“Nona bisa menambahkan madu jika rotinya kurang pas di lidah Anda,” ujar Cindy, sang kepala maid, dengan sopan.“Tak perlu. Aku suka selai anggur buatan kalian,” puji Elara ringan, menyendokkan sedikit selai ke rotinya.Cindy tersenyum kecil. Ini pertama kalinya seorang penghuni mansion memuji makanan mereka secara langsung. Biasanya, Valentino—si Tuan Rumah—tidak pernah berkata apa pun soal rasa. Pria itu hanya makan, lalu pergi tanpa ekspresi.“Selamat makan, Tuan, Nona.” Cindy membungkuk hormat sebelum melenggang pergi.“Terima kasih, Cindy.” Elara melirik Valentino yang tetap datar. Dalam hati, ia menggerutu.‘Dia ini hidup di dimensi apa, sih? Sampai hal sekecil ini aja nggak peduli. Cindy kelihatan begitu senang hanya karena pujian receh. Apa si manusia kulkas ini punya anggaran buat ngeluarin satu kata aja buat maid yang udah capek-capek ngurusin makannya?’Sementara itu, Dante Valentino masih setia mengunyah makanannya tanpa suara. Hanya bunyi denting halus garpu yang menyent
Hujan turun deras malam itu, seolah langit ikut berkabung atas keputusan gila yang baru saja dibuatnya. Elara Moretti berdiri di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya dalam balutan gaun pengantin putih yang seharusnya melambangkan kebahagiaan. Tapi tidak ada kebahagiaan di sini, hanya ada ketakutan, keputusasaan, dan kemarahan yang ia pendam dalam diam.Pernikahan ini bukan tentang cinta. Ini tentang balas dendam, darah, dan pengkhianatan.Tangannya gemetar saat menyentuh dadanya, merasakan detak jantungnya yang berpacu cepat. Malam ini, ia akan mengikat janji dengan pria yang paling ia benci, pria yang telah menghancurkan keluarganya—Dante Valentino, pemimpin La Rosa Oscura, organisasi mafia paling berbahaya di Italia.Suara langkah kaki berat terdengar dari luar kamar, semakin mendekat. Pintu terbuka, memperlihatkan pria tinggi dengan setelan hitam sempurna, auranya begitu dingin dan mendominasi. Dante Valentino, matanya setajam belati, memeriksa Elara dari ujung kepala hingg
Elara duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong, jari-jarinya mencengkeram kain gaun pengantinnya yang sudah kusut. Villa ini besar dan megah, tapi rasanya seperti penjara. Semua terasa sunyi, kecuali suara derap langkah di lantai bawah, Dante Valentino sedang berbicara dengan seseorang.Elara mengembuskan napas pelan.‘Kenapa aku menerima pernikahan ini?’Ucapan itu berputar di kepalanya, mengingatkan pada malam yang mengubah segalanya.Dua minggu yang lalu.Elara berlari di lorong rumah sakit, napasnya memburu. Leon, adiknya yang sudah tiga tiga tahun koma baru saja dilarikan ke ruang operasi, dia belum sadarkan diri sejak kejadian tragis tiga tahun lalu yang membuat tubuhnya dipenuhi luka akibat serangan kejam musuh keluarganya. Matanya memerah saat melihat sahabat ayahnya, Don Angelo, berdiri di depan pintu ruang operasi dengan wajah suram.“Elara,” suara Don Angelo rendah tapi tegas.Elara tidak menjawab. Ia masih terengah-engah, mencoba memahami semuanya. Leon sudah sadar. Ta
Hujan turun pelan, menciptakan ketukan halus di jendela kamar mereka. Elara duduk di depan meja rias, menatap pantulan dirinya dengan pandangan kosong. Gaun pengantinnya sudah berganti dengan piyama sutra yang terasa asing di kulitnya, terlalu mewah, terlalu mahal, dan terlalu mengingatkannya bahwa ia bukan lagi Elara Moretti yang dulu.Di belakangnya, Valentino sedang berdiri di balkon, merokok seperti biasa. Asapnya mengepul membentuk kabut tipis di udara, sebelum menghilang bersama dengan pikiran yang mungkin sedang berkecamuk di kepalanya.Mereka sudah menikah. Tapi atmosfer di antara mereka terlalu hening, terlalu dingin.Elara menggigit bibirnya. Ia ingin berbicara. Ia ingin bertanya.Kenapa?Kenapa ia menikahinya?Kenapa ia terus menatapnya seperti ia adalah teka-teki yang tidak bisa ia pecahkan?Tapi bibirnya tetap terkunci. Karena ia tahu, tidak ada jawaban yang akan membuatnya lebih baik.Di sisi lain, Valentino mencuri pandang ke arah Elara dari pantulan kaca balkon. Wanita
