"Sial ..."
Keelan mengumpat dengan wajah yang terlihat gusar. Matanya menatap tajam pada asistennya yang terlihat sedikit ketakutan. Sama sekali dia tidak pernah menyangka Caitlin mampu kabur dari kediamannya. Padahal dia telah meminta tim kemanannya untuk berjaga di sana dan tidak membiarkan wanita itu pergi dari rumahnya. "Kalian harus menemukan dia. Bagaimana pun caranya," perintah Keelan sambil menggeretakkan gigi dan tangannya terkepal di atas meja. Pemuda itu membungkuk singkat, lalu bergegas pergi dari ruangan Keelan. Sebisa mungkin dia harus segera menghilang dari hadapan atasannya karena saat ini suasana hati Keelan sangat buruk. Tentunya setelah mendengar berita kepergian Caitlin dari rumahnya. Setelah itu sepanjang hari Keelan tidak berkonsentrasi pada pekerjaannya. Dia meminta sekretarisnya untuk membatalkan semua jadwalnya hari ini. Berkali-kali dia melihat jam. Rasanya waktu seakan lambat berputar. Dering telepon yang sangat keras membuat Keelan tersentak. Tangannya langsung menyambar ponselnya yang tergeletak dia atas meja. Dia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan-pelan. "Aku harap kau memberi kabar baik padaku," ucap Keelan tanpa basa-basi pada asisten pribadinya. "Kami berhasil menemukannya," jawab pemuda itu lalu menyebutkan sebuah nama penginapan di pinggiran kota London. Tidak butuh waktu lama bagi Keelan untuk mengendarai mobilnya menuju penginapan itu. Penginapan itu terlihat sangat sederhana dengan bangunan yang sudah tua. Seorang laki-laki dengan setelan hitam membuka pintu mobil Keelan, lalu mengajaknya masuk ke dalam penginapan itu. "Ternyata pelarianmu sia-sia, Caitlin," ucap Keelan sambil bertepuk tangan begitu bertemu dengan Caitlin di sebuah kamar sempit dan sedikit gelap. "Sebaiknya kau segera ikut aku sekarang," pungkasnya. Raut wajahnya berubah kaku hanya dalam hitungan detik. Caitlin mengangkat wajahnya, dan menatap tajam pada Keelan. Sinar kebencian tercetak jelas dari kedua matanya. Rasa-rasanya dia ingin mencekik leher laki-laki angkuh yang tengah berdiri di depannya itu. Sayangnya dia tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya. "Biarkan aku sendiri," ujar Caitlin pelan, lalu menundukkan kepalanya. "Berapa kali aku bilang. Aku tidak ingin menjadi istrimu." "Seharusnya kau berpikir ulang saat berkata seperti itu," sergah Keelan sengit. "Salahkan saja saudaramu yang telah mati, yang menyebabkan hidupmu berada di tanganku." Caitlin memalingkan wajahnya. Di saat seperti ini dia hanya bisa menyalahkan kebodohannya sendiri. Seandainya sejak awal dia tidak mengikuti permainan Chaterine, mungkin sekarang hidupnya akan baik-baik saja. Waktu itu Caitlin hanya ingin membantu saudaranya karena selama ini Chaterine telah berkorban banyak agar dia bisa bertahan hidup setelah orang tua mereka meninggal. Hanya Chaterine yang bisa dia andalkan. Ternyata dia salah. Caitlin tidak pernah menyangka bila pertolongannya membawa dia pada kehancuran hidupnya. Bertemu dengan Keelan adalah sebuah mala petaka. Dan dia tidak bisa melepaskan diri dari jerat-jerat yang telah dipasang