“Kau ….”
Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir Caitlin. Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin Caitlin ajukan pada laki-laki itu, tapi dia tidak sanggup melakukannya. Caitlin masih syok dan tidak tahu siapa yang dia hadapi sekarang. “Kau pasti tidak menyangka aku bisa menemukanmu di sini,” ucap laki-laki itu dengan senyum mengejek. Dia berjalan cepat, dan memperpendek jarak di antara mereka. Caitlin mundur selangkah. Matanya nanar menatap ke seluruh penjuru arah, mencoba mencari cara untuk meninggalkan tempat ini. Ternyata tidak ada yang bisa dia lakukan. Laki-laki itu seolah mengerti jalan pikirannya, dan sengaja menutup akses untuk dia kabur. "Jangan mendekat!" teriak Caitlin. Sayangnya suaranya terdengar seperti lolongan tikus kecil yang tengah menghadapi kematiannya. "Saat ini kau tidak perlu berpura-pura. Di sini tidak ada siapa-siapa selain kita berdua," tukas laki-laki itu, lalu dalam gerakan cepat dia meraih pergelangan tangan Caitlin dan memegangnya erat.Otak Caitlin membeku, buntu sehingga dia tidak mampu berpikir dengan jernih. Dia semakin terdesak. Laki-laki di depannya terlihat tidak akan membiarkan dirinya melenggang pergi dengan mudah.
"Dengar .... Aku harus kembali ke dalam. Suamiku pasti sedang kebingungan mencariku," bujuk Caitlin dengan suara lembut.
Sudut bibir laki-laki itu terangkat sedikit. Dia tersenyum mengejek, lalu menggelengkan kepalanya. Matanya memandang lurus, seolah tidak ingin mangsanya lepas dari incarannya.
"Kau pikir aku bisa percaya pada tipuanmu ini? Aku mengenalmu dengan baik. Kita sudah bersama selama dua tahun ke belakang," ucap laki-laki itu tajam mematikan. "Kau adalah penipu licik dan manipulatif yang bisa melakukan segala cara untuk mendapatkan keinginanmu."
Dada Caitlin sesak terasa seperti dihantam palu godam, membuat dia kesulitan untuk bernapas. Seburuk itukah sifat saudaranya selama ini? Ternyata selama ini dia tidak tahu apa-apa tentang Chaterine. Mereka memang dilahirkan dari rahim yang sama dan memiliki wajah bak pinang dibelah dua. Tapi mereka memiliki kepribadian yang saling bertolak belakang.
"Kumohon .... Jangan sekarang," pinta Caitlin memelas. Kata-kata itu meluncur dari bibirnya tanpa dia sadari sebelumnya. Sekarang dia bingung kenapa bisa berkata seperti itu. Mungkin karena sedang terdesak, dan dia tidak bisa mengucapkan kata lain.
Laki-laki itu berjalan cepat hingga berada tepat di depan Caitlin. Dia meraih pergelangan tangan Caitlin, dan menariknya hingga jarak mereka tinggal beberapa senti. Kedua matanya berkilat-kilat penuh amarah.
"Aku tidak akan melepaskanmu begitu saja setelah kau meninggalkanku sendirian di rumah sakit," kata dia penuh nada ancaman. "Kecelakaan itu terjadi karena ulahmu. Kau harus membayarnya dengan harga yang sangat mahal."
Caitlin merasakan kedua matanya memanas. Sebentar lagi pasti dia akan menangis bila tidak segera pergi dari sini. Sekuat tenaga dia mencoba meleepakan tangannya dari cengkeraman laki-laki itu, tapi dia mengalami kesulitan untuk membebaskan diri.
"Biarkan akau pergi," rengeknya.
Kemudian Caitlin menyipitkan matanya saat kilatan lampu kamera yang cahanya sangat terang menyilaukan tiba-tiba menimpa wajahnya. Detik selanjutnya beberapa orang berjalan mendekat ke arah dia sambil mengulurkan mic. Keberadaan mereka sangat mengerikan seolah ingin menerkam tubuhnya bulat-bulat.
Yang terjadi selanjutnya adalah sebuah tangan meraih tubuhnya dan menariknya menjauh dari gerombolan orang itu. Caitlin tidak mengetahui siapa penolongnya. Dia hanya berjalan mengikuti si penolong yang menuntunnya berjalan menjauh, lalu masuk ke dalam mobil yang telah menunggunya.
"Kita berangkat sekarang."
Keelan masuk ke mobil, menyusul Caitlin yang telah duduk di sudut dekat jendela. Sorot matanya menunjukkan rasa tidak suka atas kejadian yang menimpa Caitlin. Selama dalam perjalanan mereka berdua memilih diam dan bergumul dengan benak masing-masing. Suasana di antara keduanya sangat tegang tanpa bisa dijelaskan dengan kata-kata.
