Selama tiga hari bermalam di rumah orang tua Katie, Amelie tidak mengalami masalah sedikit pun. Dia merasa nyaman berada di rumah itu. Matilda dan Harry selalu mengatakan kepada gadis itu untuk bersikap selayaknya dirumah sendiri.
"Makanlah yang banyak, Amelie, bayimu juga membutuhkan gizi yang cukup," ucap Matilda setelah melihat Amelie hanya mengambil satu potong roti dan meletakkan ke piringnya."Ini sudah cukup, Bibi," jawab Amelie sembari mengulas senyum."Hem," Matilda menggeleng sembari meletakkan satu potong roti panggang dan beberapa potong pisang ke piring Amelie."Kami turut prihatin atas kejadian yang menimpamu, Amelie," kata Harry setelah meneguk susu miliknya. Pria berberewok itu menatap Amelie dengan tatapan iba."Terimakasih, Paman." jawab gadis itu sembari tersenyum samar, lalu menambahkan madu manuka di atas makannya. Amelie menyukai rasa manis."Aku percaya kau gadis yang kuat Amelie. Lupakan kegetiran itu, dan mulailah membuka lembaran baru. Selalu ada harapan baru setiap kali hari berganti." ucap Harry memberi semangat kepada Amelie.Matilda mengangguk cepat setelah mendengar ucapan suaminya, dengan mulut tetap mengunyah.Kembali Amelie mengungum senyum.Amelie tau, untuk kedepannya kehidupan yang dia jalani tidak akan selalu mulus. Akan muncul kerikil kecil, atau badai yang menghadang. Tapi Amelie yakin, bersama bayi yang ada di dalam tubuhnya, dia akan semakin dewasa dan tegar dalam mengarungi kehidupan yang penuh dengan tanda tanya.***Pagi menjelang siang, Katie sedang mengamati tanaman mawar yang seharusnya itu menjadi tanggung jawab Amelie. Sebelum pergi, gadis itu berpesan agar Katie menggantikan tugasnya untuk merawat mawar-mawar yang amat dia sayangi."Aku rela melakukkan ini karena kau sahabatku." gumam Katie saat wajah Amelie melintas dalam benaknya.Seorang pria berjalan mendekat, membuat Katie terkejut karena sama sekali tidak menyadari sejak kapan pria tersebut berdiri di sebelahnya.Terhitung sejak tiga hari Amelie menghilang, Jonathan selalu mencuri-curi kesempatan untuk mendatangi tempat dimana biasanya dia dan Amelie bertemu. Di taman, gudang, atau kamar tempat gadis itu biasa beristirahat. Tapi hanya kehampaan yang dia jumpai."Kau benar-benar tidak tau kebaradaan Amelie?" tanya Jonathan kemudian.Jonathan tau, persahabatan antara Katie dengan kekasihnya terjalin sangat baik. Jika Amelie pergi tanpa meninggalkan pesan untuknya, setidaknya pasti Amelie meninggalkan pesan kepada Katie."Maaf, tapi saya benar-benar tidak tau, Tuan." jawab Katie sambil menahan dengusan kesal.'Andai saja kau tidak melakukan itu pada Amelie, Jonathan, pasti saat ini Amelie masih berada di tempat ini!' umpat Katie dalam hati.Dering ponsel meruang di antara keduanya. Ini waktu yang tepat bagi Katie untuk pergi menjauh dari pria yang dianggap Katie pembawa bencana untuk Amelie."Permisi, Tuan, saya mau mengangkat telepon,"Jonathan menahan Katie dengan cara meraih salah satu tangan gadis tersebut."Telepon dari siapa?" tanya Jonathan dengan alis bertaut. Curiga jika sebenarnya Katie menyembunyikan sesuatu.Katie mendengus pelan agar pria dibelakangnya tidak menyadari kekesalannya. Gadis itu berbalik dan memeprlihatkan layar benda pipih yang ada dalam genggamannya kepada Jonathan."Tepepon dari pacar saya, Tuan," katanya sembari tersenyum hambar. Menyebalkan sekali pria ini."Panggilan dari nomor tidak dikenal. Bagaimana mungkin kau tidak memeberi nama kontak jika orang itu adalah pacarmu?""Saat ini saya sedang marah padanya. Ini sudah menjadi kebiasaan saya jika saya dan pacar saya sedang bertengkar. Saya permisi." Katie melepaskan tangan Jonathan dan