"Besok kita akan melangsungkan upacara pernikahan di New York."
Tubuh Caitlin langsung membeku begitu mendengar suara Keelan. Karena melamun, dia tidak menyadari Keelan telah berada di kamarnya. Pelan-pelan dia memutar tubuhnya, dan mengangkat kepalanya. Matanya menatap tubuh Keelan yang menjulang tinggi di hadapannya, lalu dia berhenti tepat saat pandangan mereka saling bertemu. "Siapa yang bilang aku mau menikah denganmu?" Caitlin pikir Keelan akan membatalkan niatnya saat mengetahui dia terus menolak perintah itu."Aku tidak pernah meminta persetujuanmu. Ini perintah," tegas Keelan sambil menggeretakkan giginya. "Ingatlah kau harus membayar hutangmu padaku."
"Kau ...." Suara Caitlin tertahan di tenggorokan. Dia merasakan kedua matanya memanas. "Aku tidak ingin menikah denganmu."
"Semua perlengkapanmu sudah ada di apartemenku. Bersiaplah karena kita berangkat pagi-pagi," balas Keelan seolah tidak peduli dengan pertanyaan Caitlin. Setelah itu dia memutar tubuhnya, dan melangkah menuju pintu. "Apa kau pura-pura tidak mendengarku?" tanya Caitlin disertai dengan isak tangis. Air mata yang telah dia tahan sejak tadi berakhir tumpah membasahi kedua pipinya. Keelan menoleh ke samping tanpa membalikkan badannya. "Aku sama sekali tidak membutuhkan persetujuanmu. Bertahanlah sekuat tenaga sampai semua ini berakhir dan kau bisa bebas untuk pergi." Kata-kata Keelan penuh teka-teki. Selama beberapa detik otak Caitlin serasa tumpul dan tidak mampu untuk berpikir. Lidahnya kelu sehingga dia tidak bisa membalas perkataan Keelan. Saat dia ingin menimpali ucapan Keelan, laki-laki itu berjalan keluar dari kamarnya.Caitlin mencoba mengejar Keelan. "Apa maksudmu sebenarnya?" desak Caitlin karena merasa penasaran dengan kata-kata Keelan beberapa saat yang lalu.
"Aku tidak ingin menjelaskan apa-apa padamu. Lakukan saja perintahku," jawab Keelan tanpa menoleh, lalu melanjutkan langkahnya.
Pundak Caitlin langsung merosot lemah. Tatapan matanya kosong saat menatap bayangan Keelan yang perlahan menghilang. Masa depannya kini terlihat suram.
Seperti yang Keelan ucapkan malam sebelumnya, mereka terbang ke New York menggunakan jet pribadi laki-laki itu pagi-pagi sekali. Caitlin menaiki tangga logam menuju kabin jet dengan mulus. Keelan telah berada di sana, dan terlihat serius saat menghadapi laptopnya. Laki-laki itu sama sekali tidak melirik Caitlin yang berjalan melewatinya. Caitlin memutuskan duduk di kursi tepat di seberangnya. Tidak lama berselang terdengar suara pilot yang memberikan pengumuman bahwa sebentar lagi pesawat akan segera mengudara. Caitlin melihat ke jendela untuk mengalihkan perhatiannya pada Keelan."Apa kau menginginkan sesuatu?" Seorang pramugari cantik menghampiri Caitlin sambil menyunggingkan senyum manis.
"Aku ingin secangkir kopi tanpa gula," jawab Caitlin singkat. Saat ini dia membutuhkan asupan kafein yang tinggi untuk membuatnya tetap terjaga selama dalam perjalanan ini.
Caitlin melirik Keelan sebentar. Laki-laki itu belum bergerak dari posisi duduknya. Jari-jarinya masih menari-nari, mengetik dalam kecepatan tinggi. Setelah itu Caitlin menoleh ke arah jendela, melihat gulungan awan seputih kapas.
"Cobalah untuk tersenyum." Keelan berbisik saat mereka sampai di apartemen laki-laki itu beberapa jam kemudian. "Aku tidak ingin memberi kesan pada semua orang bahwa kau menikah denganku karena terpaksa." Dua orang petugas dari kantor catatan sipil telah menunggu. Salah satu di antaranya adalah hakim yang akan menikahkan mereka. Keelan membimbing Caitlin saat akan duduk di depan keduanya. "Sebaiknya kita segera memulai acara ini," ucap si hakim dengan suara berwibawa. Acara itu tidak berlangsung lama. Hanya membutuhkan waktu setengah jam. Setelah Keelan dan Caitlin menandatangani dokumen pernikahan, si hakim dan rekannya langsung meninggalkan mereka."Di mana yang lainnya?" tanya Caitlin sambil mengedarkan pandangan. Suasana senyap di antara mereka membuat dia merasa gugup.