Cahaya matahari samar menelusup lewat tirai kamar, tapi tidak cukup untuk menghangatkan udara dingin yang menggantung di antara mereka.Elara duduk di pinggir tempat tidur, lututnya tertarik ke dada, tangan kurusnya menggenggam erat selimut. Matanya kosong, tapi ada api yang masih menyala di sana, api pemberontakan yang tidak pernah padam, meskipun tubuhnya terasa lelah.Sarapan sudah tersedia di atas meja. Croissant hangat, telur setengah matang, dan secangkir kopi hitam, hidangan yang tampak sederhana, tapi dibuat oleh chef terbaik yang dimiliki La Rosa Oscura.Dan Elara tidak menyentuhnya.Valentino berdiri di seberang ruangan, tangannya terselip di saku celana, rahangnya mengeras. Ia sudah memperingatkan gadis itu sejak tadi.“Elara, makanlah.”“Aku tidak lapar.”“Elara.”“Aku. Tidak. Lapar.”Suasana di antara mereka semakin menegang. Valentino menekan napasnya, mencoba mengendalikan amarahnya yang selalu muncul dengan mudah saat berhadapan dengan wanita ini.Elara bangkit, berdir
“Dia orang pertama yang menolongku waktu kejadian itu.” Leon menatap langit-langit kamar. “Kalau bukan dia, aku mungkin udah nggak ada.”Pupil mata Elara melebar.Ia tahu Valentino yang menyelamatkan adiknya dari insiden malam itu, ia tahu semuanya dari mantan detektif keluarga Moretti. Tapi ia tidak pernah benar-benar memikirkan bagaimana itu terjadi.Apakah Valentino yang membawa Leon keluar dari neraka berdarah itu? Apakah ia harus bertarung hanya untuk menjaga bocah ini tetap hidup?Pikiran itu membuat hatinya mencubit perih.Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, suara Valentino yang berbicara di telepon menarik perhatiannya.Pria itu berdiri tidak jauh dari ruangan, tubuhnya tegap dengan satu tangan di saku celana dan tangan satunya memegang ponsel di telinga.“Di misi kali ini bawa Elara bersamamu, Dante,” ujar seseorang dari panggilan suara. Ekspresi Valentino seketika berubah serius.Bukan lagi Valentino yang baru saja bercanda dengan Leon, tapi Valentino yang sesungguhny
“Nona bisa menambahkan madu jika rotinya kurang pas di lidah Anda,” ujar Cindy, sang kepala maid, dengan sopan.“Tak perlu. Aku suka selai anggur buatan kalian,” puji Elara ringan, menyendokkan sedikit selai ke rotinya.Cindy tersenyum kecil. Ini pertama kalinya seorang penghuni mansion memuji makanan mereka secara langsung. Biasanya, Valentino—si Tuan Rumah—tidak pernah berkata apa pun soal rasa. Pria itu hanya makan, lalu pergi tanpa ekspresi.“Selamat makan, Tuan, Nona.” Cindy membungkuk hormat sebelum melenggang pergi.“Terima kasih, Cindy.” Elara melirik Valentino yang tetap datar. Dalam hati, ia menggerutu.‘Dia ini hidup di dimensi apa, sih? Sampai hal sekecil ini aja nggak peduli. Cindy kelihatan begitu senang hanya karena pujian receh. Apa si manusia kulkas ini punya anggaran buat ngeluarin satu kata aja buat maid yang udah capek-capek ngurusin makannya?’Sementara itu, Dante Valentino masih setia mengunyah makanannya tanpa suara. Hanya bunyi denting halus garpu yang menyent
"Kau yakin bisa sendirian?" Suara Elara terdengar ragu, matanya menyorot tajam ke arah Valentino."Kau belum mengenal siapa suamimu ini? Seharusnya kau lebih khawatir pada dirimu sendiri." Valentino menutup pintu kamar mereka dengan satu dorongan kuat. "Tetaplah di sini. Ini tempat paling aman untuk bersembunyi."Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah pergi, meninggalkan Elara dalam riuh pikirannya sendiri. Dari jendela, ia melihat mobil Valentino melaju menembus gelapnya malam."Walaupun aku membencinya, tapi Tuhan, tolong biarkan dia pulang dalam keadaan hidup." Untuk pertama kalinya, doa Elara tak dipenuhi sumpah serapah.---Di sebuah bangunan terpencil, udara dipenuhi aroma keringat dan debu."Kau masih belum mau bicara, Pak Tua?" Seorang pemuda menekan moncong pistol ke bahu Elio, menekannya cukup kuat hingga pria tua itu mendecak. "Di mana kunci brankas berisi obat yang kami inginkan?"Elio hanya mendengus. "Sudah kubilang, keponakanku yang memegangnya." Tatapannya tetap tajam. I
“Dia orang pertama yang menolongku waktu kejadian itu.” Leon menatap langit-langit kamar. “Kalau bukan dia, aku mungkin udah nggak ada.”Pupil mata Elara melebar.Ia tahu Valentino yang menyelamatkan adiknya dari insiden malam itu, ia tahu semuanya dari mantan detektif keluarga Moretti. Tapi ia tidak pernah benar-benar memikirkan bagaimana itu terjadi.Apakah Valentino yang membawa Leon keluar dari neraka berdarah itu? Apakah ia harus bertarung hanya untuk menjaga bocah ini tetap hidup?Pikiran itu membuat hatinya mencubit perih.Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, suara Valentino yang berbicara di telepon menarik perhatiannya.Pria itu berdiri tidak jauh dari ruangan, tubuhnya tegap dengan satu tangan di saku celana dan tangan satunya memegang ponsel di telinga.“Di misi kali ini bawa Elara bersamamu, Dante,” ujar seseorang dari panggilan suara. Ekspresi Valentino seketika berubah serius.Bukan lagi Valentino yang baru saja bercanda dengan Leon, tapi Valentino yang sesungguhny