"Seharusnya kau tidak berkeliaran seperti tadi," sembur Keelan sengit begitu mereka sampai di apartemen Keelan. "Kalau bukan karena keteledoranmu, maka kejadian tadi tidak akan pernah menimpamu."
Caitlin mengehentakkan kakinya. "Dan kau tahu sendiri alasannya kenapa aku pergi keluar dari tempat pesta. Aku tidak pernah ingin berada di sana. Tapi kau memaksaku untuk mengikutimu tanpa peduli dengan keadaanku sebenarnya," balas Caitlin tidak kalah sengit. Dia tidak akan membiarkan Keelan menyalahkan dirinya atas kejadian buruk beberapa saat yang lalu.
"Harus berapa kali aku berbicara padamu. Kau harus mengikuti semua kata-kataku apapun masalahnya." Keelan mendorong tubuh Caitlin hingga membentur dinding. "Itulah konsekuensi yang harus kau bayar karena telah bermain-main denganku."
Merasa tidak terima dengan sikap Keelan yang mengintimidasi, membuat emosi Caitlin memuncak. Sejak kemarin-kemarin Keelan selalu menyalahkan dirinya tanpa pernah berusaha memahami keadaannya. Dia membalas mendorong tubuh Keelan menjauh. Lalu dia menarik napas panjang.
"Sekarang aku tahu alasan kenapa Chaterine berselingkuh darimu," desis Caitlin dengan kata-kata beracun. "Kau adalah laki-laki egois, otoriter, dan tidak memiliki kepedulian pada pasanganmu."
"Aku bukan laki-laki seperti itu," kilah Keelan tidak terima dengan semua tuduhan yang Caitlin lontarkan padanya.
Caitlin mengulas senyum kecut. "Ya, kau laki-laki seperti itu. Selama ini kau mengira dirimu lah yang menjadi korban," ucap Caitlin berapi-api. "Tapi kau salah. Chaterine lah yang menjadi korban atas semua perbuatanmu. Mungkin dengan berselingkuh, dia mampu mendapatkan apa saja yang tidak bisa kau berikan padanya."
Keelan memutar tubuhnya, membelakangi Caitlin. Kedua tangannya mengepal di samping badannya. Kata-kata Caitlin berhasil memukul egonya dengan telak. Tapi dia tidak akan bertekuk lutut di hadapan Caitlin.
Meskipun Keelan memiliki andil dalam keretakan rumah tangganya bersama Chaterine, dia tidak ingin disalahkan begitu saja. Sebagai seorang istri sudah sepantasnya Chaterine patuh padanya. Lebih-lebih lagi selama mereka menikah, dia tidak pernah melupakan tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Dia selalu memberi Chaterine dengan materi yang berlimpah.
"Saudara kembarmu adalah wanita yang tamak. Jadi sebaik apa pun diriku, di matanya aku tetap sebagai suami yang tidak baik. Dia tidak akan pernah puas memiliki suami seperti diriku," kata Keelan pahit.
"Lalu bagaimana dengan diriku? Seharusnya kau tidak melampiaskan amarahmu padaku. Anggap saja Chaterine telah membayar semua kesalahannya padamu dengan kematiannya."
Keelan menghadap pada Caitlin lagi. Matanya berkilat-kilat marah. Dadanya kembang kempis dengan napas yang memburu.
"Seperti Chaterine, kau juga harus membayar kesalahanmu padaku. Kau sudah terlibat dalam masalah ini."
"Aku hanya ingin membantunya. Berapa kali aku harus bilang padamu," ujar Caitlin berusaha meyakinkan Keelan.
Keelan mengibaskan tangan. "Aku tidak ingin berdebat lagi. Pastikan kau selalu berhati-hati, dan tidak melakukan kesalahan seperti tadi. Aku tidak ingin terjadi skandal antara dirimu dengan Arion."
Siapa Arion? Caitlin bertanya dalam hati. Dia belum pernah mendengar Chaterine menyebut nama itu sebelumnya.
"Aku bahkan tidak mengenalnya, bagaiman bisa terjadi skandal di antara kami."
"Tapi dia menganggapmu sebagai Chaterine. Dia akan terus mencoba mendekatimu sampai kau kembali padanya. Perlu kau ketahui, laki-laki tadi adalah Arion, salah satu kekasih gelap saudara kembarmu," pungkas Keelan. Dia lalu meninggalkan Caitlin sendirian dengan langkah kaki yang panjang.
