"Waow, enak ya, pelayan di rumahmu pun dikasih uang jajan oleh majikan." Emran menanggapi. Beranggapan bahwa sampai saat ini status Habiba adalah pelayan seperti yang selama ini dia ketahui. Inez tersenyum dan menjawab, "Habiba ini bukan pelayan lagi sekarang. Dia...""Nez, jangan bicara apa pun tentangku. Aku bukan artis, jadi tidak bagus menggosipkanku." Habiba memutus ucapan Inez. "Emran ini bukan orang lain, dia juga bagian dari kita," tutur Inez."Bahkan hubungan kalian saja masih backstreet, diam-diam di belakang orang tuamu, Nez. Kalian belum resmi. Kamu tahu sendiri bahwa orang tuamu melarangmu berpacaran. Bagaimana kamu bisa bilang kalau Emran adalah bagian dari hidupmu?""Aku tahu. Letak kekhawatiran orang tuaku hanyalah pada pergaulan bebas. Dan aku yakin bisa menjaga diri. Ya kan, beib?" Inez menyenggol lengan Emran.Yang disenggol mengulum senyum. "Aku melihat persahabatan kalian yang begitu kental. Dan aku tidak mau masuk terlalu banyak ke dalam urusan pribadi kalian
Tubuh Habiba seketika membeku di tempat. Rasanya ada yang mengalir cepat di dalam sana. Entah apa. Ungkapan seperti inilah yang sejak dulu dia ingin dengarkan. Dan baru sekarang ia mendengarkannya. Kata-kata itu sangat indah dan membuat hati Habiba berdebar tak karuan. Namun di sisi lain, ia juga sedih karena tidak bisa menerima Irzan. Saat ini, keadaan Habiba sudah berubah. Tidak mungkin Habiba akan menikah dengan Irzan.Habiba memundurkan punggung hingga membuat pandangan mereka berjarak agak jauh. Entah bagaimana caranya Habiba akan menolak Irzan. Semua kata terasa tidak pantas untuk diucapkan. Irzan tidak pantas untuk dilukai. Pria itu terlalu baik.“Aku melihat kebimbangan di wajahmu. Ada apa? Aku salah bicara?” Irzan merasa tidak enak hati.“Maaf. Aku tidak bisa menikah denganmu. Aku sudah menikah.”Beberapa detik Irzan terdiam karena syok, namun kemudian pria itu malah tertawa. “Menikah? Kapan kamu menikah? Guyonanmu tidak lucu.”“Aku serius.” Habiba mema
Habiba ingat bahwa ia harus mengenakan dress pemberian Amira. Tapi untuk apa Amira menyuruhnya memakai dress itu? Habiba menempelkan dress ke depan badannya di depan cermin. Bagus sekali. Dress mahal. Lebih baik mengikuti perintah mertua. Ia lalu mengenakan dress itu, penampilannya terlihat berkelas meski dress tersebut agak kebesaran di bagian pinggang, soalnya badannya langsing. Seperti yang diperintahkan, Habiba menemui Amira kembali. Mertuanya sudah tampak rapi mengenakan pakaian kekinian. Selayaknya pakaian akan bepergian. Hand bag dijinjing.“Ikut denganku sekarang!” titah Amira sambil berjalan keluar kamar.“Tunggu sebentar, saya ambil ponsel.” Meski benaknya bertanya-tanya akan diajak kemana, Habiba menyetujui saja. Penolakan hanya akan menambah buruk masalahnya. Dia mengambil tas selempangan dan memasukkan ponsel ke dalam tas. Berlari ke lantai bawah dan buru-buru memakai sepatu yang tertata di rak sandal.Amira sudah duduk di dalam mobil ketika Habiba kelu
Baiklah, lebih baik Habiba keluar. Ia mendapati gelagat buruk. Alasan yang dia gunakan adalah pergi ke toilet. Belum sempat Habiba beranjak, tiba-tiba Amira menghampiri Habiba, bergaya seolah tidak mengenalinya. “Kamu cepat ambil buah ceri di sana! Bawa ke saya!” “Maaf, saya mau ke toilet.” Habiba menolak dengan lembut. Setidaknya ia memilih kabur saja dari sana. Kalau pun setelah itu ia mendapat makian Amira, itu urusan nanti. Lebih baik cari aman.Namun, lengannya dicengkeram kuat. Tubuhnya tertahan.“Turuti aku!” tegas Amira memegangi lengan Habiba, tatapan penuh ancaman.Sampai di sini, Habiba belum mengerti kemana arah tujuan Amira. Tapi ia memastikan bahwa ketegasan Amira harus dituruti. Jika ia menolak, pasti urusannya akan menjadi panjang. “Baiklah!” jawab Habiba kemudian berjalan mendekat ke arah susunan buah ceri yang ditaruh di keranjang buah. Langkahnya sangat cepat, terburu- buru supaya secepatnya ia bisa meninggalkan ruangan pesta. Sandal di kaki benar-
Amir membukakan pintu mobil untuk Husein. Dengan paras wajah yang masih dalam keadaan merah padam, Husein duduk di sisi kemudi. Sampai mobil disetir keluar area basement, Husein masih membisu.“Ini, makanlah permen ini. Benda kecil itu bisa membuatmu lebih tenang,” ucap Amir sambil melempar sebungkus permen ke pangkuan Husein.Tanpa banyak tanya, Husein membuka pembungkus permen dan menelannya. “Loh, sekali telan?” tanya Amir yang heran melihat Husein menelan permen. Dia tidak melihat Husein mengemut permen, melainkan menelannya bulat- bulat. “Itu permen, bro. bukan pil.”“Aku sedang tidak nyaman.”“Oh. Aku pun mulai tidak nyaman sekarang. Jangan- jangan setelah permen kau telan, aku pun bisa kau telan mentah- mentah.”Husein melirik singkat pada Amir tanpa ingin mengomentarinya. Kata- kata yang keluar dari mulutnya pasti akan buruk jika dia menyahuti.“Apa kau sudah tahu alasan apa yang membuat Habiba bisa berada di acara tadi?” tanya Husein.“Sudah. Tadi aku kirim chat
Husein memilih- milih boneka diantara ribuan boneka yang terpajang di rak toko. Semuanya bagus. Dan dia tidak tahu harus beli yang mana.Amir mengikuti Husein kemana pun bosnya itu melangkah. Kakinya mulai pegel. Sejak tadi berputar- putar tak tentu arah.“Ini sebenarnya kau mau beli boneka atau mau jalan- jalan saja?” Amir mulai protes.“Mana yang bagus?” Husein tak peduli dengan ocehan Amir. Amir mengernyit heran. Kenapa sekarang malah dia dimintai pendapat untuk memilih boneka? Amir garuk- garuk kepalanya yang tak gatal.“Yang ini bagus.” Amir mengambil asal satu boneka besar.“Kebesaran. Tidak cocok untuk dipajang.” Husein melambaikan tangan di depan wajahnya.“Ya sudah, yang ini saja.” Amir asal saja mengambil boneka lain berwarna merah. Dia tidak tahu mana boneka yang bagus. Jika ditanya pendapat mengenai boneka, pikirannya ambyar. Tapi kalau ditanya solusi tentang pekerjaan, otaknya encer.Husein menoleh singkat. Lalu dia mengambil dua boneka berukuran sejengkal. Satu boneka pe
“Siapkan pakaian ganti untukku!” titah Husein. “Aku mau mandi.”“Tapi…”“Tapi apa?” kesal Husein mendapat gelagat bahwa perintahnya akan ditolak.“Tapi kaki saya menggelitik. Saya masih kedinginan. Saya belum berani membuka selimut ini. Saya menggigil,” jelas Habiba, takut kena marah tuan mudanya.“Oh ya ampun, apakah kau Selemah itu? Baru kecebur kolam saja sudah menggigil.”“Saya memang wanita lemah,” lirih Habiba pasrah dikatain lemah.Lah, Habiba malah tersinggung. Sensitif sekali perasaan wanita ini. Husein menatap Habiba dengan penuh penelitian. Megawasi selimut yang membungkus tubuh Habiba. Dia kemudian mendekati kasur, merangkak naik ke atas kasur, mendekati Habiba.Loh, Husein mau apa? Habiba tercekat.“Anda mau ngapain?” Habiba memundurkan tubuhnya yang terbungkus selimut tebal dengan wajah memerah.Husein menarik ujung selimut dan menyingkapnya hingga kaki Habiba kelihatan.“Tuan mau apa? Aaaaaa….” Habiba menjerit hebat sambil memundurkan tubuh.Husein memegang telapak kaki
Di sisi lain, Habiba tengah menghadap pada Amira. "Ada apa memanggil saya, Bu?" tanya Habiba.Amira menyilangkan tangan di dada, tatapannya sinis pada Habiba."Kau tahu apa kesalahanmu?" ketus Amira menatap tajam pada wajah Habiba.Habiba memutar otak, memikirkan jawaban. Memangnya apa kesalahannya? Apakah masih mengenai di acara pesta tadi?"Salah pakai sendal," jawab Habiba polos."Kenapa kau mesti menceburkan diri ke dalam kolam? Apa maksudmu? Aku sudah bilang, supaya kamu jangan bikin malu. Tapi yang kamu lakukan tadi justru sangat memalukan!" geram Amira kesal sekali."Aku tidak sengaja. Aku kecebur, bukan menceburkan diri," sahut Habiba berusaha menjelaskan."Bodoh! Idiot! Kampungan!" Amira menarik rambut Habiba, memghampaskannya ke bawah hingga tubuh Habiba mengikuti tarikan tangan itu dan tersungkur. Kulit kepalanya terasa pedas akibat tarikan tangan Amira. Kenapa wanita yang dulunya kelihatan baik ini malah berubah menjadi monster hanya karena status sosial?"Tidak seharusny