Pernikahan Kilat

Hujan turun deras malam itu, seolah langit ikut berkabung atas keputusan gila yang baru saja dibuatnya. Elara Moretti berdiri di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya dalam balutan gaun pengantin putih yang seharusnya melambangkan kebahagiaan. Tapi tidak ada kebahagiaan di sini, hanya ada ketakutan, keputusasaan, dan kemarahan yang ia pendam dalam diam.

Pernikahan ini bukan tentang cinta. Ini tentang balas dendam, darah, dan pengkhianatan.

Tangannya gemetar saat menyentuh dadanya, merasakan detak jantungnya yang berpacu cepat. Malam ini, ia akan mengikat janji dengan pria yang paling ia benci, pria yang telah menghancurkan keluarganya—Dante Valentino, pemimpin La Rosa Oscura, organisasi mafia paling berbahaya di Italia.

Suara langkah kaki berat terdengar dari luar kamar, semakin mendekat. Pintu terbuka, memperlihatkan pria tinggi dengan setelan hitam sempurna, auranya begitu dingin dan mendominasi. Dante Valentino, matanya setajam belati, memeriksa Elara dari ujung kepala hingga kaki, seolah ia hanyalah barang kepemilikannya yang baru.

"Kamu terlihat cantik dalam pakaian kematianmu," katanya dengan nada rendah, matanya menyiratkan bahaya yang tak bisa dihindari.

Elara mengepalkan tangan. "Dan kamu terlihat seperti iblis yang baru saja menang taruhan dengan setan."

Senyum kecil terangkat di sudut bibir Dante, tapi itu bukan senyum ramah, itu senyum seorang pria yang tahu bahwa dirinya telah menang. Karena dalam permainan ini, Elara adalah pion yang tak punya pilihan selain tunduk.

"Kita mulai saja, Elara," bisiknya, menyodorkan tangannya.

Elara tahu, sejak saat ini hidupnya bukan lagi miliknya. Ia telah menandatangani kontrak dengan iblis, dan pintu keluar satu-satunya adalah kematian.

Elara Moretti tidak percaya ini nyata.

Tangannya terkunci erat dalam genggaman Dante Valentino saat mereka berdiri di hadapan pendeta. Di sekitar mereka, ruangan ini dipenuhi oleh orang-orang yang tangannya berlumuran darah, para anggota La Rosa Oscura yang menatapnya seperti domba yang akan dikorbankan.

Gaun putih yang membalut tubuhnya terasa seperti jerat yang siap menghancurkan. Pernikahan ini adalah hukuman, bukan kebahagiaan.

Pendeta mulai membaca sumpah pernikahan dengan suara gemetar, seolah ia tahu bahwa menyatukan dua insan ini bukanlah tentang cinta, melainkan perjanjian berdarah yang mungkin akan berakhir dalam pembantaian.

"Apakah Anda, Dante Valentino, menerima Elara Moretti sebagai istri Anda, dalam suka maupun duka, dalam keadaan sehat maupun sakit, sampai maut memisahkan?"

Dante tidak langsung menjawab. Ia berbalik, menatap Elara dengan tatapan tajamnya, mata abu-abu gelap yang menyimpan misteri dan ancaman.

Kemudian, dengan suara rendah yang menggetarkan ruangan, ia berkata: "Sampai maut memisahkan."

Elara menggigit bibirnya. Ia ingin tertawa. Ironis sekali. Maut benar-benar akan menjadi satu-satunya jalan keluar dari neraka ini.

Pendeta menelan ludah sebelum beralih padanya.

"Apakah Anda, Elara Moretti, menerima Dante Valentino sebagai suami Anda?"

Jantungnya berdentum keras. Jika ia berkata ‘tidak’ maka adiknya akan mati.

Jika ia berkata ‘ya’ maka dirinya sendiri yang akan mati perlahan.

Tangannya gemetar, tapi tatapan dingin Dante membuatnya tahu bahwa pria ini tidak akan menoleransi pembangkangan.

Dengan suara yang hampir tak terdengar, ia mengucapkan sumpah yang mengikatnya dalam pernikahan paling mengerikan yang pernah ada.