berjalan menuju kamarnya.Jonathan masih berdiri terpaku ditempatnya semula. Mengamati punggung Katie yang menghilang di balik pintu kamar khusus pembantu.Theresia yang sejak awal melihat Jonathan dan Katie berbincang dari jendela yang terletak di lantai dua tersenyum licik. Wanita itu sepertinya mengerti apa yang sedang dibicarakan dua orang tersebut. Siapa lagi kalau bukan Amelie? Gadis pembantu yang menurutnya sudah menggoda Jonathan.Raut kesedihan yang terpancar dari wajah Jonathan setelah Katie pergi semakin menguatkan opini Theresia."Bagus. Aku yakin, gadis pembawa sial itu tidak akan berani menginjakkan kaki dirumah ini lagi." gumamnya sembari menyeruput secangkir kopi yang mulai mendingin di dalam genggamannya.***Dahi Katie mengernyit. Siapa yang meneleponnya dengan nomor tidak dikenal. Lama gadis itu berjalan hilir mudik sembari terus menerka siapa orang yang ada di sambungan sebelah, akhirnya dia memberanikan diri menekan tombol hijau."Hallo?" tanya dari sambungan seberang.Seketika kedua ujung bibir Katie tertarik. Dia tau siapa pemilik suara feminim di seberang sana."Amelie?!" jerit Katie yang segera menangkupkan tangan untuk menutup mulut. "Apa kau baik-baik saja disana?""Iya, Katie. Aku baik-baik saja disini. Orang tuamu sangat baik. Aku merasa sangat nyaman berada di tempat ini. Bagaimana kabar Ibu dan Ayahku?" tanya Amelie yang saat ini duduk di atas ranjang kamar dan membelai foto dirinya bersama kedua orang tuanya.Baru tiga hari berpisah dengan Robert dan Irene, tapi yang dirasakan gadis itu seperti sudah satu bulan mereka tidak bertemu. Amelie sangat merindukan Robert dan Irene."Paman dan Bibi baik-baik saja disini.""Tolong pastikan mereka makan dengan benar, Katie. Apa ada hal besar terjadi setelah aku pergi dari rumah itu?" Amelie menanyakan hal yang sebenarnya dia sendiri sudah tau jawabannya."Benar. Sesuatu yang besar terjadi setelah kau pergi, Amelie. Kemungkinan buruk itu ... benar-benar terjadi." Katie menggigit bibir bawah. Tidak dapat terbayang bagaimana hancurnya hati Amelie jika mengetahui Theresia sangat menginginkan dia menggugurkan kandungannya dan berkata kasar kapada Robert."Terimakasih atas saran yang kau beri, Katie. Kau sudah menyelamatkan aku dari amarah Theresia. Aku berhutang budi padamu."Katie berjalan cepat ke kamar milik Robert dan Irene. Saat mengetahui Robert hendak keluar dari ambang pintu, dengan cepat Katie mengisyaratkannya untuk kembali masuk kamar."Ini Amelie," bisik Katie seraya menunjuk ponsel.Dengan mata berbinar Robert dan Irene menoleh ke arah Katie.Katie yang menyadari pintu kamar itu terbuka segera menutupnya. Jangan sampai ada yang mencurigai mereka."Hallo, Sayang? Ibu sangat merindukanmu, Amelie," ucap Irene dengan suara pelan."Berikan padaku," Robert merebut ponsel itu dari tangan istrinya. Membuat Irene melempar delikan kepada Robert."Kau baik-baik saja disana, Sayang?" tanya Robert dengan antusias."Aku baik-baik saja, Ayah. Orang tua Katie sangat baik padaku." Amelie menggeleng, sudah berapa kali dia mendengar pertanyaan yang sama? Oh, Amelie pergi meninggalkan orang-orang yang sangat mencintainya."Amelie, dengarkan Ayah. Sebaiknya kau pergi ke Waikato, tempat Nenek dan Kakekkmu tinggal. Aku takut Theresia akan menemukanmu jika masih berada di Auckland." ucap Robert dengan satu tangan menempel ada dahi.Keputusan yang berat bagi Robert untuk jauh dari Amelie. Tapi, itu semua demi kebaikan Amelie dan anak didalam kandungannya."Baik, Ayah. Aku akan segera pergi dari sini." Amelie menatap sekeliling ruang kamar dengan perasaan sedih.Belum lama dia bertemu dengan Harry dan Matilda yang sangat baik padanya. Manusia berhati tulus yang dia temui setelah Katie dan kedua ornag tuanya. Tapi situasi yang dia alami mengharuskan gadis itu pergi menjauh dari mereka. Amelie yang malang.