Alamat yang Katie berikan menuntun Amelie tiba di sebuah rumah sederhana dengan cat berwarna abu-abu, dengan hamparan rumput tumbuh subur di pekarangan rumah.
Rumah itu tampak sepi, Amelie ragu jika alamat rumah yang Katie berikan ternyata salah.Tapi, bukankah mustahil jika gadis itu lupa alamat rumah tempat ia dibesarkan oleh kedua orang tuanya?Amelie menatap sekeliling untuk menunggu seseorang lewat di jalan tersebut. Gadis itu ingin bertanya, 'benarkah rumah yang ada di hadapannya saat ini adalah rumah orang tua Katie?' Sangat disayangkan, jalanan itu sepi.Suara knop pintu yang bergerak membuat gadis itu menoleh dengan mata berbinar. Dia berharap bisa mendapatkan jawaban yang pasti tentang rumah orang tua Katie.Seorang wanita kisaran umur 50 tahun muncul dari balik pintu. Wanita itu tersenyum ramah dan segera menghampiri Amelie."Kau Amelie Anderson?" tanya wanita tua itu dengan memiringkan kepala."Benar, Nyonya, saya Amelie Anderson yang-" belum selesai dengan ucapannya wanita tua itu memotong ucapan Amelie."Katie sudah bercerita banyak tentangmu, silahkan masuk," wanita itu menggandeng lengan Amelie dengan antusias.Melihat kehadirannya disambut baik, Amelie pun tersenyum."Perkenalkan, namaku itu Matilda. Panggil saja Bibi, jangan memanggilku Nyonya. Apa kau mengerti?"Amelie menanggapi ucapan Matilda dengan anggukan kepala.Wanita itu sedikit cerewet. Dapat Amelie pastikan kecerewetan sahabatnya merupakan turunan dari Matilda."Mari aku tunjukkan kamarmu." Matilda membantu Amelie membawakan salah satu tas besar berisi pakaian sembari menunjukan kamar yang hendak ditempati oleh gadis itu.Sepanjang lorong yang dilalui, Amelie tidak berhenti melihat jajaran foto yang ditempel di dinding. Tak terhitung berapa kali dia melihat wajah Katie mendominasi hampir seluruh figura yang ada disana."Dasar gadis narsis," gumam Amelie sembari tersenyum.Langkah Amelie terhenti saat ia menemukan foto dirinya juga tertempel di dinding.Gadis itu mengulum senyum. Tampak di foto itu Amelie dan Katie menggunakan gaun yang sama di salah satu gereja di Auckland."Kau mungkin tidak akan heran. Semua foto yang tertempel di dinding hampir sembilan puluh persen adalah foto Katie. Kau pasti tahu betapa narsisnya gadis itu." Matilda berdecah sembari menggeleng.Amelie tertawa mendengarnya. Apa yang wanita itu katakan memang benar."Ini kamarmu." Matilda membuka sebuah kamar yang tidak begitu luas dengan single bad dan meja kayu berlapis cat dan pritur di sisi ranjang.Amelie mengengguk. Kamar itu tidak jauh berbeda dengan kamar yang dia tempati sewaktu bekerja di rumah keluarga Hayes."Beristirahatlah, Amelie. Kau pasti lelah. Biar aku siapkan makan malam." Kata Matilda sebelum akhirnya meninggalkan kamar Amelie.