Siang itu sangat cerah. Warna biru menghiasi langit di kota terbesar nomor satu di negara New Zeland itu.
Di sebuah mobil sedan mewah berwarna merah ferarri yang membelah jalan raya, seorang wanita duduk di jok belakang. Dia tampak begitu modis dengan gaun hitam dan tas tangan kulit berwarna merah marun. Jam tangan mahal turut menunjang penampilannya yang mentereng."Kita menuju Le French Eatry." titah Theresia kepada sopir pribadinya yang menatap majikannya dari kaca sepion tengah dan menganggukkan kepala setelahnya.Wanita itu menulis pesan singkat yang berbunyi; "Aku dalam perjalanan menuju Le French Eatry. Tunggulah sebentar."Theresia kembali menyibukkan kedua tangannya dengan cermin dan lipstik. Disapukannya lipstik merah tua itu di bibirnya yang berbentuk hati, yang berhasil menambah kesan betapa elegan penampilan wanita itu.Sembari tersenyum antusias, Elena melambaikan tangan begitu mendapati entitas wanita yang sudah dia tunggu kehadirannya sejak 15 menit yang lalu.Theresia yang menyadari lambaian tangan gadis tersebut tersenyum dan mempercepat langkah kakinya menuju meja tempat gadis itu berada."Apakah kau terlalu lama menunggu?" tanya Theresia sembari menyapu kursi yang hendak wanita itu duduki dengan tisu sebelum akhirnya mendaratkan pantat di kursi tersebut."Oh, sebentar. Hanya seperempat jam." jawab Elena.Pandangan Theresia tertuju pada hidangan penutup yang terlihat masih utuh di meja tempatnya saat ini duduk. Wanita itu yakin, makanan itu memang sama sekali belum tersentuh."Ini, untukku?" tanya Theresia sembari menunjuk mocha pots de creme dengan jari telunjuk.Elena mengangguk sembari mengulum senyum, lalu berkata; "Benar, saya memesannya untuk Bibi. Bibi seorang pecinta kopi, bukan?""Kau bahkan bisa tau aku sangat menyukai rasa kopi. Kau benar-benar calon menantu idamanku, Elena." ucap Theresia sembari tersenyum bangga kepada Elena."Terima kasih." jawab Elena yang kini tersenyum penuh bangga. Satu langkah mencuri hati calon mertuanya sukses dia lakukan."Bagaimana perjumpaan pertamamu dengan Jonathan putraku?" Theresia memulai percakapan setelah menyuapkan sesendok dessert ke dalam mulutnya.Elena tersenyum mendengar pertanyaan Theresia. Tepat seperti apa yang dia mau, tujuannya mengajak Theresia untuk bertemu siang itu memang untuk membicarakan Jonathan yang sama sekali tidak tertarik padanya."Dia pemuda yang sangat tampan, Bibi Theresia." jawab Elena yang seketika membuat Theresia tersenyum bangga, namun dengan cepat senyumnya sirna dan berubah dengan alis yang bertaut saat Elena mengucap kata;"Tapi ...""Tapi apa?""Sepertinya, Jonathan sama sekali tidak tertarik padaku." gadis itu memasang wajah sedih untuk memancing rasa iba dari lawan bicaranya."Apa yang membuatmu yakin bahwa putraku tidak tertarik padamu, Elena?""Saat dia membawaku di taman malam itu, dia sama sekali tidak menatapku, Bibi. Bibirnya tidak mengucapkan satu kalimat pun, kecuali menyelipkan nama seorang gadis bernama Amelie setiap aku mengajaknya berbicara. Siapa gadis bernama Amelie itu?" tanya Elena dengan salah satu alis terangkat.Theresia tidak menyangka jika perasaan Jonathan terhadap Amelie tidak berubah sedikitpun, meski dia sudah menghadirkan seorang gadis cantik dari keturunan keluarga kaya yang menurutnya sepadan