"Ya, aku terima."

Seketika, ruangan dipenuhi tepuk tangan yang terdengar lebih seperti tepuk tangan iblis yang merayakan kesepakatan dosa.

Dante menatapnya dengan senyum setan sebelum menarik pinggangnya mendekat. Ciuman pertama mereka bukan ciuman romantis, itu adalah klaim kepemilikan.

Bibirnya menghantam bibir Elara dengan kasar, mengunci napasnya, membuatnya sadar bahwa sejak saat ini. Ia adalah milik seorang iblis.

Dan iblis tidak pernah membiarkan mangsanya pergi hidup-hidup.

Elara tidak tahu mana yang lebih buruk, perasaan kehilangan kebebasannya atau kenyataan bahwa sekarang ia terjebak dalam satu rumah dengan Dante Valentino.

Mobil klasik berwarna hitam melaju melewati jalanan berbatu menuju sebuah villa megah di tepi danau. Cahaya bulan memantul di permukaan air, memberikan kesan romantis yang ironis, karena bagi Elara, ini bukan bulan madu, ini adalah pembuangan ke neraka.

Valentino duduk di sebelahnya dengan sikap santai, satu tangan bersandar di jendela, sementara tangan lainnya memainkan cincin kawin yang kini melingkar di jarinya. Seolah ini semua hanyalah permainan bagi pria itu.

“Elara,” suaranya rendah, seperti belati yang menyelinap di antara tulang rusuk.

Elara tetap menatap ke luar jendela, menolak untuk menoleh.

“Jangan buat aku mengulang dua kali.”

Giginya mengatup rapat, tapi akhirnya ia menoleh dengan ekspresi tak suka. “Apa?”

Dante tersenyum miring, ekspresi yang menyebalkan sekaligus mengancam. “Jangan menatapku seperti kau ingin membunuhku.”

Elara mendengus. “Itu memang yang ingin kulakukan.”

Pria itu terkekeh pelan, seolah jawaban itu malah menghiburnya. Ia kemudian bersandar lebih dekat, membiarkan aroma mahal dari parfum maskulinnya menyerang penciuman Elara.

“Aku ingin tahu sesuatu,” katanya santai. “Kenapa kau tidak menangis saat pernikahan berlangsung?”

Pertanyaan itu menghantam hati Elara lebih keras dari yang ia kira.

Ia tidak menangis. Sejak awal pernikahan ini, ia tidak meneteskan satu pun air mata. Bahkan saat cincin ini melingkar di jarinya, bahkan saat bibir pria itu menghancurkan harga dirinya di depan semua orang—ia tetap diam.

Karena tangisan tidak akan memberinya kemenangan.

Elara menatap pria itu tajam. “Kenapa? Kecewa karena aku bukan pengantin putus asa yang kau harapkan?”

Dante terkekeh lagi, lebih rendah kali ini. “Tidak. Justru sebaliknya.”

Ia mengangkat tangan Elara, jemarinya menyusuri punggung tangannya dengan lembut, kontras dengan dinginnya kata-kata yang keluar dari bibirnya.

“Wanita yang menangis itu membosankan. Tapi wanita yang menolak menyerah?” Ia menatap mata Elara, pupilnya berkilat penuh ketertarikan. “Itu justru menghiburku.”

Elara ingin menarik tangannya, ingin menjauh dari pria ini, tapi Dante mencengkeram lebih erat.

“Dengar, Elara,” suaranya berubah lebih rendah, lebih berbahaya. “Aku tidak peduli seberapa besar kau membenciku. Tapi kau istriku sekarang, dan di dunia ini, istri seorang Valentino tidak pernah melarikan diri.”

Udara dingin menjalari kulit punggung Elara.

Mobil berhenti di depan villa, dan sebelum ia sempat berkata apa-apa, Dante sudah membuka pintu dan menariknya turun.

“Elara,” katanya pelan, suaranya terdengar sangat lembut tapi beracun. “Selamat datang di neraka.”

Dan dengan satu langkah memasuki rumah itu, Elara tahu, tidak akan ada jalan keluar.