"Ibu, ada yang ingin aku katakan " ucap seorang pria sembari berjalan mendekati wanita paruh baya yang sedang asyik membaca majalah fashion favoritnya didampingi secangkir kopi.
"Apa yang ingin kau katakan, Putraku?"Bukan menjawab, tetapi Jonathan memperlihatkan kepada Theresia sebuah alat test kehamilan yang menampilkan dua baris merah. Seketika Theresia mengernyit."Alat tes kehamilan? Apa kau sudah menghamili seorang gadis?" tanya Theresia sembari mengambil test pack dari tangan Jonathan.Theresia menatap benda itu dan Jonathan secara bergantian."Benar, Bu. Aku sudah menghamili Amelie."Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi Jonathan. Membuat satu tangannya memegangi pipi karena rasa perih yang terasa. Firasatnya berkata, hal buruk akan segera terjadi."Dari awal aku sudah curiga, Jonathan! Bukankah selama ini aku selalu memintamu untuk tidak bergaul dengan gadis pembantu itu?!""Ibu, aku begitu mencintainya. Tidak bisakah Ibu memberi Amelie kesempatan untuk kami membina rumah tangga?" pinta Jonathan yang berbalas delikan tajam Theresia.Tanpa berucap sepatah kata, Theresia berjalan ke kamar pembantu untuk mencari keberadaan Amelie.Theresia mengedarkan pandangan begitu tiba di koridor kamar pembantu. Dengan cepat wanita itu menemukan gadis yang ia cari sedang bergurau dengan Katie dan pelayan yang lain."Dasar gadis jalang!" pekiknya sembari menarik kasar rambut Amelie.Amelie meringis kesakitan, berusaha membebaskan rambutnya dari cengkraman Theresia. Namun, bukan semakin meregang, justru Theresia semakin kuat dan brutal menarik rambut Amelie."Hentikan, Nyonya! Itu sangat menyakitkan," seru Amelie dengan tetap berusaha terdengar menghormati sang nyonya besar itu."Kau pikir, aku akan menuruti kemauanmu? Apa yang kau lakukan sampai putra kesayanganku bertekuk lutut padamu?" ucap Theresia sembari mendekatkan wajahnya pada wajah Amelie. Gadis itu ketakutan dan mulai menunduk. Air mata Amelie mulai berjatuhan.Sementara pekerja lain tidak ada yang berani melerai Theresia. Mereka hanya menonton penindasan yang Theresia lakukan terhadap Amelie."Jangan anggap aku wanita bodoh, Amelie! Aku tau saat ini kau sedang mengandung anak Jonathan!" jerit Theresia sembari menampar keras wajah Amelie, hingga membuat gadis itu tersungkur.Robert dan Irene yang mengetahui kejadian tersebut segera berlari menghampiri Amelie."Amelie, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Irene dan Robert hampir bersamaan."Asal kalian tau! Anak gadismu yang terlihat lugu ini sangat jauh dari penilaian orang-orang tantangnya!" ucap Theresia bersungut-sungut dengan kedua tangan terlipat di depan dada."Jonathan berkata padaku, bahwa dia sudah menghamili anak kalian. Tetapi aku tidak begitu saja percaya," ucap Theresia sembari mengibaskan tangan diudara, sebelum akhirnya ia menambahkan;"bisa saja Amelie hamil dengan pria lain, dan mengaku jika janin yang dikandungnya adalah anak Jonathan.""Nyonya, tolong jaga ucapan Anda!" hardik Robert saat mendengar anak gadisnya direndahkan. Sementara itu, Irene terus mengelus punggung Amelie yang bergetar karena tangis yang tergugu."Kenapa? Bisa saja kan? Tampan dan kaya. Siapa gadis yang tidak menginginkan Jonathan? Tetapi anakmu, malah memanfaatkan kehamilanya untuk mengikat Jonathan.""Nyonya, saya yakin sepenuhnya bahwa bayi di dalam kandungan saya adalah anak Jonathan." ucap Amelie disela isakan tangis sembari memegangi perut, tempat dimana buah cintanya dengan Jonathan tumbuh."Omong kosong! Gugurkan kandunganmu, atau jangan pernah lagi menginjakkan kakimu di rumah ini!" ancam Theresia sebelum akhirnya pergi meninggalkan Amelie yang malang.Semua pekerja yang tadi menonton peristiwa itu dari kejauhan berhambur mendekati tiga orang yang masih terduduk di atas lantai. Masing-masing dari mereka mengucapkan kalimat untuk menguatkan Amelie. Amelie memaksa diri untuk tersenyum demi menghargai usaha mereka. Sangat mudah ditebak, dibalik senyuman Amelie, terdapat luka menganga yang sangat perih. Mereka