Beberapa menit Husein mencuci muka, sampai akhirnya rambutnya malah kutan basah separuh di bagian depan. Dia mengangkat kepala. Mengedip-ngedipkan mata. Sudah mendingan. Tidak begitu pedih. Habiba melihat sebelah mata Husein merah sekali. “Apa yang terjadi dengan mataku?” Husein menghadap ke arah Habiba. Memperlihatkan sebelah matanya yang masih sedikit pedih, tapi sudah aman.“Mata Anda merah sebelah.”“Merah sekali?”“Merah seperti bakal zombie.”Muka Husein menegang. “Bakal zombie? Kau mengatai aku seperti terkena gigitan zombie dan sebentar lagi aku akan berubah? Wah, kau rupanya suka nonton film ekstrim juga. Jangan terlalu mendalami film- film itu. kau bisa jadi korban film.” Habiba diam saja, masih terus mengawasi satu mata sebelah kiri milik Husein yang memerah. Namun detik berikutnya dia berkata, "Saya mau tinggal di rumah saya saja."Husein menggeleng. "Kau masih ingat apa yang aku katakan tadi? Turuti saja!"Habiba lagi-lagi mematung dan membisu.“Habiskan m
Habiba menelan saliva dengan sulit. Haruskah seorang istri menyediakan benda itu untuk suami? Apakah suami tidak bisa mengambil sendiri?"Kita tidak benar-benar menikah. Kita tidak perlu lakukan selayaknya sepasang suami istri. Saya di sini untuk keperluan menjaga nama baik Anda. Tanpa perlu orang di luar sana tahu bahwa saya ini adalah istri Anda, mereka hanya boleh tahu bahwa saya ini bekerja di rumah Anda. Dan demi kebaikan bersama, saya tidak akan keluar rumah sampai bayi ini lahir." Habiba menunduk, menghindari tatapan mata Husein. Sorot itu terlalu tajam. Tidak baik dipandang, merusak kesehatan jantung.Kalimat yang dilontarkan Habiba sama persis seperti yang dikatakan oleh Alka. Husein berpikir, apakah Alka mengatakan hal itu kepada Habiba?"Apa papaku ada bicara sesuatu kepadamu tentang itu?" tanya Husein."Tidak perlu bingung dari mana saya bisa tahu soal itu. Saya mendengar semua yang dikatakan Pak Alka waktu itu. Saya tidak bermaksud menguping. Tapi telinga saya cukup mende
"Waow, enak ya, pelayan di rumahmu pun dikasih uang jajan oleh majikan." Emran menanggapi. Beranggapan bahwa sampai saat ini status Habiba adalah pelayan seperti yang selama ini dia ketahui. Inez tersenyum dan menjawab, "Habiba ini bukan pelayan lagi sekarang. Dia...""Nez, jangan bicara apa pun tentangku. Aku bukan artis, jadi tidak bagus menggosipkanku." Habiba memutus ucapan Inez. "Emran ini bukan orang lain, dia juga bagian dari kita," tutur Inez."Bahkan hubungan kalian saja masih backstreet, diam-diam di belakang orang tuamu, Nez. Kalian belum resmi. Kamu tahu sendiri bahwa orang tuamu melarangmu berpacaran. Bagaimana kamu bisa bilang kalau Emran adalah bagian dari hidupmu?""Aku tahu. Letak kekhawatiran orang tuaku hanyalah pada pergaulan bebas. Dan aku yakin bisa menjaga diri. Ya kan, beib?" Inez menyenggol lengan Emran.Yang disenggol mengulum senyum. "Aku melihat persahabatan kalian yang begitu kental. Dan aku tidak mau masuk terlalu banyak ke dalam urusan pribadi kalian
Tubuh Habiba seketika membeku di tempat. Rasanya ada yang mengalir cepat di dalam sana. Entah apa. Ungkapan seperti inilah yang sejak dulu dia ingin dengarkan. Dan baru sekarang ia mendengarkannya. Kata-kata itu sangat indah dan membuat hati Habiba berdebar tak karuan. Namun di sisi lain, ia juga sedih karena tidak bisa menerima Irzan. Saat ini, keadaan Habiba sudah berubah. Tidak mungkin Habiba akan menikah dengan Irzan.Habiba memundurkan punggung hingga membuat pandangan mereka berjarak agak jauh. Entah bagaimana caranya Habiba akan menolak Irzan. Semua kata terasa tidak pantas untuk diucapkan. Irzan tidak pantas untuk dilukai. Pria itu terlalu baik.“Aku melihat kebimbangan di wajahmu. Ada apa? Aku salah bicara?” Irzan merasa tidak enak hati.“Maaf. Aku tidak bisa menikah denganmu. Aku sudah menikah.”Beberapa detik Irzan terdiam karena syok, namun kemudian pria itu malah tertawa. “Menikah? Kapan kamu menikah? Guyonanmu tidak lucu.”“Aku serius.” Habiba mema
