Siang itu sangat cerah. Warna biru menghiasi langit di kota terbesar nomor satu di negara New Zeland itu.
Di sebuah mobil sedan mewah berwarna merah ferarri yang membelah jalan raya, seorang wanita duduk di jok belakang. Dia tampak begitu modis dengan gaun hitam dan tas tangan kulit berwarna merah marun. Jam tangan mahal turut menunjang penampilannya yang mentereng."Kita menuju Le French Eatry." titah Theresia kepada sopir pribadinya yang menatap majikannya dari kaca sepion tengah dan menganggukkan kepala setelahnya.Wanita itu menulis pesan singkat yang berbunyi; "Aku dalam perjalanan menuju Le French Eatry. Tunggulah sebentar."Theresia kembali menyibukkan kedua tangannya dengan cermin dan lipstik. Disapukannya lipstik merah tua itu di bibirnya yang berbentuk hati, yang berhasil menambah kesan betapa elegan penampilan wanita itu.Sembari tersenyum antusias, Elena melambaikan tangan begitu mendapati entitas wanita yang sudah dia tunggu kehadirannya sejak 15 menit yang lalu.Theresia yang menyadari lambaian tangan gadis tersebut tersenyum dan mempercepat langkah kakinya menuju meja tempat gadis itu berada."Apakah kau terlalu lama menunggu?" tanya Theresia sembari menyapu kursi yang hendak wanita itu duduki dengan tisu sebelum akhirnya mendaratkan pantat di kursi tersebut."Oh, sebentar. Hanya seperempat jam." jawab Elena.Pandangan Theresia tertuju pada hidangan penutup yang terlihat masih utuh di meja tempatnya saat ini duduk. Wanita itu yakin, makanan itu memang sama sekali belum tersentuh."Ini, untukku?" tanya Theresia sembari menunjuk mocha pots de creme dengan jari telunjuk.Elena mengangguk sembari mengulum senyum, lalu berkata; "Benar, saya memesannya untuk Bibi. Bibi seorang pecinta kopi, bukan?""Kau bahkan bisa tau aku sangat menyukai rasa kopi. Kau benar-benar calon menantu idamanku, Elena." ucap Theresia sembari tersenyum bangga kepada Elena."Terima kasih." jawab Elena yang kini tersenyum penuh bangga. Satu langkah mencuri hati calon mertuanya sukses dia lakukan."Bagaimana perjumpaan pertamamu dengan Jonathan putraku?" Theresia memulai percakapan setelah menyuapkan sesendok dessert ke dalam mulutnya.Elena tersenyum mendengar pertanyaan Theresia. Tepat seperti apa yang dia mau, tujuannya mengajak Theresia untuk bertemu siang itu memang untuk membicarakan Jonathan yang sama sekali tidak tertarik padanya."Dia pemuda yang sangat tampan, Bibi Theresia." jawab Elena yang seketika membuat Theresia tersenyum bangga, namun dengan cepat senyumnya sirna dan berubah dengan alis yang bertaut saat Elena mengucap kata;"Tapi ...""Tapi apa?""Sepertinya, Jonathan sama sekali tidak tertarik padaku." gadis itu memasang wajah sedih untuk memancing rasa iba dari lawan bicaranya."Apa yang membuatmu yakin bahwa putraku tidak tertarik padamu, Elena?""Saat dia membawaku di taman malam itu, dia sama sekali tidak menatapku, Bibi. Bibirnya tidak mengucapkan satu kalimat pun, kecuali menyelipkan nama seorang gadis bernama Amelie setiap aku mengajaknya berbicara. Siapa gadis bernama Amelie itu?" tanya Elena dengan salah satu alis terangkat.Theresia tidak menyangka jika perasaan Jonathan terhadap Amelie tidak berubah sedikitpun, meski dia sudah menghadirkan seorang gadis cantik dari keturunan keluarga kaya yang menurutnya sepadan dengan keluarga mereka."Amelie? Dia hanya gadis biasa. Kau tidak perlu risau tentang itu." ucap Theresia sembari mengibaskan salah satu tangan di udara. "Dia bahkan tidak akan bisa mengunggulimu dari segi apa pun, Elena."Berat bagi Theresia untuk mengakui, bahwa gadis yang