Jonathan tidak menyangka tanggal 15 April datang begitu cepat. 15 April adalah tanggal yang telah disepakati keluarga Hayes dan keluarga Victor untuk melangsungkan pernikahan Jonathan dengan Elena. Seorang gadis cantik yang sama sekali tidak bisa membuatnya lupa dari sosok yang amat dicintai, Amelie Anderson.Dengan wajah masam, pria berusia 25 tahun itu memantas diri di depan cermin kamarnya. Mengenakan jas hitam yang telah dibeli secara khusus untuknya di hari pernikahan. Ingin sekali Jonathan merobek jas pemberian ibunya itu."Jo, Ibu mohon, jangan memasang ekspresi seerti itu. Ini hari besar untukmu." pinta Theresia saat melihat ekspresi wajah Jonathan.Entah sudah kali ke berapa Theresia mengucapkan pesan yang sama. Dan dia merasa muak akan hal itu. Jonathan memaksa menarik ke dua ujung bibirnya, sehingga tampak senyuman kaku. Senyuman kering dengan wajah tanpa ekspresi, sebagaimana manekin di toko baju. Setidaknya, dengan cara itulah dia ingin membungkam mulut ibunya, agar sege
Malam hari adalah saat yang paling ditunggu bagi sepasang pengantin baru untuk saling menyalurkan hasrat satu sama lain. Tapi, bagaimana jika pasangan yang saat ini bersama denganmu dalam satu kamar bukanlah seseorang yang kau cintai? Akankah hasrat biologis tetap akan tumbuh dalam perasaan hangat, dan menjalari sekujur tubuh keduanya. Mendorong agar keduanya saling bergumul beberapa ronde demi kepuasan bersama. Jonathan membaringkan tubuh di atas ranjang sembari menghela nafas lelah. Pria itu belum sempat melepas kemeja yang ia gunakan dalam prosesi pernikahan tadi siang. Bahakan untuk membersihkan diri saja rasanya enggan.Dengan dada berdebar, Elena berjalan mendekati Jonathan yang sedang berbaring di atas ranjang. "Jo ..." sapanya terdengar manja. Jonathan hanya menoleh sesaat, sebelum akhirnya kembali menghembuskan nafas lelah. Berada di samping Elena seharian ini membuat Jonathan merasa sangat lelah. Meski berdiri beriringan sebenarnya bukanlah hal yang berat untuk dilakukan.
Elena menatap kesal pada pria yang masih terlelap dengan bertelanjang dada di sebelahnya. Keinginannya melewati malam pertama dengan penuh kenikmatan sirna, lantaran Jonathan melakukannya dengan kasar tanpa foreplay. "Shit!" umpatnya sembari merengsek turun dari ranjang. Wanita itu meringis, menahan perih akibat organ intim yang lecet hasil pergulatan semalam. Theresia dan Edmund menoleh begitu mendengar suara derap kaki menuruni tangga. Seorang pria muda berpakaian rapi tersenyum kepada mereka sembari menjinjing jas hitam miliknya. Berjalan mendekat dan menarik sebuah kursi di meja makan. Pria itu turun sendiri, mengundang tanya di kepala Theresia. Kemana menantunya? Seharusnya pagi ini menjadi sarapan pertamanya bersama anggota baru di keluarganya. "Dimana Elena?" tanya Therseia dengan tatapan penuh tanya melihat putranya dengan polos meletakkan makanan ke dalam piringnya. "Dia masih di kamar, Bu. Mungkin saat ini dia kelelahan." jawab Jonathan sembari menyuapkan roti ke dalam m
