“Tidak mengapa, saya paham dengan kondisi Anda!” Pengacara itu mengangguk sopan.Melihat adab dan etika yang dimiliki pengacara itu, habiba menyesal sudah terpancing emosi. Perkataannya tadi pasti sudah snagat menyinggung pengacara tersebut.“Aku terlalu berharap Mas Husein akan bebas. Jadi aku emosi,” ungkap Habiba menyesal sambil mengusap rambut ke belakang. ia berusaha menenangkan diri.“Tidak apa- apa, Nyonya. Saya akan berusaha semaksimal mungkin. Dan saya akan usahakan Tuan Husein akan bebas di posisi banding nanti. Saya akan siapkan bahan dan alibi yang kuat,” sahut pengacara itu bersungguh- sungguh.Habiba mengangguk. “Sekali lagi saya minta maaf. selamat bekerja!” Habiba melenggang pergi. Rasa rindu pada Husein tidak terobati. Pertemuan yang hanya sekilas tadi sama sekali tidak mengobati kerinduannya. Ah, andai saja ia bisa memeluk Husein lebih lama lagi, ia yakian janin di kandungannya juga turut merasakan kehangatan dipeluk oleh ayahnya.Sampai kapan mereka ter
Beberapa minggu kemudian, kasus yang berjalan benar- benar naik banding. Husein kembali duduk di persidangan. Dengan raut yang tetap tenang, dia menjalani sidang. Demikian Habiba yang juga menghadiri persidangan. Fatona menemaninya."Keputusannya, saudara Husein Brata Raksa dinyatakan bebas."Demikian keputusan hakim. Dengan alasan pertimbangan banyak hal, Husein dinyatakan tidak bersalah atas kecelakaan yang menyebabkan Tomy terluka. Hukuman penahanan selama tiga bulan yang sudah berjalan, dianggap telah menjadi waktu yang pas untuk Husein menjalani masa tahanan. Kecelakaan tersebut dianggap bukan merupakan kelalaian pengemudi, namun dianggap sebagai kondisi yang tak bisa dielakkan mengingat Husein berada di jalur yang tepat untuk mobilnya melintas ke luar, justru Tomy lah yang mendadak muncul di jalur yang akan dilalui pengemudi. Husein yang tak bisa mengelakkan proses tabrakan dianggap tidak melanggar. Tomy tidak hadir dalam persidangan. Hanya pengacaranya saja yang hadir. S
“Papa tidak akan kemana- mana lagi. Papa akan tinggal selamanya bersama kita di sini!” ucap Habiba sambil mengelus pucuk kepala Qansha dan Qasam.“Sungguh?” tanya Qansha.Habiba mengangguk.“Jangan tinggalin Qansha lagi ya, Pa. Nanti kalau papa pergi lagi, dan Qansha kangen sama papa, Qansha bakalan sedih. Qansha menangis dan papa tidak tahu kan?” Qansha menatap wajah Husein.Husein lalu menggendong Qansha, sedangkan Qasam digandeng. “dengarkan papa, papa tidak akan pergi lagi. Papa akan tetap bersama kalian di sini.”“Horeee….” Qansha menjingkrak girang. “Pakpolisi sudah memaafkan papa ya?”“Sekarang kalian main di dalam dulu ya! Apapa ada tamu!” “Siap, Pa!” Qansha menghamur ke dalam disusul oleh Qasam.“Anak- anak Tuan Husein benar- benar sangat menyayangi keluarga. Mereka ternyata selama ini merindukan Anda, Tuan Husein. beruntung sekali anda dirindukan anak- anak!” komentar pengacara.Husein tak bisa menanggapi. Cukup mata mereka saja yang menyaksikan dan menilainya."