bernama Amelie tersebut adalah pembantu dirumahnya sendiri."Apakah, Bibi yakin?" tanya Elena dengan keraguan yang masih tersisa."Ya. Aku begitu yakin. Kau hanya perlu terus berusaha untuk mengambil hati Jonathan. Cinta bisa tumbuh jika kalian terbiasa bersama.""Tapi, bagaimana agar aku bisa terus bersama Jonathan?""Menikah. Kau harus menikah dengan Jonathan, Elena." pinta Theresia sebelum akhirnya kembali menyuapkan dessert ke dalam mulut.Elena juga melakukan hal yang sama. Menyendok creme brule miliknya yang sedari tadi tak tersentuh.Dalam hati Elena tertawa bahagia. Usahanya untuk mendekati pria yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama mendapat dukungan dari Theresia. Ibu yang melahirkan Jonathan.***Sore itu, Amelie berada di stasiun kreta Britomart bersama Matilda dan Harry yang mengantarnya. Keheningan meruang diantara mereka bertiga. Masing-masing dari mereka merasa enggan untuk berpisah dengan Amelie, pun sebaliknya.Kebersamaan dalam satu minggu yang mereka lalui membuat ketiganya hanyut dalam suasana kekeluargaan yang hangat. Berat rasanya jika salah satu dari keluarga harus tinggal terpisah."Paman, Bibi, aku pamit. Terima kasih untuk 7 hari kebersamaan kita." ucap Amelie sembari menyeka air mata dengan punggung tangan.Kereta akan berangkat dalam waktu 10 menit mendatang. Masih ada waktu untuk mereka mengucap kata-kata perpisahan. Dan semoga, ini bukan perjumpaan yang terakhir.Pemandangan yang berhasil mengundang embun di pelupuk mata Harry dan Matilda."Amelie Sayang, jangan berterima kasih untuk itu. Justru kami yang berterima kasih atas kehadiranmu di rumah kami." Matilda merengkuh gadis berwajah sendu itu ke dalam pelukannya."Jangan lupa untuk selalu memberi kabar kepada kami, Amelie. Kami sudah menganggapmu seperti anak kami." ucap Harry sembari menepuk pelan bahu Amelie yang masih menangis. Matilda mengangguk setuju dengan apa yang suaminya katakan.Rasa pedih semakin menggerus hati Amelie. Bagaimana tidak? Setelah dia menjumpai orang lain yang berhati tulus kepadanya, disaat itu juga dia harus meninggalkan mereka. Sesingkat itu waktu yang ia miliki untuk merasakan kehangatan kasih sayang Matilda dan Harry."Aku berharap, kita masih bisa bertemu di lain waktu." ucap Amelie saat kreta yang dia tunggu tiba."Kami akan meluangkan waktu untuk mengunjungimu, Amelie. Jaga cucuku baik-baik bersamamu." pinta Matilda sembari memegang kedua pundak Amelie.Gadis itu mengangguk. Senyumnya seketika mengembang saat Matilda mengklaim bahwa bayi di kandungan Amelie adalah cucunya. Tangan Amelie mengelus perut sembari berbisik di dalam hati;'Kau dengar, Sayang? Ini kesekian kali Ibu mendengar orang mengklaim kalau kau itu cucu mereka. Jangan berkecil hati, Anakku. Akan selalu ada cinta untukmu dari manusia berhati tulus.'"Beri tau kami begitu kau tiba di rumah nenekmu." Harry menimpali."Pasti, Paman." Amelie mengangguk yakin dengan senyum terpahat di wajahnya. Dia tidak ingin meninggalkan potret wajah sedih di hati sepasang suami istri tersebut, sebelum akhirnya dia benar-benar pergi dari kota itu.Pandangan Amelie menatap ke arah luar jendela saat kereta mulai melaju. Tampak dari luar Harry dan Matilda terus melambaikan tangan padanya. Amelie pun membalas lambaian mereka sembari terus tersenyum.Perlahan dua sosok tersebut terlihat semakin mengecil dan hilang. Menyisahkan Amelie yang menyandarkan punggung pada kursi kereta dengan hembusan nafas sedih.Dari balik jendela, kedua mata gadis itu menatap menerawang pada langit yang berhiaskan warna orange. Sekelibat