"Ibu, ada yang ingin aku katakan " ucap seorang pria sembari berjalan mendekati wanita paruh baya yang sedang asyik membaca majalah fashion favoritnya didampingi secangkir kopi.
"Apa yang ingin kau katakan, Putraku?"Bukan menjawab, tetapi Jonathan memperlihatkan kepada Theresia sebuah alat test kehamilan yang menampilkan dua baris merah. Seketika Theresia mengernyit."Alat tes kehamilan? Apa kau sudah menghamili seorang gadis?" tanya Theresia sembari mengambil test pack dari tangan Jonathan.Theresia menatap benda itu dan Jonathan secara bergantian."Benar, Bu. Aku sudah menghamili Amelie."Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi Jonathan. Membuat satu tangannya memegangi pipi karena rasa perih yang terasa. Firasatnya berkata, hal buruk akan segera terjadi."Dari awal aku sudah curiga, Jonathan! Bukankah selama ini aku selalu memintamu untuk tidak bergaul dengan gadis pembantu itu?!""Ibu, aku begitu mencintainya. Tidak bisakah Ibu memberi Amelie kesempatan untuk kami membina rumah tangga?" pinta Jonathan yang berbalas delikan tajam Theresia.Tanpa berucap sepatah kata, Theresia berjalan ke kamar pembantu untuk mencari keberadaan Amelie.Theresia mengedarkan pandangan begitu tiba di koridor kamar pembantu. Dengan cepat wanita itu menemukan gadis yang ia cari sedang bergurau dengan Katie dan pelayan yang lain."Dasar gadis jalang!" pekiknya sembari menarik kasar rambut Amelie.Amelie meringis kesakitan, berusaha membebaskan rambutnya dari cengkraman Theresia. Namun, bukan semakin meregang, justru Theresia semakin kuat dan brutal menarik rambut Amelie."Hentikan, Nyonya! Itu sangat menyakitkan," seru Amelie dengan tetap berusaha terdengar menghormati sang nyonya besar itu."Kau pikir, aku akan menuruti kemauanmu? Apa yang kau lakukan sampai putra kesayanganku bertekuk lutut padamu?" ucap Theresia sembari mendekatkan wajahnya pada wajah Amelie. Gadis itu ketakutan dan mulai menunduk. Air mata Amelie mulai berjatuhan.Sementara pekerja lain tidak ada yang berani melerai Theresia. Mereka hanya menonton penindasan yang Theresia lakukan terhadap Amelie."Jangan anggap aku wanita bodoh, Amelie! Aku tau saat ini kau sedang mengandung anak Jonathan!" jerit Theresia sembari menampar keras wajah Amelie, hingga membuat gadis itu tersungkur.Robert dan Irene yang mengetahui kejadian tersebut segera berlari menghampiri Amelie."Amelie, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Irene dan Robert hampir bersamaan."Asal kalian tau! Anak gadismu yang terlihat lugu ini sangat jauh dari penilaian orang-orang tantangnya!" ucap Theresia bersungut-sungut dengan kedua tangan terlipat di depan dada."Jonathan berkata padaku, bahwa dia sudah menghamili anak kalian. Tetapi aku tidak begitu saja percaya," ucap Theresia sembari mengibaskan tangan diudara, sebelum akhirnya ia menambahkan;"bisa saja Amelie hamil dengan pria lain, dan mengaku jika janin yang dikandungnya adalah anak Jonathan.""Nyonya, tolong jaga ucapan Anda!" hardik Robert saat mendengar anak gadisnya direndahkan. Sementara itu, Irene terus mengelus punggung Amelie yang bergetar karena tangis yang tergugu."Kenapa? Bisa saja kan? Tampan dan kaya. Siapa gadis yang tidak menginginkan Jonathan? Tetapi anakmu, malah memanfaatkan kehamilanya untuk mengikat Jonathan.""Nyonya, saya yakin sepenuhnya bahwa bayi di dalam kandungan saya adalah anak Jonathan." ucap Amelie disela isakan tangis sembari memegangi perut, tempat dimana buah cintanya dengan Jonathan tumbuh."Omong kosong! Gugurkan kandunganmu, atau jangan pernah lagi menginjakkan kakimu di rumah