Sajian meja makan beraneka ragam. Lauknya lezat dan enak semua. Ada capcay udang campur telur puyuh plus sosis, kepiting sambal, sop iga, dan masih banyak menu lainnya. Habiba tidak heran lagi dengan menu-menu tersebut, ia sudah sering menyaksikannya saat dulu bertuyas menggantikan ibunya bekerja sebagai pelayan di sana. Hanya sebatas menyaksikan saja, tidak untuk mencicipinya. Sebab menu makanan antara majikan dan asisten rumah tangga itu berbeda. Masakan untuk asisten rumah tangga adalah sejenis makanan rumahan dengan lauk seperti ayam, daging sapi, ikan dan sejenisnya. Sedangkan untuk majikan menunya spesial, tak jarang masakan alam Jepang, ala Italia dan beragam makanan unik ala luar negeri tersaji di sana sesuai request sang majikan. Fara memang jago dalam urusan memasak dengan menu beragam. Tidak gratis untuk bisa mendapatkan ilmu itu. Selama tiga bulan ia direkrut oleh Amira untuk bersekolah pada chef terkenal, biaya praktik ditanggung oleh keluarga Amira, setelah lulus, i
Beberapa menit Husein mencuci muka, sampai akhirnya rambutnya malah kutan basah separuh di bagian depan. Dia mengangkat kepala. Mengedip-ngedipkan mata. Sudah mendingan. Tidak begitu pedih. Habiba melihat sebelah mata Husein merah sekali. “Apa yang terjadi dengan mataku?” Husein menghadap ke arah Habiba. Memperlihatkan sebelah matanya yang masih sedikit pedih, tapi sudah aman.“Mata Anda merah sebelah.”“Merah sekali?”“Merah seperti bakal zombie.”Muka Husein menegang. “Bakal zombie? Kau mengatai aku seperti terkena gigitan zombie dan sebentar lagi aku akan berubah? Wah, kau rupanya suka nonton film ekstrim juga. Jangan terlalu mendalami film- film itu. kau bisa jadi korban film.” Habiba diam saja, masih terus mengawasi satu mata sebelah kiri milik Husein yang memerah. Namun detik berikutnya dia berkata, "Saya mau tinggal di rumah saya saja."Husein menggeleng. "Kau masih ingat apa yang aku katakan tadi? Turuti saja!"Habiba lagi-lagi mematung dan membisu.“Habiskan m
Habiba menelan saliva dengan sulit. Haruskah seorang istri menyediakan benda itu untuk suami? Apakah suami tidak bisa mengambil sendiri?"Kita tidak benar-benar menikah. Kita tidak perlu lakukan selayaknya sepasang suami istri. Saya di sini untuk keperluan menjaga nama baik Anda. Tanpa perlu orang di luar sana tahu bahwa saya ini adalah istri Anda, mereka hanya boleh tahu bahwa saya ini bekerja di rumah Anda. Dan demi kebaikan bersama, saya tidak akan keluar rumah sampai bayi ini lahir." Habiba menunduk, menghindari tatapan mata Husein. Sorot itu terlalu tajam. Tidak baik dipandang, merusak kesehatan jantung.Kalimat yang dilontarkan Habiba sama persis seperti yang dikatakan oleh Alka. Husein berpikir, apakah Alka mengatakan hal itu kepada Habiba?"Apa papaku ada bicara sesuatu kepadamu tentang itu?" tanya Husein."Tidak perlu bingung dari mana saya bisa tahu soal itu. Saya mendengar semua yang dikatakan Pak Alka waktu itu. Saya tidak bermaksud menguping. Tapi telinga saya cukup mende
"Waow, enak ya, pelayan di rumahmu pun dikasih uang jajan oleh majikan." Emran menanggapi. Beranggapan bahwa sampai saat ini status Habiba adalah pelayan seperti yang selama ini dia ketahui. Inez tersenyum dan menjawab, "Habiba ini bukan pelayan lagi sekarang. Dia...""Nez, jangan bicara apa pun tentangku. Aku bukan artis, jadi tidak bagus menggosipkanku." Habiba memutus ucapan Inez. "Emran ini bukan orang lain, dia juga bagian dari kita," tutur Inez."Bahkan hubungan kalian saja masih backstreet, diam-diam di belakang orang tuamu, Nez. Kalian belum resmi. Kamu tahu sendiri bahwa orang tuamu melarangmu berpacaran. Bagaimana kamu bisa bilang kalau Emran adalah bagian dari hidupmu?""Aku tahu. Letak kekhawatiran orang tuaku hanyalah pada pergaulan bebas. Dan aku yakin bisa menjaga diri. Ya kan, beib?" Inez menyenggol lengan Emran.Yang disenggol mengulum senyum. "Aku melihat persahabatan kalian yang begitu kental. Dan aku tidak mau masuk terlalu banyak ke dalam urusan pribadi kalian