demi sekelibat peristiwa yang pernah terjadi melintas dalam benaknya. Kota itu menorehkan banyak warna dalam hidup Amelie. Tentang cinta pertamanya, persahabatan, kehangatan keluarga, dan juga perihnya goresan luka yang menyayat hati.Tidak ada hal yang lebih menyakitkan jika dibandingkan dengan dua hal: ucapan Theresia yang memintanya menggugurkan buah cintanya dengan Jonathan, dan mendengar kabar tentang perjodohan Jonathan dengan perempuan lain. Yang sudah bisa ditebak oleh Amelie bahwa perempuan yang dijodohkan dengan Jonathan adalah gadis yang berasal dari keluarga kaya raya.Kepedihan tak terperi yang ia rasakan mengundang air mata berjatuhan di kedua pipinya. Wanita mana yang bisa merelakan kekasihnya bersanding dengan wanita lain? Membayangkannya saja Amelie tak sanggup.Amelie memejamkan mata dan berharap luka hatinya akan segera tenggelam dan sirna, bersamaan dengan senja yang telah berganti dengan pekatnya malam.'Akankah suatu hari aku kembali ke kota ini? Akankah suatu hari aku dan Jonathan bisa kembali bersatu? Aku menyerahkan sepenuhnya takdir hidupku juga anak dalam kandunganku ini kepadamu, Tuhan.' Amelie terus bertanya dalam hati.Air mata kembali membanjiri kedua pipi Amelie. Mengundang perhatian pria yang duduk bersebelahan dengannya, hendak menawarkan tissu."Sebelumnya, maaf, jika aku lancang. Dari tadi aku melihatmu menangis. Apa kau sedang dalam masalah?" ucap pria asing itu sembari menyodorkan beberapa lembar tissu kepada Amelie."Oh. Maaf jika Anda berpikir seperti itu. Tapi saya dalam keadaan baik-baik saja saat ini. Terimakasih atas perhatiannya." jawab Amelie sembari mengusap bulir air mata dengan tissu yang pria asing itu berikan.Dari balik mata Amelie, kesedihan terlihat begitu jelas, meskipun ia berusaha tersenyum lebar.Pria itu hanya bisa berdecak kagum dalam hati. Bagaimana bisa gadis itu tetap tersenyum, sementara dari kedua mata jernihnya menyiratkan kesedihan yang begitu mendalam. Yang entah apa penyebap dari kesedihan itu.'Dia begitu indah, seperti malaikat.' batin pria asing sembari menatap Amelie yang terus berusaha tersenyum.***"Oh, cucuku! Kau terlihat semakin cantik setelah dewasa," ucap Marie begitu mendapati entitas gadis yang berdiri di ambang pintu dengan dua tas besar ditenteng pada kedua tangannya.Segera tangan keriput Marie memeluk tubuh Amelie dan merebahkan kepalanya ada bahu gadis itu. Dihirupnya aroma mawar yang menenangkan pada tubuh gadis itu. Setelah dirasa puas, Marie melepas pelukannya pada gadis itu, Marie meraih salah satu tas besar yang dijinjing Amelie dan berjalan masuk."Masuk lah, aku sudah menyiapkan makanan untukmu."Gadis itu mengangguk dan berjalan dibelakang wanita tua itu sembari mengedarkan pandangan. Bangunan rumah itu banyak yang berubah dari terakhir kali Amelie meninggalkan rumah itu. Saat itu usianya menginjak 12 tahun. "Terima kasih, Nek." jawab Amelie sembari mengambil posisi duduk di kursi ruang makan."Terimakasih untuk apa? Sudah kewajibanku memberi makanan untuk cucu yang sangat aku sayangi."Makanan sudah terhidang di atas meja berbentuk persegi dihadapannya, tak