ini!" ancam Theresia sebelum akhirnya pergi meninggalkan Amelie yang malang.Semua pekerja yang tadi menonton peristiwa itu dari kejauhan berhambur mendekati tiga orang yang masih terduduk di atas lantai. Masing-masing dari mereka mengucapkan kalimat untuk menguatkan Amelie. Amelie memaksa diri untuk tersenyum demi menghargai usaha mereka. Sangat mudah ditebak, dibalik senyuman Amelie, terdapat luka menganga yang sangat perih. Mereka tidak sanggup membayangkan seperti apa jadinya seandainya mereka yang berada di posisi Amelie saat ini.Sementara itu, Jonathan masih duduk di sofa ruang tamu dengan raut gelisah. Pria itu merutukki dirinya yang tidak bisa memenuhi apa yang telah dia ucapkan pada Amelie.Satu hari sebelumnya ...Jonathan menatap Amelie yang sedang menyapa bunga mawar beraneka warna dari kejauhan. Dari senandung yang lolos dari gadis itu, dapat terlihat bagaimana gadis itu merasa senang dan bangga semua mawar yang ia pelihara tumbuh dengan baik.Jonathan berjalan mendekati Amelie yang masih bersenandung dan membelai mawar yang mekar dengan sempurna."Bunga-bunga itu memang cantik. Tapi kecantikannya tidak dapat mengalahkan kecantikan wajahmu, Amelie."Amelie menoleh cepat ke arah Jonathan. Gadis itu tersipu. Rona merah menghiasi kedua pipinya. Jonathan tersenyum melihat ekspresi Amelie yang begitu alami. Gadis lembut yang selama dua tahun terakhir menjadi kekasihnya tanpa sepengetahuan Edmund dan Theresia.Sepasang sejoli itu menjalin hubungan tanpa sepengetahuan orang tua Jonathan. Baik Amelie, Jonathan, ataupun pekerja lain yang bekerja pada keluarga Jonathan sama-sama saling mengerti, perbedaan status sosial keduanya sangat jauh. Sudah pasti Theresia si wanita angkuh itu akan menolak hubungan keduanya. Karena itu, keduanya sepakat untuk bersikap tidak lebih seperti umumnya pembantu dan majikan di depan Tuan dan Nyonya Hayes."Jo? Sejak kapan kau berdiri disitu?"Jonathan menarik siku dan melirik jam tangan miliknya sebelum berucap;"Entah, sudah berapa lama aku berdiri di sini. Yang aku tau, waktu saat bersamamu terasa begitu singkat."Jonathan yang mendapat pukulan pelan di dada bidangnya meringis berpura-pura kesakitan. Pukulan Amelie sama sekali tidak sakit."Berhenti menggodaku, Jo!" jawab Amelie sembari mengerutkan bibirnya yang menurut Jonathan ekspresi wajah itu sangat manis."Jo, ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu." ucap Amelie tanpa basa-basi.Melihat raut Amelie yang berubah sedih, Jonathan berpikir bahwa apa yang akan disampaikan gadis itu bukanlah berita baik."Katakan saja, Sayang." Jonathan mengusap lembut kepala gadis yang saat ini menunduk takut sambil meremas rok yang ia kenakan.Semburat kecemasan yang terpancar di wajah gadis itu semakin membuat Jonathan penasaran. Kedua alis tebal Jonathan pun bertaut."Sayang, katakan jika memang ada yang perlu untuk dikatakan. Jangan menyimpan perasaanmu sendiri," Jonathan menunduk, menyamai tinggi Amelie sembari memegang dagu gadis itu."A-aku hamil, Jo." jawab Amelie dengan suara parau. Bulir air mata mulai berjatuhan. Gadis itu menyerahkan alat tes kehamilan yang menampakkan dua garis merah berjejer rukun dengan tangan gemetar.Jonathan menggamit benda itu dengan alis bertaut. Ia masih tidak menyangka. Dia akan segera menjadi ayah sebentar lagi. Pria itu merasa dilema. Ada perasaan bahagia, ada juga rasa gelisah. Akankah kehamilan Amelie bisa melunakkan hati Theresia untuk memberi restu atas hubungan keduanya?"Amelie, kau tidak perlu menangis. Seharusnya kau berbahagia karena kini didalam kandunganmu telah hadir buah cinta