Keelan berjalan mondar mandir di ruang kerjanya. Dia menduga akan timbul masalah besar tidak lama lagi. Dia bisa memastikan kejadian beberapa jam yang lalu akan tersebar ke mana-mana. Setiap gerak-geriknya, juga keluarganya akan selalu menjadi sasaran empuk para wartawan hingga menjadi tajuk berita yang terpampang di halaman pertama tabloid-tabloid nasional maupun internasional.
Dering ponselnya berhasil menghentikan gerakan kakinya. Dalam gerakan cepat dia menyambar benda pipih itu yang tergeltak di atas meja. Dari layar ponselnya dia bisa melihat identitas si penelepon, siapa lagi kalau bukan asiten pribadinya. "Jangan menghubungiku kalau ini tidak penting," gerutu Keelan tanpa basa-basi. "Kami berhasil membungkam media-media itu sebelum berita tentang pertemuan istri Anda bersama laki-laki itu beredar besok pagi," ucap si asiten dengan nada meyakinkan. "Kerja bagus. Aku tahu kalian tidak akan pernah mengecewakan aku," puji Keelan terang-terangan. "Apa kau tahu di mana laki-laki itu sekarang?" "Kami belum mendapatkan informasi apa-apa. Tapi secepatnya aku akan menyampaikan kabar terbaru pada Anda." "Aku harus memberi dia pelajaran karena telah berani menampakkan diri di depan istriku," tukas Keelan ketus. Setelah memberi beberapa instruksi, dia mengakhiri panggilan itu. Sementara itu, di kamarnya sendiri Caitlin merebahkan diri di atas tempat tidur. Tapi matanya sulit terpejam. Meskipun tengah dilanda rasa kantuk yang berat, otaknya tidak berhenti berputar-putar sejak tadi. Kejadian di pesta itu, pertemuannya dengan laki-laki bernama Arion, serta perdebatannya dengan Keelan menyita pikirannya. Di tidak bisa mengbabaikan begitu saja rangkaian peristiwa tadi. Caitlin menyibak selimutnya. Dia memutuskan untuk keuar dari kamarnya untuk menghirup udara segar. Dia bisa pergi ke balkon apartemen yang terletak di bagian belakang apartemen ini. Mungkin setelah itu dia bisa memejamkan matanya. "Apa yang kau lakukan di sini?" Caitlin menoleh sebentar saat mendengar suara Keelan di belakangnya. Lalu dia kembali menatap ke arah langit yang gelap tanpa ada bulan ataupun bintang-bintang bertaburan. Suasana malam ini seakan mendukung rasa suram yang melanda dirinya. "Aku tidak bisa tidur," jawab Caitlin sepintas lalu. Keelan berdiri di samping Caitlin. Kedua lengannya bertumpu pada pinggiran pagar. Tatapan matanya tertuju pada kegelapan di depan sana. "Bergembiralah karena berita pertemuan rahasiamu dengan Arion tidak akan pernah terbit dan beredar besok pagi," kata Arion memecah keheningan di antara mereka. "Itu bukan pertemuan rahasia karena aku tidak pernah menginginkannya terjadi," tukas Caitlin ketus. Bisa-bisanya Keelan mengatakan hal yang menjijikkan itu, seolah dia telah melakukan dosa besar di belakang suaminya. "Mereka tidak peduli itu benar atau salah. Yang terlihat di mata mereka, kejadian itu adalah pertemuan rahasiamu bersama kekasih gelapmu," timpal Keelan tidak ingin kalah. "Terserah apa katamu. Aku sama sekali tidak peduli," timpal Caitlin sengit. "Di matamu aku adalah seorang pendosa yang tidak pantas menerima ampunan darimu. Kebencian yang kau rasakan padaku berhasil membutakan matamu." Caitlin memutar badannya. Keinginannya