Habiba ingat bahwa ia harus mengenakan dress pemberian Amira. Tapi untuk apa Amira menyuruhnya memakai dress itu? Habiba menempelkan dress ke depan badannya di depan cermin. Bagus sekali. Dress mahal. Lebih baik mengikuti perintah mertua. Ia lalu mengenakan dress itu, penampilannya terlihat berkelas meski dress tersebut agak kebesaran di bagian pinggang, soalnya badannya langsing. Seperti yang diperintahkan, Habiba menemui Amira kembali. Mertuanya sudah tampak rapi mengenakan pakaian kekinian. Selayaknya pakaian akan bepergian. Hand bag dijinjing.“Ikut denganku sekarang!” titah Amira sambil berjalan keluar kamar.“Tunggu sebentar, saya ambil ponsel.” Meski benaknya bertanya-tanya akan diajak kemana, Habiba menyetujui saja. Penolakan hanya akan menambah buruk masalahnya. Dia mengambil tas selempangan dan memasukkan ponsel ke dalam tas. Berlari ke lantai bawah dan buru-buru memakai sepatu yang tertata di rak sandal.Amira sudah duduk di dalam mobil ketika Habiba kelu
Baiklah, lebih baik Habiba keluar. Ia mendapati gelagat buruk. Alasan yang dia gunakan adalah pergi ke toilet. Belum sempat Habiba beranjak, tiba-tiba Amira menghampiri Habiba, bergaya seolah tidak mengenalinya. “Kamu cepat ambil buah ceri di sana! Bawa ke saya!” “Maaf, saya mau ke toilet.” Habiba menolak dengan lembut. Setidaknya ia memilih kabur saja dari sana. Kalau pun setelah itu ia mendapat makian Amira, itu urusan nanti. Lebih baik cari aman.Namun, lengannya dicengkeram kuat. Tubuhnya tertahan.“Turuti aku!” tegas Amira memegangi lengan Habiba, tatapan penuh ancaman.Sampai di sini, Habiba belum mengerti kemana arah tujuan Amira. Tapi ia memastikan bahwa ketegasan Amira harus dituruti. Jika ia menolak, pasti urusannya akan menjadi panjang. “Baiklah!” jawab Habiba kemudian berjalan mendekat ke arah susunan buah ceri yang ditaruh di keranjang buah. Langkahnya sangat cepat, terburu- buru supaya secepatnya ia bisa meninggalkan ruangan pesta. Sandal di kaki benar-
Amir membukakan pintu mobil untuk Husein. Dengan paras wajah yang masih dalam keadaan merah padam, Husein duduk di sisi kemudi. Sampai mobil disetir keluar area basement, Husein masih membisu.“Ini, makanlah permen ini. Benda kecil itu bisa membuatmu lebih tenang,” ucap Amir sambil melempar sebungkus permen ke pangkuan Husein.Tanpa banyak tanya, Husein membuka pembungkus permen dan menelannya. “Loh, sekali telan?” tanya Amir yang heran melihat Husein menelan permen. Dia tidak melihat Husein mengemut permen, melainkan menelannya bulat- bulat. “Itu permen, bro. bukan pil.”“Aku sedang tidak nyaman.”“Oh. Aku pun mulai tidak nyaman sekarang. Jangan- jangan setelah permen kau telan, aku pun bisa kau telan mentah- mentah.”Husein melirik singkat pada Amir tanpa ingin mengomentarinya. Kata- kata yang keluar dari mulutnya pasti akan buruk jika dia menyahuti.“Apa kau sudah tahu alasan apa yang membuat Habiba bisa berada di acara tadi?” tanya Husein.“Sudah. Tadi aku kirim chat