kita." Jonathan tersenyum sembari mengusap bulir kristal yang terus saja berjatuhan di pipi Amelie. Berusaha menenangkan badai kesedihan yang melanda hati kekasihnya.Gadis itu hanya mengangguk pelan. Dia tidak yakin kehamilannya akan menjadi kabar bahagia untuk keluarga Hayes. Kemungkinan buruk atas respon nyonya besar pemilik rumah tempat dia dan kedua orang tuanya mengabdi sebagai pembantu itu mulai menghantui pikirannya."Percayalah, Amelie. Semua akan baik-baik saja. Akan ku bujuk orang tuaku agar bisa menerimamu dan anak kita." pria itu mengusap perut Amelie dan mendaratkan sebuah kecupan di kening gadis itu setelahnya.Jonathan kembali mengacak rambut hitamnya dengan frustasi. Bayangan wajah polos Amelie seolah mengiris hatinya.Apa yang sudah ia lakukan? Memberi harapan kepada gadis itu yang nampaknya hanya menjadi isapan jempol belaka.***Amelie membenamkan wajah pada kedua lutut di tempat yang sama saat ia jatuh tersungkur akibat ulah kejam Theresia. Sementara para pekerja lain masih mengelilinginya dan terus memberi semangat pada gadis malang tersebut."Amelie, aku minta maaf. Ini semua salahku. Kalau saja aku tidak menyarankanmu untuk ..." Katie yang tertunduk dan enggan menatap mata Amelie tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. "Kau tidak perlu merasa bersalah untuk itu, Katie."Mendengar jawaban Amelie, Katie pun menatap wajah Amelie sebentar, lalu kembali menunduk. Perasaan bersalahnya kepada Amelie begitu besar. Katie berpikir petaka yang menimpa Amelie hari ini merupakan akibat dari sarannya agar Amelie memberi tahu kepada Jonathan perihal kehamilannya. "Karena cepat atau lambat, Jonathan harus mengetahui kehamilanku.""Lalu, apa yang akan kau lakukan setelah ini? Apakah kau akan menuruti keinginan Nyonya Theresia untuk menggugurkan kandunganmu?" tanya Katie dengan penuh kehati-hatian. "Tentu saja tidak." Ame
Alamat yang Katie berikan menuntun Amelie tiba di sebuah rumah sederhana dengan cat berwarna abu-abu, dengan hamparan rumput tumbuh subur di pekarangan rumah. Rumah itu tampak sepi, Amelie ragu jika alamat rumah yang Katie berikan ternyata salah. Tapi, bukankah mustahil jika gadis itu lupa alamat rumah tempat ia dibesarkan oleh kedua orang tuanya? Amelie menatap sekeliling untuk menunggu seseorang lewat di jalan tersebut. Gadis itu ingin bertanya, 'benarkah rumah yang ada di hadapannya saat ini adalah rumah orang tua Katie?' Sangat disayangkan, jalanan itu sepi. Suara knop pintu yang bergerak membuat gadis itu menoleh dengan mata berbinar. Dia berharap bisa mendapatkan jawaban yang pasti tentang rumah orang tua Katie. Seorang wanita kisaran umur 50 tahun muncul dari balik pintu. Wanita itu tersenyum ramah dan segera menghampiri Amelie."Kau Amelie Anderson?" tanya wanita tua itu dengan memiringkan kepala."Benar, Nyonya, saya Amelie Anderson yang-" belum selesai dengan ucapannya
Selama tiga hari bermalam di rumah orang tua Katie, Amelie tidak mengalami masalah sedikit pun. Dia merasa nyaman berada di rumah itu. Matilda dan Harry selalu mengatakan kepada gadis itu untuk bersikap selayaknya dirumah sendiri. "Makanlah yang banyak, Amelie, bayimu juga membutuhkan gizi yang cukup," ucap Matilda setelah melihat Amelie hanya mengambil satu potong roti dan meletakkan ke piringnya. "Ini sudah cukup, Bibi," jawab Amelie sembari mengulas senyum."Hem," Matilda menggeleng sembari meletakkan satu potong roti panggang dan beberapa potong pisang ke piring Amelie. "Kami turut prihatin atas kejadian yang menimpamu, Amelie," kata Harry setelah meneguk susu miliknya. Pria berberewok itu menatap Amelie dengan tatapan iba. "Terimakasih, Paman." jawab gadis itu sembari tersenyum samar, lalu menambahkan madu manuka di atas makannya. Amelie menyukai rasa manis. "Aku percaya kau gadis yang kuat Amelie. Lupakan kegetiran itu, dan mulailah membuka lembaran baru. Selalu ada harapan
