Sengaja Habiba mencari Ezra di area pria itu bekerja. Kebetulan mereka berpapasan di koridor."Aku mau bicara, Zra!" "Bicara apa?" Ezra melangkah beriringan dengan Habiba."Soal Mas Husein. Pembicaraan yang kemarin kita bahas, tiba- tiba sampai di telinga wartawan. Kemarin, wartawan datang ke rumahku hanya untuk mengorek- orek tentang Husein, seolah doa tahu bahwa Husein ada di rumahku.""Lalu?" Ezra mengernyit. "Ya tentu saja mereka memergoki keberadaan Husein.""Ya sudahlah, kan kalian memang sepasang suami istri, jadi kenapa mesti harus bingung saat wartawan tahu soal itu? Kau takut dicap sebagai pelakor karena dianggap berselingkuh dengan Tuan Husein?""Pemberitaan yang sekarang seakan membenarkan dan memperkuat pemberitaan sebelumnya, yang mengatakan bahwa aku berselingkuh dengan Mas Husein. Kami sama sekali tidak selingkuh.""Jadi masalahnya sekarang, kau tidak mau nama baikmu tercoreng, begitu kan? Mudah saja, kau tinggal ajak Husein muncul ke media dan jelaskan semuanya.""
‘Aku akan jemput kamu. Tunggu di situ.’.Demikian pesan yang diterima oleh Habiba sore itu. Pesan dari Husein. Pria itu akan menjemputnya di rumah sakit. Pagi tadi Habiba berangkat ke rumah sakit dengan naik taksi, dan pulangnya Husein akan menjemputnya karena mereka berniat akan langsung menuju ke hotel untuk mengadakan konferensi pers. Mereka sudah atur jadwal untuk hal itu.Tepat di jam yang ditentukan, Husein pun datang menjemput. Mereka bertolak langsung ke hotel. "Kau kelihatan resah. Apa kau takut tidak bisa menyelesaikan masalah ini?" tanya Husein ketika mereka berjalan dari arah parkiran menuju pintu samping hotel."Aku hanya takut, anak- anak mendapat ejekan ketika mereka besar nanti, diejek kalau ibunya pelakor. Bukan aku yang kena mental, tapi mereka.""Kita akan atasi ini bersama- sama. Aku akan libas siapa pun yang berani lakukan itu kepada anakku. Ayo!" Husein menggandeng tangan Habiba memasuki ruangan dimana para wartawan telah menunggu. Begitu merek melewati pintu
"Saya harap tidak ada lagi persepsi bahwa Habiba adalah pelakor, Habiba adalah menantu yang baik, yang justru tidak pantas disia- siakan. Kehadirannya yang dulu tidak tepat, hanya karena saya dan istri saya sudah lebih mengharapkan Cindy sebagai menantu, membuat saya merasa sangat menyesal," sambung Alka menambahi kata-kata istrinya. Alka lalu merangkul Amira. Berusaha menenangkan istrinya itu. Lalu Alka memeluk Amira dan mencium keningnya sembari mengelus punggung sang istri."Terlepas dari keegoisan kami sebagai orang tua, yang pada akhirnya malah menimbulkan masalah untuk anak dan menantu, tapi kami sebenarnya hanya inginkan yang terbaik untuk putra kami. Meski kami terlambat menyadari bahwa sesuatu yang terbaik itu adalah Habiba. Bukan berarti kami beranggapan Cindy tidak baik, tapi baik belum tentu tepat."Sikap Alka yang terlihat sangat menyayangi Amira membuat semua orang terbengong. Bahkan ada wartawan yang ikut menangis menyaksikan adegan yang nyaris seperti drama telenove
Dan saat Amir ikutan berdiri di sisi Husein, tatapan Husein langsung mengarah kepadanya seolah memberi isyarat larangan."Ini foto keluarga, kau belum menikah dengan adikku, jadi jangan masuk kemari. Jangan merusak suasana!" bisik Husein membuat Amir langsung menghindar dari barisan."Maaf, aku baper, berasa ingin ikutan foto seolah kalian keluargaku," balas Amir yang juga berbisik.Kilatan kamera bertubi- tubi mengarah pada keluarga yang terlihat harmonis dengan senyum mengembang, menunjukkan kebahagiaan dan keceriaan.Hanya Qansha yang sibuk dengan gerakannya, tanpa tahu bahwa ia sedang difoto, ia tak peduli harus bersikap manis di depan kamera. Malah sibuk memainkan pilinan bajunya yang memang kelihatan ribet sekali. Tak lama bocah itu sibuk celingukan menoleh kesana sini. Sampai akhirnya Habiba membingkai pipi Qansha dengan kedua telapak tangannya dan memaksa menatap ke depan. Si kecil hanya menurut dan tak protes atas sikap Habiba.Setelah prose konferensi pers yang cukup mengha