untuk menenangkan diri sirna sudah. Kehadiran Keelan di sampingnya beserta kata-kata pedas suaminya itu berhasil membuat dia semakin terpuruk. Dia lalu meninggalkan Keelan tanpa berani menatap suaminya. "Besok kita akan kembali ke London." Caitlin berhenti sebentar. "Seperti sebelum-sebelumnya, di sini aku tidak memiliki hak untuk membantah semua ucapanmu," sindir dia, lalu dia mengayun langkah panjang dengan menegakkan punggungnya. Keelan menggeram marah, lalu menyusul Caitlin. Dalam gerakan cepat dia memutar tubuh Caitlin hingga menghadap padanya. Caitlin membuka mulutnya, terlihat terkejut dengan perlakuan kasar Keelan. "Aku belum selesai bicara," gerutu Keelan. "Jaga sikapmu selama bersamaku." "Aku hanya membalas perlakukanmu padaku. Apa aku salah?" Caitlin menatap Keelan dengan sorot menantang. Saat ini dia merasa sangat kesal dan ingin sendirian. Tapi Keelan terus mengusiknya hingga membuat emosinya memuncak. Keelan melangkah maju, dan sengaja merapatkan tubuh mereka. Tangannya menyentuh bibir Caitlin, dan membelainya lembut. Dia menyunggingkan senyum lebar sekaligus mengejek. "Sepertinya bibirmu ini memang tercipta untuk mengeluarkan kata-kata pedas padaku," cibir Keelan. "Atau mungkin bisa melakukan pekerjaan lain yang lebih hebat," pungkasnya penuh teka-teki. Detik selanjutnya Keelan mulai memagut bibir Caitlin tanpa rasa belas kasihan. Brutal dan menuntut. Dia memaksa Caitlin membuka bibirnya untuk mendapatkan kepuasan bersama. "Begini lebih baik.""Lepaskan aku." Caitlin meronta-ronta, berusaha membebaskan dirinya dari pelukan Keelan.
"Ini belum selesai. Kita bisa melanjutkan permainan tadi di kamar," tukas Keelan sambil menyengir.
Alis Caitlin langsung naik usai mendengar ucapan Keelan. "Apa maksudmu sebenarnya?"
Tawa Keelan membahana seketika. "Tentunya kau tidak pernah berpikir aku ingin hidup selibat denganmu," jawab Keelan. Kedua matanya menelusuri wajah Caitlin yang memerah karena menahan amarah. "Kita adalah sepasang suami istri. Jadi sudah sewajarnya bila kita menyempurnakan hubungan itu dengan percintaan yang membara di dalam kamar. Atau kau ingin bercinta denganku di sini?" Dia memandang ke sekitar.
"Jangan coba-coba kau melakukannya. Aku akan ...."
Kata-kata Caitlin terputus karena Keelan membungkamnya dengan melancarkan ciuman sekali lagi. Kepala Keelan menunduk ke bawah, lalu bibirnya mengecup leher Caitlin, tepat di nadi yang berdetak dengan jelas. Perbuatannya itu berhasil membuat Caitlin menggelinjang dan merintih karena tidak sanggup menahan siksaan yang diberikan oleh Keelan.
Tidak ingin permainan ini segera berakhir, Keelan bergegas menggendong tubuh ringan Caitlin. Keelan menendang pintu kamar Caitlin dengan mudah tanpa berhenti mencium Caitlin. Malam ini Caitlin tampak cantik dan berhasil menyihirnya, melupakan kebencian yang dia rasakan pada istrinya itu.
Pelan-pelan dia menjatuhkan Caitlin di kasur. Jari-jari tangannya bergerak lincah melucuti gaun tidur Caitlin hingga terlepas dan membuangnya begitu saja di lantai. Dia tidak sabar menunggu, lalu menyatukan tubuh mereka berdua.
"Malam ini adalah malam pengantin kita. Aku merasa puas karena kita berhasil melaluinya dengan bahagia."
"Keelan ...."Tanpa sadar Caitlin memanggil suaminya. Tangannya meraba kasur di sebelahnya yang kosong dan dingin. Setelah menyadari ketidakhadiran Keelan di sana, kedua mata Caitlin terbuka lebar. Ternyata Keelan meninggalkan kamarnya, dan membiarkan dia sendirian. Mungkin Keelan beranjak dari kamarnya saat dia terlelap usai percintaan panas mereka semalam.Entah kenapa Caitlin mendadak merasa hampa. Rasanya ada sesuatu yang hilang dari dalam dirinya, tapi dia sulit menggambarkannya dengan jelas. Satu menit kemudian dia bergegas menghalau perasaan itu. Apa yang dia harapkan dari Keelan? Cinta? Itu mustahil terjadi karena Keelan sangat membencinya. Percintaan mereka semalam hanya dilandasi oleh nafsu. Tidak lebih dari itu.Caitlin tidak ingin berlama-lama termenung dan terlalu larut dalam perasaannya. Dia segera melompat turun dari tempat tidur, lalu masuk ke kamar mandi. Sebentar lagi mereka akan kembali ke London. Jadi, dia tidak ingin membuat Keelan kesal menunggunya."Selamat pagi
"Kita tidak bisa menghindari mereka lagi." Keelan bergumam pelan. Lalu dia menatap Caitlin selama beberapa saat. Dia menarik tangan Caitlin, dan menautkan jari-jari mereka berdua. "Kita bisa menghadapi ini bersama-sama," ucap Keelan mantap. Dia mulai mengayun langkah, dan menarik Caitlin agar berjalan mengikutinya. Mereka berjalan beriringan. Saat mencapai pintu keluar bandara, Keelan meminta Caitlin dan beberapa tim keamanannya untuk berhenti sejenak. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menghadapi kerumunan wartawan yang telah menunggu mereka. Kemudian mereka mulai berjalan kembali dan dikelilingi beberapa orang laki-laki yang memakai setelan rapi. Keelan menundukkan kepalanya, menghindar dari beberapa mic yang diulurkan padanya. Para wartawan itu menghujaninya dengan banyak pertanyaan seperti dengungan lebah yang memekakkan telinga. Suasananya sangat kacau dan tidak terkendali. Caitlin merasa takut, dan dia ingin menangis saat ini juga. Dia merasa se
“Apa kabar, Abby? Lama kita tidak bertemu.” Caitlin maju beberapa langkah sampai berada tepat di hadapan Abby. Dia lalu memeluk adik iparnya dengan erat. Hanya sebentar. Dia enggan berlama-lama memeluk Abby karena belum terlalu mengenal adik iparnya itu. Abby mendorong Caitlin. Secara terang-terangan dia menunjukkan rasa tidak sukanya pada istri kakaknya. Sejak dulu, dan perasaan itu tidak pernah berubah. Seiring dengan terbukanya sifat asli kakak iparnya yang penuh kepalsuan. “Hentikan sandiwaramu. Aku tidak seperti Keelan yang mudah kau bohongi selama ini,” seru Abby dengan mata memerah. Entah kenapa Caitlin merasa terluka akibat perkataan Abby barusan. Seharusnya dia tidak merasa sakit hati karena kata-kata itu sebenarnya ditujukan pada Chaterine. Atau mungkin perasaannya yang terlalu sensitif. "Aku harap ke depannya kita bisa berteman dengan baik. Rasanya pasti menyenangkan bila itu terjadi," balas Caitlin setenang mungkin. Abby melebarkan matanya, lalu tersenyum sinis.
"Aku bisa memesan makanan kalau kau lapar." Caitlin langsung mematung saat mendengar suara Kelan di belakanganya. Dia tidak menyadari kehadiran Keelan di dekatnya karena terlalu fokus mencari makanan di dalam kulkas. Dapur itu gelap, dan hanya diterangi cahaya dari lampu kulkas yang terbuka. Caitlin menutup pintu kulkas, lalu memutar tubuhnya. Kedua tangannya bersedekap di depan dada, sebagai bentuk pertahanan diri dari keberadaan Keelan di sekitarnya. Dia tidak berani menatap Keelan langsung, pandangan matanya tertuju ke arah di belakang suaminya. Tidak ada apa-apa selain bayangan kosong dalam kegelapan. "Kau ingin makan apa?" tanya Keelan karena Caitlin tidak kunjung bersuara. Dia menyalakan saklar lampu di samping pintu. Keadaan sekarang menjadi terang. Setelah itu dia mengetik di ponselnya, memesan makanan dari restoran terdekat yang membuka layanan pesan antar. "Terserah kau," jawab Caitlin pendek. Tanpa melihat Keelan, Caitlin melangkah ke meja di tengah dapur, menarik
