"ALICE! ALICE!" Laura datang ke kediaman utama dan berteriak-teriak memanggil Alice. "Nyonya, Nyonya Alice masih tidur. Tuan Gavin tadi sebelum berangkat berpesan kepada kami untuk tidak mengganggunya. Kalau Nyonya berteriak-teriak seperti itu, Nyonya Alice nanti terbangun." Weni mencoba menghalangi Laura yang akan naik ke tangga menuju ke kamar Tuannya. "PERSETAN DENGAN KALIAN SEMUA! ALICE! TURUN KAMU!" Laura masih berteriak dengan marah. Alice yang masih tertidur di kamar, terbangun mendengar suara Laura. "Ugh, siapa itu? Mengganggu saja." Alice mencoba mencari kesadarannya untuk segera bangun dengan meregangkan tubuh dan menggosok-gosok kedua matanya. Ketika dia turun dari tempat tidur, dan menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, Alice merasakan tubuhnya kedinginan. "Astaga!" Alice lupa jika dia sekarang tidak mengenakan apapun. Alice segera menuju ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya dan menggunakan pakaian. Di depan wastafel dia memandangi keseluruhan dirinya deng
Laura berlari dengan cepat, bagaimanapun dia tidak ingin berakhir di penjara. Apalagi Selena juga terlibat hari itu. Laura tidak ingin masa depan putrinya terancam. Laura masuk ke dalam mobilnya dan memerintahkan supirnya, "Kita ke rumah Gerard. Cepat!" Dalam 5 menit, Laura sampai ke rumah Gerard. Dia masuk ke dalam rumah dan menemukan Gerard saat ini sedang berada di ruang tamu bersama dengan tiga orang pria. Yang seorang adalah Mario Aldimor, sedangkan kedua pria lainnya, dia tidak mengenalnya. Yang satu berbadan besar dan berotot. Yang lainnya seorang pria bertinggi badan sekitar 178 sentimeter, tubuhnya tidak gemuk dan juga tidak kurus. "Gerard..hiks..hiks.." Laura mengadu dan menangis kepada Gerard. "Ada apa denganmu, Laura? Kenapa dengan wajahmu?" Gerard sedih melihat wajah Laura yang sangat merah, sepertinya bekas tamparan. "Alice memukulku." "Apa? Akan aku beri pelajaran dia." Gerard hendak pergi, namun Laura segera menahannya. "Jangan Gerard, dia mempunyai bukti pe
"Emm, Alice.." "Hmmm, ada apa?" tanya Alice yang saat ini sedang mengeringkan rambutnya di depan meja rias, dia menatap pantulan Gavin di kaca meja. Gavin saat ini sedang di tempat tidur sambil membaca buku. "Seandainya aku mengajakmu pergi ke Thurad dan kita berlibur ke wahana bermain, apa kamu mau?" Gavin bertanya dengan ragu. "Benarkah? Kapan? Aku ingin sekali pergi ke sana. Aku melihatnya di televisi sepertinya wahana itu bagus sekali." Alice nampak bersemangat. "Kamu..apa baik-baik saja jika kita pergi ke sana? Apa kamu tidak merasa takut atau trauma?" Gavin khawatir Alice masih merasa trauma setelah kejadian terakhir kali. Biasanya orang yang mengalami kejadian mengerikan seperti Alice, pasti akan trauma pergi ke tempat dimana dia mengalaminya. "Takut? Trauma? Tidak. Aku baik-baik saja." Alice tersenyum dengan lebar. "Betulkah? Mari kita berangkat lusa. Bagaimana?" "Aku mau. Senang sekali. Thurad adalah tempat yang sangat indah." Alice telah selesai mengeringkan rambutnya
Di meja makan, Alice sarapan dengan malas. Dia menyuap makanan ke dalam mulutnya dengan perlahan dan tanpa semangat. Setelah Gavin memarahinya karena memakan pil kontrasepsi itu, dia pergi keluar dan belum kembali hingga sekarang. "Kenapa memangnya kalau belum mau punya anak? Hanya menunda beberapa waktu, apa dia begitu kolot? Huh!" Alice mengomel-ngomel sendiri sambil mengunyah makanannya. Ketika Weni datang dan memberikan segelas susu untuknya, Alice bertanya. "Weni, apa Gavin memberitahumu dia pergi kemana?" "Tidak, Nyonya. Tuan cuma bilang, dia langsung pergi ke kantor dan tidak perlu membuatkan sarapan untuknya." "Oke, terimakasih Weni." Alice beranjak pergi dari meja makan menuju ke garasi rumah. Weni melihatnya akan pergi, buru-buru menyusulnya dan bertanya. "Nyonya, mau pergi kemana? Maaf, siapa tahu tuan nanti bertanya ketika pulang." "Bilang saja aku pergi ke Dojo," jawab Alice kemudian masuk ke garasi dan mengambil mobil yang biasa dipakai Elisa sebelumnya.