Hari-hari yang Jonathan lalui begitu membosankan. Jika selama ini rumah adalah tempat yang selalu ingin membuatnya kembali setiap kali pergi, tapi hal itu tidak berlaku lagi setelah Amelie tidak berada di sana. Dengan malas pria itu membuka pintu rumah dan seketika kemalasanya kian bertambah saat Theresia berhambur dengan senyum girang terpatri di wajahnya yang mulai keriput. Dapat dipastikan wanita itu memiliki rencana dibalik keramahannya malam ini. "Putraku, kau sudah pulang? Makanlah, hidangan makan malam sepesial malam ini sudah menunggumu." Jonathan berjalan dengan pasrah mengikut ke arah Theresia menarik tangannya. Pria itu mengernyit saat mendapati sahabat ibunya berada di meja makan, bersama suami dan seorang gadis yang sama sekali tidak dikenalinya.Gadis itu terus tersenyum ke arah Jonathan. Membuat Jonathan merasa risih dan sesekali membalas senyumannya dengan senyuman samar. Apa rencana Theresia kali ini?"Perkenalkan, Jonathan, dia Elena. Gadis yang akan Ibu jodohkan
Siang itu sangat cerah. Warna biru menghiasi langit di kota terbesar nomor satu di negara New Zeland itu. Di sebuah mobil sedan mewah berwarna merah ferarri yang membelah jalan raya, seorang wanita duduk di jok belakang. Dia tampak begitu modis dengan gaun hitam dan tas tangan kulit berwarna merah marun. Jam tangan mahal turut menunjang penampilannya yang mentereng. "Kita menuju Le French Eatry." titah Theresia kepada sopir pribadinya yang menatap majikannya dari kaca sepion tengah dan menganggukkan kepala setelahnya.Wanita itu menulis pesan singkat yang berbunyi; "Aku dalam perjalanan menuju Le French Eatry. Tunggulah sebentar."Theresia kembali menyibukkan kedua tangannya dengan cermin dan lipstik. Disapukannya lipstik merah tua itu di bibirnya yang berbentuk hati, yang berhasil menambah kesan betapa elegan penampilan wanita itu.Sembari tersenyum antusias, Elena melambaikan tangan begitu mendapati entitas wanita yang sudah dia tunggu kehadirannya sejak 15 menit yang lalu. There
"Oh, cucuku! Kau terlihat semakin cantik setelah dewasa," ucap Marie begitu mendapati entitas gadis yang berdiri di ambang pintu dengan dua tas besar ditenteng pada kedua tangannya.Segera tangan keriput Marie memeluk tubuh Amelie dan merebahkan kepalanya ada bahu gadis itu. Dihirupnya aroma mawar yang menenangkan pada tubuh gadis itu. Setelah dirasa puas, Marie melepas pelukannya pada gadis itu, Marie meraih salah satu tas besar yang dijinjing Amelie dan berjalan masuk."Masuk lah, aku sudah menyiapkan makanan untukmu."Gadis itu mengangguk dan berjalan dibelakang wanita tua itu sembari mengedarkan pandangan. Bangunan rumah itu banyak yang berubah dari terakhir kali Amelie meninggalkan rumah itu. Saat itu usianya menginjak 12 tahun. "Terima kasih, Nek." jawab Amelie sembari mengambil posisi duduk di kursi ruang makan."Terimakasih untuk apa? Sudah kewajibanku memberi makanan untuk cucu yang sangat aku sayangi."Makanan sudah terhidang di atas meja berbentuk persegi dihadapannya, tak
