“Dia orang pertama yang menolongku waktu kejadian itu.” Leon menatap langit-langit kamar. “Kalau bukan dia, aku mungkin udah nggak ada.”
Pupil mata Elara melebar. Ia tahu Valentino yang menyelamatkan adiknya dari insiden malam itu, ia tahu semuanya dari mantan detektif keluarga Moretti. Tapi ia tidak pernah benar-benar memikirkan bagaimana itu terjadi. Apakah Valentino yang membawa Leon keluar dari neraka berdarah itu? Apakah ia harus bertarung hanya untuk menjaga bocah ini tetap hidup? Pikiran itu membuat hatinya mencubit perih. Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, suara Valentino yang berbicara di telepon menarik perhatiannya. Pria itu berdiri tidak jauh dari ruangan, tubuhnya tegap dengan satu tangan di saku celana dan tangan satunya memegang ponsel di telinga. “Di misi kali ini bawa Elara bersamamu, Dante,” ujar seseorang dari panggilan suara. Ekspresi Valentino seketika berubah serius. Bukan lagi Valentino yang baru saja bercanda dengan Leon, tapi Valentino yang sesungguhnya, pria yang menjadi bagian penting dalam dunia Mafia. Elara tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan Valentino, tapi ia bisa melihat dari cara pria itu berbicara. Ini bukan obrolan biasa. Valentino menghela napas panjang sebelum akhirnya menutup telepon dan kembali masuk ke ruangan. Tatapannya langsung bertemu dengan Elara. “Kita harus pergi.” Elara mengerutkan kening. “Kenapa?” “Urusan bisnis.” Elara menatapnya penuh curiga, tapi akhirnya mengangguk. Ia menoleh ke Leon, tangannya mengusap lembut kepala bocah itu. “Kakak akan datang lebih sering, Dek.” Leon tersenyum kecil. “Jangan kelamaan, ya.” Elara tersenyum. “Tidak akan.” Saat ia dan Valentino berjalan keluar dari rumah sakit, langkah pria itu lebih cepat dari biasanya, seolah ada sesuatu yang benar-benar penting sedang menunggunya. “Kita mau kemana?” “Apapun kondisinya kau harus tetap di sampingku, adikmu akan selalu aman. Dia dijaga oleh orang-orang yang hebat.” Dan Elara bisa merasakan sesuatu. Sesuatu yang besar akan segera terjadi. Valentino tahu ada yang tidak beres. Sejak ia menerima telepon dari Elio, firasatnya sudah buruk. Terlalu mendadak. Terlalu mencurigakan. Tapi ia tetap pergi. Bukan karena ia ingin, tapi karena ia harus. Dan kini, sesampainya di suatu tempat, di dalam sebuah gedung tua yang dijadikan lokasi pertemuan, Valentino bisa merasakan sesuatu yang lebih jelas, udara di tempat ini terasa terlalu sunyi. Di sampingnya, Elara terlihat gugup. Gadis itu menatapnya sekilas sebelum kembali menunduk, tidak nyaman dengan kedekatan mereka yang lebih dari biasanya. Valentino tidak banyak bicara, tapi ia sengaja berdiri lebih dekat dari biasanya, lebih protektif, lebih waspada. Ia bisa merasakan tatapan Elara yang sedikit bingung, mungkin juga terganggu, tapi Valentino tidak peduli. “Kenapa kau berdiri terlalu dekat?” bisik Elara, suaranya penuh kewaspadaan. Valentino menatapnya sekilas. “Kau cukup diam saja, Elara.” Elara melotot. “Apa?” Valentino tidak menjawab. Ia sedang fokus. Ia menajamkan pendengarannya, memperhatikan setiap sudut ruangan. Lantai yang sedikit bergetar. Bunyi dengungan samar yang tidak berasal dari listrik. ‘‘Sial.” Valentino menggerakkan tangannya cepat, meraih pergelangan tangan Elara dan menariknya mendekat. Elara terkejut. “Hei—” “Jangan banyak bicara.” Suara Valentino lebih dingin dari biasanya. Elara menatapnya tajam, tapi ia bisa melihat sesuatu di dalam mata pria itu. Kewaspadaan. “Ada yang tidak beres.” Elara merasakan sesuatu merayap di punggungnya. “Apa maksudmu? Kenapa kau membawaku ke sini?