Tubuh Habiba seketika membeku di tempat. Rasanya ada yang mengalir cepat di dalam sana. Entah apa. Ungkapan seperti inilah yang sejak dulu dia ingin dengarkan. Dan baru sekarang ia mendengarkannya. Kata-kata itu sangat indah dan membuat hati Habiba berdebar tak karuan. Namun di sisi lain, ia juga sedih karena tidak bisa menerima Irzan. Saat ini, keadaan Habiba sudah berubah. Tidak mungkin Habiba akan menikah dengan Irzan.Habiba memundurkan punggung hingga membuat pandangan mereka berjarak agak jauh. Entah bagaimana caranya Habiba akan menolak Irzan. Semua kata terasa tidak pantas untuk diucapkan. Irzan tidak pantas untuk dilukai. Pria itu terlalu baik.“Aku melihat kebimbangan di wajahmu. Ada apa? Aku salah bicara?” Irzan merasa tidak enak hati.“Maaf. Aku tidak bisa menikah denganmu. Aku sudah menikah.”Beberapa detik Irzan terdiam karena syok, namun kemudian pria itu malah tertawa. “Menikah? Kapan kamu menikah? Guyonanmu tidak lucu.”“Aku serius.” Habiba mema
Habiba ingat bahwa ia harus mengenakan dress pemberian Amira. Tapi untuk apa Amira menyuruhnya memakai dress itu? Habiba menempelkan dress ke depan badannya di depan cermin. Bagus sekali. Dress mahal. Lebih baik mengikuti perintah mertua. Ia lalu mengenakan dress itu, penampilannya terlihat berkelas meski dress tersebut agak kebesaran di bagian pinggang, soalnya badannya langsing. Seperti yang diperintahkan, Habiba menemui Amira kembali. Mertuanya sudah tampak rapi mengenakan pakaian kekinian. Selayaknya pakaian akan bepergian. Hand bag dijinjing.“Ikut denganku sekarang!” titah Amira sambil berjalan keluar kamar.“Tunggu sebentar, saya ambil ponsel.” Meski benaknya bertanya-tanya akan diajak kemana, Habiba menyetujui saja. Penolakan hanya akan menambah buruk masalahnya. Dia mengambil tas selempangan dan memasukkan ponsel ke dalam tas. Berlari ke lantai bawah dan buru-buru memakai sepatu yang tertata di rak sandal.Amira sudah duduk di dalam mobil ketika Habiba kelu
Baiklah, lebih baik Habiba keluar. Ia mendapati gelagat buruk. Alasan yang dia gunakan adalah pergi ke toilet. Belum sempat Habiba beranjak, tiba-tiba Amira menghampiri Habiba, bergaya seolah tidak mengenalinya. “Kamu cepat ambil buah ceri di sana! Bawa ke saya!” “Maaf, saya mau ke toilet.” Habiba menolak dengan lembut. Setidaknya ia memilih kabur saja dari sana. Kalau pun setelah itu ia mendapat makian Amira, itu urusan nanti. Lebih baik cari aman.Namun, lengannya dicengkeram kuat. Tubuhnya tertahan.“Turuti aku!” tegas Amira memegangi lengan Habiba, tatapan penuh ancaman.Sampai di sini, Habiba belum mengerti kemana arah tujuan Amira. Tapi ia memastikan bahwa ketegasan Amira harus dituruti. Jika ia menolak, pasti urusannya akan menjadi panjang. “Baiklah!” jawab Habiba kemudian berjalan mendekat ke arah susunan buah ceri yang ditaruh di keranjang buah. Langkahnya sangat cepat, terburu- buru supaya secepatnya ia bisa meninggalkan ruangan pesta. Sandal di kaki benar-
Amir membukakan pintu mobil untuk Husein. Dengan paras wajah yang masih dalam keadaan merah padam, Husein duduk di sisi kemudi. Sampai mobil disetir keluar area basement, Husein masih membisu.“Ini, makanlah permen ini. Benda kecil itu bisa membuatmu lebih tenang,” ucap Amir sambil melempar sebungkus permen ke pangkuan Husein.Tanpa banyak tanya, Husein membuka pembungkus permen dan menelannya. “Loh, sekali telan?” tanya Amir yang heran melihat Husein menelan permen. Dia tidak melihat Husein mengemut permen, melainkan menelannya bulat- bulat. “Itu permen, bro. bukan pil.”“Aku sedang tidak nyaman.”“Oh. Aku pun mulai tidak nyaman sekarang. Jangan- jangan setelah permen kau telan, aku pun bisa kau telan mentah- mentah.”Husein melirik singkat pada Amir tanpa ingin mengomentarinya. Kata- kata yang keluar dari mulutnya pasti akan buruk jika dia menyahuti.“Apa kau sudah tahu alasan apa yang membuat Habiba bisa berada di acara tadi?” tanya Husein.“Sudah. Tadi aku kirim chat