dengan keluarga mereka."Amelie? Dia hanya gadis biasa. Kau tidak perlu risau tentang itu." ucap Theresia sembari mengibaskan salah satu tangan di udara. "Dia bahkan tidak akan bisa mengunggulimu dari segi apa pun, Elena."Berat bagi Theresia untuk mengakui, bahwa gadis yang bernama Amelie tersebut adalah pembantu dirumahnya sendiri."Apakah, Bibi yakin?" tanya Elena dengan keraguan yang masih tersisa."Ya. Aku begitu yakin. Kau hanya perlu terus berusaha untuk mengambil hati Jonathan. Cinta bisa tumbuh jika kalian terbiasa bersama.""Tapi, bagaimana agar aku bisa terus bersama Jonathan?""Menikah. Kau harus menikah dengan Jonathan, Elena." pinta Theresia sebelum akhirnya kembali menyuapkan dessert ke dalam mulut.Elena juga melakukan hal yang sama. Menyendok creme brule miliknya yang sedari tadi tak tersentuh.Dalam hati Elena tertawa bahagia. Usahanya untuk mendekati pria yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama mendapat dukungan dari Theresia. Ibu yang melahirkan Jonathan.***Sore itu, Amelie berada di stasiun kreta Britomart bersama Matilda dan Harry yang mengantarnya. Keheningan meruang diantara mereka bertiga. Masing-masing dari mereka merasa enggan untuk berpisah dengan Amelie, pun sebaliknya.Kebersamaan dalam satu minggu yang mereka lalui membuat ketiganya hanyut dalam suasana kekeluargaan yang hangat. Berat rasanya jika salah satu dari keluarga harus tinggal terpisah."Paman, Bibi, aku pamit. Terima kasih untuk 7 hari kebersamaan kita." ucap Amelie sembari menyeka air mata dengan punggung tangan.Kereta akan berangkat dalam waktu 10 menit mendatang. Masih ada waktu untuk mereka mengucap kata-kata perpisahan. Dan semoga, ini bukan perjumpaan yang terakhir.Pemandangan yang berhasil mengundang embun di pelupuk mata Harry dan Matilda."Amelie Sayang, jangan berterima kasih untuk itu. Justru kami yang berterima kasih atas kehadiranmu di rumah kami." Matilda merengkuh gadis berwajah sendu itu ke dalam pelukannya."Jangan lupa untuk selalu memberi kabar kepada kami, Amelie. Kami sudah menganggapmu seperti anak kami." ucap Harry sembari menepuk pelan bahu Amelie yang masih menangis. Matilda mengangguk setuju dengan apa yang suaminya katakan.Rasa pedih semakin menggerus hati Amelie. Bagaimana tidak? Setelah dia menjumpai orang lain yang berhati tulus kepadanya, disaat itu juga dia harus meninggalkan mereka. Sesingkat itu waktu yang ia miliki untuk merasakan kehangatan kasih sayang Matilda dan Harry."Aku berharap, kita masih bisa bertemu di lain waktu." ucap Amelie saat kreta yang dia tunggu tiba."Kami akan meluangkan waktu untuk mengunjungimu, Amelie. Jaga cucuku baik-baik bersamamu." pinta Matilda sembari memegang kedua pundak Amelie.Gadis itu mengangguk. Senyumnya seketika mengembang saat Matilda mengklaim bahwa bayi di kandungan Amelie adalah cucunya. Tangan Amelie mengelus perut sembari berbisik di dalam hati;'Kau dengar, Sayang? Ini kesekian kali Ibu mendengar orang mengklaim kalau kau itu cucu mereka. Jangan berkecil hati, Anakku. Akan selalu ada cinta untukmu dari manusia berhati tulus.'"Beri tau kami begitu kau tiba di rumah nenekmu." Harry menimpali."Pasti, Paman." Amelie mengangguk yakin dengan senyum terpahat di wajahnya. Dia tidak ingin meninggalkan potret wajah sedih di hati sepasang