“ Valentino tidak menjawab. Dengan gerakan cepat, ia menarik tubuh Elara ke dalam dekapannya, menahan napas sambil berusaha menangkap suara yang ia dengar dari alat komunikasi yang terhubung dengan Pamannya. Dan saat itulah. BIP. BIP. BIP. Valentino menoleh cepat. Gedung ini sudah dipasangi banyak bom. Tanpa berpikir panjang, Valentino langsung merengkuh Elara lebih erat. “Kita harus keluar dari sini. Sekarang.” Elara membelalakkan mata. “Apa?” Belum sempat Valentino menjawab, suara ledakan pertama terdengar dari lantai bawah. BRUGH! Lantai bergetar, alarm gedung mulai berbunyi. Dari kejauhan, terdengar suara orang-orang berteriak di lantai bawah. Elara membeku. Tapi Valentino tidak punya waktu untuk membiarkannya mereka terjebak terlalu lama. Dengan satu gerakan, ia merangkul pinggang Elara dan menariknya berlari. “Cepat!” Napas Elara tersengal saat ia mencoba mengimbangi kecepatan Valentino. “Kenapa ada bom? Apa ini jebakan?” “Jangan bertanya sekarang.” Langkah mereka semakin cepat. Valentino bisa merasakan tubuh Elara yang tegang dalam genggamannya, tapi ia tidak melepaskannya. Sampai akhirnya. Ledakan kedua terjadi. BUM! Dinding di belakang mereka retak, beberapa bagian mulai runtuh. Dalam gendongan Valentino, Elara berteriak semakin erat melingkarkan tangannya di leher suaminya. DUARR! Serpihan beton jatuh di sekitar mereka. Asap mulai memenuhi udara. Valentino berhasil menyelamatkan Elara dan dirinya melewati lift darurat. Elara bisa merasakan napas panas Valentino di telinganya, suara jantung pria itu berdebar kencang. Dan di saat itu juga, ia sadar satu hal. Valentino baru saja mempertaruhkan nyawanya untuknya. Valentino memasukkan istrinya ke dalam mobil. “Bernafaslah dengan benar, Elara.” Valentino menginjak pedal gas lebih dalam, membiarkan mobilnya melesat di jalanan gelap. Tangannya mencengkeram setir erat. Rahangnya mengeras, sorot matanya tajam. “Paman telah merencanakan ini semua.” Elara duduk di kursi penumpang, sesekali meliriknya dengan gelisah. “Kau yakin Pamanmu yang menjebak mu?” Valentino diam sejenak. Itulah masalahnya. Elio bukan orang yang ceroboh. Sejak ia masih remaja dan mulai masuk ke dalam dunia mafia, pamannya selalu mengajarkan satu hal, kepercayaan itu mahal. Sekali kau salah tempatkan, kau mati. Jadi, jika memang ada jebakan dalam pertemuan tadi, itu berarti Elio sedang dalam bahaya. Bisa saja sang paman sedang ditekan oleh seseorang. “Tidak,” jawab Valentino akhirnya. “Pamanku tidak akan pernah melakukan ini. Seseorang pasti telah memaksanya.” Elara menelan ludah kasar. Ia bisa merasakan perubahan suasana dalam mobil. Aura Valentino lebih dingin, lebih berbahaya. Dan yang lebih mengejutkan, ia tidak merasa takut. Sebaliknya, ia justru penasaran. Karena sejak awal ia mengenal pria itu, Valentino bukan seseorang yang bisa dikhianati tanpa membalasnya. Jadi, siapa yang cukup gila untuk melakukan ini? Dan yang lebih penting lagi, apa yang akan dilakukan Valentino selanjutnya? --- KEDIAMAN PAMAN ELIO. Begitu mobil berhenti di depan rumah besar itu, Valentino langsung turun. Elara mengekor di belakangnya, menyadari betapa heningnya tempat ini. Terlalu sepi dan terlalu, mencurigakan. Valentino menghunus pistol dari balik jasnya. “Tetap di belakangku.” Elara mengangguk, tanpa perlawanan. Langkah Valentino cepat dan mantap. Mereka berjalan melewati pekarangan menuju pintu utama, dan saat ia menyentuh gagang pintu, ia tahu ada yang tidak beres. Pintu itu tidak terkunci. Sial. Valentino menendang pintu dengan kasar. BRAK! Begitu masuk, yang pertama kali ia lihat adalah darah. Bercak merah gelap