Habiba membuatkan teh untuk Amira dan menyuguhkannya."Papa, besok Qasam mau lomba puisi. Papa datang ya?" Salha keluar dari kamar dan menghampiri Husein."Wah, hebat kamu bisa ikutan lomba puisi. Sebentar, papa tanya Om Amir dulu besok ada jadwal apa." Husein meraih ponselnya untuk menghubungi Amir, namun dicegah oleh Habiba."Plis, jangan kerjaan terus yang dipikirin. Kasian anakmu. Prioritaskan anak. Kerjaan dicancel dulu," pinta Habiba sambil memegangi tangan Husien."Baiklah." Inilah repotnya punya istri seperti Habiba, tatapannya penuh arti hingga Husein selalu saja tak kuasa menolak permintaan wanita itu. "Bisa kan, Pa?" tanya Qasam.Husein mengangkat tubuh kecil Qasam dan mendudukkan ke pangkuannya. "Kalau mamamu sudah meminta papa untuk menonton ke acara itu, papa bisa apa? Tentu saja papa akan menuruti mamamu."Qasam tersenyum. "Papa tidak keberatan kan?""Tentu tidak. Papa justru akan merasa senang bisa menyaksikan anak papa ikutan lomba puisi. Ini adalah bakat yang luar
Beberapa bulan telah berlalu. Kehamilan Habiba sudah semakin besar. Habiba melingkarkan satu lengannya ke lengan Husein saat keluar dari salah satu klinik besar. Mereka baru saja melakukan pemeriksaan dari salah satu ruang dokter kandungan. Habiba senang sekali bisa diantar langsung oleh Husein saat pemeriksaan kandungannya ditengah jadwal sibuk pekerjaan Husein.“Sayang, kamu harus banyak istirahat. Kamu dengar kata dokter tadi bukan? Kondisi janin di rahimmu lemah, dan kamu nggak boleh kecapekan.” Husein mengelus permukaan perut Habiba yang sudah menonjol. Habiba mengangguk.“Aku tidak mau kau dan bayiku kenapa-napa. Jadi kau harus nurut sama suami. Jangan bandel. Kemarin- kemarin kau lelah pikiran makanya bayinya bermasalah. Sekarang, aku sudah menjagamu dengan baik. Aku mendampingimu, jadi tidak ada alasan untuk ngedrop.”Habiba tersenyum seraya mencubit kecil pipi suaminya. Ia kelihatan sedikit lebih tegas bukan untuk menzalimi. Ia hanya sedang melindungi istri
Bukannya bertindak, Husein malah kebingungan sendiri. Dia berdiri kaku dan tak tahu harus berbuat apa. Lalu ia duduk di sisi Habiba. "Ini bagaimana?""Mas Husein, ini sakit!" Habiba mencengkeram lengan Husein erat sekali lalu menjambak rambut suaminya itu. Kapan lagi menjambak Husein kalau bukan di momen ini?Kepala Husein tertarik oleh tangan Habiba.Tak hanya sampai di situ, Habiba bahkan menjewer telinga Husein kuat- kuat sampai muka pria itu memerah. "Hei, hei. Kau mau membunuhku atau bagaimana ini?" Husein berusaha melepaskan diri dari hukuman itu. Dan ia berhasil lepas dari tangan Habiba. Tangannya menepuk- nepuk telinga yang rasanya sakit sekali. Bugh.Husein terkejut mendapat tendangan keras dari Habiba. Dan sialnya mah mengenai bagian vital miliknya. Ya ampun, untung saja sayang, coba saja kalau yang melakukannya adalah orang lain, pasti orang itu sudah mendapat tendangan balasan yang jauh lebih dahsyat.Bagaimana mungkin seorang pengusaha yang kesehariannya kelihatan ne
Sepanjang menemani persalinan, lalu bayi dimandikan dan kemudian bayi dikembalikan ketika Habiba sudah memasuki ruang rawat, Husein dilanda rasa haru. Namun Husein tak mau menunjukkan keharuannya itu kepada semua orang. Rasa gengsi membuatnya harus menjaga image, menjaga kewibawaan. Jangan sampai menangis apa lagi mewek- mewek dengan hidung kembang kempis. Itu memalukan. Lebih baik Husein menyimpan rasa dengan segala kekuatannya. Meski sejujurnya ia sedang sangat ingin menjingkrak dan melompat- lompat sebagai wujud kegembiraan. Husein meminta dokter langsung membawa bayinya ke kamar rawat yang steril, ia tidak mau bayinya dipisahkan dari ruang ibunya.Husein juga memerintah pelayanan terbaik di ruang VVIP itu. Semuanya serba mewah. Mulai dari makanan pasien pun terjamin, bergozi dan higienis. Pelayanan sempurna. Perlengkapan kamar pun komplit. Dijamin kelayakannya.Husein tak berani menimang bayinya. Ia biarkan saja Fatona yang menggendong bayi perempuan yang cantik itu. Bibirnya