suami istri tersebut, sebelum akhirnya dia benar-benar pergi dari kota itu.Pandangan Amelie menatap ke arah luar jendela saat kereta mulai melaju. Tampak dari luar Harry dan Matilda terus melambaikan tangan padanya. Amelie pun membalas lambaian mereka sembari terus tersenyum.Perlahan dua sosok tersebut terlihat semakin mengecil dan hilang. Menyisahkan Amelie yang menyandarkan punggung pada kursi kereta dengan hembusan nafas sedih.Dari balik jendela, kedua mata gadis itu menatap menerawang pada langit yang berhiaskan warna orange. Sekelibat demi sekelibat peristiwa yang pernah terjadi melintas dalam benaknya. Kota itu menorehkan banyak warna dalam hidup Amelie. Tentang cinta pertamanya, persahabatan, kehangatan keluarga, dan juga perihnya goresan luka yang menyayat hati.Tidak ada hal yang lebih menyakitkan jika dibandingkan dengan dua hal: ucapan Theresia yang memintanya menggugurkan buah cintanya dengan Jonathan, dan mendengar kabar tentang perjodohan Jonathan dengan perempuan lain. Yang sudah bisa ditebak oleh Amelie bahwa perempuan yang dijodohkan dengan Jonathan adalah gadis yang berasal dari keluarga kaya raya.Kepedihan tak terperi yang ia rasakan mengundang air mata berjatuhan di kedua pipinya. Wanita mana yang bisa merelakan kekasihnya bersanding dengan wanita lain? Membayangkannya saja Amelie tak sanggup.Amelie memejamkan mata dan berharap luka hatinya akan segera tenggelam dan sirna, bersamaan dengan senja yang telah berganti dengan pekatnya malam.'Akankah suatu hari aku kembali ke kota ini? Akankah suatu hari aku dan Jonathan bisa kembali bersatu? Aku menyerahkan sepenuhnya takdir hidupku juga anak dalam kandunganku ini kepadamu, Tuhan.' Amelie terus bertanya dalam hati.Air mata kembali membanjiri kedua pipi Amelie. Mengundang perhatian pria yang duduk bersebelahan dengannya, hendak menawarkan tissu."Sebelumnya, maaf, jika aku lancang. Dari tadi aku melihatmu menangis. Apa kau sedang dalam masalah?" ucap pria asing itu sembari menyodorkan beberapa lembar tissu kepada Amelie."Oh. Maaf jika Anda berpikir seperti itu. Tapi saya dalam keadaan baik-baik saja saat ini. Terimakasih atas perhatiannya." jawab Amelie sembari mengusap bulir air mata dengan tissu yang pria asing itu berikan.Dari balik mata Amelie, kesedihan terlihat begitu jelas, meskipun ia berusaha tersenyum lebar.Pria itu hanya bisa berdecak kagum dalam hati. Bagaimana bisa gadis itu tetap tersenyum, sementara dari kedua mata jernihnya menyiratkan kesedihan yang begitu mendalam. Yang entah apa penyebap dari kesedihan itu.'Dia begitu indah, seperti malaikat.' batin pria asing sembari menatap Amelie yang terus berusaha tersenyum.***"Oh, cucuku! Kau terlihat semakin cantik setelah dewasa," ucap Marie begitu mendapati entitas gadis yang berdiri di ambang pintu dengan dua tas besar ditenteng pada kedua tangannya.Segera tangan keriput Marie memeluk tubuh Amelie dan merebahkan kepalanya ada bahu gadis itu. Dihirupnya aroma mawar yang menenangkan pada tubuh gadis itu. Setelah dirasa puas, Marie melepas pelukannya pada gadis itu, Marie meraih salah satu tas besar yang dijinjing Amelie dan berjalan masuk."Masuk lah, aku sudah menyiapkan makanan untukmu."Gadis itu mengangguk dan berjalan dibelakang wanita tua itu sembari mengedarkan pandangan. Bangunan rumah itu banyak yang berubah dari terakhir kali Amelie meninggalkan rumah itu. Saat itu usianya menginjak 12 tahun. "Terima kasih, Nek." jawab Amelie sembari mengambil posisi duduk di kursi ruang makan."Terimakasih untuk apa? Sudah kewajibanku memberi makanan untuk cucu yang sangat aku sayangi."Makanan sudah terhidang di atas meja berbentuk persegi dihadapannya, tak
