"Benarkah Chaterine meninggal?"
Caitlin Crews menatap laki-laki berwajah dingin di depannya dengan mata berkaca-kaca. Laki-laki itu adalah Keelan Bennet, suami kembarannya. Kabar yang baru saja dia terima berhasil membuatnya seperti terjungkal ke dasar tanah dan kesulitan untuk mengambil napas. "Begitulah yang aku dengar dari salah satu anak buahku," balas Keelan santai. Tidak terlihat tanda-tanda kesedihan di wajahnya. "Kau pasti berbohong. Lima menit yang lalu aku baru saja berbicara dengannya melalui sambungan telepon. "Dan kau harus tahu kabar selanjutnya bahwa dia mengalami kecelakaan saat bersama kekasih gelapnya." Keelan sengaja menekan kata kekasih gelap. "Aku sangat yakin kau terlibat dalam kejadian itu," tuduh Caitlin terang-terangan. "Aku tidak mungkin melakukan tindakan kotor seperti itu." Keelan menarik tangan Caitlin kasar, dan menggenggam pergelangan tangannya erat. Matanya menyala saat menatap Caitlin. "Sebaiknya kau tarik kata-katamu itu," pungkasnya sengit. "Aku hanya ...." “Hentikan .... Kau harus menikah denganku, dan berpura-pura menjadi Chaterine,” ucap Keelan. Kalimat itu akhirnya berhasil keluar dari mulutnya. Ide yang tiba-tiba muncul di benaknya, tanpa banyak pertimbangan. Caitlin menatap nanar pada laki-laki berwajah tampan sekaligus angkuh yang duduk di hadapannya. Dia menelan ludahnya yang terasa pahit. Selama beberapa detik otaknya membeku, membuat dia kesulitan untuk berbicara. “Kau pasti bercanda,” gumam Caitlin sambil mengulas senyum kecut setelah berhasil mengusir keterkejutannya. Caitlin mengamati bibir laki-laki itu. Lalu alisnya terngkat. Tidak ada tawa dalam mata Keelan. “Tentu saja aku serius dengan ucapanku,” timpal Keelan dengan raut wajah kaku. “Atau kau mau masuk penjara. Pilihanmu hanya itu.” Dia mengeluarkan seringai licik tanpa ampun. Mata Caitlin melebar seketika. “Aku tidak mungkin masuk penjara hanya karena menolak menikah denganmu. Dasar laki-laki sinting.” Caitlin membetulkan posisi duduknya. Tiba-tiba dia merasa kepanasan padahal ruangan ini memiliki pendingin udara yang menyala dengan suhu rendah. “Aku akan menuntutmu atas penipuan dan persekongkolan yang telah kau lakukan bersama Catherine beberapa bulan terakhir,” lanjut Keelan tanpa mengedipkan matanya. Caitlin seketika berdiri dari kursinya. Matanya menatap nanar pada Keelan. Bibirnya terbuka, lalu menutup Kembali. “Semua orang yang ada di sini tahu aku tidak seperti yang kau tuduhkan barusan.” Dia menggelengkan kepalanya, lalu melangkah menjauhi Keelan. Kedua lengannya memeluk tubuhnya, sebagai bentuk pertahan diri saat dirinya merasa terdesak. “Aku yakin mereka akan menertawakan kata-katamu itu,” ucap Keelan sinis. “Kalau bukan penipuan, lantas aku harus menyebut apa saat kau berpura-pura menjadi Chaterine dan berada di rumah ini, sementara dia menikmati liburannya bersama kekasih gelapnya?” Mata Caitlin langsung terpejam. Kulitnya memucat. Lidahnya terasa kelu. Rasa bersalahnya seolah bisa dilihat dengan jelas. Memang benar dia telah menggantikan posisi Chaterine di rumah ini saat saudari kembarnya itu pergi entah ke mana. Tapi dia melakukan semua itu karena terpaksa. Caitlin tidak mungkin memberi tahu Keelan alasan sebenarnya dia berpura-pura menjadi Catherine. “Dengan diammu maka kau membenarkan tuduhanku.” Caitlin mendengar Keelan berbicara lagi, menyudutkannya ke tepian jurang yang tidak mungkin dapat dia hindari. “Tetap saja kau tidak bisa memaksaku untuk menikah denganmu. Aku sama sekali tidak memiliki keinginan yang sama sepertimu.” Keelan mendengus kesal. “Kau pikir aku benar-benar ingin menikahimu?” Matanya yang biru menatap tajam pada Caitlin. “Kalau bukan karena ulah Chaterine, aku tidak akan sudi menikah