Cahaya matahari samar menelusup lewat tirai kamar, tapi tidak cukup untuk menghangatkan udara dingin yang menggantung di antara mereka.Elara duduk di pinggir tempat tidur, lututnya tertarik ke dada, tangan kurusnya menggenggam erat selimut. Matanya kosong, tapi ada api yang masih menyala di sana, api pemberontakan yang tidak pernah padam, meskipun tubuhnya terasa lelah.Sarapan sudah tersedia di atas meja. Croissant hangat, telur setengah matang, dan secangkir kopi hitam, hidangan yang tampak sederhana, tapi dibuat oleh chef terbaik yang dimiliki La Rosa Oscura.Dan Elara tidak menyentuhnya.Valentino berdiri di seberang ruangan, tangannya terselip di saku celana, rahangnya mengeras. Ia sudah memperingatkan gadis itu sejak tadi.“Elara, makanlah.”“Aku tidak lapar.”“Elara.”“Aku. Tidak. Lapar.”Suasana di antara mereka semakin menegang. Valentino menekan napasnya, mencoba mengendalikan amarahnya yang selalu muncul dengan mudah saat berhadapan dengan wanita ini.Elara bangkit, berdir
Hujan turun pelan, menciptakan ketukan halus di jendela kamar mereka. Elara duduk di depan meja rias, menatap pantulan dirinya dengan pandangan kosong. Gaun pengantinnya sudah berganti dengan piyama sutra yang terasa asing di kulitnya, terlalu mewah, terlalu mahal, dan terlalu mengingatkannya bahwa ia bukan lagi Elara Moretti yang dulu.Di belakangnya, Valentino sedang berdiri di balkon, merokok seperti biasa. Asapnya mengepul membentuk kabut tipis di udara, sebelum menghilang bersama dengan pikiran yang mungkin sedang berkecamuk di kepalanya.Mereka sudah menikah. Tapi atmosfer di antara mereka terlalu hening, terlalu dingin.Elara menggigit bibirnya. Ia ingin berbicara. Ia ingin bertanya.Kenapa?Kenapa ia menikahinya?Kenapa ia terus menatapnya seperti ia adalah teka-teki yang tidak bisa ia pecahkan?Tapi bibirnya tetap terkunci. Karena ia tahu, tidak ada jawaban yang akan membuatnya lebih baik.Di sisi lain, Valentino mencuri pandang ke arah Elara dari pantulan kaca balkon. Wanita
Elara duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong, jari-jarinya mencengkeram kain gaun pengantinnya yang sudah kusut. Villa ini besar dan megah, tapi rasanya seperti penjara. Semua terasa sunyi, kecuali suara derap langkah di lantai bawah, Dante Valentino sedang berbicara dengan seseorang.Elara mengembuskan napas pelan.‘Kenapa aku menerima pernikahan ini?’Ucapan itu berputar di kepalanya, mengingatkan pada malam yang mengubah segalanya.Dua minggu yang lalu.Elara berlari di lorong rumah sakit, napasnya memburu. Leon, adiknya yang sudah tiga tiga tahun koma baru saja dilarikan ke ruang operasi, dia belum sadarkan diri sejak kejadian tragis tiga tahun lalu yang membuat tubuhnya dipenuhi luka akibat serangan kejam musuh keluarganya. Matanya memerah saat melihat sahabat ayahnya, Don Angelo, berdiri di depan pintu ruang operasi dengan wajah suram.“Elara,” suara Don Angelo rendah tapi tegas.Elara tidak menjawab. Ia masih terengah-engah, mencoba memahami semuanya. Leon sudah sadar. Ta
Hujan turun deras malam itu, seolah langit ikut berkabung atas keputusan gila yang baru saja dibuatnya. Elara Moretti berdiri di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya dalam balutan gaun pengantin putih yang seharusnya melambangkan kebahagiaan. Tapi tidak ada kebahagiaan di sini, hanya ada ketakutan, keputusasaan, dan kemarahan yang ia pendam dalam diam.Pernikahan ini bukan tentang cinta. Ini tentang balas dendam, darah, dan pengkhianatan.Tangannya gemetar saat menyentuh dadanya, merasakan detak jantungnya yang berpacu cepat. Malam ini, ia akan mengikat janji dengan pria yang paling ia benci, pria yang telah menghancurkan keluarganya—Dante Valentino, pemimpin La Rosa Oscura, organisasi mafia paling berbahaya di Italia.Suara langkah kaki berat terdengar dari luar kamar, semakin mendekat. Pintu terbuka, memperlihatkan pria tinggi dengan setelan hitam sempurna, auranya begitu dingin dan mendominasi. Dante Valentino, matanya setajam belati, memeriksa Elara dari ujung kepala hingg