***Prang!Suara kaca beradu dengan lantai terdengar lantang di dapur kediaman keluarga Hayes. Semua pekerja menoleh ke arah sumber suara. Namun tidak satu orang pun yang berani mendekat, selain Katie dan Irene yang memang bertugas membersihkan bagian dalam rumah."Katie, ini saatnya," bisik Irene sembari mengambil peralatan kebersihan yang biasa dia pakai."Tunggu! Biar aku yang melakukannya, Bibi," cegah Katie yang sudah bersiap memasang telinganya untuk menyimak percakapan Jonathan dan Theresia.Para pekerja begitu yakin jika di dalam sedang terjadi perdebatan antara tuan muda dan nyonya besar. Karena hanya dua orang tersebut yang ada di sana.Kathie menganggukan kepala sebagai ganti ucapan permisi. Permisi untuk membersihkan serpihan gelas di lantai itu. Bukan, lebih tepatnya permisi untuk menyimak perdebatan antara ibu dan anak.Katie memunguti serpihan kaca itu dengan pelan untuk mengulur waktu."Bisakah kau berhenti memasang wajah sedih dan terus memintaku untuk merestui hubunganmu dengan gadis jalang itu, Jonathan?!" Jerit Theresia dengan berkacak pinggang. "Aku sudah sangat muak mendengarnya." tambah Theresia sebelum akhirnya mebanting vas kaca yang terletak tidak jauh dari tempatnya berdiri.Atmosfer ketegangan begitu ketara. Seketika nyali Katie menciut melihat Theresia yang berapi-api."Ibu, aku tidak bisa kah Ibu menyebut nama Amelie dengan baik? Dia bukan wanita jalang, Ibu!" jawab Jonathan dengan suara bergetar."Mulai berani kau pada Ibu!" Theresia mendaratkan sebuah tamparan ada pipi Jonathan sebelum akhirnya kembali melempar peralatan kaca yang terjangkau olehnya. Terdengar kembali suara kaca yang beradu dengan lantai.Jika tadi Katie langsung berlari begitu terdengar suara gelas pecah, tapi tidak untuk kali ini. Nyali Katie menciut. Dia memilih untuk tetap berada di tempat dan membersihkan serpihan kaca itu saat perang dingin antara Theresia dan Jonatan selesai."Apa kata orang-orang saat mengetahui putra semata wayangku menghamili anak pembantu, bahkan berniat untuk menikahinya? Jangan naif, Jonathan! Itu sangat memalukan! Suruh gadis itu untuk segera menggugurkan kandunganya!" sarkas Theresia sembari melempar tatapan membunuh kepada putranya."Tidak akan, Bu!" pekik Jonathan dengan kedua mata terbuka lebar, sebelum akhirnya dia menambahkan;"Sudah matikah hati nuranimu, sehingga Ibu ingin aku dan Amelie membunuh bayi yang tidak berdosa?!""Berani kau menentang Ibu?!" pekik Theresia sembari mendaratkan sebuah tamparan di pipi Jonathan untuk kesekian kali.Tamparan Theresia begitu keras, menyisahkan rona merah dipipi Jonathan. Pria itu hanya memegangi pipinya tanpa merintih kesakitan."Jika kau tidak bisa melakukannya, biar Ibu yang bicara adanya. Katie!"seru Theresia dengan lantang yang berhasil membuat Katie terperanjat, nyaris melompat.Jonathan hanya mendengus sembari melipat kedua tangan di depan dada. Pria itu merutukki dirinya yang berulang kali berujar kepada Amelie bahwa semua akan baik-baik saja.'Maafkan kan aku, Amelie.' rintih Jonathan dalam hati.Gadis berpakaian pelayan itu menarik nafas panjang untuk menghalau rasa takut yang menerjang, dan segera berlari memenuhi seruan nyonya besar."Iya, Nyonya," gadis itu menganggukkan kepala memberi hormat kepada wanita angkuh yang berjalan hilir-mudik dengan berkacak pinggang."Panggilkan Amelie sekarang juga,""Baik, Nyonya," jawab gadis itu kemudian berlalu.Katie yang sudah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi berpura-pura seolah-olah dia benar-benar tidak mengerti apapun.Katie berjalan menuju kamar Amelie agar Theresia tidak mencurigainya. Kemampuan beraktingnya sangat dibutuhkan saat ini.Saat gadis itu berjalan ke kamar Amelie, Robert, Irene segera berhambur ke arah Katie. Raut kecemasan tergambar jelas pada wajah keduanya."Bagaimana? Apakah kemarahan Nyonya Theresia ada kaitanya dengan Amelie?" tanya Irene dengan berbisik. Wanita itu menoleh ke segala arah, memastikan jika Theresia tidak sedang mengawasi pergerakan mereka."Benar, Bibi Irene. Kemungkinan buruk itu benar-benar terjadi." raut kesedihan turut menghiasi wajah Katie. Meski sebelumnya dia sudah yakin kemarahan Theresia akan membara begitu mengetahui Amelie mengandung anak Jonathan."Katie!" kembali Theresia menyeru namanya."Paman, Bibi, aku harus segera menemui Nyonya Theresia. Aku akan mengabarkan kepada kalian jika ada informasi yang penting untuk kalian ketahui," kata Katie yang setelahnya berlari memenuhi panggilan sang majikan.Robert mengusap wajahnya dengan kasar. Sementara sang istri memilin jemarinya untuk meluapkan kegelisahan hatinya."Amelie tidak ada di kamarnya, Nyonya. Saya sudah mencari di taman, tapi tidak ketemu." ucap Katie berusaha terdengar tenang, walau sebenarnya hatinya tengah digelayuti perasaan takut."Benarkah? Kau sudah mencarinya dengan benar? Bagaimana jika dia berada di kandang kuda?" desak Theresia.Katie berusaha untuk tidak memutar bola mata. Dia yang sudah menyarankan gadis itu pergi, sudah pasti Katie tau kalau Amelie tidak berada di kandang kuda."Saya juga sudah mencari di sana, Nyonya, tapi saya tidak menjumpai Amelie.""Panggil kedua orang tuanya kemari." pinta Theresia sembari membuang wajah ke segala arah.Katie mengangguk sebelum pergi memanggil Robert dan Irene."Bagaimana kelanjutanya?" tanya Robert dan Irene secara bersamaan, begitu mendapati gadis itu datang."Theresia memanggil Paman dan Bibi."Robert mendesah sembari mendaratkan satu pukulan ke tembok. Membuat Katie dan Irene meringis, membayangkan bagaimana sakitanya jemari Robert."Paman jangan khawatir. Bersikaplah tenang dan berpura-pura seolah tidak tau kemana Amelie pergi." ucap Katie berusaha meyakinkan Irene dan Robert, sebelum akhirnya ia menambahi; "Aku percaya, Paman dan Bibi bisa melakukannya. Cepat kita pergi sekarang, sebelum Nyonya Theresia mengamuk,"Ketiganya bergegas datang menemui Theresia. Sesampainya disana, mereka di suguhkan dengan tatapan tajam Theresia. Sementara Jonathan sudah tidak terlihat lagi di ruangan itu."Kau sudah tau, Robert, bahwa anak gadismu sudah menggoda anakku. Dan kini dia mengaku hamil dengan anakku. Rasanya, sulit dipercaya jika Jonathan anakku yang tampan rupawan dan keturunan keluarga kaya raya jatuh cinta dengan putrimu. Yang tidak lebih hanyalah pembantu di rumahnya sendiri." Theresia mengibas-ngibaskan tangannya dengan angkuh.Kedua tangan Robert mengepal. Ingin sekali Robert memukul mulut wanita itu hingga semua giginya runtuh. Tapi apa daya? Tapi jika memang dia melakukannya, sudah pasti Theresia tidak segan-segan untuk memecat Robert saat itu juga. Robert sangat membutuhkan pekerjaan ini untuk membiyayai kebutuhan hidup kedua orang tuanya.Robert menarik nafas panjang untuk meredam kekesalannya."Katakan pada putrimu yang kotor itu untuk segera menggugurkan kandunganya. Kehamilanya hanya menambah beban dan mencoreng citra baik keluargaku." ucap Theresia dengan kedua