"Aku bilang LEPASKAN!" Gavin memberikan penekanan lebih keras di akhir kalimatnya. Mario yang sempat terpana melihat mata Alice dan menghirup aroma dari tubuhnya, melepaskan Alice dan berdiri dari tempatnya. Gavin mendekat dan menjulurkan tangannya untuk membantu Alice berdiri. "Maaf, aku hanya mengajarkan beberapa trik bela diri kepadanya." Mario memasang raut wajah tidak bersalah. Gavin menatap tajam ke arahnya, "Aku pikir, Alice mulai besok tidak perlu kemari lagi untuk berlatih. Aku sendiri yang akan mengajarinya." "Gavin, apa kamu melarang Alice berlatih karena cemburu?" Mario tiba-tiba berkata. "Aku bukan cemburu, tapi menjaga istriku. Sebaiknya kamu tidak menggoda wanita yang sudah bersuami." "Ya, kamu harus menjaganya. Di luar dia bisa dengan mudah mendapatkan penggemarnya." Kali ini komentar Mario terdengar aneh, seperti sengaja memancing kemarahan Gavin. "Kamu?! Apa maksud perkataanmu?" Gavin hampir tidak bisa mengendalikan emosinya. "Sudahlah Gavin, ayo kita pulang
"Woah, ini menyenangkan!" seru Alice sambil menikmati makan siangnya di dek kapal. "Menyenangkan kan?" Gavin tersenyum melihat Alice yang begitu senang. Alice menganggukan kepalanya, tanda setuju. "Tapi perjalanan kita tidak memakan waktu yang lama, kurang lebih hanya 12 jam berlayar, aku harap kamu tidak kecewa." "Kenapa kecewa? Ini adalah perjalanan yang indah. Kita bisa melihat pegunungan Kurst yang membentang dari Albain ke Thurad, sangat cantik." Gavin sengaja mengajak Alice berlayar dari tengah malam, agar bisa melihat pemandangan sepanjang perjalanan ketika mereka hampir sampai di Thurad. Mereka akan segera sampai di Thurad sekitar 2 jam lagi. Alice dan Gavin sedang menikmati makan siangnya di dek kapal, meskipun panas terik, tapi hembusan angin laut sangat menyegarkan. "Katakan, apa rencanamu setelah nanti sampai di Thurad?" "Aku ingin memanggang makanan laut di villa. Terakhir kali kita belum sempat melakukannya. Oh, tapi sebelum itu kita akan berbelanja di p
"Aku kenyang sekali!" Alice melihat dan menepuk-nepuk perutnya yang membuncit karena terlalu banyak makan. "Sayang, kamu malam ini makan banyak sekali." Gavin tertawa dan mengelengkan kepalanya melihat piring-piring di meja yang hampir semuanya bersih, tanpa ada makanan yang tersisa. "Makanan laut memang paling pas dimakan di pinggir pantai seperti ini, Gavin. Aku sudah lama tidak bersantai di tepi pantai sambil memakan makanan laut. Terakhir kali, mungkin sekitar 15 tahun yang lalu, bersama ayah dan ibuku." Alice mengenang masa lalu sambil menyeruput bir kaleng yang dipegangnya. Gavin memandang wajah Alice yang tampak sangat ceria dan bahagia. Hal kecil seperti ini bisa membuatnya tersenyum seharian. Wajahnya terlihat semakin cantik dihiasi senyuman. "Alice, kamu sudah meminum 2 kaleng bir, itu kaleng minuman yang ketiga. Sudah cukup. Kamu bisa mabuk kalau minum terlalu banyak." Gavin mengambil kaleng-kaleng bir yang belum terbuka di atas meja dan membawanya ke dalam villa aga
"Bos, kami sudah menyingkirkan penembak jitu itu. Dia sepertinya mengincar Gavin Welbert." Henry melaporkan kejadian malam tadi kepada Alice."Bagus. Apa kalian juga mendapatkan bukti-bukti yang berkaitan dengan orang yang memerintahkan dia?" tanya Alice sambil berbisik di kamar mandi."Penembak jitu itu bernama Sams Bernard. Dia sepertinya berhubungan dengan Gerard Welbert. Kami melacak sinyal dan id asal penelpon yang berhubungan dengan penembak jitu itu terakhir kali.""Terimakasih Henry. Kerja yang bagus!" Alice menutup panggilan teleponnya dan segera turun menuju lantai bawah. Alice berjalan perlahan menuruni anak tangga, kemudian menuju ruang keluarga. Saat ini adalah waktu untuk menikmati teh bersama. "Ditemukan mayat seorang pria mengapung di perairan Thurad hari ini. Mayat tersebut masih di selidiki identitasnya. Dan akan dilakukan visum untuk mengetahui penyebab kematiannya." Terdengar laporan dari pembaca berita di televisi. Alice kemudian duduk di sofa santai dan mengam