Sudah beberapa hari terakhir Amelie mengalami morning sickness yang cukup mengganggu. Tidak sesuap makanan pun masuk ke dalam saluran cerna gadis itu, melainkan kembali ia muntahkan. Mungkin, untuk hari-hari yang lalu ia masih bisa menahan. Tetapi tidak untuk kali ini. Rasa mual yang menyerang teramat hebat, seolah mengaduk-aduk seluruh isi perutnya. Pun rasa pusing yang menyerang kepalanya, tak kalah hebat intensitas sakitnya. Amelie keluar dari kamar mandi dengan langkah tertatih. Pandangannya berkunang-kunang. Marie yang menyaksikan peristiwa itu langsung berlari mendekati cucunya dan memapahnya untuk duduk ke sebuah kursi. Dua potong roti panggang milik Amelie dibiarkan begitu saja. Kini, wanita tua itu tidak lagi berbicara panjang lebar seperti sebelumnya. Marie merasa bersalah sudah memaksa cucunya untuk makan dalam jumlah yang banyak. Sementara itu, Louis terus berjalan hilir mudik sembari terus bergumam;"Oh, tuhan, apa yang sudah terjadi pada cucuku!" Tidak jauh berbeda d
Kondisi kesehatan Amelie kian membaik dari hari ke hari. Obat yang diresepkan Gideon berhasil mengurangi mual muntah yang akhir-akhir ini dialami oleh gadis itu. Setelah selesai dengan sarapannya, Amelie menyambar tas ransel kecil yang berisikan obat dan sebotol air untuk menemani perjalanannya pagi ini. "Kau mau kemana?" tanya Marie dengan tatapan bertanya begitu menyadari keberadaan ransel kecil di samping cucunya yang kini tengah mengikat tali sepatu.Mendengar pertanyaan Marie, Amelie pun mendongak, lalu berkata;"Aku mau mencari pekerjaan, Nek." "Kerja katamu? Kondisimu baru saja setabil, Sayang. Bisakah kau urungkan niatmu dan mencari pekerjaan di lain waktu?" tanya Marie memulai sesi negosiasi.Setelah selesai mengikat kedua sepatu cats miliknya, gadis itu berdiri sambil tersenyum mendengar ucapan Marie yang begitu perhatian padanya. "Lihatlah," kata Amelie sembari memutar tubuh di depan neneknya, untuk meyakinkan wanita tua itu bahwa tidak ada hal yang perlu dicemaskan. "Ak
Jantung Amelie tidak berhenti berdetak saat pagi itu tiba. Dia bahkan nyaris tidak dapat tidur semalam, bayang saat-saat mendebarkan terus berkelibat di kepala. Dia akan menjadi pengantin hari itu."Astaga, Nona, tanganmu dingin sekali," ucap MUA yang baru saja menjabat tangan Amelie untuk mengucapkan selamat atas pernikahan yang akan berlangsung. Tidak ada yang dapat Amelie lakukan selain tersenyum hambar. Dia begitu gelisah, sebentar lagi wanita itu akan mengucap janji suci dengan Jonathan di depan para hadirin. "Ah, aku hanya gugup." jawab Amelie sembari meremas gaun putih yang dia pakai. "Hahaha, aku tau bagaimana rasanya. Aku juga mengalami hal yang sama denganmu saat detik-detik pernikahanku akan dimulai " kenang Linda sembari memasukan perlatan make up yang tidak lagi di gunakan ke dalam tas make up. "Percayalah, itu hanya di awal. Begitu ikrar janji suci selesai diucapkan, hatimu akan terasa sangat lega. Kau bahkan akan menangis bahagia setelahnya." Linda mengangguk penuh p
Malam semakin larut. Angin malam sangat dingin menggigit kulit, selimut tebal yang menutup tubuh tidak dapat mengalahkan dinginnya udara malam itu, sehingga membangunkan Irene untuk mengecek penghangat ruangan.Kedua mata Irene mengerjab beberapa kali saat mendapati ranjang di sebelahnya kosong tanpa keberadaan Robert, sehingga wanita berambut cokelat tersebut berjalan keluar untuk mencari tahu keberadaan sang suami. Saat pintu di buka Irene menyipitkan mata mendapati suaminya yang sedang duduk di undakan teras kamar pelayan dengan wajah menengadah ke langit, bersandarkan tiang penyangga yang terbuat dari batu alam dengan raut melankolis.Perlahan wanita itu berjalan mendekat."Robert?" panggilnya dengan nada lembut khas wanita tersebut yang seketika membuat pemilik nama menoleh. "Kenapa kau di luar? Udara sangat dingin, Sayang?" Irene menyentuh bahu suaminya dan mengambil posisi duduk di sebelah Robert, menahan dingin udara malam itu demi menemani pria yang sangat dia cintai."Irene,
