Share

Bab 3

"Besok kita akan melangsungkan upacara pernikahan di New York."

Tubuh Caitlin langsung membeku begitu mendengar suara Keelan. Karena melamun, dia tidak menyadari Keelan telah berada di kamarnya. Pelan-pelan dia memutar tubuhnya, dan mengangkat kepalanya. Matanya menatap tubuh Keelan yang menjulang tinggi di hadapannya, lalu dia berhenti tepat saat pandangan mereka saling bertemu.

"Siapa yang bilang aku mau menikah denganmu?" Caitlin pikir Keelan akan membatalkan niatnya saat mengetahui dia terus menolak perintah itu.

"Aku tidak pernah meminta persetujuanmu. Ini perintah," tegas Keelan sambil menggeretakkan giginya. "Ingatlah kau harus membayar hutangmu padaku."

"Kau ...." Suara Caitlin tertahan di tenggorokan. Dia merasakan kedua matanya memanas. "Aku tidak ingin menikah denganmu."

"Semua perlengkapanmu sudah ada di apartemenku. Bersiaplah karena kita berangkat pagi-pagi," balas Keelan seolah tidak peduli dengan pertanyaan Caitlin. Setelah itu dia memutar tubuhnya, dan melangkah menuju pintu.

"Apa kau pura-pura tidak mendengarku?" tanya Caitlin disertai dengan isak tangis. Air mata yang telah dia tahan sejak tadi berakhir tumpah membasahi kedua pipinya.

Keelan menoleh ke samping tanpa membalikkan badannya. "Aku sama sekali tidak membutuhkan persetujuanmu. Bertahanlah sekuat tenaga sampai semua ini berakhir dan kau bisa bebas untuk pergi."

Kata-kata Keelan penuh teka-teki. Selama beberapa detik otak Caitlin serasa tumpul dan tidak mampu untuk berpikir. Lidahnya kelu sehingga dia tidak bisa membalas perkataan Keelan. Saat dia ingin menimpali ucapan Keelan, laki-laki itu berjalan keluar dari kamarnya.

Caitlin mencoba mengejar Keelan. "Apa maksudmu sebenarnya?" desak Caitlin karena merasa penasaran dengan kata-kata Keelan beberapa saat yang lalu.

"Aku tidak ingin menjelaskan apa-apa padamu. Lakukan saja perintahku," jawab Keelan tanpa menoleh, lalu melanjutkan langkahnya.

Pundak Caitlin langsung merosot lemah. Tatapan matanya kosong saat menatap bayangan Keelan yang perlahan menghilang. Masa depannya kini terlihat suram. 

Seperti yang Keelan ucapkan malam sebelumnya, mereka terbang ke New York menggunakan jet pribadi laki-laki itu pagi-pagi sekali. Caitlin menaiki tangga logam menuju kabin jet dengan mulus. Keelan telah berada di sana, dan terlihat serius saat menghadapi laptopnya.

Laki-laki itu sama sekali tidak melirik Caitlin yang berjalan melewatinya. Caitlin memutuskan duduk di kursi tepat di seberangnya. Tidak lama berselang terdengar suara pilot yang memberikan pengumuman bahwa sebentar lagi pesawat akan segera mengudara. Caitlin melihat ke jendela untuk mengalihkan perhatiannya pada Keelan.

"Apa kau menginginkan sesuatu?" Seorang pramugari cantik menghampiri Caitlin sambil menyunggingkan senyum manis. 

"Aku ingin secangkir kopi tanpa gula," jawab Caitlin singkat. Saat ini dia membutuhkan asupan kafein yang tinggi untuk membuatnya tetap terjaga selama dalam perjalanan ini.

Caitlin melirik Keelan sebentar. Laki-laki itu belum bergerak dari posisi duduknya. Jari-jarinya masih menari-nari, mengetik dalam kecepatan tinggi. Setelah itu Caitlin menoleh ke arah jendela, melihat gulungan awan seputih kapas. 

"Cobalah untuk tersenyum." Keelan berbisik saat mereka sampai di apartemen laki-laki itu beberapa jam kemudian. "Aku tidak ingin memberi kesan pada semua orang bahwa kau menikah denganku karena terpaksa."

Dua orang petugas dari kantor catatan sipil telah menunggu. Salah satu di antaranya adalah hakim yang akan menikahkan mereka. Keelan membimbing Caitlin saat akan duduk di depan keduanya.

"Sebaiknya kita segera memulai acara ini," ucap si hakim dengan suara berwibawa.

Acara itu tidak berlangsung lama. Hanya membutuhkan waktu setengah jam. Setelah Keelan dan Caitlin menandatangani dokumen pernikahan, si hakim dan rekannya langsung meninggalkan mereka.