denganmu.” Caitlin melepaskan pelukannya. “Kau bisa mengurungkan niatmu itu. Aku berjanji akan menghilang dari kehidupanmu, selamanya,” tegasnya dengan ekspresi memohon. Keelan mengerang tertahan. Lalu dia bangkit dari kursinya, dan menghampiri Caitlin dengan Langkah cepat. Dia menarik tangan Caitlin hingga tubuh wanita itu membentur dadanya. “Setelah itu bersediakah kau membayar semua kerugian yang ditimbulkan olehmu dan saudaramu itu?” Keelan melancarkan sorot menantang pada Caitlin. Caitlin langsung kehilangan kata-kata begitu mendengar ucapan Keelan. Harapannya pupus sebelum sempat berkembang. Sepertinya dia tidak bisa melepaskan diri dari Keelan begitu saja. Ada harga yang harus dia bayar. “Aku tidak tahu apa yang kau ucapkan,” jawab Caitlin lalu memalingkan wajahnya, menghindari tatapan Keelan yang mematikan. “Skandal perselingkuhan Catherine menyebabkan nilai saham perusahaanku menurun tajam. Aku harus bekerja keras untuk menstabilkannya.” Keelan meraih pergelangan tangan Caitlin, dan mencengkeramnya erat, membuat Caitlin meringis kesakitan. “Aku tidak ingin membuat perusahaan yang telah kubangun dengan susah payah hancur karena ulah kalian,” bisiknya tepat di leher Caitlin. Wanita itu bergidik ngeri. Keelan tersenyum senang melihat reaksi Caitlin. Caitlin mendorong Keelan menjauh. Dia menarik napas panjang. Rasanya dia akan pingsan bila terus berada di ruangan ini. Tanpa memandang Keelan, kakinya melangkah gontai melewati pintu yang terbuka. "Kau mau ke mana?" gertak Keelan saat Caitlin berjalan melewatinya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Caitlin bergeming. Pandangan matanya kosong. Dia seolah tidak mendengar suara Keelan. Kakinya terus melangkah, melewati lorong rumah yang sepi. "Caitlin ...." Keelan menarik Caitlin, dan mencengkeram pergelangan tangan wanita itu erat. Caitlin tersentak kaget. Kesadarannya langsung kembali. Lalu dia meringis kesakitan saat merasakan kuku jari Keelan menusuk kulit tangannya. "Lepaskan tanganku," pinta Caitlin lirih. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi. Aku belum selesai," balas Keelan ketus. "Aku harus pergi sekarang. Kau tidak bisa memaksakan kehendakmu padaku," ucap Caitlin tanpa berani menatap Keelan. Keelan semakin mempererat cengkramannya. Kalau bukan demi perusahaan dan bisnis yang telah dia rintis dengan keringat serta darah yang sekarang diambang kehancuran, dirinya tidak sudi melakukan tindakan bodoh seperti ini. Dengan suka rela dia akan membiarkan wanita ini pergi jauh dari kehidupannya. "Jangan bermain-main denganku," geram Keelan. "Aku ...." Keelan tidak membiarkan Caitlin menyelesaikan kalimatnya. Dia mendorong Caitlin hingga tubuh wanita itu membentur dinding. Dia memegang pundak Caitlin, menguncinya agar tetap diam di tempat. Lalu kepalanya bergerak, mendekati wajah Caitlin. Salah satu tangannya terangkat, dan membelai pipi Caitlin yang sehalus sutra. "Aku mohon ...." Suara Caitlin tersendat di tenggorokan. "Kau menginginkan ini, bukan?" Keelan mulai mencium Caitlin. Mula-mula berupa sentuhan ringan di bibir ranum milik Caitlin. Rasanya begitu manis dan memabukkan. Dia tidak pernah mendapatkan rasa seperti ini sebelumnya, bahkan saat dia mencium mendiang istrinya. Caitlin menggerakkan kepalanya, berusaha menghindari ciuman Keelan. "Aku tidak menginginkan ini," ucap Caitlin dengan berani, lalu mendorong Keelan menjauh. Napasnya memburu. Amarahnya menggelegak karena Keelan telah berni menyentuhnya. "Jangan bohong. Aku selalu melihat sorot mendamba yang terpancar di matamu saat kau diam-diam menatapku," ejek Keelan sambil menelusuri wajah Caitlin dengan jarinya. Lalu dia berhenti di bibir Caitlin kembali. "Tidak .... Kau salah." Keelan tidak membiarkan