tidak sanggup membayangkan seperti apa jadinya seandainya mereka yang berada di posisi Amelie saat ini.Sementara itu, Jonathan masih duduk di sofa ruang tamu dengan raut gelisah. Pria itu merutukki dirinya yang tidak bisa memenuhi apa yang telah dia ucapkan pada Amelie.Satu hari sebelumnya ...Jonathan menatap Amelie yang sedang menyapa bunga mawar beraneka warna dari kejauhan. Dari senandung yang lolos dari gadis itu, dapat terlihat bagaimana gadis itu merasa senang dan bangga semua mawar yang ia pelihara tumbuh dengan baik.Jonathan berjalan mendekati Amelie yang masih bersenandung dan membelai mawar yang mekar dengan sempurna."Bunga-bunga itu memang cantik. Tapi kecantikannya tidak dapat mengalahkan kecantikan wajahmu, Amelie."Amelie menoleh cepat ke arah Jonathan. Gadis itu tersipu. Rona merah menghiasi kedua pipinya. Jonathan tersenyum melihat ekspresi Amelie yang begitu alami. Gadis lembut yang selama dua tahun terakhir menjadi kekasihnya tanpa sepengetahuan Edmund dan Theresia.Sepasang sejoli itu menjalin hubungan tanpa sepengetahuan orang tua Jonathan. Baik Amelie, Jonathan, ataupun pekerja lain yang bekerja pada keluarga Jonathan sama-sama saling mengerti, perbedaan status sosial keduanya sangat jauh. Sudah pasti Theresia si wanita angkuh itu akan menolak hubungan keduanya. Karena itu, keduanya sepakat untuk bersikap tidak lebih seperti umumnya pembantu dan majikan di depan Tuan dan Nyonya Hayes."Jo? Sejak kapan kau berdiri disitu?"Jonathan menarik siku dan melirik jam tangan miliknya sebelum berucap;"Entah, sudah berapa lama aku berdiri di sini. Yang aku tau, waktu saat bersamamu terasa begitu singkat."Jonathan yang mendapat pukulan pelan di dada bidangnya meringis berpura-pura kesakitan. Pukulan Amelie sama sekali tidak sakit."Berhenti menggodaku, Jo!" jawab Amelie sembari mengerutkan bibirnya yang menurut Jonathan ekspresi wajah itu sangat manis."Jo, ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu." ucap Amelie tanpa basa-basi.Melihat raut Amelie yang berubah sedih, Jonathan berpikir bahwa apa yang akan disampaikan gadis itu bukanlah berita baik."Katakan saja, Sayang." Jonathan mengusap lembut kepala gadis yang saat ini menunduk takut sambil meremas rok yang ia kenakan.Semburat kecemasan yang terpancar di wajah gadis itu semakin membuat Jonathan penasaran. Kedua alis tebal Jonathan pun bertaut."Sayang, katakan jika memang ada yang perlu untuk dikatakan. Jangan menyimpan perasaanmu sendiri," Jonathan menunduk, menyamai tinggi Amelie sembari memegang dagu gadis itu."A-aku hamil, Jo." jawab Amelie dengan suara parau. Bulir air mata mulai berjatuhan. Gadis itu menyerahkan alat tes kehamilan yang menampakkan dua garis merah berjejer rukun dengan tangan gemetar.Jonathan menggamit benda itu dengan alis bertaut. Ia masih tidak menyangka. Dia akan segera menjadi ayah sebentar lagi. Pria itu merasa dilema. Ada perasaan bahagia, ada juga rasa gelisah. Akankah kehamilan Amelie bisa melunakkan hati Theresia untuk memberi restu atas hubungan keduanya?"Amelie, kau tidak perlu menangis. Seharusnya kau berbahagia karena kini didalam kandunganmu telah hadir buah cinta kita." Jonathan tersenyum sembari mengusap bulir kristal yang terus saja berjatuhan di pipi Amelie. Berusaha menenangkan badai kesedihan yang melanda hati kekasihnya.Gadis itu hanya mengangguk pelan. Dia tidak yakin kehamilannya akan menjadi kabar bahagia untuk keluarga Hayes. Kemungkinan buruk atas respon nyonya besar pemilik rumah tempat dia dan kedua orang tuanya mengabdi sebagai pembantu itu mulai menghantui pikirannya."Percayalah, Amelie. Semua akan baik-baik saja. Akan ku bujuk orang tuaku agar bisa menerimamu dan anak kita." pria itu mengusap perut Amelie dan mendaratkan sebuah kecupan di kening gadis itu setelahnya.Jonathan kembali mengacak rambut hitamnya dengan frustasi. Bayangan wajah polos Amelie seolah mengiris hatinya.Apa yang sudah ia lakukan? Memberi harapan kepada gadis itu yang nampaknya hanya menjadi isapan jempol belaka.