Husein memilih- milih boneka diantara ribuan boneka yang terpajang di rak toko. Semuanya bagus. Dan dia tidak tahu harus beli yang mana.Amir mengikuti Husein kemana pun bosnya itu melangkah. Kakinya mulai pegel. Sejak tadi berputar- putar tak tentu arah.“Ini sebenarnya kau mau beli boneka atau mau jalan- jalan saja?” Amir mulai protes.“Mana yang bagus?” Husein tak peduli dengan ocehan Amir. Amir mengernyit heran. Kenapa sekarang malah dia dimintai pendapat untuk memilih boneka? Amir garuk- garuk kepalanya yang tak gatal.“Yang ini bagus.” Amir mengambil asal satu boneka besar.“Kebesaran. Tidak cocok untuk dipajang.” Husein melambaikan tangan di depan wajahnya.“Ya sudah, yang ini saja.” Amir asal saja mengambil boneka lain berwarna merah. Dia tidak tahu mana boneka yang bagus. Jika ditanya pendapat mengenai boneka, pikirannya ambyar. Tapi kalau ditanya solusi tentang pekerjaan, otaknya encer.Husein menoleh singkat. Lalu dia mengambil dua boneka berukuran sejengkal. Satu boneka pe
Husein menyentil ujung dagu Habiba. "Aku mencintaimu.""Jangan terus- terusan ucapkan kalimat itu, aku bisa terharu. Lihatlah air hidungku meleleh jadinya." Husein mengernyit. "Air mata, sayang. Kenapa jadi air hidung?""He hee...""Aku boleh menciummu?" bisik Husein."Jangan nakal. Ini di tempat umum, bukan di kamar.""Ini masih terlalu pagi, belum ada yang bangun." Husein mengecup singkat bibir Habiba."Cie cieeee....."Husein dan Habiba serentak menoleh ke sumber suara. Ada Qasam dan Qansha yang berdiri di ambang pintu. "Papa cium mama nih yeee..." Qasam terkekeh.Habiba membelalak kaget. Bukan kaget karena Qasam meledeknya, tapi kaget karena Qasam menggendong Wafa. Sedangkan Qansha memegangi kaki Wafa yang masih mengenakan piyama tidur lengkap dengan pampers tebal yang isinya sudah sangat berat dengan air kecil."Ya ampun. Qasam, jangan gendong Wafa. Nanti bisa jatuh. Kamu belum saatnya menggendong dia, Nak." Habiba menghambur dan mengambil alih tubuh Wafa dari gendongan Qasam.
Habiba tak bisa tidur. Malam itu sampai jam lima pagi, ia terjaga. Pikirannya menerawang pada kejadian yang baru saja dia saksikan. Ia berharap tidak akan terjadi apa pun pada Husein, dan tentu saja pada Amir juga. Jika sampai drama penahanan terjadi lagi pada Husein, Habiba tak tahu lagi harus berbuat apa. “Habiba!” Habiba terkejut mendengar suara yang memanggilnya. Suara Tomy.Habiba yang tengah duduk di kasur itu pun menghambur keluar kamar.“Mas Tomy!” Habiba menghampiri Timy yang berdiri di tengah- tengah ruang tamu. “Ada apa pagi buta begini Mas Tomy ke sini?”“Aku mendengar Irzan meninggal, kena tembak. Husein sedang mengurus masalah ini di kantor polisi. Maksudnya, kena tembak kenapa?” Tomy bingung.“Mas Tomy dapat kabar dari siapa?” “Dari polisi yang meneleponku dan menanyakan beberapa hal terkait Irzan, aku dianggap sebagai teman dekat yang mungkin mengetahui sesuatu tentang Irzan. Katanya, Husein yang melaporkan kematiannya. Aku ke sini karena ingin tahu hal ini. Ak
"Tidak!" Habiba menjerit keras sekali. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya pecah. Bruk. Tubuh yang tertembak itu terjatuh dan ambruk ke tanah. Tembakan tepat mengenai sasaran. Habiba ambruk menjatuhkan lutut ke tanah sambil sesenggukan."Mama!" Qasam berlari mendekat pada Habiba. Cepat Habiba membuka wajah dan memeluk Qasam erat. "Papamu, Nak!""Itu papa, Ma!" Qasam menunjuk Husein. “Jangan lihat!” Habiba memaksa wajah Qasam supaya menatap ke arahnya, jangan melihat Husein.“Ayo kita mendekat pada papa, Ma!” rengek Qasam.Pelan, kepala Habiba menoleh ke arah Husein meski ia tak sanggup bila harus menyaksikan suaminya terkapar bersimbah darah. Loh, kok Husein masih berdiri tegap? Pria itu dalam keadaan baik- baik saja. Dan saat Habiba menoleh pada Irzan, justru ia melihat tubuh Irzan tergeletak di tanah bersimbah darah. Dari punggung pria itu mengeluarkan darah segar. Senjata api di tangannya terlepas.Habiba menutup mata Qasam dengan telapak tangannya. Qas