"Baguslah kalau begitu." Caitlin menyeringai lebar. Tatapan matanya berbinar-binar. Dia terlihat sangat bahagia. "Apa maksud ucapanmu?" Keelan menarik siku Caitlin hingga istrinya menubruk dadanya. Melihat reaksi istrinya yang berlebihan, membuat emosinya tersulut. Dia menduga Caitlin telah merencanakan sesuatu di belakangnya. Caitlin menepis tangan Keelan kasar. Setelah berhasil terlepas dari cengkeraman suaminya, dia mengangkat dagunya dan menatap Keelan dengan sorot menantang. Sekarang Keelan harus tahu bahwa dia tidak akan pernah merasa takut lagi. "Bila nenekmu benar-benar ingin mengusirku, tentu saja aku menyambut hal itu dengan gembira. Dengan begitu aku bisa terlepas dari belenggumu tanpa harus berjuang keras untuk melawanmu," terang Caitlin berapi-api. "Jangan macam-macam denganku," desis Keelan sambil menggeretakkan giginya. "Kita lihat saja nanti," balas Caitlin dengan senyum cerah. Setelah itu Caitlin mengabaikan Keelan. Dalam gerakan cepat dia melangkah men
"Nenek .... Bercandamu sangat tidak lucu."Caitlin melirik tangannya yang berada dalam cengkeraman Rossie seraya menyunggingkan senyum sinis. Kakinya maju selangkah hingga jarak mereka sangat dekat. Caitlin menatap Rossie dengan sorot mata jahil. Dirinya terlihat tegar, dan tidak gentar sedikit pun."Jauhkan tubuh kotormu dariku," tukas Rossie sengit.Caitlin membuka mulutnya lebar, dan pura-pura terkejut. Lalu dia menepis tangan Rossie. "Haruskah aku takut padamu? Tentu saja tidak. Ini adalah rumah suamiku. Itu berarti juga rumahku. Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai Keelan menyuruhku pergi dari sini."Kemudian Caitlin melenggang masuk ke dalam rumah dengan langkah kaki tegap dan kepala tengadah ke atas. Di belakangnya Rossie berteriak memanggil namanya. Sayangnya dia sama sekali tidak menggubrisnya.Caitlin masuk ke kamarnya, dan menjatuhkan dirinya di atas kasur. Tangannya menyentuh dadanya yang masih berdebar-debar. Baru kali ini dia memiliki keberanian bersikap kurang
"Apakah aku harus takut mendengar ancamanmu?"Caitlin menatap Rossie tajam, sambil menggesekkan pisaunya di atas piring hingga menimbulkan suara nyaring yang memekakkan telinga. Dengan berani dia menunjukkan seringainya, seolah menjawab tantangan Rossie. Seharusnya Rossie sadar bahwa lawannya kali bukan orang yang sangat lemah dan bersedia menuruti perkataannya begitu saja.Tangan Rossie terangkat. Dalam gerakan cepat dia meraih tangan Caitlin, dan mencengkeramnya dengan erat hingga pisau itu terjatuh di atas piring. Tidak berhenti di sana. Dia sengaja menancapkan kuku panjangnya dia kulit Caitlin.Raut wajah Caitlin terlihat sangat tenang. Dia tidak menunjukkan rasa sakit sedikit pun. Baginya tusukan kuku Rossie tidak ubahnya seperti gigitan seekor semut di tangannya. "Aku tidak pernah nyangka wanita bermartabat sepertimu bisa melakukan tindakan kekanakan seperti ini," ucap Caitlin sambil melirik sinis pada Rossie yang masih melingkari pergelangan tangannya.Rossie langsung menarik
Keelan tiba di rumah sakit tidak lama kemudian. Wajahnya pucat pasi. Saat berjalan melewati lorong dengan langkah tergesa-gesa, sorot matanya kosong."Keelan ...." Rossie menubruk Keelan, lalu melingkari tubuh cucunya sambil menangis tersedu-sedu. "Apa yang terjadi sebenarnya?" tuntut Keelan, matanya sibuk mencari keberadaan istrinya."Istrimu benar-benar gila," geram Rossie. Dia melepaskan pelukannya, dan menatap Keelan dengan mata bercucuran. "Dia sengaja mendorongku ke jalan saat ada mobil yang lewat.""Sekarang Chaterine ada di mana?" tuntut Keelan tidak sabaran."Dia sedang berada di ruang operasi sekarang. Dokter berusaha menyelamatkannya karena dia kehilangan banyak darah," jawab Rossie menjelaskan.Keelan mengernyit. Ada kejanggalan dari cerita Rossie. Bila benar Caitlin mendorong Rossie ke jalan seperti cerita sebelumnya, bukankah seharusnya neneknya yang berada di ruang operasi sana?"Aku ingin melihatnya sekarang." Keelan mendorong Rossie menjauh. "Istrimu berada di tanga