***Amelie membenamkan wajah pada kedua lutut di tempat yang sama saat ia jatuh tersungkur akibat ulah kejam Theresia. Sementara para pekerja lain masih mengelilinginya dan terus memberi semangat pada gadis malang tersebut."Amelie, aku minta maaf. Ini semua salahku. Kalau saja aku tidak menyarankanmu untuk ..." Katie yang tertunduk dan enggan menatap mata Amelie tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. "Kau tidak perlu merasa bersalah untuk itu, Katie."Mendengar jawaban Amelie, Katie pun menatap wajah Amelie sebentar, lalu kembali menunduk. Perasaan bersalahnya kepada Amelie begitu besar. Katie berpikir petaka yang menimpa Amelie hari ini merupakan akibat dari sarannya agar Amelie memberi tahu kepada Jonathan perihal kehamilannya. "Karena cepat atau lambat, Jonathan harus mengetahui kehamilanku.""Lalu, apa yang akan kau lakukan setelah ini? Apakah kau akan menuruti keinginan Nyonya Theresia untuk menggugurkan kandunganmu?" tanya Katie dengan penuh kehati-hatian. "Tentu saja tidak." Ame
Alamat yang Katie berikan menuntun Amelie tiba di sebuah rumah sederhana dengan cat berwarna abu-abu, dengan hamparan rumput tumbuh subur di pekarangan rumah. Rumah itu tampak sepi, Amelie ragu jika alamat rumah yang Katie berikan ternyata salah. Tapi, bukankah mustahil jika gadis itu lupa alamat rumah tempat ia dibesarkan oleh kedua orang tuanya? Amelie menatap sekeliling untuk menunggu seseorang lewat di jalan tersebut. Gadis itu ingin bertanya, 'benarkah rumah yang ada di hadapannya saat ini adalah rumah orang tua Katie?' Sangat disayangkan, jalanan itu sepi. Suara knop pintu yang bergerak membuat gadis itu menoleh dengan mata berbinar. Dia berharap bisa mendapatkan jawaban yang pasti tentang rumah orang tua Katie. Seorang wanita kisaran umur 50 tahun muncul dari balik pintu. Wanita itu tersenyum ramah dan segera menghampiri Amelie."Kau Amelie Anderson?" tanya wanita tua itu dengan memiringkan kepala."Benar, Nyonya, saya Amelie Anderson yang-" belum selesai dengan ucapannya
Selama tiga hari bermalam di rumah orang tua Katie, Amelie tidak mengalami masalah sedikit pun. Dia merasa nyaman berada di rumah itu. Matilda dan Harry selalu mengatakan kepada gadis itu untuk bersikap selayaknya dirumah sendiri. "Makanlah yang banyak, Amelie, bayimu juga membutuhkan gizi yang cukup," ucap Matilda setelah melihat Amelie hanya mengambil satu potong roti dan meletakkan ke piringnya. "Ini sudah cukup, Bibi," jawab Amelie sembari mengulas senyum."Hem," Matilda menggeleng sembari meletakkan satu potong roti panggang dan beberapa potong pisang ke piring Amelie. "Kami turut prihatin atas kejadian yang menimpamu, Amelie," kata Harry setelah meneguk susu miliknya. Pria berberewok itu menatap Amelie dengan tatapan iba. "Terimakasih, Paman." jawab gadis itu sembari tersenyum samar, lalu menambahkan madu manuka di atas makannya. Amelie menyukai rasa manis. "Aku percaya kau gadis yang kuat Amelie. Lupakan kegetiran itu, dan mulailah membuka lembaran baru. Selalu ada harapan
Hari-hari yang Jonathan lalui begitu membosankan. Jika selama ini rumah adalah tempat yang selalu ingin membuatnya kembali setiap kali pergi, tapi hal itu tidak berlaku lagi setelah Amelie tidak berada di sana. Dengan malas pria itu membuka pintu rumah dan seketika kemalasanya kian bertambah saat Theresia berhambur dengan senyum girang terpatri di wajahnya yang mulai keriput. Dapat dipastikan wanita itu memiliki rencana dibalik keramahannya malam ini. "Putraku, kau sudah pulang? Makanlah, hidangan makan malam sepesial malam ini sudah menunggumu." Jonathan berjalan dengan pasrah mengikut ke arah Theresia menarik tangannya. Pria itu mengernyit saat mendapati sahabat ibunya berada di meja makan, bersama suami dan seorang gadis yang sama sekali tidak dikenalinya.Gadis itu terus tersenyum ke arah Jonathan. Membuat Jonathan merasa risih dan sesekali membalas senyumannya dengan senyuman samar. Apa rencana Theresia kali ini?"Perkenalkan, Jonathan, dia Elena. Gadis yang akan Ibu jodohkan