Caitlin berbicara lebih banyak lagi. Dia melancarkan serangan yang kedua. Kali ini dia mencium Caitlin dengan brutal. Keelan mendesak Caitlin untuk membalas ciumannya. Sementara tangannya mulai menyentuh dada Caitlin, menggodanya dan membuat wanita itu merintih pelan. "Aku sama sekali tidak pernah salah," ucap Keelan setelah menarik kepalanya. Jarinya menyentuh bibir Caitlin yang sedikit membengkak dan bergetar. Matanya menatap lurus wajah Caitlin. Keelan lalu menyunggingkan senyum lebar. Dia merasa sangat puas dengan reaksi wanita itu atas tindakannya beberapa saat yang lalu. Ini baru permulaan, batinnya. Caitlin merasa sangat tidak berdaya. Tubuhnya gemetar hebat, dan hampir limbung ke bawah. Tatapan matanya kosong. "Biarkan aku pergi," pinta Caitlin dengan suara serak. Dia lalu memberanikan diri menatap wajah angkuh Keelan. Kedua matanya memanas, dan dia mencoba menahan agar air matanya tidak tumpah. Perasaannya campur aduk. Marah, muak, juga sedih bercampur menjadi satu. Dia tidak pernah menyangka akan mendapatkan perlakukan kotor dari Keelan Jari telunjuk Keelan mengangkat dagu Caitlin. "Cukup untuk hari ini. Kau bisa kembali ke kamarmu." Setelah mengatakan itu Keelan mundur beberapa langkah, memberi jalan pada Caitlin untuk meninggalkan dirinya. Caitlin berjalan melewati jalan setapak yang hanya diterangi lampu berpencahayaan rendah menuju paviliun tempat dia menginap di kediaman Keelan. Dia terpaksa tinggal di sana satu hari setelah saudaranya meninggal karena perintah Keelan. Caitlin menyadari sejak hari itu hidupnya tidak akan pernah sama seperti sebelumnya. "Mulai sekarang kau akan tinggal di sini. Tentunya dalam pengawasan anak buahku," ucap Keelan dua hari yang lalu. "Aku tidak mau," protes Caitlin. "Aku tidak meminta persetujuanmu." Lalu Keelan menarik Caitlin agar ikut dengannya, dan membawanya masuk ke dalam paviliun ini. Caitlin mengerjapkan matanya. Kembali ke masa kini. Sekarang dia merasa seperti di dalam penjara. Hidupnya tidak sebebas dulu. Dia harus mencari cara agar bisa meninggalkan tempat ini secepatnya. Tiba-tiba mata Caitlin menangkap sesuatu yang mencurigakan di dinding dekat pavilliun itu. Dipenuhi rasa penasaran yang tinggi, dia bergegas menghampiri tempat itu. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan tidak ada orang yang melihatnya. Tapi, belum sempat dia mencapai tempat itu, dia mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya. Bergegas Caitlin mengayun langkah, lalu masuk ke dalam pavilliun dengan jantung yang berdebar-debar. Keesokan harinya. Keelan tengah memeriksa beberapa berkas di ruangan kantornya saat asisten pribadinya masuk ke dalam sana dengan wajah memerah dan pucat. Dia langsung menghentikan aktivitasnya, dan menatap lurus ke arah pemuda yang berdiri tegak di hadapannya. "Sebaiknya kau mengatakan sesuatu yang penting atau dirimu akan menyesal karena telah mengganggu pekerjaanku," sergah Keelan dengan tatapan tajam mematikan. "Dia berhasil melarikan diri," ucap pemuda itu cepat. "Siapa yang kau maksud?" Pemuda itu menelan ludahnya, lalu melanjutkan kata-katanya. "Caitlin melarikan diri dari paviliun setengah jam yang lalu.""Sial ..." Keelan mengumpat dengan wajah yang terlihat gusar. Matanya menatap tajam pada asistennya yang terlihat sedikit ketakutan. Sama sekali dia tidak pernah menyangka Caitlin mampu kabur dari kediamannya. Padahal dia telah meminta tim kemanannya untuk berjaga di sana dan tidak membiarkan wanita itu pergi dari rumahnya. "Kalian harus menemukan dia. Bagaimana pun caranya," perintah Keelan sambil menggeretakkan gigi dan tangannya terkepal di atas meja. Pemuda itu membungkuk singkat, lalu bergegas pergi dari ruangan Keelan. Sebisa mungkin dia harus segera menghilang dari hadapan atasannya karena saat ini suasana hati Keelan sangat buruk. Tentunya setelah mendengar berita kepergian Caitlin dari rumahnya. Setelah itu sepanjang hari Keelan tidak berkonsentrasi pada pekerjaannya. Dia meminta sekretarisnya untuk membatalkan semua jadwalnya hari ini. Berkali-kali dia melihat jam. Rasanya waktu seakan lambat berputar. Dering telepon yang sangat keras membuat Keelan tersentak. Tangannya
"Besok kita akan melangsungkan upacara pernikahan di New York."Tubuh Caitlin langsung membeku begitu mendengar suara Keelan. Karena melamun, dia tidak menyadari Keelan telah berada di kamarnya. Pelan-pelan dia memutar tubuhnya, dan mengangkat kepalanya. Matanya menatap tubuh Keelan yang menjulang tinggi di hadapannya, lalu dia berhenti tepat saat pandangan mereka saling bertemu."Siapa yang bilang aku mau menikah denganmu?" Caitlin pikir Keelan akan membatalkan niatnya saat mengetahui dia terus menolak perintah itu."Aku tidak pernah meminta persetujuanmu. Ini perintah," tegas Keelan sambil menggeretakkan giginya. "Ingatlah kau harus membayar hutangmu padaku.""Kau ...." Suara Caitlin tertahan di tenggorokan. Dia merasakan kedua matanya memanas. "Aku tidak ingin menikah denganmu.""Semua perlengkapanmu sudah ada di apartemenku. Bersiaplah karena kita berangkat pagi-pagi," balas Keelan seolah tidak peduli dengan pertanyaan Caitlin. Setelah itu dia memutar tubuhnya, dan melangkah menuj
"Apa ini?" Caitlin bertanya sekali lagi karena Keelan tidak segera memberinya jawaban. "Kau bisa melihatnya sendiri," jawab Keelan ringan. Penasaran dengan isinya, Caitlin langsung membuka amplop itu. Selama beberapa detik otaknya membeku saat dia menemukan dua lembar kertas dari dalam amplop. Pelan-pelan dia membaca deretan kalimat yang tertera di sana. "Bisakah kau menjelaskan maksud dari surat ini?" Caitlin menuntut seraya mengernyitkan keningnya. "Itu adalah surat kontrak pernikahan kita yang telah aku siapkan sedari awal," terang Keelan. "Seperti yang kau baca, kita akan terikat dalam pernikahan selama enam bulan," lanjutnya. "Aku tidak membutuhkan kontrak ini. Kita bisa bercerai kapan saja kau mau." Lebih cepat lebih baik, batin Caitlin. Dengan begitu dia bisa bebas, dan segera menjauh dari kehidupan Keelan. "Aku tidak mungkin melakukannya. Hidup adikku dipertaruhkan di sini." "Katakan yang sejujurnya. Sejak tadi kau berbicara berputar-butar," tukas Caitlin sengit
“Kau ….”Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir Caitlin. Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ingin Caitlin ajukan pada laki-laki itu, tapi dia tidak sanggup melakukannya. Caitlin masih syok dan tidak tahu siapa yang dia hadapi sekarang.“Kau pasti tidak menyangka aku bisa menemukanmu di sini,” ucap laki-laki itu dengan senyum mengejek. Dia berjalan cepat, dan memperpendek jarak di antara mereka.Caitlin mundur selangkah. Matanya nanar menatap ke seluruh penjuru arah, mencoba mencari cara untuk meninggalkan tempat ini. Ternyata tidak ada yang bisa dia lakukan. Laki-laki itu seolah mengerti jalan pikirannya, dan sengaja menutup akses untuk dia kabur."Jangan mendekat!" teriak Caitlin. Sayangnya suaranya terdengar seperti lolongan tikus kecil yang tengah menghadapi kematiannya."Saat ini kau tidak perlu berpura-pura. Di sini tidak ada siapa-siapa selain kita berdua," tukas laki-laki itu, lalu dalam gerakan cepat dia meraih pergelangan tangan Caitlin dan memegangnya erat.Otak Cait