mengotori lantai marmer putih. Elara menahan napas, sementara Valentino berjalan dengan ekspresi dingin. “Pamanku tidak mungkin meninggalkan tempat ini tanpa perlawanan,” gumamnya. “Jika ada darah, artinya—” “Valentino, ada benda yang kutemukan di sini.” Suara Elara membuatnya menoleh. Gadis itu berdiri di dekat dinding, tangannya menunjuk sesuatu di lantai. Cincin. Cincin perak dengan lambang yang hanya dimiliki oleh satu orang. Elio. Tangan Valentino mengepal. “Mereka membawanya.” Elara menatapnya. “Siapa?” “Entahlah.” Kemarahan mulai mendidih dalam dirinya. Ada seseorang yang ingin menyingkirkannya. Bukan hanya dengan menjebaknya dalam ledakan, tapi juga dengan menargetkan pamannya. Dan itu berarti, ini bukan sekadar pembunuhan. Ini adalah peringatan. Seseorang mengincar keluarganya. Dan jika ia tidak segera bertindak, orang berikutnya yang akan jadi korban bisa saja Elara. Valentino menyelipkan kembali pistolnya di balik jas, lalu menarik napas dalam. “Kau akan ku antar pulang, aku harus menemukannya.” Elara menatap pria itu lekat-lekat. “Kau yakin?” Valentino menoleh pada istrinya. Untuk pertama kalinya, tatapan itu tidak hanya dipenuhi kebencian. Ada sesuatu yang lain di sana. Kepedulian. Elara gugup bukan main. Sepertinya, tanpa sadar, ia mulai terjebak dalam dunia pria ini."Kau yakin bisa sendirian?" Suara Elara terdengar ragu, matanya menyorot tajam ke arah Valentino."Kau belum mengenal siapa suamimu ini? Seharusnya kau lebih khawatir pada dirimu sendiri." Valentino menutup pintu kamar mereka dengan satu dorongan kuat. "Tetaplah di sini. Ini tempat paling aman untuk bersembunyi."Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah pergi, meninggalkan Elara dalam riuh pikirannya sendiri. Dari jendela, ia melihat mobil Valentino melaju menembus gelapnya malam."Walaupun aku membencinya, tapi Tuhan, tolong biarkan dia pulang dalam keadaan hidup." Untuk pertama kalinya, doa Elara tak dipenuhi sumpah serapah.---Di sebuah bangunan terpencil, udara dipenuhi aroma keringat dan debu."Kau masih belum mau bicara, Pak Tua?" Seorang pemuda menekan moncong pistol ke bahu Elio, menekannya cukup kuat hingga pria tua itu mendecak. "Di mana kunci brankas berisi obat yang kami inginkan?"Elio hanya mendengus. "Sudah kubilang, keponakanku yang memegangnya." Tatapannya tetap tajam. I
“Nona bisa menambahkan madu jika rotinya kurang pas di lidah Anda,” ujar Cindy, sang kepala maid, dengan sopan.“Tak perlu. Aku suka selai anggur buatan kalian,” puji Elara ringan, menyendokkan sedikit selai ke rotinya.Cindy tersenyum kecil. Ini pertama kalinya seorang penghuni mansion memuji makanan mereka secara langsung. Biasanya, Valentino—si Tuan Rumah—tidak pernah berkata apa pun soal rasa. Pria itu hanya makan, lalu pergi tanpa ekspresi.“Selamat makan, Tuan, Nona.” Cindy membungkuk hormat sebelum melenggang pergi.“Terima kasih, Cindy.” Elara melirik Valentino yang tetap datar. Dalam hati, ia menggerutu.‘Dia ini hidup di dimensi apa, sih? Sampai hal sekecil ini aja nggak peduli. Cindy kelihatan begitu senang hanya karena pujian receh. Apa si manusia kulkas ini punya anggaran buat ngeluarin satu kata aja buat maid yang udah capek-capek ngurusin makannya?’Sementara itu, Dante Valentino masih setia mengunyah makanannya tanpa suara. Hanya bunyi denting halus garpu yang menyent