Jonathan berjalan kembali ke ruangannya dengan senyum tak lepas dari paras rupawannya. Hal itu membuat beberapa pasang mata melihatnya dengan raut bertanya-tanya, namun segera mereka menata ekspresi seperti biasa saat bertabrak pandang dengan Jonathan. Saat pria itu masuk ke dalam ruangan kerjanya, seorang gadis sudah duduk menunggunya di sana. "Saya lihat Anda sedang berbahagia hari ini, Tuan," ucap Krista Valerie sembari mengulum bibir melihat pria itu masuk ke dalam ruangan. "Bukan hanya sedang, aku sangat-sangat bahagia hari ini." Jonathan duduk di kursi kebesarannya. Tanpa ingin mengetahui lebih lanjut tentang perasaan bahagia atasannya, gadis itu berdeham dan menanyakan mengapa dirinya di panggil untuk datang ke ruangan pria yang terus tersenyum seperti orang terserang gangguan jiwa itu. "Maaf, Tuan, ada keperluan apa Anda memanggil saya kesini?" Tidak langsung menanggapi pertanyaan sekretarisnya, pria itu mengambil beberapa map dari tumpukan dokumen dan menyerahkannya pad
Amelie merasa lemas setelah melihat tiga alat test kehamilan menunjukan hasil yang sama, dua garis merah yang berjajar. Entah apa yang harus dia lakukan sekarang? Apakah mengabari Jonathan tentang kehamilannya adalah pilihan yang tepat? Dia begitu khawatir kejadian yang sama akan terulang, Jonathan mengabarkan kepada keluarganya, dan Theresia akan memintanya menggugurkan janin tidak berdosa yang Jonathan tanam di rahimnya. Seketika air mata yang semula surut kembali berjatuhan di kedua pipinya. Dia tidak akan sanggup mengulangi kembali kisah yang sama, menanggung kehamilannya sendiri dan membesarkan bayi itu sendiri. Sungguh, itu semua itu adalah tanggung jawab yang berat. Lamunan Amelie dibuyarkan dengan suara ketukan pintu dari luar. Dengan cepat dia menyapu air mata sampai tidak tersisa. Meski wajah sembab tidak dapat disembunyikan sama sekali. "Amelie, buka pintunya," dengan raut cemas Marie mengetuk pintu dan memutar kenop berulang kali. Semenjak kepulangannya dari tempat ker
Amelie mengerjabkan kedua mata saat rasa kantuk masih bergelayut di kedua matanya. Dia harus bangun untuk bersiap bekerja dan mengantar Axel ke sekolah, namun tubuhnya seolah enggan untuk bangkit, serasa melekat di atas kasur yang saat ini dia tempati. Sesaat kedua matanya terpejam untuk mengingat-ingat apa saja yang sudah dia rasakan akhir-akhir ini. Amelie merasa kurang enak badan akhir-akhir ini. Sering kali nyeri kepala tiba-tiba menghampiri, dan buah dadanya terasa nyeri. Indra penciumannya menjadi sensitif. Kedua alis Amelie bertaut, baru kemudian wanita itu bangkit dari ranjang dengan sedikit tergesa dan menyambar ponsel di atas nakas, untuk membuka aplikasi periode menstruasi dan melihat kapan menstruasi terakhirnya. Entah mengapa saat hendak membuka aplikasi periode di ponselnya, tiba-tiba jantungnya berdebar kencang. Seolah-olah dia sudah yakin jika jawaban yang dia dapatkan adalah sesuatu yang akan mengecewakan dan mengguncang kewarasannya. Wanita yang masih berbalut piy
