ini dilakukan oleh suaminya."Kamu tidur aja dulu, sebentar lagi aku selesai," ujar Haris tanpa membagi perhatiannya dari layar komputer di hadapannya.Bukannya menjawab, Karina justru bergelayut pada sandaran sofa. Tak ada kalimat yang terucap, ia hanya menunggu. Hanya dengan cara itu Haris akan menjadi lebih peka dengan keadaan. Dan hal itu terbukti ampuh.Haris meraih tangan Karina, membawa Karina duduk di atas pangkuannya dengan posisi tubuh menghadap ke samping. Karina pun refleks mengalungkan tangann
Pintu kamar terbuka dari luar."Sayang," tegur Haris. Tak seperti pasangan lainnya yang menegur dengan suara yang manis, Haris menegur dengan wajah yang kaku dan sikap yang terkesan dingin.Karina langsung menoleh."Kita berangkat sekarang," ujar Haris kembali. Tapi bukannya langsung pergi, Haris justru menunggu Karina."Mas, aku cantik nggak?" tanya Karina, lengkap dengan senyum lebarnya ketika ia sudah berada di hadapan Haris.Tak langsung menjawab, Haris mengangkat tangan kirinya menyentuh wajah Karina. Memberikan usapan kecil dan berkata, "cantik."Seulas senyum tipis itu kembali di wajah Haris ketika ia menarik kembali tangannya. Dan dengan pujian kecil itu, senyuman lebar kembali menghiasi wajah Karina. Sudah tujuh tahun bersama, suaminya itu tetap irit berbicara. Dan bahkan hampir tidak pernah merayunya."Nggak ada yang ketinggalan?"Karina menggeleng. "Kita berangkat sekarang."Karina memberikan anggukan dan mereka pun bergegas meninggalkan rumah. Malam itu Haris mengajak Kar