Hujan turun deras malam itu, seolah langit ikut berkabung atas keputusan gila yang baru saja dibuatnya. Elara Moretti berdiri di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya dalam balutan gaun pengantin putih yang seharusnya melambangkan kebahagiaan. Tapi tidak ada kebahagiaan di sini, hanya ada ketakutan, keputusasaan, dan kemarahan yang ia pendam dalam diam.Pernikahan ini bukan tentang cinta. Ini tentang balas dendam, darah, dan pengkhianatan.Tangannya gemetar saat menyentuh dadanya, merasakan detak jantungnya yang berpacu cepat. Malam ini, ia akan mengikat janji dengan pria yang paling ia benci, pria yang telah menghancurkan keluarganya—Dante Valentino, pemimpin La Rosa Oscura, organisasi mafia paling berbahaya di Italia.Suara langkah kaki berat terdengar dari luar kamar, semakin mendekat. Pintu terbuka, memperlihatkan pria tinggi dengan setelan hitam sempurna, auranya begitu dingin dan mendominasi. Dante Valentino, matanya setajam belati, memeriksa Elara dari ujung kepala hingg
Elara duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong, jari-jarinya mencengkeram kain gaun pengantinnya yang sudah kusut. Villa ini besar dan megah, tapi rasanya seperti penjara. Semua terasa sunyi, kecuali suara derap langkah di lantai bawah, Dante Valentino sedang berbicara dengan seseorang.Elara mengembuskan napas pelan.‘Kenapa aku menerima pernikahan ini?’Ucapan itu berputar di kepalanya, mengingatkan pada malam yang mengubah segalanya.Dua minggu yang lalu.Elara berlari di lorong rumah sakit, napasnya memburu. Leon, adiknya yang sudah tiga tiga tahun koma baru saja dilarikan ke ruang operasi, dia belum sadarkan diri sejak kejadian tragis tiga tahun lalu yang membuat tubuhnya dipenuhi luka akibat serangan kejam musuh keluarganya. Matanya memerah saat melihat sahabat ayahnya, Don Angelo, berdiri di depan pintu ruang operasi dengan wajah suram.“Elara,” suara Don Angelo rendah tapi tegas.Elara tidak menjawab. Ia masih terengah-engah, mencoba memahami semuanya. Leon sudah sadar. Ta
Hujan turun pelan, menciptakan ketukan halus di jendela kamar mereka. Elara duduk di depan meja rias, menatap pantulan dirinya dengan pandangan kosong. Gaun pengantinnya sudah berganti dengan piyama sutra yang terasa asing di kulitnya, terlalu mewah, terlalu mahal, dan terlalu mengingatkannya bahwa ia bukan lagi Elara Moretti yang dulu.Di belakangnya, Valentino sedang berdiri di balkon, merokok seperti biasa. Asapnya mengepul membentuk kabut tipis di udara, sebelum menghilang bersama dengan pikiran yang mungkin sedang berkecamuk di kepalanya.Mereka sudah menikah. Tapi atmosfer di antara mereka terlalu hening, terlalu dingin.Elara menggigit bibirnya. Ia ingin berbicara. Ia ingin bertanya.Kenapa?Kenapa ia menikahinya?Kenapa ia terus menatapnya seperti ia adalah teka-teki yang tidak bisa ia pecahkan?Tapi bibirnya tetap terkunci. Karena ia tahu, tidak ada jawaban yang akan membuatnya lebih baik.Di sisi lain, Valentino mencuri pandang ke arah Elara dari pantulan kaca balkon. Wanita
Cahaya matahari samar menelusup lewat tirai kamar, tapi tidak cukup untuk menghangatkan udara dingin yang menggantung di antara mereka.Elara duduk di pinggir tempat tidur, lututnya tertarik ke dada, tangan kurusnya menggenggam erat selimut. Matanya kosong, tapi ada api yang masih menyala di sana, api pemberontakan yang tidak pernah padam, meskipun tubuhnya terasa lelah.Sarapan sudah tersedia di atas meja. Croissant hangat, telur setengah matang, dan secangkir kopi hitam, hidangan yang tampak sederhana, tapi dibuat oleh chef terbaik yang dimiliki La Rosa Oscura.Dan Elara tidak menyentuhnya.Valentino berdiri di seberang ruangan, tangannya terselip di saku celana, rahangnya mengeras. Ia sudah memperingatkan gadis itu sejak tadi.“Elara, makanlah.”“Aku tidak lapar.”“Elara.”“Aku. Tidak. Lapar.”Suasana di antara mereka semakin menegang. Valentino menekan napasnya, mencoba mengendalikan amarahnya yang selalu muncul dengan mudah saat berhadapan dengan wanita ini.Elara bangkit, berdir