"Di mana yang lainnya?" tanya Caitlin sambil mengedarkan pandangan. Suasana senyap di antara mereka membuat dia merasa gugup.

"Siapa maksudmu? Para pegawaiku?" balas Keelan bertanya, lalu mengulas senyum masam. "Mereka datang ke sini saat aku membutuhkan bantuan. Selebihnya mereka akan berada di tempat lain."

Caitlin tidak bertanya lagi. Dia memang telah menikah dengan Keelan. Tapi dia sama sekali tidak ingin mengakrabkan diri dengan suaminya itu. Tidak ada yang berubah selain status pernikahan mereka.

"Koki telah menyiapkan hidangan makan siang, kau bisa menyantapnya sekarang," ucap Keelan setelah beberapa saat.

"Aku tidak lapar," sahut Caitlin, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Perutnya serasa diaduk-aduk, dan dia kehilangan selera makannya.

"Jangan keras kepala. Aku tidak ingin kau pingsan. Nanti malam kau harus menemaniku menghadiri pesta amal."

Caitlin mengangkat kepalanya, menatap tajam suaminya, sengaja menantang. "Apakah aku harus merasa tersanjung karena kau mengajakku pergi ke sana?"

Keelan menyentuh dagu Caitlin. "Saat ini aku tidak ingin berdebat denganmu. Lagi pula aku tidak ingin menodai hari pernikahanku dengan hal-hal yang tidak penting," ucap dia dengan nada sedikit mengejek. "Aku hampir lupa. Aku rasa kita harus merayakan pernikahan ini."

Setelah itu Keelan menghampiri lemari yang berisi beberapa botol minuman. Dia meraih salah satu di antaranya dan dua buah gelas. Pelan-pelan dia menuang cairan berwarna keemasan itu sambil melirik Caitlin. Lalu dia mengulurkan gelas yang telah terisi pada Caitlin.

"Semoga pernikahan ini dipenuhi dengan kebahagiaan," ucap Keelan lalu mendentingkan gelasnya pada gelas Caitlin sebelum meneguk isinya hingga habis.

Caitlin membulatkan matanya, terkejut dengan kata-kata Keelan. Bisa-bisanya Keelan berkata seperti itu. Padahal mereka berdua sama-sama tahu bahwa pernikahan ini tidak dilandasi oleh rasa cinta. Sama sekali jauh dari kata bahagia.

"Kalau kau mengijinkan, aku ingin istirahat sekarang," ucap Caitlin setelah meletakkan gelasnya di atas meja.

"Tentu saja. Kamarmu ada di ujung lorong," jawab Keelan santai.

Tanpa membuang-buang waktu percuma, Caitlin segera bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamar yang ditunjukkan oleh Keelan. Caitlin berdiri di depan pintu selama beberapa saat, tertegun usai melihat kondisi kamarnya yang cukup luas dan nyaman dengan tempat tidur berukuran besar.

Susana apartemen ini sangat sepi. Hanya ada mereka berdua di sini. Mungkin ini lah yang diinginkan oleh Keelan. Suaminya itu membutuhkan privasi dan tidak ingin mendapatkan gangguan dari siapa pun.

Sementara menunggu waktu malam datang, Caitlin memutuskan merebahkan tubuhnya di atas kasur. Dia benar-benar membutuhkan waktu untuk istirahat. Mungkin saat Caitlin bangun nanti mimpi buruknya akan berakhir, dan dia bisa kembali ke hidupnya semula.

Senja baru saja pergi. Caitlin terbangun dari tidurnya dan sedikit merasa linglung. Caitlin membutuhkan waktu beberapa saat untuk menyesuaikan dirinya dengan suasana dan tempat baru. Dia melirik jam di dinding. Satu jam lagi dia harus menemani Keelan ke acara amal. Dia bergegas turun dari tempat tidur, dan masuk ke kamar mandi.

"Apa kau sudah siap?" Keelan berdiri di depan pintu kamar Caitlin yang terbuka lebar.

Caitlin terkesiap. Keelan berani masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Beruntungnya dia sudah mengenakan gaun dan merias wajahnya.

"Kita bisa pergi sekarang," jawab Caitlin. Dia memandang Keelan sejenak, lalu buru-buru memalingkan wajahnya. Caitlin tidak ingin memberi kesan pada Keelan bahwa dia diam-diam mengagumi suaminya itu.

"Sebelum kita pergi, aku ingin menyerahkan ini padamu." 

Keelan maju beberapa langkah. Dia mengulurkan sebuah amplop coklat berukuran cukup besar. Sikapnya terlihat sangat aneh dan mencurigakan.

"Apa ini?" Caitlin menerimanya dengan pandangan bertanya-tanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status