Sudah beberapa hari terakhir Amelie mengalami morning sickness yang cukup mengganggu. Tidak sesuap makanan pun masuk ke dalam saluran cerna gadis itu, melainkan kembali ia muntahkan. Mungkin, untuk hari-hari yang lalu ia masih bisa menahan. Tetapi tidak untuk kali ini. Rasa mual yang menyerang teramat hebat, seolah mengaduk-aduk seluruh isi perutnya. Pun rasa pusing yang menyerang kepalanya, tak kalah hebat intensitas sakitnya. Amelie keluar dari kamar mandi dengan langkah tertatih. Pandangannya berkunang-kunang. Marie yang menyaksikan peristiwa itu langsung berlari mendekati cucunya dan memapahnya untuk duduk ke sebuah kursi. Dua potong roti panggang milik Amelie dibiarkan begitu saja. Kini, wanita tua itu tidak lagi berbicara panjang lebar seperti sebelumnya. Marie merasa bersalah sudah memaksa cucunya untuk makan dalam jumlah yang banyak. Sementara itu, Louis terus berjalan hilir mudik sembari terus bergumam;"Oh, tuhan, apa yang sudah terjadi pada cucuku!" Tidak jauh berbeda d
Kondisi kesehatan Amelie kian membaik dari hari ke hari. Obat yang diresepkan Gideon berhasil mengurangi mual muntah yang akhir-akhir ini dialami oleh gadis itu. Setelah selesai dengan sarapannya, Amelie menyambar tas ransel kecil yang berisikan obat dan sebotol air untuk menemani perjalanannya pagi ini. "Kau mau kemana?" tanya Marie dengan tatapan bertanya begitu menyadari keberadaan ransel kecil di samping cucunya yang kini tengah mengikat tali sepatu.Mendengar pertanyaan Marie, Amelie pun mendongak, lalu berkata;"Aku mau mencari pekerjaan, Nek." "Kerja katamu? Kondisimu baru saja setabil, Sayang. Bisakah kau urungkan niatmu dan mencari pekerjaan di lain waktu?" tanya Marie memulai sesi negosiasi.Setelah selesai mengikat kedua sepatu cats miliknya, gadis itu berdiri sambil tersenyum mendengar ucapan Marie yang begitu perhatian padanya. "Lihatlah," kata Amelie sembari memutar tubuh di depan neneknya, untuk meyakinkan wanita tua itu bahwa tidak ada hal yang perlu dicemaskan. "Ak
Jonathan tidak menyangka tanggal 15 April datang begitu cepat. 15 April adalah tanggal yang telah disepakati keluarga Hayes dan keluarga Victor untuk melangsungkan pernikahan Jonathan dengan Elena. Seorang gadis cantik yang sama sekali tidak bisa membuatnya lupa dari sosok yang amat dicintai, Amelie Anderson.Dengan wajah masam, pria berusia 25 tahun itu memantas diri di depan cermin kamarnya. Mengenakan jas hitam yang telah dibeli secara khusus untuknya di hari pernikahan. Ingin sekali Jonathan merobek jas pemberian ibunya itu."Jo, Ibu mohon, jangan memasang ekspresi seerti itu. Ini hari besar untukmu." pinta Theresia saat melihat ekspresi wajah Jonathan.Entah sudah kali ke berapa Theresia mengucapkan pesan yang sama. Dan dia merasa muak akan hal itu. Jonathan memaksa menarik ke dua ujung bibirnya, sehingga tampak senyuman kaku. Senyuman kering dengan wajah tanpa ekspresi, sebagaimana manekin di toko baju. Setidaknya, dengan cara itulah dia ingin membungkam mulut ibunya, agar sege