"Lepaskan dia!" seru Husein."Ya, tentu aku akan melepaskan anakmu ini. Asalkan kau bersedia mati di tanganku. Tak peduli setelah itu aku akan masuk penjara, yang jelas kau harus mati. Aku dendam padamu. Aku muak padamu. Biarkan semua orang mengataiku kejam, yang penting aku puas. Ha ha haaa..."Setan apa yang merasukinya. Loh itu kan lirik lagu. Kok Husein malah nyanyi? Entah kenapa lagu itu main templok saja di otaknya. Irzan yang dulu terlihat kalem, kini berubah seperti kerasukan setan hanya karena keinginannya untuk bisa hidup bersama dengan orang yang dia cintai tidak terwujud. Otaknya seperti sudah geser satu ons. Jika disebut sebagai orang baik, jelas Irzan dulu adalah orang baik. Dia selalu melakukan hal- hal baik pada semua orang. Tapi saat dia merasa patah hati, dia berubah menjadi sosok yang berbeda. yang isi di hatinya hanyalah merasa tersakiti. Harapannya dipatahkan berkali- kali."Kau sudah gila. Apa kau pikir Habiba akan bersedia menikah dan hidup bersamamu setel
"Setiap melakukan kesalahan, kau selalu bersembunyi. Begini cara seorang pengecut, hm?" Husein melangkah maju.Irzan melangkah mundur. "Setelah kau berusaha melecehkan istriku, maka aku tidak akan mengampunimu. Kau sudah menginjak- injak marwahku." Husein mencengkeram lengan Irzan, namun dengan gesit Irzan menangkisnya. Segera Irzan melayangkan tinju, namun dengan cepat Husein mengelak, matanya dengan mudah menangkap gerakan lawan hingga tendangan Irzan hanya mengenai udara.Irzan kembali melayangkan serangan tinju namun kalah cepat dengan gerakan tangan Husein yang dengan cepat menangkap lengan Irzan dan memelintirnya ke belakang. "Aku tidak bisa melupakan Habiba," ucap Irzan dengan suara terbata menahan sakit di tangan yang dipelintir."Itu karena obsesimu yang terlalu tinggi. Kau telah merusak moralmu sendiri dengan hal ini. Jika kau menjalani kehidupan lain, tanpa harus terus- terusan mengenang Habiba, tentu kau tidak akan terus kepikiran dia.""Sudah sejak lama aku mengharapkan
"Paman itu siapa, Pa?" tanya Qansha menatap Panjul dengan tatapan heran."Namanya Paman Panjul," jawab Husein."Jelek sekali namanya," ceplos Qansha sekenanya, membuat semua orang tertawa."Jelek- jelek tapi orangnya tampan," sahut Panjul berusaha menyikapi dengan manis."Iya tampan. Cocok sama tante Inez." Qasam menyahuti.Muka Inez mendadak memerah. Malu."Mm.. rasanya aku tidak nyaman di sini. Bagaimana kalau aku ajak adikmu ke meja lain?" tanya Panjul meminta ijin pada Husein."Oh, bukankah gerak- gerik kalian justru akan terpantau olehku saat kalian bersamaku? kalau kau membawa adikku pergi, apa kau menjamin bahwa kau bisa menjaganya?”“Aku jamin, aku yang membawanya, tentu aku bertanggung jawab atas dia,” jawab Panjul meyakinkan.Padahal Husein hanya berseloroh saja, namun Panjul menanggapi dengan serius. Husein tertawa kemudian mengangguk. “Baiklah, bawalah adikku bersamamu. Tapi kau akan berhadapan denganku jika kau macam- macam padanya," tegas Husein. "Ya, aku tahu siapa
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu