“Apa kabar, Abby? Lama kita tidak bertemu.” Caitlin maju beberapa langkah sampai berada tepat di hadapan Abby. Dia lalu memeluk adik iparnya dengan erat. Hanya sebentar. Dia enggan berlama-lama memeluk Abby karena belum terlalu mengenal adik iparnya itu. Abby mendorong Caitlin. Secara terang-terangan dia menunjukkan rasa tidak sukanya pada istri kakaknya. Sejak dulu, dan perasaan itu tidak pernah berubah. Seiring dengan terbukanya sifat asli kakak iparnya yang penuh kepalsuan. “Hentikan sandiwaramu. Aku tidak seperti Keelan yang mudah kau bohongi selama ini,” seru Abby dengan mata memerah. Entah kenapa Caitlin merasa terluka akibat perkataan Abby barusan. Seharusnya dia tidak merasa sakit hati karena kata-kata itu sebenarnya ditujukan pada Chaterine. Atau mungkin perasaannya yang terlalu sensitif. "Aku harap ke depannya kita bisa berteman dengan baik. Rasanya pasti menyenangkan bila itu terjadi," balas Caitlin setenang mungkin. Abby melebarkan matanya, lalu tersenyum sinis.
"Aku bisa memesan makanan kalau kau lapar." Caitlin langsung mematung saat mendengar suara Kelan di belakanganya. Dia tidak menyadari kehadiran Keelan di dekatnya karena terlalu fokus mencari makanan di dalam kulkas. Dapur itu gelap, dan hanya diterangi cahaya dari lampu kulkas yang terbuka. Caitlin menutup pintu kulkas, lalu memutar tubuhnya. Kedua tangannya bersedekap di depan dada, sebagai bentuk pertahanan diri dari keberadaan Keelan di sekitarnya. Dia tidak berani menatap Keelan langsung, pandangan matanya tertuju ke arah di belakang suaminya. Tidak ada apa-apa selain bayangan kosong dalam kegelapan. "Kau ingin makan apa?" tanya Keelan karena Caitlin tidak kunjung bersuara. Dia menyalakan saklar lampu di samping pintu. Keadaan sekarang menjadi terang. Setelah itu dia mengetik di ponselnya, memesan makanan dari restoran terdekat yang membuka layanan pesan antar. "Terserah kau," jawab Caitlin pendek. Tanpa melihat Keelan, Caitlin melangkah ke meja di tengah dapur, menarik
"Baguslah kalau begitu." Caitlin menyeringai lebar. Tatapan matanya berbinar-binar. Dia terlihat sangat bahagia. "Apa maksud ucapanmu?" Keelan menarik siku Caitlin hingga istrinya menubruk dadanya. Melihat reaksi istrinya yang berlebihan, membuat emosinya tersulut. Dia menduga Caitlin telah merencanakan sesuatu di belakangnya. Caitlin menepis tangan Keelan kasar. Setelah berhasil terlepas dari cengkeraman suaminya, dia mengangkat dagunya dan menatap Keelan dengan sorot menantang. Sekarang Keelan harus tahu bahwa dia tidak akan pernah merasa takut lagi. "Bila nenekmu benar-benar ingin mengusirku, tentu saja aku menyambut hal itu dengan gembira. Dengan begitu aku bisa terlepas dari belenggumu tanpa harus berjuang keras untuk melawanmu," terang Caitlin berapi-api. "Jangan macam-macam denganku," desis Keelan sambil menggeretakkan giginya. "Kita lihat saja nanti," balas Caitlin dengan senyum cerah. Setelah itu Caitlin mengabaikan Keelan. Dalam gerakan cepat dia melangkah men
"Nenek .... Bercandamu sangat tidak lucu."Caitlin melirik tangannya yang berada dalam cengkeraman Rossie seraya menyunggingkan senyum sinis. Kakinya maju selangkah hingga jarak mereka sangat dekat. Caitlin menatap Rossie dengan sorot mata jahil. Dirinya terlihat tegar, dan tidak gentar sedikit pun."Jauhkan tubuh kotormu dariku," tukas Rossie sengit.Caitlin membuka mulutnya lebar, dan pura-pura terkejut. Lalu dia menepis tangan Rossie. "Haruskah aku takut padamu? Tentu saja tidak. Ini adalah rumah suamiku. Itu berarti juga rumahku. Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai Keelan menyuruhku pergi dari sini."Kemudian Caitlin melenggang masuk ke dalam rumah dengan langkah kaki tegap dan kepala tengadah ke atas. Di belakangnya Rossie berteriak memanggil namanya. Sayangnya dia sama sekali tidak menggubrisnya.Caitlin masuk ke kamarnya, dan menjatuhkan dirinya di atas kasur. Tangannya menyentuh dadanya yang masih berdebar-debar. Baru kali ini dia memiliki keberanian bersikap kurang