tangan terlipat di depan dada."Kenapa diam? Kau tidak tuli, kan, Robert Anderson?" ucapan menyayat kembali lolos dari mulut Theresia."Saya pikir, Anda terlalu berlebihan jika mengatakan Amelie sudah menggoda putra Anda, Nyonya." jawab Robert sembari berusaha tetap tenang."Jadi? Kau menuduh anakku liar sampai akhirnya dia menghamili anakmu? Jangan gila Robert!" pekik Theresia sembari mendaratkan telunjuk pada kening pria tua itu.Robert hanya tertunduk pasrah menerima perlakuan Theresia. Sementara Irene dan Katie terus-terusan mengumpat dalam hati melihat Theresia yang berucap dan bertingkah semena-mena."Apapun yang terjadi, Amelie harus menggugurkan kandungannya sekarang juga. Aku tidak ingin dia berkeliaran dan mengatakan kepada orang-orang bahwa Jonathan sudah menghamilinya. Katie, berikan ponselmu," Theresia mengadahkan salah satu tangannya.Katie tidak dapat menolak. Dalam kepasrahan, gadis itu merogoh saku apronnya untuk mengambil hand phone miliknya.Degup jantung Katie memburu, membuatnya kesulitan menelan liur.'Semoga Amelie tidak lupa mengganti nomor teleponnya. Oh tuhan, ingin rasanya aku pergi dari sini.' Katie berdoa dalam hati.Berulang kali Theresia melakukan panggilan telepon kepada Amelie, tapi tidak sekalipun terdengar nada terhubung."Sial! Ambil benda ini, aku tidak butuh!" Theresia mengembalikan hand phone Katie dan pergi tanpa permisi.Ketiganya menghembuskan nafas lega saat wanita itu menghilang dari pandangan."Hampir saja jantungku meloncat keluar." gumam Katie sembari memanyunkan bibir.Ketiganya kembali ke kamar pembantu untuk berdiskusi apa yang sebaiknya Amelie lakukan berikutnya.***Selama tiga hari bermalam di rumah orang tua Katie, Amelie tidak mengalami masalah sedikit pun. Dia merasa nyaman berada di rumah itu. Matilda dan Harry selalu mengatakan kepada gadis itu untuk bersikap selayaknya dirumah sendiri. "Makanlah yang banyak, Amelie, bayimu juga membutuhkan gizi yang cukup," ucap Matilda setelah melihat Amelie hanya mengambil satu potong roti dan meletakkan ke piringnya. "Ini sudah cukup, Bibi," jawab Amelie sembari mengulas senyum."Hem," Matilda menggeleng sembari meletakkan satu potong roti panggang dan beberapa potong pisang ke piring Amelie. "Kami turut prihatin atas kejadian yang menimpamu, Amelie," kata Harry setelah meneguk susu miliknya. Pria berberewok itu menatap Amelie dengan tatapan iba. "Terimakasih, Paman." jawab gadis itu sembari tersenyum samar, lalu menambahkan madu manuka di atas makannya. Amelie menyukai rasa manis. "Aku percaya kau gadis yang kuat Amelie. Lupakan kegetiran itu, dan mulailah membuka lembaran baru. Selalu ada harapan
Hari-hari yang Jonathan lalui begitu membosankan. Jika selama ini rumah adalah tempat yang selalu ingin membuatnya kembali setiap kali pergi, tapi hal itu tidak berlaku lagi setelah Amelie tidak berada di sana. Dengan malas pria itu membuka pintu rumah dan seketika kemalasanya kian bertambah saat Theresia berhambur dengan senyum girang terpatri di wajahnya yang mulai keriput. Dapat dipastikan wanita itu memiliki rencana dibalik keramahannya malam ini. "Putraku, kau sudah pulang? Makanlah, hidangan makan malam sepesial malam ini sudah menunggumu." Jonathan berjalan dengan pasrah mengikut ke arah Theresia menarik tangannya. Pria itu mengernyit saat mendapati sahabat ibunya berada di meja makan, bersama suami dan seorang gadis yang sama sekali tidak dikenalinya.Gadis itu terus tersenyum ke arah Jonathan. Membuat Jonathan merasa risih dan sesekali membalas senyumannya dengan senyuman samar. Apa rencana Theresia kali ini?"Perkenalkan, Jonathan, dia Elena. Gadis yang akan Ibu jodohkan