Sudah beberapa hari terakhir Amelie mengalami morning sickness yang cukup mengganggu. Tidak sesuap makanan pun masuk ke dalam saluran cerna gadis itu, melainkan kembali ia muntahkan. Mungkin, untuk hari-hari yang lalu ia masih bisa menahan. Tetapi tidak untuk kali ini. Rasa mual yang menyerang teramat hebat, seolah mengaduk-aduk seluruh isi perutnya. Pun rasa pusing yang menyerang kepalanya, tak kalah hebat intensitas sakitnya. Amelie keluar dari kamar mandi dengan langkah tertatih. Pandangannya berkunang-kunang. Marie yang menyaksikan peristiwa itu langsung berlari mendekati cucunya dan memapahnya untuk duduk ke sebuah kursi. Dua potong roti panggang milik Amelie dibiarkan begitu saja. Kini, wanita tua itu tidak lagi berbicara panjang lebar seperti sebelumnya. Marie merasa bersalah sudah memaksa cucunya untuk makan dalam jumlah yang banyak. Sementara itu, Louis terus berjalan hilir mudik sembari terus bergumam;"Oh, tuhan, apa yang sudah terjadi pada cucuku!" Tidak jauh berbeda d
Kondisi kesehatan Amelie kian membaik dari hari ke hari. Obat yang diresepkan Gideon berhasil mengurangi mual muntah yang akhir-akhir ini dialami oleh gadis itu. Setelah selesai dengan sarapannya, Amelie menyambar tas ransel kecil yang berisikan obat dan sebotol air untuk menemani perjalanannya pagi ini. "Kau mau kemana?" tanya Marie dengan tatapan bertanya begitu menyadari keberadaan ransel kecil di samping cucunya yang kini tengah mengikat tali sepatu.Mendengar pertanyaan Marie, Amelie pun mendongak, lalu berkata;"Aku mau mencari pekerjaan, Nek." "Kerja katamu? Kondisimu baru saja setabil, Sayang. Bisakah kau urungkan niatmu dan mencari pekerjaan di lain waktu?" tanya Marie memulai sesi negosiasi.Setelah selesai mengikat kedua sepatu cats miliknya, gadis itu berdiri sambil tersenyum mendengar ucapan Marie yang begitu perhatian padanya. "Lihatlah," kata Amelie sembari memutar tubuh di depan neneknya, untuk meyakinkan wanita tua itu bahwa tidak ada hal yang perlu dicemaskan. "Ak
Jonathan tidak menyangka tanggal 15 April datang begitu cepat. 15 April adalah tanggal yang telah disepakati keluarga Hayes dan keluarga Victor untuk melangsungkan pernikahan Jonathan dengan Elena. Seorang gadis cantik yang sama sekali tidak bisa membuatnya lupa dari sosok yang amat dicintai, Amelie Anderson.Dengan wajah masam, pria berusia 25 tahun itu memantas diri di depan cermin kamarnya. Mengenakan jas hitam yang telah dibeli secara khusus untuknya di hari pernikahan. Ingin sekali Jonathan merobek jas pemberian ibunya itu."Jo, Ibu mohon, jangan memasang ekspresi seerti itu. Ini hari besar untukmu." pinta Theresia saat melihat ekspresi wajah Jonathan.Entah sudah kali ke berapa Theresia mengucapkan pesan yang sama. Dan dia merasa muak akan hal itu. Jonathan memaksa menarik ke dua ujung bibirnya, sehingga tampak senyuman kaku. Senyuman kering dengan wajah tanpa ekspresi, sebagaimana manekin di toko baju. Setidaknya, dengan cara itulah dia ingin membungkam mulut ibunya, agar sege
Malam hari adalah saat yang paling ditunggu bagi sepasang pengantin baru untuk saling menyalurkan hasrat satu sama lain. Tapi, bagaimana jika pasangan yang saat ini bersama denganmu dalam satu kamar bukanlah seseorang yang kau cintai? Akankah hasrat biologis tetap akan tumbuh dalam perasaan hangat, dan menjalari sekujur tubuh keduanya. Mendorong agar keduanya saling bergumul beberapa ronde demi kepuasan bersama. Jonathan membaringkan tubuh di atas ranjang sembari menghela nafas lelah. Pria itu belum sempat melepas kemeja yang ia gunakan dalam prosesi pernikahan tadi siang. Bahakan untuk membersihkan diri saja rasanya enggan.Dengan dada berdebar, Elena berjalan mendekati Jonathan yang sedang berbaring di atas ranjang. "Jo ..." sapanya terdengar manja. Jonathan hanya menoleh sesaat, sebelum akhirnya kembali menghembuskan nafas lelah. Berada di samping Elena seharian ini membuat Jonathan merasa sangat lelah. Meski berdiri beriringan sebenarnya bukanlah hal yang berat untuk dilakukan.