Siang itu sangat cerah. Warna biru menghiasi langit di kota terbesar nomor satu di negara New Zeland itu. Di sebuah mobil sedan mewah berwarna merah ferarri yang membelah jalan raya, seorang wanita duduk di jok belakang. Dia tampak begitu modis dengan gaun hitam dan tas tangan kulit berwarna merah marun. Jam tangan mahal turut menunjang penampilannya yang mentereng. "Kita menuju Le French Eatry." titah Theresia kepada sopir pribadinya yang menatap majikannya dari kaca sepion tengah dan menganggukkan kepala setelahnya.Wanita itu menulis pesan singkat yang berbunyi; "Aku dalam perjalanan menuju Le French Eatry. Tunggulah sebentar."Theresia kembali menyibukkan kedua tangannya dengan cermin dan lipstik. Disapukannya lipstik merah tua itu di bibirnya yang berbentuk hati, yang berhasil menambah kesan betapa elegan penampilan wanita itu.Sembari tersenyum antusias, Elena melambaikan tangan begitu mendapati entitas wanita yang sudah dia tunggu kehadirannya sejak 15 menit yang lalu. There
"Oh, cucuku! Kau terlihat semakin cantik setelah dewasa," ucap Marie begitu mendapati entitas gadis yang berdiri di ambang pintu dengan dua tas besar ditenteng pada kedua tangannya.Segera tangan keriput Marie memeluk tubuh Amelie dan merebahkan kepalanya ada bahu gadis itu. Dihirupnya aroma mawar yang menenangkan pada tubuh gadis itu. Setelah dirasa puas, Marie melepas pelukannya pada gadis itu, Marie meraih salah satu tas besar yang dijinjing Amelie dan berjalan masuk."Masuk lah, aku sudah menyiapkan makanan untukmu."Gadis itu mengangguk dan berjalan dibelakang wanita tua itu sembari mengedarkan pandangan. Bangunan rumah itu banyak yang berubah dari terakhir kali Amelie meninggalkan rumah itu. Saat itu usianya menginjak 12 tahun. "Terima kasih, Nek." jawab Amelie sembari mengambil posisi duduk di kursi ruang makan."Terimakasih untuk apa? Sudah kewajibanku memberi makanan untuk cucu yang sangat aku sayangi."Makanan sudah terhidang di atas meja berbentuk persegi dihadapannya, tak
Sudah beberapa hari terakhir Amelie mengalami morning sickness yang cukup mengganggu. Tidak sesuap makanan pun masuk ke dalam saluran cerna gadis itu, melainkan kembali ia muntahkan. Mungkin, untuk hari-hari yang lalu ia masih bisa menahan. Tetapi tidak untuk kali ini. Rasa mual yang menyerang teramat hebat, seolah mengaduk-aduk seluruh isi perutnya. Pun rasa pusing yang menyerang kepalanya, tak kalah hebat intensitas sakitnya. Amelie keluar dari kamar mandi dengan langkah tertatih. Pandangannya berkunang-kunang. Marie yang menyaksikan peristiwa itu langsung berlari mendekati cucunya dan memapahnya untuk duduk ke sebuah kursi. Dua potong roti panggang milik Amelie dibiarkan begitu saja. Kini, wanita tua itu tidak lagi berbicara panjang lebar seperti sebelumnya. Marie merasa bersalah sudah memaksa cucunya untuk makan dalam jumlah yang banyak. Sementara itu, Louis terus berjalan hilir mudik sembari terus bergumam;"Oh, tuhan, apa yang sudah terjadi pada cucuku!" Tidak jauh berbeda d
Kondisi kesehatan Amelie kian membaik dari hari ke hari. Obat yang diresepkan Gideon berhasil mengurangi mual muntah yang akhir-akhir ini dialami oleh gadis itu. Setelah selesai dengan sarapannya, Amelie menyambar tas ransel kecil yang berisikan obat dan sebotol air untuk menemani perjalanannya pagi ini. "Kau mau kemana?" tanya Marie dengan tatapan bertanya begitu menyadari keberadaan ransel kecil di samping cucunya yang kini tengah mengikat tali sepatu.Mendengar pertanyaan Marie, Amelie pun mendongak, lalu berkata;"Aku mau mencari pekerjaan, Nek." "Kerja katamu? Kondisimu baru saja setabil, Sayang. Bisakah kau urungkan niatmu dan mencari pekerjaan di lain waktu?" tanya Marie memulai sesi negosiasi.Setelah selesai mengikat kedua sepatu cats miliknya, gadis itu berdiri sambil tersenyum mendengar ucapan Marie yang begitu perhatian padanya. "Lihatlah," kata Amelie sembari memutar tubuh di depan neneknya, untuk meyakinkan wanita tua itu bahwa tidak ada hal yang perlu dicemaskan. "Ak