"Benarkah Chaterine meninggal?" Caitlin Crews menatap laki-laki berwajah dingin di depannya dengan mata berkaca-kaca. Laki-laki itu adalah Keelan Bennet, suami kembarannya. Kabar yang baru saja dia terima berhasil membuatnya seperti terjungkal ke dasar tanah dan kesulitan untuk mengambil napas. "Begitulah yang aku dengar dari salah satu anak buahku," balas Keelan santai. Tidak terlihat tanda-tanda kesedihan di wajahnya. "Kau pasti berbohong. Lima menit yang lalu aku baru saja berbicara dengannya melalui sambungan telepon. "Dan kau harus tahu kabar selanjutnya bahwa dia mengalami kecelakaan saat bersama kekasih gelapnya." Keelan sengaja menekan kata kekasih gelap. "Aku sangat yakin kau terlibat dalam kejadian itu," tuduh Caitlin terang-terangan. "Aku tidak mungkin melakukan tindakan kotor seperti itu." Keelan menarik tangan Caitlin kasar, dan menggenggam pergelangan tangannya erat. Matanya menyala saat menatap Caitlin. "Sebaiknya kau tarik kata-katamu itu," pungkasnya sengit. "Ak
"Sial ..." Keelan mengumpat dengan wajah yang terlihat gusar. Matanya menatap tajam pada asistennya yang terlihat sedikit ketakutan. Sama sekali dia tidak pernah menyangka Caitlin mampu kabur dari kediamannya. Padahal dia telah meminta tim kemanannya untuk berjaga di sana dan tidak membiarkan wanita itu pergi dari rumahnya. "Kalian harus menemukan dia. Bagaimana pun caranya," perintah Keelan sambil menggeretakkan gigi dan tangannya terkepal di atas meja. Pemuda itu membungkuk singkat, lalu bergegas pergi dari ruangan Keelan. Sebisa mungkin dia harus segera menghilang dari hadapan atasannya karena saat ini suasana hati Keelan sangat buruk. Tentunya setelah mendengar berita kepergian Caitlin dari rumahnya. Setelah itu sepanjang hari Keelan tidak berkonsentrasi pada pekerjaannya. Dia meminta sekretarisnya untuk membatalkan semua jadwalnya hari ini. Berkali-kali dia melihat jam. Rasanya waktu seakan lambat berputar. Dering telepon yang sangat keras membuat Keelan tersentak. Tangannya
"Besok kita akan melangsungkan upacara pernikahan di New York."Tubuh Caitlin langsung membeku begitu mendengar suara Keelan. Karena melamun, dia tidak menyadari Keelan telah berada di kamarnya. Pelan-pelan dia memutar tubuhnya, dan mengangkat kepalanya. Matanya menatap tubuh Keelan yang menjulang tinggi di hadapannya, lalu dia berhenti tepat saat pandangan mereka saling bertemu."Siapa yang bilang aku mau menikah denganmu?" Caitlin pikir Keelan akan membatalkan niatnya saat mengetahui dia terus menolak perintah itu."Aku tidak pernah meminta persetujuanmu. Ini perintah," tegas Keelan sambil menggeretakkan giginya. "Ingatlah kau harus membayar hutangmu padaku.""Kau ...." Suara Caitlin tertahan di tenggorokan. Dia merasakan kedua matanya memanas. "Aku tidak ingin menikah denganmu.""Semua perlengkapanmu sudah ada di apartemenku. Bersiaplah karena kita berangkat pagi-pagi," balas Keelan seolah tidak peduli dengan pertanyaan Caitlin. Setelah itu dia memutar tubuhnya, dan melangkah menuj
"Apa ini?" Caitlin bertanya sekali lagi karena Keelan tidak segera memberinya jawaban. "Kau bisa melihatnya sendiri," jawab Keelan ringan. Penasaran dengan isinya, Caitlin langsung membuka amplop itu. Selama beberapa detik otaknya membeku saat dia menemukan dua lembar kertas dari dalam amplop. Pelan-pelan dia membaca deretan kalimat yang tertera di sana. "Bisakah kau menjelaskan maksud dari surat ini?" Caitlin menuntut seraya mengernyitkan keningnya. "Itu adalah surat kontrak pernikahan kita yang telah aku siapkan sedari awal," terang Keelan. "Seperti yang kau baca, kita akan terikat dalam pernikahan selama enam bulan," lanjutnya. "Aku tidak membutuhkan kontrak ini. Kita bisa bercerai kapan saja kau mau." Lebih cepat lebih baik, batin Caitlin. Dengan begitu dia bisa bebas, dan segera menjauh dari kehidupan Keelan. "Aku tidak mungkin melakukannya. Hidup adikku dipertaruhkan di sini." "Katakan yang sejujurnya. Sejak tadi kau berbicara berputar-butar," tukas Caitlin sengit