Keelan untuknya. "Tidak sadarkah dirimu, ke mana pun kau pergi, aku akan selalu menemukanmu dengan mudah," ucap Keelan berhasil membawa kesadaran Caitlin ke masa sekarang. "Jadi, jangan pernah berpikir untuk kabur lagi, atau semua akan berakhir sia-sia." "Aku hanya ingin terbebas dari penjara yang kau ciptakan," tukas Caitlin tidak kalah sengit. Telunjuk Keelan meraih dagu Caitlin, dan memutar kepala wanita itu agar menghadap padanya. "Penjara itu tercipta karena ulahmu sendiri," ujar Keelan dengan menekan kalimatnya. "Aku akan membebaskanmu kalau kau bersedia menjadi istriku. Tidak hanya itu. Aku akan melimpahimu dengan uang, pakaian, dan perhiasan yang banyak sama seperti yang aku lakukan pada Chaterine sebelumnya." "Apa kau akan memasukkanku ke dalam karung goni lalu membekap mulutku dengan lakban agar bersedia menuruti keinginanmu?" sindir Caitlin tidak mau kalah begitu saja. Tawa Keelan lansung membahana seketika. Dia mendecakkan lidah sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, terkejut dengan ucapan Caitlin. Lalu dia mendekatkan wajahnya, dan menyapukan ciuman di bibir Caitlin. Hanya sekilas, tapi mampu membuat kedua mata Caitlin membelalak lebar. "Aku tidak perlu melakukan hal primitif seperti itu hanya untuk membuatmu tunduk padaku," balas Keelan dengan tatapan mengejek. Tangannya mengusap bibir Caitlin yang bergetar, seolah sengaja menggoda wanita itu. "Kau benar-benar ...." "Jangan buang-buang energi percuma. Sebaiknya kau segera meninggalkan tempat ini dan pulang bersamaku," potong Keelan cepat dan tampak tidak sabaran. Caitlin bangkit dari tempat tidur, lalu merapikan gaunnya. Dengan gaya anggun dia melangkah melewati Keelan. Kepalanya tegak, dan pandangannya lurus ke depan. Dia tidak menghiraukan beberapa pengawal yang berjaga di sekitarnya. Setelah berada di luar penginapan, Caitlin langsung masuk ke dalam mobil yang pintunya terbuka untuknya. Keelan menyusul, lalu duduk di sampingnya. Lima menit berselang, mobil itu melaju dengan kecepatan sedang, membawa mereka menuju kediaman Keelan. "Aku sudah membuatkanmu janji dengan penata gaya profesional besok," kata Keelan saat mereka sampai di rumah. "Aku ingin kau mengubah penampilanmu semirip mungkin dengan Chaterine." "Aku tidak mau." Caitlin memprotes. "Aku tidak ingin menjadi dia." Keelan meraih tangan Caitlin dengan kasar. "Berapa kali aku harus bilang bahwa kau ...." Dia tidak melanjutkan kata-katanya. Gigi-giginya saling bergeretak, dan tangannya mengepal erat. "Aku tidak terlalu pandai mematuhi perintah," kata Caitlin akhirnya penuh dengan nada sindiran. "Apa kau bilang?" Keelan maju satu langkah, lalu menutup pintu di belakangnya. Dia mendekati Caitlin hingga wanita itu terdesak dan tubuhnya membentur dinding. Keelan meraih pergelangan tangan Caitlin, mencengkeramnya sangat erat. Tindakannya ini membuat Caitlin meringis kesakitan. "Menjauh dariku," pinta Caitlin tanpa berani menatap Keelan. Dia memalingkan wajahnya sambil memejamkan matanya rapat. "Siapa yang memberimu hak untuk berbuat seenaknya?" geram Keelan sengit. "Aku berhak atas