Matahari semakin beringsut menuju peraduan, menyisahkan warna orange di batas cakrawala. Kedai mulai sepi dari pengunjung, satu per satu di antara pengunjung Demiurge mulai meninggalkan kedai setelah selesai dengan aktivitas mengisi perut. Amelie mengelap meja dengan kain lap sebagai penutup aktifitas di kedai sore menjelang malam. Di saat yang bersamaan, Emery yang baru saja keluar dari ruangan Benitto menghampiri wanita itu dengan membawa kain lap, melakukan aktifitas yang sama di sebelah meja yang Amelie bersihkan. Emery berdeham untuk membuat Amelie menyadari keberadaannya. Seketika wanita anggun itu menoleh, dan menyapa Emery dengan wajah ramah."Hey," sapa Amelie yang kemudian kembali menatap meja yang sudah mengkilap, dapat dia lihat pantulan wajahnya di atas meja berlapis pernis itu. Emery tidak bisa menahan keingin tahuannya terhadap pertemuan sahabatnya dengan seorang pria yang Axel ceritakan padanya siang tadi."Maaf, Amelie, aku berharap kau tidak tersinggung jika aku b
Jantung Amelie berdebar kencang saat dia membuka selimut yang menutupi tubuh. Tidak sehelai pun pakaian yang menempel pada tubuhnya. Bergegas wanita itu membersihkan diri setelah pergulatan dengan Jonathan semalam.Di bawah pancuran shower yang menyirami sekujur tubuhnya dengan air, Amelie memejamkan kedua matanya. Dia mengingat kejadian tadi malam, dan merutukki dirinya yang bisa dengan mudah membiarkan Jonathan menikmati tubuhnya. 'Bodoh! Dasar Amelie bodoh! Bagaimana jika setelah ini dia pergi meninggalkanmu lagi? Mengapa semalam aku tidak memintanya memakai pelindung?' batin Amelie yang mulai di landa cemas. Kedua tangannya perlahan meremas rambutnya yang basah hingga rasa sakit akibat tarikan terasa.Kepala wanita itu menggeleng, berusaha menepis segala kemungkinan dan prasangka buruk terhadap Jonathan. Namun semakin berusaha menepis, semua prasangka buruk itu semakin brutal menyerang kepalanya. ....................."Amelie, pagi sekali kau bangun?" Jonathan mengerjabkan kedua
Hari itu menjadi hari yang sangat membahagiakan bagi Axel. Dia bisa merasakan berakhir pekan dengan kedua orang tuanya di tempat-tempat yang dia sukai, hal yang selalu menjadi impiannya semenjak dia sering mempertanyakan keberadaan ayahnya."Ayah, apakah Ayah tahu? Hari ini aku senang sekali bisa pergi bertamasya bersama kedua orang tuaku." gumam Axel saat perjalanan pulang. Sesaat setelah itu Axel menguap, dan perlahan kedua matanya terpejam.Jonathan mengelus kepala Axel yang duduk di pangkuan Amelie, sementara satu tangannya tetap memegang kemudi. "Ayah juga sangat bahagia, Sayang. Kita bisa berakhir pekan bertiga setelah menjalani hari-hari yang melelahkan." Amelie tersenyum. Dalam hati dia mengiyakan bahwa dia juga merasakan hal yang sama."Dia sudah tertidur, Jo," bisik Amelie sembari mengelus kepala Axel. Rambut yang dia genggam sudah bertambah panjang, seingat Amelie baru dua bulan lalu dia mengantar Axel ke barber shop.Roda terus bergulir, saat Amelie melihat ke arah luar
Amelie terbangun dan terkejut saat mendapati posisi tubuhnya berubah. Lengan Amelie dan Jonathan saling memeluk. Wanita itu segera menghempaskan lengan kekar Jonathan yang memeluk tubuhnya. "Kenapa kau bisa semudah itu memelukku? Dasar pria mesum," Amelie menggerutu sembari berjalan ke toilet. Suara keran air dan suhu dingin air menyentuh kulit wajahnya yang seketika membuat kesadarannya sepenuhnya kembali. Wanita itu menatap pantulan bayangannya di cermin. Amelie menepuk-nepuk wajahnya, dan seketika mengaduh karena tepukan itu terasa perih."Aw!" rasa sakit yang dia rasakan menyadarkannya, malam yang dia lalui bersama Jonathan bukanlah mimpi, itu sebuah kenyataan. Bahkan tepukan pada pipinya menyisahkan bekas merah. Kedua mata Amelie terpejam dengan kedua tangan menopang tubuh di pinggiran washtafel. Sebuah pertanyaan yang menggelitik hatinya muncul. Apakah bertemu dengan Jonathan kembali adalah sebuah takdir? Amelie menghela nafas sembari berjalan kembali menuju kamar. Namun saa