Keelan berjalan mondar mandir di ruang kerjanya. Dia menduga akan timbul masalah besar tidak lama lagi. Dia bisa memastikan kejadian beberapa jam yang lalu akan tersebar ke mana-mana. Setiap gerak-geriknya, juga keluarganya akan selalu menjadi sasaran empuk para wartawan hingga menjadi tajuk berita yang terpampang di halaman pertama tabloid-tabloid nasional maupun internasional. Dering ponselnya berhasil menghentikan gerakan kakinya. Dalam gerakan cepat dia menyambar benda pipih itu yang tergeltak di atas meja. Dari layar ponselnya dia bisa melihat identitas si penelepon, siapa lagi kalau bukan asiten pribadinya."Jangan menghubungiku kalau ini tidak penting," gerutu Keelan tanpa basa-basi."Kami berhasil membungkam media-media itu sebelum berita tentang pertemuan istri Anda bersama laki-laki itu beredar besok pagi," ucap si asiten dengan nada meyakinkan."Kerja bagus. Aku tahu kalian tidak akan pernah mengecewakan aku," puji Keelan terang-terangan. "Apa kau tahu di mana laki-laki it
"Keelan ...."Tanpa sadar Caitlin memanggil suaminya. Tangannya meraba kasur di sebelahnya yang kosong dan dingin. Setelah menyadari ketidakhadiran Keelan di sana, kedua mata Caitlin terbuka lebar. Ternyata Keelan meninggalkan kamarnya, dan membiarkan dia sendirian. Mungkin Keelan beranjak dari kamarnya saat dia terlelap usai percintaan panas mereka semalam.Entah kenapa Caitlin mendadak merasa hampa. Rasanya ada sesuatu yang hilang dari dalam dirinya, tapi dia sulit menggambarkannya dengan jelas. Satu menit kemudian dia bergegas menghalau perasaan itu. Apa yang dia harapkan dari Keelan? Cinta? Itu mustahil terjadi karena Keelan sangat membencinya. Percintaan mereka semalam hanya dilandasi oleh nafsu. Tidak lebih dari itu.Caitlin tidak ingin berlama-lama termenung dan terlalu larut dalam perasaannya. Dia segera melompat turun dari tempat tidur, lalu masuk ke kamar mandi. Sebentar lagi mereka akan kembali ke London. Jadi, dia tidak ingin membuat Keelan kesal menunggunya."Selamat pagi
"Kita tidak bisa menghindari mereka lagi." Keelan bergumam pelan. Lalu dia menatap Caitlin selama beberapa saat. Dia menarik tangan Caitlin, dan menautkan jari-jari mereka berdua. "Kita bisa menghadapi ini bersama-sama," ucap Keelan mantap. Dia mulai mengayun langkah, dan menarik Caitlin agar berjalan mengikutinya. Mereka berjalan beriringan. Saat mencapai pintu keluar bandara, Keelan meminta Caitlin dan beberapa tim keamanannya untuk berhenti sejenak. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum menghadapi kerumunan wartawan yang telah menunggu mereka. Kemudian mereka mulai berjalan kembali dan dikelilingi beberapa orang laki-laki yang memakai setelan rapi. Keelan menundukkan kepalanya, menghindar dari beberapa mic yang diulurkan padanya. Para wartawan itu menghujaninya dengan banyak pertanyaan seperti dengungan lebah yang memekakkan telinga. Suasananya sangat kacau dan tidak terkendali. Caitlin merasa takut, dan dia ingin menangis saat ini juga. Dia merasa se
“Apa kabar, Abby? Lama kita tidak bertemu.” Caitlin maju beberapa langkah sampai berada tepat di hadapan Abby. Dia lalu memeluk adik iparnya dengan erat. Hanya sebentar. Dia enggan berlama-lama memeluk Abby karena belum terlalu mengenal adik iparnya itu. Abby mendorong Caitlin. Secara terang-terangan dia menunjukkan rasa tidak sukanya pada istri kakaknya. Sejak dulu, dan perasaan itu tidak pernah berubah. Seiring dengan terbukanya sifat asli kakak iparnya yang penuh kepalsuan. “Hentikan sandiwaramu. Aku tidak seperti Keelan yang mudah kau bohongi selama ini,” seru Abby dengan mata memerah. Entah kenapa Caitlin merasa terluka akibat perkataan Abby barusan. Seharusnya dia tidak merasa sakit hati karena kata-kata itu sebenarnya ditujukan pada Chaterine. Atau mungkin perasaannya yang terlalu sensitif. "Aku harap ke depannya kita bisa berteman dengan baik. Rasanya pasti menyenangkan bila itu terjadi," balas Caitlin setenang mungkin. Abby melebarkan matanya, lalu tersenyum sinis.