hidupku sendiri tanpa campur tanganmu," balas Caitlin dengan suara bergetar. Dia mencoba untuk tampil berani. Sayangnya dia gagal. "Kau sudah terlibat dalam kehidupanku. Jadi sebaiknya kau tidak berbuat gegabah," balas Keelan mencoba mengingatkan. Keelan memindai wajah Caitlin. Lalu tatapan matanya turun di bibir ranum milik Caitlin. Bibir itu masih menggodanya, dan mengingatkannya akan rasa yang tertinggal setelah ciuman panasnya beberapa saat yang lalu. Keelan melepaskan tangan Caitlin. Lalu tangannya mulai terangkat, dan menyentuh bibir Caitlin. Detik selanjutnya Keelan mencium bibir Caitlin kuat-kuat hingga membuat wanita itu terbelalak kaget dan kesulitan bernapas. Dia terus mendesak, menuntut Caitlin membalas ciumannya. Tubuh Caitlin seolah meleleh. Lututnya terasa lemah, dan kedua kakinya tidak sanggup menopang tubuhnya lagi. Dirinya seolah mengkhianati hatinya karena dia tidak menolak ciuman Keelan. Otak Caitlin seolah membeku selama beberapa saat. Dia tidak mampu berpikir dengan jernih. Tidak terlalu lama karena detik selanjutnya kesadarannya mulai pulih. "Jangan ...." gumam Caitlin dengan suara yang tidak begitu jelas. "Jangan apa Caitlin?" Keelan mengunci Caitlin dengan tatapannya yang sayu. Jari-jarinya yang lincah mulai membuka kancing gaun Caitlin, lalu mendorongnya lepas dari pundak wanita itu hingga terjatuh ke lantai. Kulit Caitlin terlihat sangat putih seperti porselen. Tangannya bergerak, menyentuh lengan Caitlin yang sehalus sutra. Tidak berhenti sampai di sana. Keelan menengadah, dan melihat reaksi Caitlin atas sentuhannya. Raut wajah Caitlin sulit untuk diartikan. Kepalanya bergerak mendekati leher jenjang Caitlin, lalu bibirnya mengecup tepat di denyut nadi wanita itu yang cepat. Setelah itu Keelan mengangkat tubuh langsing Caitlin, dan menjatuhkannya di atas kasur. Caitlin berusaha mendorong Keelan menjauh darinya. Tapi usahanya gagal total. Tubuh Keelan menindihnya, dan tidak memberikan ruang untuknya bergerak. "Lepaskan aku," rengek Caitlin. Bulir-bulir bening mulai membasahi pipinya. "Tidak sebelum kau mendapatkan pelajaran dariku," sahut Keelan sambil menyeringai lebar. Tanpa menunda lagi, dia langsung menyatukan tubuh mereka, dan membungkam bibir Caitlin dengan ciuman panas yang tidak terkendali. Waktu seolah lambat berputar. Caitlin berbaring telentang di atas kasurnya sendirian dalam ruangan yang gelap. Seluruh tubuhnya terasa sakit, dan nyeri. Keelan telah meninggalkannya sejak satu jam yang lalu setelah merenggut kesuciannya dengan paksa. "Jangan pernah coba-coba melarikan diri dariku," ancam Keelan sambil mengenakan pakaiannya sebelum pergi dari paviliun tempat Caitlin tinggal sementara waktu. Air mata yang Caitlin tahan sejak tadi akhirnya merebak keluar tanpa bisa dia kendalikan. Dia bergegas melompat meninggalkan tempat tidurnya, lalu menghambur masuk ke kamar mandi. Tangannya bergetar saat memutar kran. Air dingin menyembur keluar, mengguyur tubuh Caitlin yang menggigil hebat."Aku tidak akan membiarkanmu melakukan itu lagi, Keelan. Aku bersumpah," ucap Caitlin dengan gigi bergeretak.
"Besok kita akan melangsungkan upacara pernikahan di New York."Tubuh Caitlin langsung membeku begitu mendengar suara Keelan. Karena melamun, dia tidak menyadari Keelan telah berada di kamarnya. Pelan-pelan dia memutar tubuhnya, dan mengangkat kepalanya. Matanya menatap tubuh Keelan yang menjulang tinggi di hadapannya, lalu dia berhenti tepat saat pandangan mereka saling bertemu."Siapa yang bilang aku mau menikah denganmu?" Caitlin pikir Keelan akan membatalkan niatnya saat mengetahui dia terus menolak perintah itu."Aku tidak pernah meminta persetujuanmu. Ini perintah," tegas Keelan sambil menggeretakkan giginya. "Ingatlah kau harus membayar hutangmu padaku.""Kau ...." Suara Caitlin tertahan di tenggorokan. Dia merasakan kedua matanya memanas. "Aku tidak ingin menikah denganmu.""Semua perlengkapanmu sudah ada di apartemenku. Bersiaplah karena kita berangkat pagi-pagi," balas Keelan seolah tidak peduli dengan pertanyaan Caitlin. Setelah itu dia memutar tubuhnya, dan melangkah menuj
"Apa ini?" Caitlin bertanya sekali lagi karena Keelan tidak segera memberinya jawaban. "Kau bisa melihatnya sendiri," jawab Keelan ringan. Penasaran dengan isinya, Caitlin langsung membuka amplop itu. Selama beberapa detik otaknya membeku saat dia menemukan dua lembar kertas dari dalam amplop. Pelan-pelan dia membaca deretan kalimat yang tertera di sana. "Bisakah kau menjelaskan maksud dari surat ini?" Caitlin menuntut seraya mengernyitkan keningnya. "Itu adalah surat kontrak pernikahan kita yang telah aku siapkan sedari awal," terang Keelan. "Seperti yang kau baca, kita akan terikat dalam pernikahan selama enam bulan," lanjutnya. "Aku tidak membutuhkan kontrak ini. Kita bisa bercerai kapan saja kau mau." Lebih cepat lebih baik, batin Caitlin. Dengan begitu dia bisa bebas, dan segera menjauh dari kehidupan Keelan. "Aku tidak mungkin melakukannya. Hidup adikku dipertaruhkan di sini." "Katakan yang sejujurnya. Sejak tadi kau berbicara berputar-butar," tukas Caitlin sengit
“Kau ….”Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir Caitlin. Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin Caitlin ajukan pada laki-laki itu, tapi dia tidak sanggup melakukannya. Caitlin masih syok dan tidak tahu siapa yang dia hadapi sekarang.“Kau pasti tidak menyangka aku bisa menemukanmu di sini,” ucap laki-laki itu dengan senyum mengejek. Dia berjalan cepat, dan memperpendek jarak di antara mereka.Caitlin mundur selangkah. Matanya nanar menatap ke seluruh penjuru arah, mencoba mencari cara untuk meninggalkan tempat ini. Ternyata tidak ada yang bisa dia lakukan. Laki-laki itu seolah mengerti jalan pikirannya, dan sengaja menutup akses untuk dia kabur."Jangan mendekat!" teriak Caitlin. Sayangnya suaranya terdengar seperti lolongan tikus kecil yang tengah menghadapi kematiannya."Saat ini kau tidak perlu berpura-pura. Di sini tidak ada siapa-siapa selain kita berdua," tukas laki-laki itu, lalu dalam gerakan cepat dia meraih pergelangan tangan Caitlin dan memegangnya erat.Otak Cait
Keelan berjalan mondar mandir di ruang kerjanya. Dia menduga akan timbul masalah besar tidak lama lagi. Dia bisa memastikan kejadian beberapa jam yang lalu akan tersebar ke mana-mana. Setiap gerak-geriknya, juga keluarganya akan selalu menjadi sasaran empuk para wartawan hingga menjadi tajuk berita yang terpampang di halaman pertama tabloid-tabloid nasional maupun internasional. Dering ponselnya berhasil menghentikan gerakan kakinya. Dalam gerakan cepat dia menyambar benda pipih itu yang tergeltak di atas meja. Dari layar ponselnya dia bisa melihat identitas si penelepon, siapa lagi kalau bukan asiten pribadinya."Jangan menghubungiku kalau ini tidak penting," gerutu Keelan tanpa basa-basi."Kami berhasil membungkam media-media itu sebelum berita tentang pertemuan istri Anda bersama laki-laki itu beredar besok pagi," ucap si asiten dengan nada meyakinkan."Kerja bagus. Aku tahu kalian tidak akan pernah mengecewakan aku," puji Keelan terang-terangan. "Apa kau tahu di mana laki-laki it