"Siapa maksudmu? Para pegawaiku?" balas Keelan bertanya, lalu mengulas senyum masam. "Mereka datang ke sini saat aku membutuhkan bantuan. Selebihnya mereka akan berada di tempat lain."
Caitlin tidak bertanya lagi. Dia memang telah menikah dengan Keelan. Tapi dia sama sekali tidak ingin mengakrabkan diri dengan suaminya itu. Tidak ada yang berubah selain status pernikahan mereka.
"Koki telah menyiapkan hidangan makan siang, kau bisa menyantapnya sekarang," ucap Keelan setelah beberapa saat. "Aku tidak lapar," sahut Caitlin, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Perutnya serasa diaduk-aduk, dan dia kehilangan selera makannya. "Jangan keras kepala. Aku tidak ingin kau pingsan. Nanti malam kau harus menemaniku menghadiri pesta amal." Caitlin mengangkat kepalanya, menatap tajam suaminya, sengaja menantang. "Apakah aku harus merasa tersanjung karena kau mengajakku pergi ke sana?" Keelan menyentuh dagu Caitlin. "Saat ini aku tidak ingin berdebat denganmu. Lagi pula aku tidak ingin menodai hari pernikahanku dengan hal-hal yang tidak penting," ucap dia dengan nada sedikit mengejek. "Aku hampir lupa. Aku rasa kita harus merayakan pernikahan ini." Setelah itu Keelan menghampiri lemari yang berisi beberapa botol minuman. Dia meraih salah satu di antaranya dan dua buah gelas. Pelan-pelan dia menuang cairan berwarna keemasan itu sambil melirik Caitlin. Lalu dia mengulurkan gelas yang telah terisi pada Caitlin. "Semoga pernikahan ini dipenuhi dengan kebahagiaan," ucap Keelan lalu mendentingkan gelasnya pada gelas Caitlin sebelum meneguk isinya hingga habis. Caitlin membulatkan matanya, terkejut dengan kata-kata Keelan. Bisa-bisanya Keelan berkata seperti itu. Padahal mereka berdua sama-sama tahu bahwa pernikahan ini tidak dilandasi oleh rasa cinta. Sama sekali jauh dari kata bahagia. "Kalau kau mengijinkan, aku ingin istirahat sekarang," ucap Caitlin setelah meletakkan gelasnya di atas meja. "Tentu saja. Kamarmu ada di ujung lorong," jawab Keelan santai. Tanpa membuang-buang waktu percuma, Caitlin segera bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamar yang ditunjukkan oleh Keelan. Caitlin berdiri di depan pintu selama beberapa saat, tertegun usai melihat kondisi kamarnya yang cukup luas dan nyaman dengan tempat tidur berukuran besar. Susana apartemen ini sangat sepi. Hanya ada mereka berdua di sini. Mungkin ini lah yang diinginkan oleh Keelan. Suaminya itu membutuhkan privasi dan tidak ingin mendapatkan gangguan dari siapa pun. Sementara menunggu waktu malam datang, Caitlin memutuskan merebahkan tubuhnya di atas kasur. Dia benar-benar membutuhkan waktu untuk istirahat. Mungkin saat Caitlin bangun nanti mimpi buruknya akan berakhir, dan dia bisa kembali ke hidupnya semula.Senja baru saja pergi. Caitlin terbangun dari tidurnya dan sedikit merasa linglung. Caitlin membutuhkan waktu beberapa saat untuk menyesuaikan dirinya dengan suasana dan tempat baru. Dia melirik jam di dinding. Satu jam lagi dia harus menemani Keelan ke acara amal. Dia bergegas turun dari tempat tidur, dan masuk ke kamar mandi.
"Apa kau sudah siap?" Keelan berdiri di depan pintu kamar Caitlin yang terbuka lebar.
Caitlin terkesiap. Keelan berani masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Beruntungnya dia sudah mengenakan gaun dan merias wajahnya.
"Kita bisa pergi sekarang," jawab Caitlin. Dia memandang Keelan sejenak, lalu buru-buru memalingkan wajahnya. Caitlin tidak ingin memberi kesan pada Keelan bahwa dia diam-diam mengagumi suaminya itu.
"Sebelum kita pergi, aku ingin menyerahkan ini padamu."
Keelan maju beberapa langkah. Dia mengulurkan sebuah amplop coklat berukuran cukup besar. Sikapnya terlihat sangat aneh dan mencurigakan.
"Apa ini?" Caitlin menerimanya dengan pandangan bertanya-tanya.
