Hari itu, Tomy kembali menemui Husein, mereka duduk berhadapan di meja besuk. "Bagaimana dengan tawaranku kemarin? Apakah kau setuju menceraikan Habiba?" Tomy yang masih dalam keadaan tangan diperban itu menatap serius pada Husein. "Tidak," tegas Husein tenang sekali. Sedikit pun tak ada ekspresi tersudut meski ditatap dengan penuh ancaman oleh Tomy.Tomy menyungging senyum. "Jadi kau siap dipenjara?""Aku sudah pernah mendekam di sini. Dan aku tidak kaget.""Hei, kau tidak takut akan berpisah selamanya dengan anak dan istrimu?""Seharusnya itu kau tanyakan pada dirimu sendiri. Apakah kau tidak kasian keponakanmu itu terpisah dari ayahnya? Bukankah kau yang membuatku mendekam di sini? Kau yang memisahkan aku dengan mereka."Tomy terkesiap mendengar perkataan Husein. Ia menukar posisi duduknya hingga punggungnya tegak. "Kalau kau bebas dari tahanan, minimal kau masih bisa beryemu dengan mereka. Kalau kau mendekam di sini, berapa lama kau akan terpisah dari mereka?""Kalau kau menyaya
"Aku mencintaimu," ucap Husein dengan senyum. Ia melepas pelukan lalu memperlihatkan senyumannya itu. "Percayalah, aku akan bebas. Kalau pun ditahan, pasti tidak akan lama.""Melihat sidang tadi, aku tidak yakin kamu akan lepas. Hakim pasti akan menjatuhkan vonis hukuman kepadamu karena menganggapmu bersalah. Entah itu hanya sebentar, atau bahkan lama.""Setiap orang bersalah pasti akan menerima konsekuensinya. Dan aku siap.""Tapi aku tidak siap. Andai hanya aku saja yang menghadapi semua ini, maka aku siap. Aku bisa menghadapi hari tanpamu dan setia menunggumu. Tapi jika anak- anak sudah menanyakan keberadaanmu, maka itulah yang tidak bisa aku tahan. Aku tidak kuat.""Kau wanita tegar. Aku yakin kau bisa atasi ini. Katakan pada mereka bahwa aku pasti akan pulang.""Cepatlah selesaikan ini, jangan sampai lama berurusan dengan masalah ini. Demi anakmu di sini!" Habiba memegang permukaan perutnya.Husein terkejut, memating sebentar. "Di sini ada anak kita," sambung Habiba masih memega
"Eh Non Biba, belum tidur?" tanya Fara yang masih asik dengan kegiatannya di dapur. Ia langsung meninggalkan pekerjaannya dan menghampiri Habiba yang duduk di kursi sambil meneguk minum."Orang hamil tidak boleh tidur terlalu malam, Non. Takutnya kena anemia," saran Fara."Aku tidak bisa tidur.""Kepikiran Tuan Husein?"Habiba hanya diam. Entah kenapa ia terlalu berat memikirkan Husein. Bahkan menunggu momen putusan hakim ini pikirannya benar- benar tersita.Habiba mengelus permukaan perutnya. Ia bahkan sampai tak sadar kalau ia dalam kondisi hamil gara- gara terlalu fokus pada masalah ini. Dia tak ingat kapan terakhir mens, sampai tak sadar kandungannya ternyata sudah berisi. Empat bulan. "Non Biba, saya minta maaf ya, Non."Habiba langsung menoleh. "Monta maaf soal apa? Mbak Fara bikin masalah lagi?""Eh, bukan. Saya tidak bikin masalah apa- apa. Saya cuma teringat perbuatan saya kemarin yang malah bikin Qasam salah paham. Takutnya Non Biba juga kepikiran itu. Kan saya merasa ber
Habiba bingung, apakah ia harus menghadiri sidang kali ini? Ataukah ia tidak perlu menghadirinya?Hatinya tidak siap mendengar keputusan majelis hakim. Jika saja hakim memutuskan hukuman yang cukup berat untuk Husein, maka ia bisa jantungan.Meskipun hakim mengatakan hukuman yang dijatuhkan adalah satu tahun, tetap saja Habiba merasa berat. Itu hukuman yang cukup lama baginya. Berpisah dalam beberapa bulan saja, ia merasa seperti sudah sangat lama sekali.Habiba sudah mengenakan pakaian rapi, tak lain pakaian ala dokter. Dia memilih untuk dinas kerja saja. Dia tak mau menghadiri persidangan. Jantungnya benar- benar tidak kuat. Dia takut, sangat takut mendengar keputusan majelis hakim.Biarlah ia mengetahui keputusan hakim saat sudah selesai persidangan. Dia akan tahu kabar itu dari Amir, Inez atau siapa saja yang nantinya mengabarkan kepadanya.Habiba melenggang keluar menenteng tas. Rumah sakit. Inilah tujuannya saat ini. Dengan menyetir mobil sendiri, Habiba mengarahka