***Jonathan mengacak rambut dengan frustasi sementara satu tangannya memegang kemudi. Setiap jalan di kota Auckland dia susuri, namun tidak terendus sedikitpun keberadaan Amelie."Kamu dimana, Amelie," rintih Jonathan dengan dada yang terasa sesak. Bulir air mata lolos dari pelupuk mata elangnya.Seandainya tau kejadiannya akan seperti ini, Jonathan akan memilih untuk menjalin persahabatan dengan gadis itu, dan memendam perasaan cintanya. Tetapi, Jonathan begitu takut jika pria lain terlebih dulu datang dan menjadikan gadis itu kekasih. Karena mustahil jika pria tidak jatuh cinta pada pandangan pertama begitu melihat Amelie.Petaka ini terjadi karena dia mengutarakan perasaannya ada Amelie.***"Dari mana saja kau, Jonathan? Hari ini, Ayah dengar kau tidak hadir memimpin rapat rutin. Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Edmund begitu Jonathan tiba di rumah.Dengan malas Jonathan mengurungkan niatnya menaiki undakan tangga."Maaf, Ayah. Pikiranku sangat kacau akhir-akhir ini."Jonathan menatap heran, kenapa Theresia tidak bereaksi sama sekali?"Bisa kau ceritakan pada Ayah apa yang kamu alami?" Edmund menuntun Jonathan untuk ikut duduk bersamanya.Berbeda dengan Theresia. Edmund adalah sosok ayah yang hangat dan bersahaja. Suatu hal yang wajar jika Jonathan lebih dekat dengan ayahnya dibanding Theresia."Anakmu sudah menghamili pembantu di rumah ini." kata Theresia dengan tatapan mata masih melekat pada majalah yang ia pegang.Edmund menatap tak percaya pada putranya. Dari kecil, bahkan menginjak usia dewasa, Jonathan tidak pernah menceritakan tentang gadis. Tentu jika dia terkejut begitu mendengar putranya sudah menghamili pembantu di rumahnya."Benar yang barusan Ibumu katakan?" Edmund menautkan dua alisnya."Benar, Ayah. Dan sekarang, gadis itu pergi entah kemana.""Bagus jika dia sadar diri. Mungkin dia pergi karena merasa tidak pantas berada di tengah-tengah keluarga kita." Theresia melempar majalah yang dia pegang ke sofa yang tidak diduduki dan melipat kedua tangan di depan dada setelahnya."Jaga ucapanmu, Theresia! Aku tidak pernah melarang putraku menjalin hubungan dengan siapa pun.""Tapi tidak denganku! Aku akan sangat malu jika teman-temanku tau tentang ini,"Masing-masing saling mendebat mempertahankan opini mereka masing-masing. Jonathan yang tak tahan mendengar perdebatan pun akhirnya melenggang pergi. Pria itu memilih kamar Amelie untuk beristirahat malam ini.Kamar itu kosong. Hanya kehampaan yang meruang. Banyak kenangan manis melekat di ruangan ini. Kamar yang selalu Jonathan datangi setelah memastikan kedua orang tuanya tertidur. Kamar dimana dia dan Amelie saling memadu kasih. Dan kamar dimana Jonathan menanam benih pada rahim gadis itu.***Hari-hari yang Jonathan lalui begitu membosankan. Jika selama ini rumah adalah tempat yang selalu ingin membuatnya kembali setiap kali pergi, tapi hal itu tidak berlaku lagi setelah Amelie tidak berada di sana. Dengan malas pria itu membuka pintu rumah dan seketika kemalasanya kian bertambah saat Theresia berhambur dengan senyum girang terpatri di wajahnya yang mulai keriput. Dapat dipastikan wanita itu memiliki rencana dibalik keramahannya malam ini. "Putraku, kau sudah pulang? Makanlah, hidangan makan malam sepesial malam ini sudah menunggumu." Jonathan berjalan dengan pasrah mengikut ke arah Theresia menarik tangannya. Pria itu mengernyit saat mendapati sahabat ibunya berada di meja makan, bersama suami dan seorang gadis yang sama sekali tidak dikenalinya.Gadis itu terus tersenyum ke arah Jonathan. Membuat Jonathan merasa risih dan sesekali membalas senyumannya dengan senyuman samar. Apa rencana Theresia kali ini?"Perkenalkan, Jonathan, dia Elena. Gadis yang akan Ibu jodohkan
Siang itu sangat cerah. Warna biru menghiasi langit di kota terbesar nomor satu di negara New Zeland itu. Di sebuah mobil sedan mewah berwarna merah ferarri yang membelah jalan raya, seorang wanita duduk di jok belakang. Dia tampak begitu modis dengan gaun hitam dan tas tangan kulit berwarna merah marun. Jam tangan mahal turut menunjang penampilannya yang mentereng. "Kita menuju Le French Eatry." titah Theresia kepada sopir pribadinya yang menatap majikannya dari kaca sepion tengah dan menganggukkan kepala setelahnya.Wanita itu menulis pesan singkat yang berbunyi; "Aku dalam perjalanan menuju Le French Eatry. Tunggulah sebentar."Theresia kembali menyibukkan kedua tangannya dengan cermin dan lipstik. Disapukannya lipstik merah tua itu di bibirnya yang berbentuk hati, yang berhasil menambah kesan betapa elegan penampilan wanita itu.Sembari tersenyum antusias, Elena melambaikan tangan begitu mendapati entitas wanita yang sudah dia tunggu kehadirannya sejak 15 menit yang lalu. There
"Oh, cucuku! Kau terlihat semakin cantik setelah dewasa," ucap Marie begitu mendapati entitas gadis yang berdiri di ambang pintu dengan dua tas besar ditenteng pada kedua tangannya.Segera tangan keriput Marie memeluk tubuh Amelie dan merebahkan kepalanya ada bahu gadis itu. Dihirupnya aroma mawar yang menenangkan pada tubuh gadis itu. Setelah dirasa puas, Marie melepas pelukannya pada gadis itu, Marie meraih salah satu tas besar yang dijinjing Amelie dan berjalan masuk."Masuk lah, aku sudah menyiapkan makanan untukmu."Gadis itu mengangguk dan berjalan dibelakang wanita tua itu sembari mengedarkan pandangan. Bangunan rumah itu banyak yang berubah dari terakhir kali Amelie meninggalkan rumah itu. Saat itu usianya menginjak 12 tahun. "Terima kasih, Nek." jawab Amelie sembari mengambil posisi duduk di kursi ruang makan."Terimakasih untuk apa? Sudah kewajibanku memberi makanan untuk cucu yang sangat aku sayangi."Makanan sudah terhidang di atas meja berbentuk persegi dihadapannya, tak
Sudah beberapa hari terakhir Amelie mengalami morning sickness yang cukup mengganggu. Tidak sesuap makanan pun masuk ke dalam saluran cerna gadis itu, melainkan kembali ia muntahkan. Mungkin, untuk hari-hari yang lalu ia masih bisa menahan. Tetapi tidak untuk kali ini. Rasa mual yang menyerang teramat hebat, seolah mengaduk-aduk seluruh isi perutnya. Pun rasa pusing yang menyerang kepalanya, tak kalah hebat intensitas sakitnya. Amelie keluar dari kamar mandi dengan langkah tertatih. Pandangannya berkunang-kunang. Marie yang menyaksikan peristiwa itu langsung berlari mendekati cucunya dan memapahnya untuk duduk ke sebuah kursi. Dua potong roti panggang milik Amelie dibiarkan begitu saja. Kini, wanita tua itu tidak lagi berbicara panjang lebar seperti sebelumnya. Marie merasa bersalah sudah memaksa cucunya untuk makan dalam jumlah yang banyak. Sementara itu, Louis terus berjalan hilir mudik sembari terus bergumam;"Oh, tuhan, apa yang sudah terjadi pada cucuku!" Tidak jauh berbeda d
Kondisi kesehatan Amelie kian membaik dari hari ke hari. Obat yang diresepkan Gideon berhasil mengurangi mual muntah yang akhir-akhir ini dialami oleh gadis itu. Setelah selesai dengan sarapannya, Amelie menyambar tas ransel kecil yang berisikan obat dan sebotol air untuk menemani perjalanannya pagi ini. "Kau mau kemana?" tanya Marie dengan tatapan bertanya begitu menyadari keberadaan ransel kecil di samping cucunya yang kini tengah mengikat tali sepatu.Mendengar pertanyaan Marie, Amelie pun mendongak, lalu berkata;"Aku mau mencari pekerjaan, Nek." "Kerja katamu? Kondisimu baru saja setabil, Sayang. Bisakah kau urungkan niatmu dan mencari pekerjaan di lain waktu?" tanya Marie memulai sesi negosiasi.Setelah selesai mengikat kedua sepatu cats miliknya, gadis itu berdiri sambil tersenyum mendengar ucapan Marie yang begitu perhatian padanya. "Lihatlah," kata Amelie sembari memutar tubuh di depan neneknya, untuk meyakinkan wanita tua itu bahwa tidak ada hal yang perlu dicemaskan. "Ak
Jonathan tidak menyangka tanggal 15 April datang begitu cepat. 15 April adalah tanggal yang telah disepakati keluarga Hayes dan keluarga Victor untuk melangsungkan pernikahan Jonathan dengan Elena. Seorang gadis cantik yang sama sekali tidak bisa membuatnya lupa dari sosok yang amat dicintai, Amelie Anderson.Dengan wajah masam, pria berusia 25 tahun itu memantas diri di depan cermin kamarnya. Mengenakan jas hitam yang telah dibeli secara khusus untuknya di hari pernikahan. Ingin sekali Jonathan merobek jas pemberian ibunya itu."Jo, Ibu mohon, jangan memasang ekspresi seerti itu. Ini hari besar untukmu." pinta Theresia saat melihat ekspresi wajah Jonathan.Entah sudah kali ke berapa Theresia mengucapkan pesan yang sama. Dan dia merasa muak akan hal itu. Jonathan memaksa menarik ke dua ujung bibirnya, sehingga tampak senyuman kaku. Senyuman kering dengan wajah tanpa ekspresi, sebagaimana manekin di toko baju. Setidaknya, dengan cara itulah dia ingin membungkam mulut ibunya, agar sege
Malam hari adalah saat yang paling ditunggu bagi sepasang pengantin baru untuk saling menyalurkan hasrat satu sama lain. Tapi, bagaimana jika pasangan yang saat ini bersama denganmu dalam satu kamar bukanlah seseorang yang kau cintai? Akankah hasrat biologis tetap akan tumbuh dalam perasaan hangat, dan menjalari sekujur tubuh keduanya. Mendorong agar keduanya saling bergumul beberapa ronde demi kepuasan bersama. Jonathan membaringkan tubuh di atas ranjang sembari menghela nafas lelah. Pria itu belum sempat melepas kemeja yang ia gunakan dalam prosesi pernikahan tadi siang. Bahakan untuk membersihkan diri saja rasanya enggan.Dengan dada berdebar, Elena berjalan mendekati Jonathan yang sedang berbaring di atas ranjang. "Jo ..." sapanya terdengar manja. Jonathan hanya menoleh sesaat, sebelum akhirnya kembali menghembuskan nafas lelah. Berada di samping Elena seharian ini membuat Jonathan merasa sangat lelah. Meski berdiri beriringan sebenarnya bukanlah hal yang berat untuk dilakukan.
Elena menatap kesal pada pria yang masih terlelap dengan bertelanjang dada di sebelahnya. Keinginannya melewati malam pertama dengan penuh kenikmatan sirna, lantaran Jonathan melakukannya dengan kasar tanpa foreplay. "Shit!" umpatnya sembari merengsek turun dari ranjang. Wanita itu meringis, menahan perih akibat organ intim yang lecet hasil pergulatan semalam. Theresia dan Edmund menoleh begitu mendengar suara derap kaki menuruni tangga. Seorang pria muda berpakaian rapi tersenyum kepada mereka sembari menjinjing jas hitam miliknya. Berjalan mendekat dan menarik sebuah kursi di meja makan. Pria itu turun sendiri, mengundang tanya di kepala Theresia. Kemana menantunya? Seharusnya pagi ini menjadi sarapan pertamanya bersama anggota baru di keluarganya. "Dimana Elena?" tanya Therseia dengan tatapan penuh tanya melihat putranya dengan polos meletakkan makanan ke dalam piringnya. "Dia masih di kamar, Bu. Mungkin saat ini dia kelelahan." jawab Jonathan sembari menyuapkan roti ke dalam m