"Apa ini?" Caitlin bertanya sekali lagi karena Keelan tidak segera memberinya jawaban. "Kau bisa melihatnya sendiri," jawab Keelan ringan. Penasaran dengan isinya, Caitlin langsung membuka amplop itu. Selama beberapa detik otaknya membeku saat dia menemukan dua lembar kertas dari dalam amplop. Pelan-pelan dia membaca deretan kalimat yang tertera di sana. "Bisakah kau menjelaskan maksud dari surat ini?" Caitlin menuntut seraya mengernyitkan keningnya. "Itu adalah surat kontrak pernikahan kita yang telah aku siapkan sedari awal," terang Keelan. "Seperti yang kau baca, kita akan terikat dalam pernikahan selama enam bulan," lanjutnya. "Aku tidak membutuhkan kontrak ini. Kita bisa bercerai kapan saja kau mau." Lebih cepat lebih baik, batin Caitlin. Dengan begitu dia bisa bebas, dan segera menjauh dari kehidupan Keelan. "Aku tidak mungkin melakukannya. Hidup adikku dipertaruhkan di sini." "Katakan yang sejujurnya. Sejak tadi kau berbicara berputar-butar," tukas Caitlin sengit
“Kau ….”Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir Caitlin. Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin Caitlin ajukan pada laki-laki itu, tapi dia tidak sanggup melakukannya. Caitlin masih syok dan tidak tahu siapa yang dia hadapi sekarang.“Kau pasti tidak menyangka aku bisa menemukanmu di sini,” ucap laki-laki itu dengan senyum mengejek. Dia berjalan cepat, dan memperpendek jarak di antara mereka.Caitlin mundur selangkah. Matanya nanar menatap ke seluruh penjuru arah, mencoba mencari cara untuk meninggalkan tempat ini. Ternyata tidak ada yang bisa dia lakukan. Laki-laki itu seolah mengerti jalan pikirannya, dan sengaja menutup akses untuk dia kabur."Jangan mendekat!" teriak Caitlin. Sayangnya suaranya terdengar seperti lolongan tikus kecil yang tengah menghadapi kematiannya."Saat ini kau tidak perlu berpura-pura. Di sini tidak ada siapa-siapa selain kita berdua," tukas laki-laki itu, lalu dalam gerakan cepat dia meraih pergelangan tangan Caitlin dan memegangnya erat.Otak Cait
Keelan berjalan mondar mandir di ruang kerjanya. Dia menduga akan timbul masalah besar tidak lama lagi. Dia bisa memastikan kejadian beberapa jam yang lalu akan tersebar ke mana-mana. Setiap gerak-geriknya, juga keluarganya akan selalu menjadi sasaran empuk para wartawan hingga menjadi tajuk berita yang terpampang di halaman pertama tabloid-tabloid nasional maupun internasional. Dering ponselnya berhasil menghentikan gerakan kakinya. Dalam gerakan cepat dia menyambar benda pipih itu yang tergeltak di atas meja. Dari layar ponselnya dia bisa melihat identitas si penelepon, siapa lagi kalau bukan asiten pribadinya."Jangan menghubungiku kalau ini tidak penting," gerutu Keelan tanpa basa-basi."Kami berhasil membungkam media-media itu sebelum berita tentang pertemuan istri Anda bersama laki-laki itu beredar besok pagi," ucap si asiten dengan nada meyakinkan."Kerja bagus. Aku tahu kalian tidak akan pernah mengecewakan aku," puji Keelan terang-terangan. "Apa kau tahu di mana laki-laki it
"Keelan ...."Tanpa sadar Caitlin memanggil suaminya. Tangannya meraba kasur di sebelahnya yang kosong dan dingin. Setelah menyadari ketidakhadiran Keelan di sana, kedua mata Caitlin terbuka lebar. Ternyata Keelan meninggalkan kamarnya, dan membiarkan dia sendirian. Mungkin Keelan beranjak dari kamarnya saat dia terlelap usai percintaan panas mereka semalam.Entah kenapa Caitlin mendadak merasa hampa. Rasanya ada sesuatu yang hilang dari dalam dirinya, tapi dia sulit menggambarkannya dengan jelas. Satu menit kemudian dia bergegas menghalau perasaan itu. Apa yang dia harapkan dari Keelan? Cinta? Itu mustahil terjadi karena Keelan sangat membencinya. Percintaan mereka semalam hanya dilandasi oleh nafsu. Tidak lebih dari itu.Caitlin tidak ingin berlama-lama termenung dan terlalu larut dalam perasaannya. Dia segera melompat turun dari tempat tidur, lalu masuk ke kamar mandi. Sebentar lagi mereka akan kembali ke London. Jadi, dia tidak ingin membuat Keelan kesal menunggunya."Selamat pagi