"Apakah aku harus takut mendengar ancamanmu?"Caitlin menatap Rossie tajam, sambil menggesekkan pisaunya di atas piring hingga menimbulkan suara nyaring yang memekakkan telinga. Dengan berani dia menunjukkan seringainya, seolah menjawab tantangan Rossie. Seharusnya Rossie sadar bahwa lawannya kali bukan orang yang sangat lemah dan bersedia menuruti perkataannya begitu saja.Tangan Rossie terangkat. Dalam gerakan cepat dia meraih tangan Caitlin, dan mencengkeramnya dengan erat hingga pisau itu terjatuh di atas piring. Tidak berhenti di sana. Dia sengaja menancapkan kuku panjangnya dia kulit Caitlin.Raut wajah Caitlin terlihat sangat tenang. Dia tidak menunjukkan rasa sakit sedikit pun. Baginya tusukan kuku Rossie tidak ubahnya seperti gigitan seekor semut di tangannya. "Aku tidak pernah nyangka wanita bermartabat sepertimu bisa melakukan tindakan kekanakan seperti ini," ucap Caitlin sambil melirik sinis pada Rossie yang masih melingkari pergelangan tangannya.Rossie langsung menarik
Keelan tiba di rumah sakit tidak lama kemudian. Wajahnya pucat pasi. Saat berjalan melewati lorong dengan langkah tergesa-gesa, sorot matanya kosong."Keelan ...." Rossie menubruk Keelan, lalu melingkari tubuh cucunya sambil menangis tersedu-sedu. "Apa yang terjadi sebenarnya?" tuntut Keelan, matanya sibuk mencari keberadaan istrinya."Istrimu benar-benar gila," geram Rossie. Dia melepaskan pelukannya, dan menatap Keelan dengan mata bercucuran. "Dia sengaja mendorongku ke jalan saat ada mobil yang lewat.""Sekarang Chaterine ada di mana?" tuntut Keelan tidak sabaran."Dia sedang berada di ruang operasi sekarang. Dokter berusaha menyelamatkannya karena dia kehilangan banyak darah," jawab Rossie menjelaskan.Keelan mengernyit. Ada kejanggalan dari cerita Rossie. Bila benar Caitlin mendorong Rossie ke jalan seperti cerita sebelumnya, bukankah seharusnya neneknya yang berada di ruang operasi sana?"Aku ingin melihatnya sekarang." Keelan mendorong Rossie menjauh. "Istrimu berada di tanga
“Coba jelaskan tentang lelucon ini.” Keelan melangkah maju mendekati Caitlin dengan kedua mata merah menyala. Kedua tangannya terkepal di samping tubuhnya. Bila tidak ingat Caitlin adalah seorang Wanita, dia pasti telah melayangkan pukulan tepat ke wajah istrinya. Sekuat tenaga di mencoba menahan amarahnya yang telah meletup=letup di puncak kepala. “Menjelaskan tentang apa?” tanya Caitlin dengan wajah polos tidak berdosa. Sorot matanya bingung saat menatap Keelan. “Dokter bilang kau mengalami luka serius. Tapi sekarang, kau ….” Kata-kata Keelan menggantung karena suaranya tercekat di tenggorokannya. “Aku barus aja terbangun setelah dari meja operasi. Bisa-bisanya kau menuduhku yang bukan-bukan.” Caitlin mendengus kesal, lalu menundukkan kepalanya. Nyeri di kepala Caitlin muncul lagi, dan dia tidak sanggup menahan rasa sakit itu. Caitlin mengerang sambil memegang kepalanya. Air matanya pun ikut berjatuhan. “Aku tidak akan terkecoh dengan sandiwaramu ini,” ucap Keelan ketus
"Benarkah Chaterine meninggal?" Caitlin Crews menatap laki-laki berwajah dingin di depannya dengan mata berkaca-kaca. Laki-laki itu adalah Keelan Bennet, suami kembarannya. Kabar yang baru saja dia terima berhasil membuatnya seperti terjungkal ke dasar tanah dan kesulitan untuk mengambil napas. "Begitulah yang aku dengar dari salah satu anak buahku," balas Keelan santai. Tidak terlihat tanda-tanda kesedihan di wajahnya. "Kau pasti berbohong. Lima menit yang lalu aku baru saja berbicara dengannya melalui sambungan telepon. "Dan kau harus tahu kabar selanjutnya bahwa dia mengalami kecelakaan saat bersama kekasih gelapnya." Keelan sengaja menekan kata kekasih gelap. "Aku sangat yakin kau terlibat dalam kejadian itu," tuduh Caitlin terang-terangan. "Aku tidak mungkin melakukan tindakan kotor seperti itu." Keelan menarik tangan Caitlin kasar, dan menggenggam pergelangan tangannya erat. Matanya menyala saat menatap Caitlin. "Sebaiknya kau tarik kata-katamu itu," pungkasnya sengit. "Ak