"Opaaaa....." Qasam dan Qansha serentak berlari mendekat pada Alka.Loh, kok hanya opa saja yang diteriakin? Sedangkan oma tidak diteriaki? Amira tampak cemburu melihat dua cucunya menggelayut manja di kaki Alka. Sedangkan dirinya tidak dipedulikan.Amira tetap tersenyum, namun jelas terlihat gurat kecewa."Opa kenapa baru kemari sekarang?" tanya Qansha."Opa tidak kangen sama Qasam?" timpal Qasam."Opa mau makan bersama kan? Duduk dekat Qansha ya?"Kedua anak itu berebut mengajak Alka bicara. Semuanya bicara hingga tak tahu mana yang akan dijawab. Alka bingung harus menanggapi seperti apa."Hei, Qasam, Qansha, ini ada oma juga loh, ayo sapa oma ya!" pinta Habiba.Seketika Qasam menoleh pada Amira. Ia tersenyum pada Amira dan berseru ringan, "Oma!""Ya sayang!" Amira mengusap pipi Qasam."Selamat datang, Oma!" sapa Qansha dengan wajah biasa saja, berbeda ketika menyambut Alka. Namun Amira sudah senang sekali mendapat sapaan itu. Ia tersenyum senang.Mereka kemudian menuju ruang maka
Tak lama kemudian semua penghuni yang ada di ruang makan pun bermunculan. Mereka berkumpul di ruang tamu.“Keributan apa tadi?” tanya Alka.“Ada wartawan yang datang dan terlanjur masuk rumah. Fara terlanjur mempersilakan mereka masuk. Mereka mencari tahu tentang hubunganku dengan Mas Husein. Aku belum memiliki data untuk bisa menyampaikan kebenaran ini supaya tidak muncul fitnah atau pun keslaah pahaman,” ucap Habiba. “Sejak awal pernikahanku dengan Mas Husein ini kan dirahasiakan. Aku hanya istri yang disembunyikan. Pada akhirnya, aku harus mencari waktu yang tepat untuk mengklarifikasi hal ini. Sebab jika hanya bicara saja, semua orang tetap akan mengklaim aku sebagai wanita simpanan.”Alka memalingkan pandangan, tampak tak nyaman atas pembicaraan itu. Dia menjadi penyebab atas maslaah yang dialami Habiba. Dialah yang melarang keras hubungan antara Husein dan habiba. Bahkan dia pula yang mengatur supaya Habiba dijadikan sebagai istri yang dirahasiakan.Kemudian, muncul l
Sengaja Habiba mencari Ezra di area pria itu bekerja. Kebetulan mereka berpapasan di koridor."Aku mau bicara, Zra!" "Bicara apa?" Ezra melangkah beriringan dengan Habiba."Soal Mas Husein. Pembicaraan yang kemarin kita bahas, tiba- tiba sampai di telinga wartawan. Kemarin, wartawan datang ke rumahku hanya untuk mengorek- orek tentang Husein, seolah doa tahu bahwa Husein ada di rumahku.""Lalu?" Ezra mengernyit. "Ya tentu saja mereka memergoki keberadaan Husein.""Ya sudahlah, kan kalian memang sepasang suami istri, jadi kenapa mesti harus bingung saat wartawan tahu soal itu? Kau takut dicap sebagai pelakor karena dianggap berselingkuh dengan Tuan Husein?""Pemberitaan yang sekarang seakan membenarkan dan memperkuat pemberitaan sebelumnya, yang mengatakan bahwa aku berselingkuh dengan Mas Husein. Kami sama sekali tidak selingkuh.""Jadi masalahnya sekarang, kau tidak mau nama baikmu tercoreng, begitu kan? Mudah saja, kau tinggal ajak Husein muncul ke media dan jelaskan semuanya.""
‘Aku akan jemput kamu. Tunggu di situ.’.Demikian pesan yang diterima oleh Habiba sore itu. Pesan dari Husein. Pria itu akan menjemputnya di rumah sakit. Pagi tadi Habiba berangkat ke rumah sakit dengan naik taksi, dan pulangnya Husein akan menjemputnya karena mereka berniat akan langsung menuju ke hotel untuk mengadakan konferensi pers. Mereka sudah atur jadwal untuk hal itu.Tepat di jam yang ditentukan, Husein pun datang menjemput. Mereka bertolak langsung ke hotel. "Kau kelihatan resah. Apa kau takut tidak bisa menyelesaikan masalah ini?" tanya Husein ketika mereka berjalan dari arah parkiran menuju pintu samping hotel."Aku hanya takut, anak- anak mendapat ejekan ketika mereka besar nanti, diejek kalau ibunya pelakor. Bukan aku yang kena mental, tapi mereka.""Kita akan atasi ini bersama- sama. Aku akan libas siapa pun yang berani lakukan itu kepada anakku. Ayo!" Husein menggandeng tangan Habiba memasuki ruangan dimana para wartawan telah menunggu. Begitu merek melewati pintu
"Saya harap tidak ada lagi persepsi bahwa Habiba adalah pelakor, Habiba adalah menantu yang baik, yang justru tidak pantas disia- siakan. Kehadirannya yang dulu tidak tepat, hanya karena saya dan istri saya sudah lebih mengharapkan Cindy sebagai menantu, membuat saya merasa sangat menyesal," sambung Alka menambahi kata-kata istrinya. Alka lalu merangkul Amira. Berusaha menenangkan istrinya itu. Lalu Alka memeluk Amira dan mencium keningnya sembari mengelus punggung sang istri."Terlepas dari keegoisan kami sebagai orang tua, yang pada akhirnya malah menimbulkan masalah untuk anak dan menantu, tapi kami sebenarnya hanya inginkan yang terbaik untuk putra kami. Meski kami terlambat menyadari bahwa sesuatu yang terbaik itu adalah Habiba. Bukan berarti kami beranggapan Cindy tidak baik, tapi baik belum tentu tepat."Sikap Alka yang terlihat sangat menyayangi Amira membuat semua orang terbengong. Bahkan ada wartawan yang ikut menangis menyaksikan adegan yang nyaris seperti drama telenove
Husein menyentil ujung dagu Habiba. "Aku mencintaimu.""Jangan terus- terusan ucapkan kalimat itu, aku bisa terharu. Lihatlah air hidungku meleleh jadinya." Husein mengernyit. "Air mata, sayang. Kenapa jadi air hidung?""He hee...""Aku boleh menciummu?" bisik Husein."Jangan nakal. Ini di tempat umum, bukan di kamar.""Ini masih terlalu pagi, belum ada yang bangun." Husein mengecup singkat bibir Habiba."Cie cieeee....."Husein dan Habiba serentak menoleh ke sumber suara. Ada Qasam dan Qansha yang berdiri di ambang pintu. "Papa cium mama nih yeee..." Qasam terkekeh.Habiba membelalak kaget. Bukan kaget karena Qasam meledeknya, tapi kaget karena Qasam menggendong Wafa. Sedangkan Qansha memegangi kaki Wafa yang masih mengenakan piyama tidur lengkap dengan pampers tebal yang isinya sudah sangat berat dengan air kecil."Ya ampun. Qasam, jangan gendong Wafa. Nanti bisa jatuh. Kamu belum saatnya menggendong dia, Nak." Habiba menghambur dan mengambil alih tubuh Wafa dari gendongan Qasam.
Habiba tak bisa tidur. Malam itu sampai jam lima pagi, ia terjaga. Pikirannya menerawang pada kejadian yang baru saja dia saksikan. Ia berharap tidak akan terjadi apa pun pada Husein, dan tentu saja pada Amir juga. Jika sampai drama penahanan terjadi lagi pada Husein, Habiba tak tahu lagi harus berbuat apa. “Habiba!” Habiba terkejut mendengar suara yang memanggilnya. Suara Tomy.Habiba yang tengah duduk di kasur itu pun menghambur keluar kamar.“Mas Tomy!” Habiba menghampiri Timy yang berdiri di tengah- tengah ruang tamu. “Ada apa pagi buta begini Mas Tomy ke sini?”“Aku mendengar Irzan meninggal, kena tembak. Husein sedang mengurus masalah ini di kantor polisi. Maksudnya, kena tembak kenapa?” Tomy bingung.“Mas Tomy dapat kabar dari siapa?” “Dari polisi yang meneleponku dan menanyakan beberapa hal terkait Irzan, aku dianggap sebagai teman dekat yang mungkin mengetahui sesuatu tentang Irzan. Katanya, Husein yang melaporkan kematiannya. Aku ke sini karena ingin tahu hal ini. Ak