Siang itu sangat cerah. Warna biru menghiasi langit di kota terbesar nomor satu di negara New Zeland itu. Di sebuah mobil sedan mewah berwarna merah ferarri yang membelah jalan raya, seorang wanita duduk di jok belakang. Dia tampak begitu modis dengan gaun hitam dan tas tangan kulit berwarna merah marun. Jam tangan mahal turut menunjang penampilannya yang mentereng. "Kita menuju Le French Eatry." titah Theresia kepada sopir pribadinya yang menatap majikannya dari kaca sepion tengah dan menganggukkan kepala setelahnya.Wanita itu menulis pesan singkat yang berbunyi; "Aku dalam perjalanan menuju Le French Eatry. Tunggulah sebentar."Theresia kembali menyibukkan kedua tangannya dengan cermin dan lipstik. Disapukannya lipstik merah tua itu di bibirnya yang berbentuk hati, yang berhasil menambah kesan betapa elegan penampilan wanita itu.Sembari tersenyum antusias, Elena melambaikan tangan begitu mendapati entitas wanita yang sudah dia tunggu kehadirannya sejak 15 menit yang lalu. There
"Oh, cucuku! Kau terlihat semakin cantik setelah dewasa," ucap Marie begitu mendapati entitas gadis yang berdiri di ambang pintu dengan dua tas besar ditenteng pada kedua tangannya.Segera tangan keriput Marie memeluk tubuh Amelie dan merebahkan kepalanya ada bahu gadis itu. Dihirupnya aroma mawar yang menenangkan pada tubuh gadis itu. Setelah dirasa puas, Marie melepas pelukannya pada gadis itu, Marie meraih salah satu tas besar yang dijinjing Amelie dan berjalan masuk."Masuk lah, aku sudah menyiapkan makanan untukmu."Gadis itu mengangguk dan berjalan dibelakang wanita tua itu sembari mengedarkan pandangan. Bangunan rumah itu banyak yang berubah dari terakhir kali Amelie meninggalkan rumah itu. Saat itu usianya menginjak 12 tahun. "Terima kasih, Nek." jawab Amelie sembari mengambil posisi duduk di kursi ruang makan."Terimakasih untuk apa? Sudah kewajibanku memberi makanan untuk cucu yang sangat aku sayangi."Makanan sudah terhidang di atas meja berbentuk persegi dihadapannya, tak
Sudah beberapa hari terakhir Amelie mengalami morning sickness yang cukup mengganggu. Tidak sesuap makanan pun masuk ke dalam saluran cerna gadis itu, melainkan kembali ia muntahkan. Mungkin, untuk hari-hari yang lalu ia masih bisa menahan. Tetapi tidak untuk kali ini. Rasa mual yang menyerang teramat hebat, seolah mengaduk-aduk seluruh isi perutnya. Pun rasa pusing yang menyerang kepalanya, tak kalah hebat intensitas sakitnya. Amelie keluar dari kamar mandi dengan langkah tertatih. Pandangannya berkunang-kunang. Marie yang menyaksikan peristiwa itu langsung berlari mendekati cucunya dan memapahnya untuk duduk ke sebuah kursi. Dua potong roti panggang milik Amelie dibiarkan begitu saja. Kini, wanita tua itu tidak lagi berbicara panjang lebar seperti sebelumnya. Marie merasa bersalah sudah memaksa cucunya untuk makan dalam jumlah yang banyak. Sementara itu, Louis terus berjalan hilir mudik sembari terus bergumam;"Oh, tuhan, apa yang sudah terjadi pada cucuku!" Tidak jauh berbeda d
Kondisi kesehatan Amelie kian membaik dari hari ke hari. Obat yang diresepkan Gideon berhasil mengurangi mual muntah yang akhir-akhir ini dialami oleh gadis itu. Setelah selesai dengan sarapannya, Amelie menyambar tas ransel kecil yang berisikan obat dan sebotol air untuk menemani perjalanannya pagi ini. "Kau mau kemana?" tanya Marie dengan tatapan bertanya begitu menyadari keberadaan ransel kecil di samping cucunya yang kini tengah mengikat tali sepatu.Mendengar pertanyaan Marie, Amelie pun mendongak, lalu berkata;"Aku mau mencari pekerjaan, Nek." "Kerja katamu? Kondisimu baru saja setabil, Sayang. Bisakah kau urungkan niatmu dan mencari pekerjaan di lain waktu?" tanya Marie memulai sesi negosiasi.Setelah selesai mengikat kedua sepatu cats miliknya, gadis itu berdiri sambil tersenyum mendengar ucapan Marie yang begitu perhatian padanya. "Lihatlah," kata Amelie sembari memutar tubuh di depan neneknya, untuk meyakinkan wanita tua itu bahwa tidak ada hal yang perlu dicemaskan. "Ak
Jonathan tidak menyangka tanggal 15 April datang begitu cepat. 15 April adalah tanggal yang telah disepakati keluarga Hayes dan keluarga Victor untuk melangsungkan pernikahan Jonathan dengan Elena. Seorang gadis cantik yang sama sekali tidak bisa membuatnya lupa dari sosok yang amat dicintai, Amelie Anderson.Dengan wajah masam, pria berusia 25 tahun itu memantas diri di depan cermin kamarnya. Mengenakan jas hitam yang telah dibeli secara khusus untuknya di hari pernikahan. Ingin sekali Jonathan merobek jas pemberian ibunya itu."Jo, Ibu mohon, jangan memasang ekspresi seerti itu. Ini hari besar untukmu." pinta Theresia saat melihat ekspresi wajah Jonathan.Entah sudah kali ke berapa Theresia mengucapkan pesan yang sama. Dan dia merasa muak akan hal itu. Jonathan memaksa menarik ke dua ujung bibirnya, sehingga tampak senyuman kaku. Senyuman kering dengan wajah tanpa ekspresi, sebagaimana manekin di toko baju. Setidaknya, dengan cara itulah dia ingin membungkam mulut ibunya, agar sege
Malam hari adalah saat yang paling ditunggu bagi sepasang pengantin baru untuk saling menyalurkan hasrat satu sama lain. Tapi, bagaimana jika pasangan yang saat ini bersama denganmu dalam satu kamar bukanlah seseorang yang kau cintai? Akankah hasrat biologis tetap akan tumbuh dalam perasaan hangat, dan menjalari sekujur tubuh keduanya. Mendorong agar keduanya saling bergumul beberapa ronde demi kepuasan bersama. Jonathan membaringkan tubuh di atas ranjang sembari menghela nafas lelah. Pria itu belum sempat melepas kemeja yang ia gunakan dalam prosesi pernikahan tadi siang. Bahakan untuk membersihkan diri saja rasanya enggan.Dengan dada berdebar, Elena berjalan mendekati Jonathan yang sedang berbaring di atas ranjang. "Jo ..." sapanya terdengar manja. Jonathan hanya menoleh sesaat, sebelum akhirnya kembali menghembuskan nafas lelah. Berada di samping Elena seharian ini membuat Jonathan merasa sangat lelah. Meski berdiri beriringan sebenarnya bukanlah hal yang berat untuk dilakukan.