Malam hari adalah saat yang paling ditunggu bagi sepasang pengantin baru untuk saling menyalurkan hasrat satu sama lain. Tapi, bagaimana jika pasangan yang saat ini bersama denganmu dalam satu kamar bukanlah seseorang yang kau cintai? Akankah hasrat biologis tetap akan tumbuh dalam perasaan hangat, dan menjalari sekujur tubuh keduanya. Mendorong agar keduanya saling bergumul beberapa ronde demi kepuasan bersama. Jonathan membaringkan tubuh di atas ranjang sembari menghela nafas lelah. Pria itu belum sempat melepas kemeja yang ia gunakan dalam prosesi pernikahan tadi siang. Bahakan untuk membersihkan diri saja rasanya enggan.Dengan dada berdebar, Elena berjalan mendekati Jonathan yang sedang berbaring di atas ranjang. "Jo ..." sapanya terdengar manja. Jonathan hanya menoleh sesaat, sebelum akhirnya kembali menghembuskan nafas lelah. Berada di samping Elena seharian ini membuat Jonathan merasa sangat lelah. Meski berdiri beriringan sebenarnya bukanlah hal yang berat untuk dilakukan.
Elena menatap kesal pada pria yang masih terlelap dengan bertelanjang dada di sebelahnya. Keinginannya melewati malam pertama dengan penuh kenikmatan sirna, lantaran Jonathan melakukannya dengan kasar tanpa foreplay. "Shit!" umpatnya sembari merengsek turun dari ranjang. Wanita itu meringis, menahan perih akibat organ intim yang lecet hasil pergulatan semalam. Theresia dan Edmund menoleh begitu mendengar suara derap kaki menuruni tangga. Seorang pria muda berpakaian rapi tersenyum kepada mereka sembari menjinjing jas hitam miliknya. Berjalan mendekat dan menarik sebuah kursi di meja makan. Pria itu turun sendiri, mengundang tanya di kepala Theresia. Kemana menantunya? Seharusnya pagi ini menjadi sarapan pertamanya bersama anggota baru di keluarganya. "Dimana Elena?" tanya Therseia dengan tatapan penuh tanya melihat putranya dengan polos meletakkan makanan ke dalam piringnya. "Dia masih di kamar, Bu. Mungkin saat ini dia kelelahan." jawab Jonathan sembari menyuapkan roti ke dalam m
Tak terasa satu bulan telah berlalu sejak pertama Amelie bekerja di Demiurge. Gadis itu beradaptasi dengan sangat baik dan cepat dengan pekerjaan barunya. Terlebih, para pekerja disana menyambutnya dengan sangat baik. Bahkan mereka memintanya agar tidak sungkan untuk bertanya jika ada hal yang kurang dimengerti dalam menjalankan pekerjaannya. Dari jarak dua meter, dua wanita sedang memperhatikan seorang gadis yang tengah menulis pesanan yang diminta salah satu pengunjung. Wajah rupawan itu selalu terlihat ramah dan menyuguhkan senyum kepada para pengunjung. "Julie, apakah kau memikirkan hal yang sama denganku?" tanya Anne dari balik counter. Tatapan matanya tak terlepas dari sosok Amelie."Hm? Maksudmu?" tanya Julie dengan dahi mengernyit. Gadis itu sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan temannya."Haah. Aku merasa fisik Amelie berubah. Buah dadanya yang terlihat penuh, suhu tubuh yang lebih hangat dari orang sehat pada umumnya. Ditambah lagi perbedaan yang sangat men
Seorang wanita berambut ikal mayang berjalan menyusuri pekarangan perusahaan E&H Food. Semua pekerja menyambutnya dengan ramah. Namun sayang sekali, wanita itu justru bersikap angkuh dan tidak menjawab satu pun sapaan dari pekerja yang ia temui."Nyonya Muda," sapa Damian sembari menunduk hormat kepada wanita muda yang belum lama ini menikah dengan putra semata wayang majikannya, Edmund Hayes. Damian Cyrilo menjabat sebagai kepala devisi keamanan di perusahaan keluarga Hayes selama 5 tahun terakhir ini. Selama ini, pria berusia 56 tahun itu cukup dekat dengan Jonathan dan ayahnya. Dia selalu diminta secara khusus oleh Jonathan untuk menjaga keamanan di depan ruang rapat jika rapat dengan pihak luar sedang berlangsung. Dia selalu sukses mengemban tugas dari Jonathan."Apa yang membawa Nyonya datang kemari?" kembali pria tua berusia 56 tahun itu bertanya dengan sopan.Elena dengan angkuh memutar bola mata lalu berkata;"Aku datang untuk menemui suamiku." "Tapi, maaf, Nyonya. Tuan Jonath
Jantung Amelie tidak berhenti berdetak saat pagi itu tiba. Dia bahkan nyaris tidak dapat tidur semalam, bayang saat-saat mendebarkan terus berkelibat di kepala. Dia akan menjadi pengantin hari itu."Astaga, Nona, tanganmu dingin sekali," ucap MUA yang baru saja menjabat tangan Amelie untuk mengucapkan selamat atas pernikahan yang akan berlangsung. Tidak ada yang dapat Amelie lakukan selain tersenyum hambar. Dia begitu gelisah, sebentar lagi wanita itu akan mengucap janji suci dengan Jonathan di depan para hadirin. "Ah, aku hanya gugup." jawab Amelie sembari meremas gaun putih yang dia pakai. "Hahaha, aku tau bagaimana rasanya. Aku juga mengalami hal yang sama denganmu saat detik-detik pernikahanku akan dimulai " kenang Linda sembari memasukan perlatan make up yang tidak lagi di gunakan ke dalam tas make up. "Percayalah, itu hanya di awal. Begitu ikrar janji suci selesai diucapkan, hatimu akan terasa sangat lega. Kau bahkan akan menangis bahagia setelahnya." Linda mengangguk penuh p
Malam semakin larut. Angin malam sangat dingin menggigit kulit, selimut tebal yang menutup tubuh tidak dapat mengalahkan dinginnya udara malam itu, sehingga membangunkan Irene untuk mengecek penghangat ruangan.Kedua mata Irene mengerjab beberapa kali saat mendapati ranjang di sebelahnya kosong tanpa keberadaan Robert, sehingga wanita berambut cokelat tersebut berjalan keluar untuk mencari tahu keberadaan sang suami. Saat pintu di buka Irene menyipitkan mata mendapati suaminya yang sedang duduk di undakan teras kamar pelayan dengan wajah menengadah ke langit, bersandarkan tiang penyangga yang terbuat dari batu alam dengan raut melankolis.Perlahan wanita itu berjalan mendekat."Robert?" panggilnya dengan nada lembut khas wanita tersebut yang seketika membuat pemilik nama menoleh. "Kenapa kau di luar? Udara sangat dingin, Sayang?" Irene menyentuh bahu suaminya dan mengambil posisi duduk di sebelah Robert, menahan dingin udara malam itu demi menemani pria yang sangat dia cintai."Irene,