"Kita tidak bisa menghindari mereka lagi." Keelan bergumam pelan. Lalu dia menatap Caitlin selama beberapa saat. Dia menarik tangan Caitlin, dan menautkan jari-jari mereka berdua. "Kita bisa menghadapi ini bersama-sama," ucap Keelan mantap. Dia mulai mengayun langkah, dan menarik Caitlin agar berjalan mengikutinya. Mereka berjalan beriringan. Saat mencapai pintu keluar bandara, Keelan meminta Caitlin dan beberapa tim keamanannya untuk berhenti sejenak. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menghadapi kerumunan wartawan yang telah menunggu mereka. Kemudian mereka mulai berjalan kembali dan dikelilingi beberapa orang laki-laki yang memakai setelan rapi. Keelan menundukkan kepalanya, menghindar dari beberapa mic yang diulurkan padanya. Para wartawan itu menghujaninya dengan banyak pertanyaan seperti dengungan lebah yang memekakkan telinga. Suasananya sangat kacau dan tidak terkendali. Caitlin merasa takut, dan dia ingin menangis saat ini juga. Dia merasa se
“Apa kabar, Abby? Lama kita tidak bertemu.” Caitlin maju beberapa langkah sampai berada tepat di hadapan Abby. Dia lalu memeluk adik iparnya dengan erat. Hanya sebentar. Dia enggan berlama-lama memeluk Abby karena belum terlalu mengenal adik iparnya itu. Abby mendorong Caitlin. Secara terang-terangan dia menunjukkan rasa tidak sukanya pada istri kakaknya. Sejak dulu, dan perasaan itu tidak pernah berubah. Seiring dengan terbukanya sifat asli kakak iparnya yang penuh kepalsuan. “Hentikan sandiwaramu. Aku tidak seperti Keelan yang mudah kau bohongi selama ini,” seru Abby dengan mata memerah. Entah kenapa Caitlin merasa terluka akibat perkataan Abby barusan. Seharusnya dia tidak merasa sakit hati karena kata-kata itu sebenarnya ditujukan pada Chaterine. Atau mungkin perasaannya yang terlalu sensitif. "Aku harap ke depannya kita bisa berteman dengan baik. Rasanya pasti menyenangkan bila itu terjadi," balas Caitlin setenang mungkin. Abby melebarkan matanya, lalu tersenyum sinis.
"Aku bisa memesan makanan kalau kau lapar." Caitlin langsung mematung saat mendengar suara Kelan di belakanganya. Dia tidak menyadari kehadiran Keelan di dekatnya karena terlalu fokus mencari makanan di dalam kulkas. Dapur itu gelap, dan hanya diterangi cahaya dari lampu kulkas yang terbuka. Caitlin menutup pintu kulkas, lalu memutar tubuhnya. Kedua tangannya bersedekap di depan dada, sebagai bentuk pertahanan diri dari keberadaan Keelan di sekitarnya. Dia tidak berani menatap Keelan langsung, pandangan matanya tertuju ke arah di belakang suaminya. Tidak ada apa-apa selain bayangan kosong dalam kegelapan. "Kau ingin makan apa?" tanya Keelan karena Caitlin tidak kunjung bersuara. Dia menyalakan saklar lampu di samping pintu. Keadaan sekarang menjadi terang. Setelah itu dia mengetik di ponselnya, memesan makanan dari restoran terdekat yang membuka layanan pesan antar. "Terserah kau," jawab Caitlin pendek. Tanpa melihat Keelan, Caitlin melangkah ke meja di tengah dapur, menarik
"Baguslah kalau begitu." Caitlin menyeringai lebar. Tatapan matanya berbinar-binar. Dia terlihat sangat bahagia. "Apa maksud ucapanmu?" Keelan menarik siku Caitlin hingga istrinya menubruk dadanya. Melihat reaksi istrinya yang berlebihan, membuat emosinya tersulut. Dia menduga Caitlin telah merencanakan sesuatu di belakangnya. Caitlin menepis tangan Keelan kasar. Setelah berhasil terlepas dari cengkeraman suaminya, dia mengangkat dagunya dan menatap Keelan dengan sorot menantang. Sekarang Keelan harus tahu bahwa dia tidak akan pernah merasa takut lagi. "Bila nenekmu benar-benar ingin mengusirku, tentu saja aku menyambut hal itu dengan gembira. Dengan begitu aku bisa terlepas dari belenggumu tanpa harus berjuang keras untuk melawanmu," terang Caitlin berapi-api. "Jangan macam-macam denganku," desis Keelan sambil menggeretakkan giginya. "Kita lihat saja nanti," balas Caitlin dengan senyum cerah. Setelah itu Caitlin mengabaikan Keelan. Dalam gerakan cepat dia melangkah men