"Tidak!" Habiba menjerit keras sekali. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya pecah. Bruk. Tubuh yang tertembak itu terjatuh dan ambruk ke tanah. Tembakan tepat mengenai sasaran. Habiba ambruk menjatuhkan lutut ke tanah sambil sesenggukan."Mama!" Qasam berlari mendekat pada Habiba. Cepat Habiba membuka wajah dan memeluk Qasam erat. "Papamu, Nak!""Itu papa, Ma!" Qasam menunjuk Husein. “Jangan lihat!” Habiba memaksa wajah Qasam supaya menatap ke arahnya, jangan melihat Husein.“Ayo kita mendekat pada papa, Ma!” rengek Qasam.Pelan, kepala Habiba menoleh ke arah Husein meski ia tak sanggup bila harus menyaksikan suaminya terkapar bersimbah darah. Loh, kok Husein masih berdiri tegap? Pria itu dalam keadaan baik- baik saja. Dan saat Habiba menoleh pada Irzan, justru ia melihat tubuh Irzan tergeletak di tanah bersimbah darah. Dari punggung pria itu mengeluarkan darah segar. Senjata api di tangannya terlepas.Habiba menutup mata Qasam dengan telapak tangannya. Qas
"Lepaskan dia!" seru Husein."Ya, tentu aku akan melepaskan anakmu ini. Asalkan kau bersedia mati di tanganku. Tak peduli setelah itu aku akan masuk penjara, yang jelas kau harus mati. Aku dendam padamu. Aku muak padamu. Biarkan semua orang mengataiku kejam, yang penting aku puas. Ha ha haaa..."Setan apa yang merasukinya. Loh itu kan lirik lagu. Kok Husein malah nyanyi? Entah kenapa lagu itu main templok saja di otaknya. Irzan yang dulu terlihat kalem, kini berubah seperti kerasukan setan hanya karena keinginannya untuk bisa hidup bersama dengan orang yang dia cintai tidak terwujud. Otaknya seperti sudah geser satu ons. Jika disebut sebagai orang baik, jelas Irzan dulu adalah orang baik. Dia selalu melakukan hal- hal baik pada semua orang. Tapi saat dia merasa patah hati, dia berubah menjadi sosok yang berbeda. yang isi di hatinya hanyalah merasa tersakiti. Harapannya dipatahkan berkali- kali."Kau sudah gila. Apa kau pikir Habiba akan bersedia menikah dan hidup bersamamu setel
"Setiap melakukan kesalahan, kau selalu bersembunyi. Begini cara seorang pengecut, hm?" Husein melangkah maju.Irzan melangkah mundur. "Setelah kau berusaha melecehkan istriku, maka aku tidak akan mengampunimu. Kau sudah menginjak- injak marwahku." Husein mencengkeram lengan Irzan, namun dengan gesit Irzan menangkisnya. Segera Irzan melayangkan tinju, namun dengan cepat Husein mengelak, matanya dengan mudah menangkap gerakan lawan hingga tendangan Irzan hanya mengenai udara.Irzan kembali melayangkan serangan tinju namun kalah cepat dengan gerakan tangan Husein yang dengan cepat menangkap lengan Irzan dan memelintirnya ke belakang. "Aku tidak bisa melupakan Habiba," ucap Irzan dengan suara terbata menahan sakit di tangan yang dipelintir."Itu karena obsesimu yang terlalu tinggi. Kau telah merusak moralmu sendiri dengan hal ini. Jika kau menjalani kehidupan lain, tanpa harus terus- terusan mengenang Habiba, tentu kau tidak akan terus kepikiran dia.""Sudah sejak lama aku mengharapkan
"Paman itu siapa, Pa?" tanya Qansha menatap Panjul dengan tatapan heran."Namanya Paman Panjul," jawab Husein."Jelek sekali namanya," ceplos Qansha sekenanya, membuat semua orang tertawa."Jelek- jelek tapi orangnya tampan," sahut Panjul berusaha menyikapi dengan manis."Iya tampan. Cocok sama tante Inez." Qasam menyahuti.Muka Inez mendadak memerah. Malu."Mm.. rasanya aku tidak nyaman di sini. Bagaimana kalau aku ajak adikmu ke meja lain?" tanya Panjul meminta ijin pada Husein."Oh, bukankah gerak- gerik kalian justru akan terpantau olehku saat kalian bersamaku? kalau kau membawa adikku pergi, apa kau menjamin bahwa kau bisa menjaganya?”“Aku jamin, aku yang membawanya, tentu aku bertanggung jawab atas dia,” jawab Panjul meyakinkan.Padahal Husein hanya berseloroh saja, namun Panjul menanggapi dengan serius. Husein tertawa kemudian mengangguk. “Baiklah, bawalah adikku bersamamu. Tapi kau akan berhadapan denganku jika kau macam- macam padanya," tegas Husein. "Ya, aku tahu siapa
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu