Cahaya matahari samar menelusup lewat tirai kamar, tapi tidak cukup untuk menghangatkan udara dingin yang menggantung di antara mereka.
Elara duduk di pinggir tempat tidur, lututnya tertarik ke dada, tangan kurusnya menggenggam erat selimut. Matanya kosong, tapi ada api yang masih menyala di sana, api pemberontakan yang tidak pernah padam, meskipun tubuhnya terasa lelah. Sarapan sudah tersedia di atas meja. Croissant hangat, telur setengah matang, dan secangkir kopi hitam, hidangan yang tampak sederhana, tapi dibuat oleh chef terbaik yang dimiliki La Rosa Oscura. Dan Elara tidak menyentuhnya. Valentino berdiri di seberang ruangan, tangannya terselip di saku celana, rahangnya mengeras. Ia sudah memperingatkan gadis itu sejak tadi. “Elara, makanlah.” “Aku tidak lapar.” “Elara.” “Aku. Tidak. Lapar.” Suasana di antara mereka semakin menegang. Valentino menekan napasnya, mencoba mengendalikan amarahnya yang selalu muncul dengan mudah saat berhadapan dengan wanita ini. Elara bangkit, berdiri dengan tubuh tegap meski wajahnya pucat. “Aku ingin ke rumah sakit.” Valentino mengerutkan kening. “Untuk apa?” Elara menatapnya dengan tajam. “Menjenguk adikku.” Valentino mendekat, suaranya lebih rendah, nyaris mengancam. “Kau pikir itu ide yang bagus? Dia belum pulih sepenuhnya.” "Aku tidak peduli apakah itu ide yang bagus atau tidak. Aku hanya ingin melihatnya." “Elara,” Valentino mengusap wajahnya dengan frustrasi. Elara mendengus, matanya menyala. “Apa kau pikir aku akan lari? Kau pikir aku tidak tahu bahwa ada sepuluh anak buahmu mengawasi setiap gerak-gerikku? Bahwa bahkan jika aku mencoba kabur, aku tidak akan bisa pergi lebih dari lima meter sebelum seseorang menyeretku kembali?” Valentino terdiam. Elara menarik napas dalam-dalam, suaranya sedikit melembut. “Aku hanya ingin bertemu adikku, Dante” Matanya sedikit bergetar ketika mengatakannya, sesuatu yang Valentino sadari. Ia tahu Elara mungkin tidak akan menangis di depannya, tapi itu bukan berarti wanita itu tidak sedang menahan air matanya mati-matian. Dan Valentino benci melihatnya seperti ini. Benci melihatnya hancur. Benci bahwa mungkin, ia adalah salah satu penyebabnya. Valentino menghela napas panjang, lalu mengambil ponsel dari sakunya. “Aku akan mengantarmu.” Elara mendongak, seolah tidak percaya. “Apa?” “Kita akan pergi ke rumah sakit. Tapi dengan syarat.” Elara menyipitkan matanya. “Apa?” “Kau akan makan dulu.” Elara mendengus. “Jadi ini semacam transaksi?” “Anggap saja begitu.” Elara menggigit bibirnya, lalu akhirnya menoleh ke arah meja. Dengan enggan, ia mengambil croissant dan menggigitnya. Tapi tidak ada rasa di lidahnya. Yang ada hanya rasa kehampaan. --- Satu jam kemudian, mereka berdua tiba di rumah sakit dengan penjagaan ketat. Beberapa pria berbaju hitam mengawal mereka dari jauh, memastikan tidak ada ancaman yang mendekat. Elara turun dari mobil dengan langkah cepat, tidak peduli bahwa Valentino berjalan di sampingnya. Tangannya mengepal saat ia melangkah masuk ke gedung rumah sakit, menuju ruangan tempat adiknya dirawat. Ketika ia membuka pintu, napasnya hampir tersengal. Di sana, di atas ranjang putih dengan selang infus di tangannya, Leon terbaring dalam keadaan lemah. Elara melangkah mendekat, tangannya bergetar ketika ia mengusap rambut bocah itu. "Leon,” ucapnya lirih. Anak laki-laki itu mengerjap pelan, lalu tersenyum samar. "Kakak?" Elara tersenyum meski matanya berkabut. "Ya, sayang, ini kakak." Valentino tetap berdiri di ambang pintu, menatap pemandangan itu dalam diam. Untuk pertama kalinya, ia melihat Elara bukan sebagai wanita yang keras kepala atau penuh kebencian, tapi sebagai seorang kakak yang rapuh, yang hanya ingin melindungi satu-satunya keluarga yang tersisa. Dan entah kenapa, itu membuat dadanya terasa sesak. Saat Valentino sedang hanyut melihat pemandangan ity. Tiba-tiba bocah itu menatap kearahnya. "Eh? Kakak Elara bawa bapak-bapak galak?" Elara menoleh kearah Valentino. Sementara itu, pria menoleh dengan ekspresi datar. "Aku suaminya." Mata Leon mengerjap, lalu mengangkat sebelah alis bingung."Hah? Tapi kenapa kak Elara nikahin om-om?" Mendengar pertanyaan polos adiknya Elara rasanya ingin pingsan di tempat. Valentino malah melipat tangan di dada, alisnya sedikit berkedut. "Aku belum tua." "Terus kenapa mukanya kayak bapak-bapak?" Valentino menatapnya tanpa ekspresi. "Mungkin karena aku lupa mencukur brewokku, dan membiarkan bocah sepertimu menertawakan penampilan ku. Leon menatap Valentino dengan waspada, tapi kemudian menyeringai kecil. "Eh, om galak bisa bercanda juga, ya?" "Aku tidak bercanda." "Tapi mukanya kaku kayak tembok." Elara yang sejak tadi menahan tawa akhirnya tidak kuat dan menundukkan wajahnya. Ini pertama kalinya ia melihat Valentino berusaha berbicara santai dengan seseorang, meskipun dengan cara yang, absurd. Leon malah makin berani. "Om serius nikahin kak Elara?" Valentino mengangguk. "Iya." "Kakak nyesel gak?" Leon menoleh ke Elara. Elara terdiam. Harusnya ia marah karena Valentino membawanya ke dalam pernikahan ini. Harusnya ia membenci pria ini sepenuh hati. Tapi melihat Leon tertawa untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Valentino masih menatap Leon dengan ekspresi datar, lalu berdeham pelan. "Kau harus sembuh cepat, bocah. Aku tidak mau istriku menangis terus setiap malam gara-gara memikirkanmu." Leon menatap Valentino, lalu menoleh ke Elara. "Kakak nangis?" Elara menggeleng cepat. "Tentu tidak!" Valentino hanya tersenyum miring, lalu menoleh ke arah jendela. Mungkin, pertemuan ini bukan hanya penting bagi Elara dan Leon. Mungkin, ini juga membuat sesuatu dalam diri Valentino, berubah. Elara menatap Valentino dengan penuh tanda tanya. Sejak mereka menikah, pria itu selalu bersikap dingin, cenderung tidak peduli, dan hanya berbicara seperlunya. Tapi hari ini, di depan Leon, Valentino menunjukkan sisi lain yang tidak pernah ia sangka, seorang pria kaku dengan humor seaneh itu. Bukan hanya itu. Yang lebih mengejutkan adalah bagaimana Leon tidak takut sama sekali pada pria yang terkenal kejam dan tidak kenal ampun di dunia mafia. Padahal, siapa pun yang pernah melihat Valentino dari dekat pasti tahu satu hal, pria ini memiliki wajah yang tidak mengundang keramahan. Bentuk rahangnya tegas, tatapan matanya tajam dan menusuk. Jika ia diam, ia tampak seperti singa yang sedang mengamati mangsanya. Dan jika ia berbicara, auranya seperti petir di malam badai, keras, tajam, dan tidak bisa diprediksi. Tapi entah kenapa, Leon malah bercanda dengan Valentino seolah pria itu bukan mafia yang namanya ditakuti oleh banyak orang. “Kakak,” suara Leon membuyarkan lamunan Elara. “Hm?” “Om galak itu beneran suamimu?” Elara menatap bocah itu, tidak langsung menjawab. “Kenapa diam?” Leon memiringkan kepala. “Kakak kayak nggak suka sama dia.” Elara tersenyum samar, mencoba mengalihkan pembicaraan. “Kamu ini, bukannya istirahat malah kepo urusan rumah tangga orang.” Leon mendecak pelan. “Soalnya aneh aja. Kakak biasanya ceria, tapi kalo sama dia lebih gimana ya, kayak orang tertekan, mau ngamuk tapi ditahan.” Elara terkekeh. “Itu karena dia memang menyebalkan.” Leon ikut tertawa, tapi kemudian ekspresinya berubah sedikit serius. “Tapi dia baik, kok.” Elara terdiam.“Dia orang pertama yang menolongku waktu kejadian itu.” Leon menatap langit-langit kamar. “Kalau bukan dia, aku mungkin udah nggak ada.”Pupil mata Elara melebar.Ia tahu Valentino yang menyelamatkan adiknya dari insiden malam itu, ia tahu semuanya dari mantan detektif keluarga Moretti. Tapi ia tidak pernah benar-benar memikirkan bagaimana itu terjadi.Apakah Valentino yang membawa Leon keluar dari neraka berdarah itu? Apakah ia harus bertarung hanya untuk menjaga bocah ini tetap hidup?Pikiran itu membuat hatinya mencubit perih.Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, suara Valentino yang berbicara di telepon menarik perhatiannya.Pria itu berdiri tidak jauh dari ruangan, tubuhnya tegap dengan satu tangan di saku celana dan tangan satunya memegang ponsel di telinga.“Di misi kali ini bawa Elara bersamamu, Dante,” ujar seseorang dari panggilan suara. Ekspresi Valentino seketika berubah serius.Bukan lagi Valentino yang baru saja bercanda dengan Leon, tapi Valentino yang sesungguhny
"Kau yakin bisa sendirian?" Suara Elara terdengar ragu, matanya menyorot tajam ke arah Valentino."Kau belum mengenal siapa suamimu ini? Seharusnya kau lebih khawatir pada dirimu sendiri." Valentino menutup pintu kamar mereka dengan satu dorongan kuat. "Tetaplah di sini. Ini tempat paling aman untuk bersembunyi."Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah pergi, meninggalkan Elara dalam riuh pikirannya sendiri. Dari jendela, ia melihat mobil Valentino melaju menembus gelapnya malam."Walaupun aku membencinya, tapi Tuhan, tolong biarkan dia pulang dalam keadaan hidup." Untuk pertama kalinya, doa Elara tak dipenuhi sumpah serapah.---Di sebuah bangunan terpencil, udara dipenuhi aroma keringat dan debu."Kau masih belum mau bicara, Pak Tua?" Seorang pemuda menekan moncong pistol ke bahu Elio, menekannya cukup kuat hingga pria tua itu mendecak. "Di mana kunci brankas berisi obat yang kami inginkan?"Elio hanya mendengus. "Sudah kubilang, keponakanku yang memegangnya." Tatapannya tetap tajam. I
“Nona bisa menambahkan madu jika rotinya kurang pas di lidah Anda,” ujar Cindy, sang kepala maid, dengan sopan.“Tak perlu. Aku suka selai anggur buatan kalian,” puji Elara ringan, menyendokkan sedikit selai ke rotinya.Cindy tersenyum kecil. Ini pertama kalinya seorang penghuni mansion memuji makanan mereka secara langsung. Biasanya, Valentino—si Tuan Rumah—tidak pernah berkata apa pun soal rasa. Pria itu hanya makan, lalu pergi tanpa ekspresi.“Selamat makan, Tuan, Nona.” Cindy membungkuk hormat sebelum melenggang pergi.“Terima kasih, Cindy.” Elara melirik Valentino yang tetap datar. Dalam hati, ia menggerutu.‘Dia ini hidup di dimensi apa, sih? Sampai hal sekecil ini aja nggak peduli. Cindy kelihatan begitu senang hanya karena pujian receh. Apa si manusia kulkas ini punya anggaran buat ngeluarin satu kata aja buat maid yang udah capek-capek ngurusin makannya?’Sementara itu, Dante Valentino masih setia mengunyah makanannya tanpa suara. Hanya bunyi denting halus garpu yang menyent
Hujan turun deras malam itu, seolah langit ikut berkabung atas keputusan gila yang baru saja dibuatnya. Elara Moretti berdiri di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya dalam balutan gaun pengantin putih yang seharusnya melambangkan kebahagiaan. Tapi tidak ada kebahagiaan di sini, hanya ada ketakutan, keputusasaan, dan kemarahan yang ia pendam dalam diam.Pernikahan ini bukan tentang cinta. Ini tentang balas dendam, darah, dan pengkhianatan.Tangannya gemetar saat menyentuh dadanya, merasakan detak jantungnya yang berpacu cepat. Malam ini, ia akan mengikat janji dengan pria yang paling ia benci, pria yang telah menghancurkan keluarganya—Dante Valentino, pemimpin La Rosa Oscura, organisasi mafia paling berbahaya di Italia.Suara langkah kaki berat terdengar dari luar kamar, semakin mendekat. Pintu terbuka, memperlihatkan pria tinggi dengan setelan hitam sempurna, auranya begitu dingin dan mendominasi. Dante Valentino, matanya setajam belati, memeriksa Elara dari ujung kepala hingg
Elara duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong, jari-jarinya mencengkeram kain gaun pengantinnya yang sudah kusut. Villa ini besar dan megah, tapi rasanya seperti penjara. Semua terasa sunyi, kecuali suara derap langkah di lantai bawah, Dante Valentino sedang berbicara dengan seseorang.Elara mengembuskan napas pelan.‘Kenapa aku menerima pernikahan ini?’Ucapan itu berputar di kepalanya, mengingatkan pada malam yang mengubah segalanya.Dua minggu yang lalu.Elara berlari di lorong rumah sakit, napasnya memburu. Leon, adiknya yang sudah tiga tiga tahun koma baru saja dilarikan ke ruang operasi, dia belum sadarkan diri sejak kejadian tragis tiga tahun lalu yang membuat tubuhnya dipenuhi luka akibat serangan kejam musuh keluarganya. Matanya memerah saat melihat sahabat ayahnya, Don Angelo, berdiri di depan pintu ruang operasi dengan wajah suram.“Elara,” suara Don Angelo rendah tapi tegas.Elara tidak menjawab. Ia masih terengah-engah, mencoba memahami semuanya. Leon sudah sadar. Ta
Hujan turun pelan, menciptakan ketukan halus di jendela kamar mereka. Elara duduk di depan meja rias, menatap pantulan dirinya dengan pandangan kosong. Gaun pengantinnya sudah berganti dengan piyama sutra yang terasa asing di kulitnya, terlalu mewah, terlalu mahal, dan terlalu mengingatkannya bahwa ia bukan lagi Elara Moretti yang dulu.Di belakangnya, Valentino sedang berdiri di balkon, merokok seperti biasa. Asapnya mengepul membentuk kabut tipis di udara, sebelum menghilang bersama dengan pikiran yang mungkin sedang berkecamuk di kepalanya.Mereka sudah menikah. Tapi atmosfer di antara mereka terlalu hening, terlalu dingin.Elara menggigit bibirnya. Ia ingin berbicara. Ia ingin bertanya.Kenapa?Kenapa ia menikahinya?Kenapa ia terus menatapnya seperti ia adalah teka-teki yang tidak bisa ia pecahkan?Tapi bibirnya tetap terkunci. Karena ia tahu, tidak ada jawaban yang akan membuatnya lebih baik.Di sisi lain, Valentino mencuri pandang ke arah Elara dari pantulan kaca balkon. Wanita
“Nona bisa menambahkan madu jika rotinya kurang pas di lidah Anda,” ujar Cindy, sang kepala maid, dengan sopan.“Tak perlu. Aku suka selai anggur buatan kalian,” puji Elara ringan, menyendokkan sedikit selai ke rotinya.Cindy tersenyum kecil. Ini pertama kalinya seorang penghuni mansion memuji makanan mereka secara langsung. Biasanya, Valentino—si Tuan Rumah—tidak pernah berkata apa pun soal rasa. Pria itu hanya makan, lalu pergi tanpa ekspresi.“Selamat makan, Tuan, Nona.” Cindy membungkuk hormat sebelum melenggang pergi.“Terima kasih, Cindy.” Elara melirik Valentino yang tetap datar. Dalam hati, ia menggerutu.‘Dia ini hidup di dimensi apa, sih? Sampai hal sekecil ini aja nggak peduli. Cindy kelihatan begitu senang hanya karena pujian receh. Apa si manusia kulkas ini punya anggaran buat ngeluarin satu kata aja buat maid yang udah capek-capek ngurusin makannya?’Sementara itu, Dante Valentino masih setia mengunyah makanannya tanpa suara. Hanya bunyi denting halus garpu yang menyent
"Kau yakin bisa sendirian?" Suara Elara terdengar ragu, matanya menyorot tajam ke arah Valentino."Kau belum mengenal siapa suamimu ini? Seharusnya kau lebih khawatir pada dirimu sendiri." Valentino menutup pintu kamar mereka dengan satu dorongan kuat. "Tetaplah di sini. Ini tempat paling aman untuk bersembunyi."Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah pergi, meninggalkan Elara dalam riuh pikirannya sendiri. Dari jendela, ia melihat mobil Valentino melaju menembus gelapnya malam."Walaupun aku membencinya, tapi Tuhan, tolong biarkan dia pulang dalam keadaan hidup." Untuk pertama kalinya, doa Elara tak dipenuhi sumpah serapah.---Di sebuah bangunan terpencil, udara dipenuhi aroma keringat dan debu."Kau masih belum mau bicara, Pak Tua?" Seorang pemuda menekan moncong pistol ke bahu Elio, menekannya cukup kuat hingga pria tua itu mendecak. "Di mana kunci brankas berisi obat yang kami inginkan?"Elio hanya mendengus. "Sudah kubilang, keponakanku yang memegangnya." Tatapannya tetap tajam. I
“Dia orang pertama yang menolongku waktu kejadian itu.” Leon menatap langit-langit kamar. “Kalau bukan dia, aku mungkin udah nggak ada.”Pupil mata Elara melebar.Ia tahu Valentino yang menyelamatkan adiknya dari insiden malam itu, ia tahu semuanya dari mantan detektif keluarga Moretti. Tapi ia tidak pernah benar-benar memikirkan bagaimana itu terjadi.Apakah Valentino yang membawa Leon keluar dari neraka berdarah itu? Apakah ia harus bertarung hanya untuk menjaga bocah ini tetap hidup?Pikiran itu membuat hatinya mencubit perih.Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, suara Valentino yang berbicara di telepon menarik perhatiannya.Pria itu berdiri tidak jauh dari ruangan, tubuhnya tegap dengan satu tangan di saku celana dan tangan satunya memegang ponsel di telinga.“Di misi kali ini bawa Elara bersamamu, Dante,” ujar seseorang dari panggilan suara. Ekspresi Valentino seketika berubah serius.Bukan lagi Valentino yang baru saja bercanda dengan Leon, tapi Valentino yang sesungguhny
Cahaya matahari samar menelusup lewat tirai kamar, tapi tidak cukup untuk menghangatkan udara dingin yang menggantung di antara mereka.Elara duduk di pinggir tempat tidur, lututnya tertarik ke dada, tangan kurusnya menggenggam erat selimut. Matanya kosong, tapi ada api yang masih menyala di sana, api pemberontakan yang tidak pernah padam, meskipun tubuhnya terasa lelah.Sarapan sudah tersedia di atas meja. Croissant hangat, telur setengah matang, dan secangkir kopi hitam, hidangan yang tampak sederhana, tapi dibuat oleh chef terbaik yang dimiliki La Rosa Oscura.Dan Elara tidak menyentuhnya.Valentino berdiri di seberang ruangan, tangannya terselip di saku celana, rahangnya mengeras. Ia sudah memperingatkan gadis itu sejak tadi.“Elara, makanlah.”“Aku tidak lapar.”“Elara.”“Aku. Tidak. Lapar.”Suasana di antara mereka semakin menegang. Valentino menekan napasnya, mencoba mengendalikan amarahnya yang selalu muncul dengan mudah saat berhadapan dengan wanita ini.Elara bangkit, berdir
Hujan turun pelan, menciptakan ketukan halus di jendela kamar mereka. Elara duduk di depan meja rias, menatap pantulan dirinya dengan pandangan kosong. Gaun pengantinnya sudah berganti dengan piyama sutra yang terasa asing di kulitnya, terlalu mewah, terlalu mahal, dan terlalu mengingatkannya bahwa ia bukan lagi Elara Moretti yang dulu.Di belakangnya, Valentino sedang berdiri di balkon, merokok seperti biasa. Asapnya mengepul membentuk kabut tipis di udara, sebelum menghilang bersama dengan pikiran yang mungkin sedang berkecamuk di kepalanya.Mereka sudah menikah. Tapi atmosfer di antara mereka terlalu hening, terlalu dingin.Elara menggigit bibirnya. Ia ingin berbicara. Ia ingin bertanya.Kenapa?Kenapa ia menikahinya?Kenapa ia terus menatapnya seperti ia adalah teka-teki yang tidak bisa ia pecahkan?Tapi bibirnya tetap terkunci. Karena ia tahu, tidak ada jawaban yang akan membuatnya lebih baik.Di sisi lain, Valentino mencuri pandang ke arah Elara dari pantulan kaca balkon. Wanita
Elara duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong, jari-jarinya mencengkeram kain gaun pengantinnya yang sudah kusut. Villa ini besar dan megah, tapi rasanya seperti penjara. Semua terasa sunyi, kecuali suara derap langkah di lantai bawah, Dante Valentino sedang berbicara dengan seseorang.Elara mengembuskan napas pelan.‘Kenapa aku menerima pernikahan ini?’Ucapan itu berputar di kepalanya, mengingatkan pada malam yang mengubah segalanya.Dua minggu yang lalu.Elara berlari di lorong rumah sakit, napasnya memburu. Leon, adiknya yang sudah tiga tiga tahun koma baru saja dilarikan ke ruang operasi, dia belum sadarkan diri sejak kejadian tragis tiga tahun lalu yang membuat tubuhnya dipenuhi luka akibat serangan kejam musuh keluarganya. Matanya memerah saat melihat sahabat ayahnya, Don Angelo, berdiri di depan pintu ruang operasi dengan wajah suram.“Elara,” suara Don Angelo rendah tapi tegas.Elara tidak menjawab. Ia masih terengah-engah, mencoba memahami semuanya. Leon sudah sadar. Ta
Hujan turun deras malam itu, seolah langit ikut berkabung atas keputusan gila yang baru saja dibuatnya. Elara Moretti berdiri di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya dalam balutan gaun pengantin putih yang seharusnya melambangkan kebahagiaan. Tapi tidak ada kebahagiaan di sini, hanya ada ketakutan, keputusasaan, dan kemarahan yang ia pendam dalam diam.Pernikahan ini bukan tentang cinta. Ini tentang balas dendam, darah, dan pengkhianatan.Tangannya gemetar saat menyentuh dadanya, merasakan detak jantungnya yang berpacu cepat. Malam ini, ia akan mengikat janji dengan pria yang paling ia benci, pria yang telah menghancurkan keluarganya—Dante Valentino, pemimpin La Rosa Oscura, organisasi mafia paling berbahaya di Italia.Suara langkah kaki berat terdengar dari luar kamar, semakin mendekat. Pintu terbuka, memperlihatkan pria tinggi dengan setelan hitam sempurna, auranya begitu dingin dan mendominasi. Dante Valentino, matanya setajam belati, memeriksa Elara dari ujung kepala hingg