Tak terasa satu bulan telah berlalu sejak pertama Amelie bekerja di Demiurge. Gadis itu beradaptasi dengan sangat baik dan cepat dengan pekerjaan barunya. Terlebih, para pekerja disana menyambutnya dengan sangat baik. Bahkan mereka memintanya agar tidak sungkan untuk bertanya jika ada hal yang kurang dimengerti dalam menjalankan pekerjaannya. Dari jarak dua meter, dua wanita sedang memperhatikan seorang gadis yang tengah menulis pesanan yang diminta salah satu pengunjung. Wajah rupawan itu selalu terlihat ramah dan menyuguhkan senyum kepada para pengunjung. "Julie, apakah kau memikirkan hal yang sama denganku?" tanya Anne dari balik counter. Tatapan matanya tak terlepas dari sosok Amelie."Hm? Maksudmu?" tanya Julie dengan dahi mengernyit. Gadis itu sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan temannya."Haah. Aku merasa fisik Amelie berubah. Buah dadanya yang terlihat penuh, suhu tubuh yang lebih hangat dari orang sehat pada umumnya. Ditambah lagi perbedaan yang sangat men
Seorang wanita berambut ikal mayang berjalan menyusuri pekarangan perusahaan E&H Food. Semua pekerja menyambutnya dengan ramah. Namun sayang sekali, wanita itu justru bersikap angkuh dan tidak menjawab satu pun sapaan dari pekerja yang ia temui."Nyonya Muda," sapa Damian sembari menunduk hormat kepada wanita muda yang belum lama ini menikah dengan putra semata wayang majikannya, Edmund Hayes. Damian Cyrilo menjabat sebagai kepala devisi keamanan di perusahaan keluarga Hayes selama 5 tahun terakhir ini. Selama ini, pria berusia 56 tahun itu cukup dekat dengan Jonathan dan ayahnya. Dia selalu diminta secara khusus oleh Jonathan untuk menjaga keamanan di depan ruang rapat jika rapat dengan pihak luar sedang berlangsung. Dia selalu sukses mengemban tugas dari Jonathan."Apa yang membawa Nyonya datang kemari?" kembali pria tua berusia 56 tahun itu bertanya dengan sopan.Elena dengan angkuh memutar bola mata lalu berkata;"Aku datang untuk menemui suamiku." "Tapi, maaf, Nyonya. Tuan Jonath
Jonathan yang terbiasa tidur memunggungi Elena tidak berreaksi sedikit pun terhadap istrinya yang membalik-balikkan tubuh di atas ranjang. Elena tengah gusar memikirkan wanita bernama Amelie. Elena memutuskan untuk menganggap bahwa Amelie adalah rival baginya sejak pertama kali mendengar Jonathan menyebut nama gadis tersebut.Jonathan memilih bungkam dan tidak mau tau tentang sesuatu yang mengganggu pikiran Elena. Mata pria itu menerawang menatap dinding. Pikiranya penuh dengan Amelie. Jonathan sangat merindukannya saat ini. Cukup lama Elena membalik-balikan tubuh yang menumbulkan derit suara ranjang. Kali ini, Jonathan merasa terganggu. Dia memutuskan untuk keluar dari kamar dan mencari udara segar di taman rumah. Elena mencebik kesal. Jonathan sama sekali tidak menanyakan keadaannya. Malam sudah larut, suami istri sejatinya akan bertanya tentang hal yang mengganggu pikiran pasangannya, apa yang membuat teman satu ranjangnya tidak dapat memejamkan mata. Tapi, lihatlah. Pria itu mala
Dengan pakaian basah kuyup, Jonathan masuk ke dalam mini bar yang terletak di pojok ruang bersantai keluarga. Pria itu mengambil beberapa botol whisky dan segera beranjak dari mini bar tersebut menuju kamar. Dia tak ingin orang tuanya melihat betapa kacau dirinya saat ini. Yang hanya akan mendapat cecaran dari Theresia, jika wanita itu tahu kekacauannya berkaitan dengan gadis pembantu yang amat dibenci ibunya. "Sayang, apa yang akan kau lakukan dengan minuman-minuman itu?" tanya Elena yang lebih dulu tiba di dalam kamar, melihat suaminya memeluk 5 botol whiskey."Oh. Bukan apa-apa. Tubuhku rasanya sangat lelah. Aku hanya ingin sedikit mabuk malam ini." "Benarkah, kau hanya merasa lelah?" tanya Elena berpura-pura tidak tahu. Sebenarnya wanita itu tahu, suaminya ingin sejenak melupakan masalah yang dihadapi dengan menjadikan alkohol sebagai teman.Senyap. Jonathan mulai menuang whiskey ke dalam gelas hingga penuh, meneguknya dengan brutal sekali tandas. Dan itu dilakukan berulang kali