“Nona bisa menambahkan madu jika rotinya kurang pas di lidah Anda,” ujar Cindy, sang kepala maid, dengan sopan.“Tak perlu. Aku suka selai anggur buatan kalian,” puji Elara ringan, menyendokkan sedikit selai ke rotinya.Cindy tersenyum kecil. Ini pertama kalinya seorang penghuni mansion memuji makanan mereka secara langsung. Biasanya, Valentino—si Tuan Rumah—tidak pernah berkata apa pun soal rasa. Pria itu hanya makan, lalu pergi tanpa ekspresi.“Selamat makan, Tuan, Nona.” Cindy membungkuk hormat sebelum melenggang pergi.“Terima kasih, Cindy.” Elara melirik Valentino yang tetap datar. Dalam hati, ia menggerutu.‘Dia ini hidup di dimensi apa, sih? Sampai hal sekecil ini aja nggak peduli. Cindy kelihatan begitu senang hanya karena pujian receh. Apa si manusia kulkas ini punya anggaran buat ngeluarin satu kata aja buat maid yang udah capek-capek ngurusin makannya?’Sementara itu, Dante Valentino masih setia mengunyah makanannya tanpa suara. Hanya bunyi denting halus garpu yang menyent
"Kau yakin bisa sendirian?" Suara Elara terdengar ragu, matanya menyorot tajam ke arah Valentino."Kau belum mengenal siapa suamimu ini? Seharusnya kau lebih khawatir pada dirimu sendiri." Valentino menutup pintu kamar mereka dengan satu dorongan kuat. "Tetaplah di sini. Ini tempat paling aman untuk bersembunyi."Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah pergi, meninggalkan Elara dalam riuh pikirannya sendiri. Dari jendela, ia melihat mobil Valentino melaju menembus gelapnya malam."Walaupun aku membencinya, tapi Tuhan, tolong biarkan dia pulang dalam keadaan hidup." Untuk pertama kalinya, doa Elara tak dipenuhi sumpah serapah.---Di sebuah bangunan terpencil, udara dipenuhi aroma keringat dan debu."Kau masih belum mau bicara, Pak Tua?" Seorang pemuda menekan moncong pistol ke bahu Elio, menekannya cukup kuat hingga pria tua itu mendecak. "Di mana kunci brankas berisi obat yang kami inginkan?"Elio hanya mendengus. "Sudah kubilang, keponakanku yang memegangnya." Tatapannya tetap tajam. I
“Dia orang pertama yang menolongku waktu kejadian itu.” Leon menatap langit-langit kamar. “Kalau bukan dia, aku mungkin udah nggak ada.”Pupil mata Elara melebar.Ia tahu Valentino yang menyelamatkan adiknya dari insiden malam itu, ia tahu semuanya dari mantan detektif keluarga Moretti. Tapi ia tidak pernah benar-benar memikirkan bagaimana itu terjadi.Apakah Valentino yang membawa Leon keluar dari neraka berdarah itu? Apakah ia harus bertarung hanya untuk menjaga bocah ini tetap hidup?Pikiran itu membuat hatinya mencubit perih.Tapi sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, suara Valentino yang berbicara di telepon menarik perhatiannya.Pria itu berdiri tidak jauh dari ruangan, tubuhnya tegap dengan satu tangan di saku celana dan tangan satunya memegang ponsel di telinga.“Di misi kali ini bawa Elara bersamamu, Dante,” ujar seseorang dari panggilan suara. Ekspresi Valentino seketika berubah serius.Bukan lagi Valentino yang baru saja bercanda dengan Leon, tapi Valentino yang sesungguhny