Elena menatap kesal pada pria yang masih terlelap dengan bertelanjang dada di sebelahnya. Keinginannya melewati malam pertama dengan penuh kenikmatan sirna, lantaran Jonathan melakukannya dengan kasar tanpa foreplay. "Shit!" umpatnya sembari merengsek turun dari ranjang. Wanita itu meringis, menahan perih akibat organ intim yang lecet hasil pergulatan semalam. Theresia dan Edmund menoleh begitu mendengar suara derap kaki menuruni tangga. Seorang pria muda berpakaian rapi tersenyum kepada mereka sembari menjinjing jas hitam miliknya. Berjalan mendekat dan menarik sebuah kursi di meja makan. Pria itu turun sendiri, mengundang tanya di kepala Theresia. Kemana menantunya? Seharusnya pagi ini menjadi sarapan pertamanya bersama anggota baru di keluarganya. "Dimana Elena?" tanya Therseia dengan tatapan penuh tanya melihat putranya dengan polos meletakkan makanan ke dalam piringnya. "Dia masih di kamar, Bu. Mungkin saat ini dia kelelahan." jawab Jonathan sembari menyuapkan roti ke dalam m
Tak terasa satu bulan telah berlalu sejak pertama Amelie bekerja di Demiurge. Gadis itu beradaptasi dengan sangat baik dan cepat dengan pekerjaan barunya. Terlebih, para pekerja disana menyambutnya dengan sangat baik. Bahkan mereka memintanya agar tidak sungkan untuk bertanya jika ada hal yang kurang dimengerti dalam menjalankan pekerjaannya. Dari jarak dua meter, dua wanita sedang memperhatikan seorang gadis yang tengah menulis pesanan yang diminta salah satu pengunjung. Wajah rupawan itu selalu terlihat ramah dan menyuguhkan senyum kepada para pengunjung. "Julie, apakah kau memikirkan hal yang sama denganku?" tanya Anne dari balik counter. Tatapan matanya tak terlepas dari sosok Amelie."Hm? Maksudmu?" tanya Julie dengan dahi mengernyit. Gadis itu sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan temannya."Haah. Aku merasa fisik Amelie berubah. Buah dadanya yang terlihat penuh, suhu tubuh yang lebih hangat dari orang sehat pada umumnya. Ditambah lagi perbedaan yang sangat men
Seorang wanita berambut ikal mayang berjalan menyusuri pekarangan perusahaan E&H Food. Semua pekerja menyambutnya dengan ramah. Namun sayang sekali, wanita itu justru bersikap angkuh dan tidak menjawab satu pun sapaan dari pekerja yang ia temui."Nyonya Muda," sapa Damian sembari menunduk hormat kepada wanita muda yang belum lama ini menikah dengan putra semata wayang majikannya, Edmund Hayes. Damian Cyrilo menjabat sebagai kepala devisi keamanan di perusahaan keluarga Hayes selama 5 tahun terakhir ini. Selama ini, pria berusia 56 tahun itu cukup dekat dengan Jonathan dan ayahnya. Dia selalu diminta secara khusus oleh Jonathan untuk menjaga keamanan di depan ruang rapat jika rapat dengan pihak luar sedang berlangsung. Dia selalu sukses mengemban tugas dari Jonathan."Apa yang membawa Nyonya datang kemari?" kembali pria tua berusia 56 tahun itu bertanya dengan sopan.Elena dengan angkuh memutar bola mata lalu berkata;"Aku datang untuk menemui suamiku." "Tapi, maaf, Nyonya. Tuan Jonath