Siang itu Demiurge begitu padat pengunjung. Matahari cukup terik. Para pekerja dituntut untuk bekerja cekatan saat ini, tak terkecuali Amelie. Gadis itu memaksa diri utuk bergerak cepat meski saat ini dia sangat kelelahan. Berjalan tergopoh-gopoh membawa perut yang semakin besar. "Pelayan, di sebelah sini!" seru seorang pria berkecamata saat Amelie membawa baki berisi pesanannya. Nyaris gadis itu terantuk punggung pekerja lain yang berdiri tidak jauh darinya. "Oh, baik, Tuan." jawab Amelie ramah. Perlahan menyajikan makanan yang dipesan pengunjung tersebut. "Kau baik-baik saja, Nona? Wajahmu pucat sekali," tanya pria berkecamata yang mendapati wajah Amelie pucat. "O, tidak, Tuan. Saya baik-baik saja. Terima kasih atas perhatiannya." jawab Amelie kemudian berbalik badan.Siang itu udara panas sangat terasa, meski semua kipas angin di hall berputar. Keringat dingin bercucuran di dahi Amelie. Dia berjalan tertatih membawa tubuhnya yang terasa begitu berat. Kedua kakinya sangat berat
Jantung Amelie tidak berhenti berdetak saat pagi itu tiba. Dia bahkan nyaris tidak dapat tidur semalam, bayang saat-saat mendebarkan terus berkelibat di kepala. Dia akan menjadi pengantin hari itu."Astaga, Nona, tanganmu dingin sekali," ucap MUA yang baru saja menjabat tangan Amelie untuk mengucapkan selamat atas pernikahan yang akan berlangsung. Tidak ada yang dapat Amelie lakukan selain tersenyum hambar. Dia begitu gelisah, sebentar lagi wanita itu akan mengucap janji suci dengan Jonathan di depan para hadirin. "Ah, aku hanya gugup." jawab Amelie sembari meremas gaun putih yang dia pakai. "Hahaha, aku tau bagaimana rasanya. Aku juga mengalami hal yang sama denganmu saat detik-detik pernikahanku akan dimulai " kenang Linda sembari memasukan perlatan make up yang tidak lagi di gunakan ke dalam tas make up. "Percayalah, itu hanya di awal. Begitu ikrar janji suci selesai diucapkan, hatimu akan terasa sangat lega. Kau bahkan akan menangis bahagia setelahnya." Linda mengangguk penuh p
Malam semakin larut. Angin malam sangat dingin menggigit kulit, selimut tebal yang menutup tubuh tidak dapat mengalahkan dinginnya udara malam itu, sehingga membangunkan Irene untuk mengecek penghangat ruangan.Kedua mata Irene mengerjab beberapa kali saat mendapati ranjang di sebelahnya kosong tanpa keberadaan Robert, sehingga wanita berambut cokelat tersebut berjalan keluar untuk mencari tahu keberadaan sang suami. Saat pintu di buka Irene menyipitkan mata mendapati suaminya yang sedang duduk di undakan teras kamar pelayan dengan wajah menengadah ke langit, bersandarkan tiang penyangga yang terbuat dari batu alam dengan raut melankolis.Perlahan wanita itu berjalan mendekat."Robert?" panggilnya dengan nada lembut khas wanita tersebut yang seketika membuat pemilik nama menoleh. "Kenapa kau di luar? Udara sangat dingin, Sayang?" Irene menyentuh bahu suaminya dan mengambil posisi duduk di sebelah Robert, menahan dingin udara malam itu demi menemani pria yang sangat dia cintai."Irene,
Jonathan berjalan kembali ke ruangannya dengan senyum tak lepas dari paras rupawannya. Hal itu membuat beberapa pasang mata melihatnya dengan raut bertanya-tanya, namun segera mereka menata ekspresi seperti biasa saat bertabrak pandang dengan Jonathan. Saat pria itu masuk ke dalam ruangan kerjanya, seorang gadis sudah duduk menunggunya di sana. "Saya lihat Anda sedang berbahagia hari ini, Tuan," ucap Krista Valerie sembari mengulum bibir melihat pria itu masuk ke dalam ruangan. "Bukan hanya sedang, aku sangat-sangat bahagia hari ini." Jonathan duduk di kursi kebesarannya. Tanpa ingin mengetahui lebih lanjut tentang perasaan bahagia atasannya, gadis itu berdeham dan menanyakan mengapa dirinya di panggil untuk datang ke ruangan pria yang terus tersenyum seperti orang terserang gangguan jiwa itu. "Maaf, Tuan, ada keperluan apa Anda memanggil saya kesini?" Tidak langsung menanggapi pertanyaan sekretarisnya, pria itu mengambil beberapa map dari tumpukan dokumen dan menyerahkannya pad
Amelie merasa lemas setelah melihat tiga alat test kehamilan menunjukan hasil yang sama, dua garis merah yang berjajar. Entah apa yang harus dia lakukan sekarang? Apakah mengabari Jonathan tentang kehamilannya adalah pilihan yang tepat? Dia begitu khawatir kejadian yang sama akan terulang, Jonathan mengabarkan kepada keluarganya, dan Theresia akan memintanya menggugurkan janin tidak berdosa yang Jonathan tanam di rahimnya. Seketika air mata yang semula surut kembali berjatuhan di kedua pipinya. Dia tidak akan sanggup mengulangi kembali kisah yang sama, menanggung kehamilannya sendiri dan membesarkan bayi itu sendiri. Sungguh, itu semua itu adalah tanggung jawab yang berat. Lamunan Amelie dibuyarkan dengan suara ketukan pintu dari luar. Dengan cepat dia menyapu air mata sampai tidak tersisa. Meski wajah sembab tidak dapat disembunyikan sama sekali. "Amelie, buka pintunya," dengan raut cemas Marie mengetuk pintu dan memutar kenop berulang kali. Semenjak kepulangannya dari tempat ker
Amelie mengerjabkan kedua mata saat rasa kantuk masih bergelayut di kedua matanya. Dia harus bangun untuk bersiap bekerja dan mengantar Axel ke sekolah, namun tubuhnya seolah enggan untuk bangkit, serasa melekat di atas kasur yang saat ini dia tempati. Sesaat kedua matanya terpejam untuk mengingat-ingat apa saja yang sudah dia rasakan akhir-akhir ini. Amelie merasa kurang enak badan akhir-akhir ini. Sering kali nyeri kepala tiba-tiba menghampiri, dan buah dadanya terasa nyeri. Indra penciumannya menjadi sensitif. Kedua alis Amelie bertaut, baru kemudian wanita itu bangkit dari ranjang dengan sedikit tergesa dan menyambar ponsel di atas nakas, untuk membuka aplikasi periode menstruasi dan melihat kapan menstruasi terakhirnya. Entah mengapa saat hendak membuka aplikasi periode di ponselnya, tiba-tiba jantungnya berdebar kencang. Seolah-olah dia sudah yakin jika jawaban yang dia dapatkan adalah sesuatu yang akan mengecewakan dan mengguncang kewarasannya. Wanita yang masih berbalut piy
Matahari semakin beringsut menuju peraduan, menyisahkan warna orange di batas cakrawala. Kedai mulai sepi dari pengunjung, satu per satu di antara pengunjung Demiurge mulai meninggalkan kedai setelah selesai dengan aktivitas mengisi perut. Amelie mengelap meja dengan kain lap sebagai penutup aktifitas di kedai sore menjelang malam. Di saat yang bersamaan, Emery yang baru saja keluar dari ruangan Benitto menghampiri wanita itu dengan membawa kain lap, melakukan aktifitas yang sama di sebelah meja yang Amelie bersihkan. Emery berdeham untuk membuat Amelie menyadari keberadaannya. Seketika wanita anggun itu menoleh, dan menyapa Emery dengan wajah ramah."Hey," sapa Amelie yang kemudian kembali menatap meja yang sudah mengkilap, dapat dia lihat pantulan wajahnya di atas meja berlapis pernis itu. Emery tidak bisa menahan keingin tahuannya terhadap pertemuan sahabatnya dengan seorang pria yang Axel ceritakan padanya siang tadi."Maaf, Amelie, aku berharap kau tidak tersinggung jika aku b
Jantung Amelie berdebar kencang saat dia membuka selimut yang menutupi tubuh. Tidak sehelai pun pakaian yang menempel pada tubuhnya. Bergegas wanita itu membersihkan diri setelah pergulatan dengan Jonathan semalam.Di bawah pancuran shower yang menyirami sekujur tubuhnya dengan air, Amelie memejamkan kedua matanya. Dia mengingat kejadian tadi malam, dan merutukki dirinya yang bisa dengan mudah membiarkan Jonathan menikmati tubuhnya. 'Bodoh! Dasar Amelie bodoh! Bagaimana jika setelah ini dia pergi meninggalkanmu lagi? Mengapa semalam aku tidak memintanya memakai pelindung?' batin Amelie yang mulai di landa cemas. Kedua tangannya perlahan meremas rambutnya yang basah hingga rasa sakit akibat tarikan terasa.Kepala wanita itu menggeleng, berusaha menepis segala kemungkinan dan prasangka buruk terhadap Jonathan. Namun semakin berusaha menepis, semua prasangka buruk itu semakin brutal menyerang kepalanya. ....................."Amelie, pagi sekali kau bangun?" Jonathan mengerjabkan kedua
Hari itu menjadi hari yang sangat membahagiakan bagi Axel. Dia bisa merasakan berakhir pekan dengan kedua orang tuanya di tempat-tempat yang dia sukai, hal yang selalu menjadi impiannya semenjak dia sering mempertanyakan keberadaan ayahnya."Ayah, apakah Ayah tahu? Hari ini aku senang sekali bisa pergi bertamasya bersama kedua orang tuaku." gumam Axel saat perjalanan pulang. Sesaat setelah itu Axel menguap, dan perlahan kedua matanya terpejam.Jonathan mengelus kepala Axel yang duduk di pangkuan Amelie, sementara satu tangannya tetap memegang kemudi. "Ayah juga sangat bahagia, Sayang. Kita bisa berakhir pekan bertiga setelah menjalani hari-hari yang melelahkan." Amelie tersenyum. Dalam hati dia mengiyakan bahwa dia juga merasakan hal yang sama."Dia sudah tertidur, Jo," bisik Amelie sembari mengelus kepala Axel. Rambut yang dia genggam sudah bertambah panjang, seingat Amelie baru dua bulan lalu dia mengantar Axel ke barber shop.Roda terus bergulir, saat Amelie melihat ke arah luar
Amelie terbangun dan terkejut saat mendapati posisi tubuhnya berubah. Lengan Amelie dan Jonathan saling memeluk. Wanita itu segera menghempaskan lengan kekar Jonathan yang memeluk tubuhnya. "Kenapa kau bisa semudah itu memelukku? Dasar pria mesum," Amelie menggerutu sembari berjalan ke toilet. Suara keran air dan suhu dingin air menyentuh kulit wajahnya yang seketika membuat kesadarannya sepenuhnya kembali. Wanita itu menatap pantulan bayangannya di cermin. Amelie menepuk-nepuk wajahnya, dan seketika mengaduh karena tepukan itu terasa perih."Aw!" rasa sakit yang dia rasakan menyadarkannya, malam yang dia lalui bersama Jonathan bukanlah mimpi, itu sebuah kenyataan. Bahkan tepukan pada pipinya menyisahkan bekas merah. Kedua mata Amelie terpejam dengan kedua tangan menopang tubuh di pinggiran washtafel. Sebuah pertanyaan yang menggelitik hatinya muncul. Apakah bertemu dengan Jonathan kembali adalah sebuah takdir? Amelie menghela nafas sembari berjalan kembali menuju kamar. Namun saa