Cahaya matahari samar menelusup lewat tirai kamar, tapi tidak cukup untuk menghangatkan udara dingin yang menggantung di antara mereka.Elara duduk di pinggir tempat tidur, lututnya tertarik ke dada, tangan kurusnya menggenggam erat selimut. Matanya kosong, tapi ada api yang masih menyala di sana, api pemberontakan yang tidak pernah padam, meskipun tubuhnya terasa lelah.Sarapan sudah tersedia di atas meja. Croissant hangat, telur setengah matang, dan secangkir kopi hitam, hidangan yang tampak sederhana, tapi dibuat oleh chef terbaik yang dimiliki La Rosa Oscura.Dan Elara tidak menyentuhnya.Valentino berdiri di seberang ruangan, tangannya terselip di saku celana, rahangnya mengeras. Ia sudah memperingatkan gadis itu sejak tadi.“Elara, makanlah.”“Aku tidak lapar.”“Elara.”“Aku. Tidak. Lapar.”Suasana di antara mereka semakin menegang. Valentino menekan napasnya, mencoba mengendalikan amarahnya yang selalu muncul dengan mudah saat berhadapan dengan wanita ini.Elara bangkit, berdir
Hujan turun pelan, menciptakan ketukan halus di jendela kamar mereka. Elara duduk di depan meja rias, menatap pantulan dirinya dengan pandangan kosong. Gaun pengantinnya sudah berganti dengan piyama sutra yang terasa asing di kulitnya, terlalu mewah, terlalu mahal, dan terlalu mengingatkannya bahwa ia bukan lagi Elara Moretti yang dulu.Di belakangnya, Valentino sedang berdiri di balkon, merokok seperti biasa. Asapnya mengepul membentuk kabut tipis di udara, sebelum menghilang bersama dengan pikiran yang mungkin sedang berkecamuk di kepalanya.Mereka sudah menikah. Tapi atmosfer di antara mereka terlalu hening, terlalu dingin.Elara menggigit bibirnya. Ia ingin berbicara. Ia ingin bertanya.Kenapa?Kenapa ia menikahinya?Kenapa ia terus menatapnya seperti ia adalah teka-teki yang tidak bisa ia pecahkan?Tapi bibirnya tetap terkunci. Karena ia tahu, tidak ada jawaban yang akan membuatnya lebih baik.Di sisi lain, Valentino mencuri pandang ke arah Elara dari pantulan kaca balkon. Wanita
Elara duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong, jari-jarinya mencengkeram kain gaun pengantinnya yang sudah kusut. Villa ini besar dan megah, tapi rasanya seperti penjara. Semua terasa sunyi, kecuali suara derap langkah di lantai bawah, Dante Valentino sedang berbicara dengan seseorang.Elara mengembuskan napas pelan.‘Kenapa aku menerima pernikahan ini?’Ucapan itu berputar di kepalanya, mengingatkan pada malam yang mengubah segalanya.Dua minggu yang lalu.Elara berlari di lorong rumah sakit, napasnya memburu. Leon, adiknya yang sudah tiga tiga tahun koma baru saja dilarikan ke ruang operasi, dia belum sadarkan diri sejak kejadian tragis tiga tahun lalu yang membuat tubuhnya dipenuhi luka akibat serangan kejam musuh keluarganya. Matanya memerah saat melihat sahabat ayahnya, Don Angelo, berdiri di depan pintu ruang operasi dengan wajah suram.“Elara,” suara Don Angelo rendah tapi tegas.Elara tidak menjawab. Ia masih terengah-engah, mencoba memahami semuanya. Leon sudah sadar. Ta
Hujan turun deras malam itu, seolah langit ikut berkabung atas keputusan gila yang baru saja dibuatnya. Elara Moretti berdiri di depan cermin besar, menatap pantulan dirinya dalam balutan gaun pengantin putih yang seharusnya melambangkan kebahagiaan. Tapi tidak ada kebahagiaan di sini, hanya ada ketakutan, keputusasaan, dan kemarahan yang ia pendam dalam diam.Pernikahan ini bukan tentang cinta. Ini tentang balas dendam, darah, dan pengkhianatan.Tangannya gemetar saat menyentuh dadanya, merasakan detak jantungnya yang berpacu cepat. Malam ini, ia akan mengikat janji dengan pria yang paling ia benci, pria yang telah menghancurkan keluarganya—Dante Valentino, pemimpin La Rosa Oscura, organisasi mafia paling berbahaya di Italia.Suara langkah kaki berat terdengar dari luar kamar, semakin mendekat. Pintu terbuka, memperlihatkan pria tinggi dengan setelan hitam sempurna, auranya begitu dingin dan mendominasi. Dante Valentino, matanya setajam belati, memeriksa Elara dari ujung kepala hingg