“Tidak mengapa, saya paham dengan kondisi Anda!” Pengacara itu mengangguk sopan.Melihat adab dan etika yang dimiliki pengacara itu, habiba menyesal sudah terpancing emosi. Perkataannya tadi pasti sudah snagat menyinggung pengacara tersebut.“Aku terlalu berharap Mas Husein akan bebas. Jadi aku emosi,” ungkap Habiba menyesal sambil mengusap rambut ke belakang. ia berusaha menenangkan diri.“Tidak apa- apa, Nyonya. Saya akan berusaha semaksimal mungkin. Dan saya akan usahakan Tuan Husein akan bebas di posisi banding nanti. Saya akan siapkan bahan dan alibi yang kuat,” sahut pengacara itu bersungguh- sungguh.Habiba mengangguk. “Sekali lagi saya minta maaf. selamat bekerja!” Habiba melenggang pergi. Rasa rindu pada Husein tidak terobati. Pertemuan yang hanya sekilas tadi sama sekali tidak mengobati kerinduannya. Ah, andai saja ia bisa memeluk Husein lebih lama lagi, ia yakian janin di kandungannya juga turut merasakan kehangatan dipeluk oleh ayahnya.Sampai kapan mereka ter
Beberapa minggu kemudian, kasus yang berjalan benar- benar naik banding. Husein kembali duduk di persidangan. Dengan raut yang tetap tenang, dia menjalani sidang. Demikian Habiba yang juga menghadiri persidangan. Fatona menemaninya."Keputusannya, saudara Husein Brata Raksa dinyatakan bebas."Demikian keputusan hakim. Dengan alasan pertimbangan banyak hal, Husein dinyatakan tidak bersalah atas kecelakaan yang menyebabkan Tomy terluka. Hukuman penahanan selama tiga bulan yang sudah berjalan, dianggap telah menjadi waktu yang pas untuk Husein menjalani masa tahanan. Kecelakaan tersebut dianggap bukan merupakan kelalaian pengemudi, namun dianggap sebagai kondisi yang tak bisa dielakkan mengingat Husein berada di jalur yang tepat untuk mobilnya melintas ke luar, justru Tomy lah yang mendadak muncul di jalur yang akan dilalui pengemudi. Husein yang tak bisa mengelakkan proses tabrakan dianggap tidak melanggar. Tomy tidak hadir dalam persidangan. Hanya pengacaranya saja yang hadir. S
“Papa tidak akan kemana- mana lagi. Papa akan tinggal selamanya bersama kita di sini!” ucap Habiba sambil mengelus pucuk kepala Qansha dan Qasam.“Sungguh?” tanya Qansha.Habiba mengangguk.“Jangan tinggalin Qansha lagi ya, Pa. Nanti kalau papa pergi lagi, dan Qansha kangen sama papa, Qansha bakalan sedih. Qansha menangis dan papa tidak tahu kan?” Qansha menatap wajah Husein.Husein lalu menggendong Qansha, sedangkan Qasam digandeng. “dengarkan papa, papa tidak akan pergi lagi. Papa akan tetap bersama kalian di sini.”“Horeee….” Qansha menjingkrak girang. “Pakpolisi sudah memaafkan papa ya?”“Sekarang kalian main di dalam dulu ya! Apapa ada tamu!” “Siap, Pa!” Qansha menghamur ke dalam disusul oleh Qasam.“Anak- anak Tuan Husein benar- benar sangat menyayangi keluarga. Mereka ternyata selama ini merindukan Anda, Tuan Husein. beruntung sekali anda dirindukan anak- anak!” komentar pengacara.Husein tak bisa menanggapi. Cukup mata mereka saja yang menyaksikan dan menilainya."
"Opaaaa....." Qasam dan Qansha serentak berlari mendekat pada Alka.Loh, kok hanya opa saja yang diteriakin? Sedangkan oma tidak diteriaki? Amira tampak cemburu melihat dua cucunya menggelayut manja di kaki Alka. Sedangkan dirinya tidak dipedulikan.Amira tetap tersenyum, namun jelas terlihat gurat kecewa."Opa kenapa baru kemari sekarang?" tanya Qansha."Opa tidak kangen sama Qasam?" timpal Qasam."Opa mau makan bersama kan? Duduk dekat Qansha ya?"Kedua anak itu berebut mengajak Alka bicara. Semuanya bicara hingga tak tahu mana yang akan dijawab. Alka bingung harus menanggapi seperti apa."Hei, Qasam, Qansha, ini ada oma juga loh, ayo sapa oma ya!" pinta Habiba.Seketika Qasam menoleh pada Amira. Ia tersenyum pada Amira dan berseru ringan, "Oma!""Ya sayang!" Amira mengusap pipi Qasam."Selamat datang, Oma!" sapa Qansha dengan wajah biasa saja, berbeda ketika menyambut Alka. Namun Amira sudah senang sekali mendapat sapaan itu. Ia tersenyum senang.Mereka kemudian menuju ruang maka