Jonathan berjalan kembali ke ruangannya dengan senyum tak lepas dari paras rupawannya. Hal itu membuat beberapa pasang mata melihatnya dengan raut bertanya-tanya, namun segera mereka menata ekspresi seperti biasa saat bertabrak pandang dengan Jonathan. Saat pria itu masuk ke dalam ruangan kerjanya, seorang gadis sudah duduk menunggunya di sana. "Saya lihat Anda sedang berbahagia hari ini, Tuan," ucap Krista Valerie sembari mengulum bibir melihat pria itu masuk ke dalam ruangan. "Bukan hanya sedang, aku sangat-sangat bahagia hari ini." Jonathan duduk di kursi kebesarannya. Tanpa ingin mengetahui lebih lanjut tentang perasaan bahagia atasannya, gadis itu berdeham dan menanyakan mengapa dirinya di panggil untuk datang ke ruangan pria yang terus tersenyum seperti orang terserang gangguan jiwa itu. "Maaf, Tuan, ada keperluan apa Anda memanggil saya kesini?" Tidak langsung menanggapi pertanyaan sekretarisnya, pria itu mengambil beberapa map dari tumpukan dokumen dan menyerahkannya pad
Amelie merasa lemas setelah melihat tiga alat test kehamilan menunjukan hasil yang sama, dua garis merah yang berjajar. Entah apa yang harus dia lakukan sekarang? Apakah mengabari Jonathan tentang kehamilannya adalah pilihan yang tepat? Dia begitu khawatir kejadian yang sama akan terulang, Jonathan mengabarkan kepada keluarganya, dan Theresia akan memintanya menggugurkan janin tidak berdosa yang Jonathan tanam di rahimnya. Seketika air mata yang semula surut kembali berjatuhan di kedua pipinya. Dia tidak akan sanggup mengulangi kembali kisah yang sama, menanggung kehamilannya sendiri dan membesarkan bayi itu sendiri. Sungguh, itu semua itu adalah tanggung jawab yang berat. Lamunan Amelie dibuyarkan dengan suara ketukan pintu dari luar. Dengan cepat dia menyapu air mata sampai tidak tersisa. Meski wajah sembab tidak dapat disembunyikan sama sekali. "Amelie, buka pintunya," dengan raut cemas Marie mengetuk pintu dan memutar kenop berulang kali. Semenjak kepulangannya dari tempat ker
Amelie mengerjabkan kedua mata saat rasa kantuk masih bergelayut di kedua matanya. Dia harus bangun untuk bersiap bekerja dan mengantar Axel ke sekolah, namun tubuhnya seolah enggan untuk bangkit, serasa melekat di atas kasur yang saat ini dia tempati. Sesaat kedua matanya terpejam untuk mengingat-ingat apa saja yang sudah dia rasakan akhir-akhir ini. Amelie merasa kurang enak badan akhir-akhir ini. Sering kali nyeri kepala tiba-tiba menghampiri, dan buah dadanya terasa nyeri. Indra penciumannya menjadi sensitif. Kedua alis Amelie bertaut, baru kemudian wanita itu bangkit dari ranjang dengan sedikit tergesa dan menyambar ponsel di atas nakas, untuk membuka aplikasi periode menstruasi dan melihat kapan menstruasi terakhirnya. Entah mengapa saat hendak membuka aplikasi periode di ponselnya, tiba-tiba jantungnya berdebar kencang. Seolah-olah dia sudah yakin jika jawaban yang dia dapatkan adalah sesuatu yang akan mengecewakan dan mengguncang kewarasannya. Wanita yang masih berbalut piy
Matahari semakin beringsut menuju peraduan, menyisahkan warna orange di batas cakrawala. Kedai mulai sepi dari pengunjung, satu per satu di antara pengunjung Demiurge mulai meninggalkan kedai setelah selesai dengan aktivitas mengisi perut. Amelie mengelap meja dengan kain lap sebagai penutup aktifitas di kedai sore menjelang malam. Di saat yang bersamaan, Emery yang baru saja keluar dari ruangan Benitto menghampiri wanita itu dengan membawa kain lap, melakukan aktifitas yang sama di sebelah meja yang Amelie bersihkan. Emery berdeham untuk membuat Amelie menyadari keberadaannya. Seketika wanita anggun itu menoleh, dan menyapa Emery dengan wajah ramah."Hey," sapa Amelie yang kemudian kembali menatap meja yang sudah mengkilap, dapat dia lihat pantulan wajahnya di atas meja berlapis pernis itu. Emery tidak bisa menahan keingin tahuannya terhadap pertemuan sahabatnya dengan seorang pria yang Axel ceritakan padanya siang tadi."Maaf, Amelie, aku berharap kau tidak tersinggung jika aku b
Jantung Amelie berdebar kencang saat dia membuka selimut yang menutupi tubuh. Tidak sehelai pun pakaian yang menempel pada tubuhnya. Bergegas wanita itu membersihkan diri setelah pergulatan dengan Jonathan semalam.Di bawah pancuran shower yang menyirami sekujur tubuhnya dengan air, Amelie memejamkan kedua matanya. Dia mengingat kejadian tadi malam, dan merutukki dirinya yang bisa dengan mudah membiarkan Jonathan menikmati tubuhnya. 'Bodoh! Dasar Amelie bodoh! Bagaimana jika setelah ini dia pergi meninggalkanmu lagi? Mengapa semalam aku tidak memintanya memakai pelindung?' batin Amelie yang mulai di landa cemas. Kedua tangannya perlahan meremas rambutnya yang basah hingga rasa sakit akibat tarikan terasa.Kepala wanita itu menggeleng, berusaha menepis segala kemungkinan dan prasangka buruk terhadap Jonathan. Namun semakin berusaha menepis, semua prasangka buruk itu semakin brutal menyerang kepalanya. ....................."Amelie, pagi sekali kau bangun?" Jonathan mengerjabkan kedua
Hari itu menjadi hari yang sangat membahagiakan bagi Axel. Dia bisa merasakan berakhir pekan dengan kedua orang tuanya di tempat-tempat yang dia sukai, hal yang selalu menjadi impiannya semenjak dia sering mempertanyakan keberadaan ayahnya."Ayah, apakah Ayah tahu? Hari ini aku senang sekali bisa pergi bertamasya bersama kedua orang tuaku." gumam Axel saat perjalanan pulang. Sesaat setelah itu Axel menguap, dan perlahan kedua matanya terpejam.Jonathan mengelus kepala Axel yang duduk di pangkuan Amelie, sementara satu tangannya tetap memegang kemudi. "Ayah juga sangat bahagia, Sayang. Kita bisa berakhir pekan bertiga setelah menjalani hari-hari yang melelahkan." Amelie tersenyum. Dalam hati dia mengiyakan bahwa dia juga merasakan hal yang sama."Dia sudah tertidur, Jo," bisik Amelie sembari mengelus kepala Axel. Rambut yang dia genggam sudah bertambah panjang, seingat Amelie baru dua bulan lalu dia mengantar Axel ke barber shop.Roda terus bergulir, saat Amelie melihat ke arah luar
Amelie terbangun dan terkejut saat mendapati posisi tubuhnya berubah. Lengan Amelie dan Jonathan saling memeluk. Wanita itu segera menghempaskan lengan kekar Jonathan yang memeluk tubuhnya. "Kenapa kau bisa semudah itu memelukku? Dasar pria mesum," Amelie menggerutu sembari berjalan ke toilet. Suara keran air dan suhu dingin air menyentuh kulit wajahnya yang seketika membuat kesadarannya sepenuhnya kembali. Wanita itu menatap pantulan bayangannya di cermin. Amelie menepuk-nepuk wajahnya, dan seketika mengaduh karena tepukan itu terasa perih."Aw!" rasa sakit yang dia rasakan menyadarkannya, malam yang dia lalui bersama Jonathan bukanlah mimpi, itu sebuah kenyataan. Bahkan tepukan pada pipinya menyisahkan bekas merah. Kedua mata Amelie terpejam dengan kedua tangan menopang tubuh di pinggiran washtafel. Sebuah pertanyaan yang menggelitik hatinya muncul. Apakah bertemu dengan Jonathan kembali adalah sebuah takdir? Amelie menghela nafas sembari berjalan kembali menuju kamar. Namun saa