"Keelan ...."Tanpa sadar Caitlin memanggil suaminya. Tangannya meraba kasur di sebelahnya yang kosong dan dingin. Setelah menyadari ketidakhadiran Keelan di sana, kedua mata Caitlin terbuka lebar. Ternyata Keelan meninggalkan kamarnya, dan membiarkan dia sendirian. Mungkin Keelan beranjak dari kamarnya saat dia terlelap usai percintaan panas mereka semalam.Entah kenapa Caitlin mendadak merasa hampa. Rasanya ada sesuatu yang hilang dari dalam dirinya, tapi dia sulit menggambarkannya dengan jelas. Satu menit kemudian dia bergegas menghalau perasaan itu. Apa yang dia harapkan dari Keelan? Cinta? Itu mustahil terjadi karena Keelan sangat membencinya. Percintaan mereka semalam hanya dilandasi oleh nafsu. Tidak lebih dari itu.Caitlin tidak ingin berlama-lama termenung dan terlalu larut dalam perasaannya. Dia segera melompat turun dari tempat tidur, lalu masuk ke kamar mandi. Sebentar lagi mereka akan kembali ke London. Jadi, dia tidak ingin membuat Keelan kesal menunggunya."Selamat pagi
"Kita tidak bisa menghindari mereka lagi." Keelan bergumam pelan. Lalu dia menatap Caitlin selama beberapa saat. Dia menarik tangan Caitlin, dan menautkan jari-jari mereka berdua. "Kita bisa menghadapi ini bersama-sama," ucap Keelan mantap. Dia mulai mengayun langkah, dan menarik Caitlin agar berjalan mengikutinya. Mereka berjalan beriringan. Saat mencapai pintu keluar bandara, Keelan meminta Caitlin dan beberapa tim keamanannya untuk berhenti sejenak. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menghadapi kerumunan wartawan yang telah menunggu mereka. Kemudian mereka mulai berjalan kembali dan dikelilingi beberapa orang laki-laki yang memakai setelan rapi. Keelan menundukkan kepalanya, menghindar dari beberapa mic yang diulurkan padanya. Para wartawan itu menghujaninya dengan banyak pertanyaan seperti dengungan lebah yang memekakkan telinga. Suasananya sangat kacau dan tidak terkendali. Caitlin merasa takut, dan dia ingin menangis saat ini juga. Dia merasa se
“Apa kabar, Abby? Lama kita tidak bertemu.” Caitlin maju beberapa langkah sampai berada tepat di hadapan Abby. Dia lalu memeluk adik iparnya dengan erat. Hanya sebentar. Dia enggan berlama-lama memeluk Abby karena belum terlalu mengenal adik iparnya itu. Abby mendorong Caitlin. Secara terang-terangan dia menunjukkan rasa tidak sukanya pada istri kakaknya. Sejak dulu, dan perasaan itu tidak pernah berubah. Seiring dengan terbukanya sifat asli kakak iparnya yang penuh kepalsuan. “Hentikan sandiwaramu. Aku tidak seperti Keelan yang mudah kau bohongi selama ini,” seru Abby dengan mata memerah. Entah kenapa Caitlin merasa terluka akibat perkataan Abby barusan. Seharusnya dia tidak merasa sakit hati karena kata-kata itu sebenarnya ditujukan pada Chaterine. Atau mungkin perasaannya yang terlalu sensitif. "Aku harap ke depannya kita bisa berteman dengan baik. Rasanya pasti menyenangkan bila itu terjadi," balas Caitlin setenang mungkin. Abby melebarkan matanya, lalu tersenyum sinis.
"Aku bisa memesan makanan kalau kau lapar." Caitlin langsung mematung saat mendengar suara Kelan di belakanganya. Dia tidak menyadari kehadiran Keelan di dekatnya karena terlalu fokus mencari makanan di dalam kulkas. Dapur itu gelap, dan hanya diterangi cahaya dari lampu kulkas yang terbuka. Caitlin menutup pintu kulkas, lalu memutar tubuhnya. Kedua tangannya bersedekap di depan dada, sebagai bentuk pertahanan diri dari keberadaan Keelan di sekitarnya. Dia tidak berani menatap Keelan langsung, pandangan matanya tertuju ke arah di belakang suaminya. Tidak ada apa-apa selain bayangan kosong dalam kegelapan. "Kau ingin makan apa?" tanya Keelan karena Caitlin tidak kunjung bersuara. Dia menyalakan saklar lampu di samping pintu. Keadaan sekarang menjadi terang. Setelah itu dia mengetik di ponselnya, memesan makanan dari restoran terdekat yang membuka layanan pesan antar. "Terserah kau," jawab Caitlin pendek. Tanpa melihat Keelan, Caitlin melangkah ke meja di tengah dapur, menarik