"Tiga hari? Apa kau sedang bercanda?"Adriana menggeleng cepat. Sebelumnya dia sudah menduga Daren akan bereaksi seperti ini. Tapi, dia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi protes dari Daren."Aku sama sekali tidak bercanda. Aku tidak mungkin berlama-lama menjadi istri pura-puramu," sergah Adriana putus asa. "Rasanya sangat berat. Terlebih karena aku harus berbohong dengan nenekmu."Daren menggertakkan giginya. "Aku tidak pernah menduga kau akan mengatakan itu padaku," ucap Daren sulit percaya dengan permintaan Adriana. "Aku bahkan tidak mengetahui berapa lama nenekku akan tinggal di sini."Adriana mengangkat bahunya acuh tak acuh. Dia menatap Daren dengan sorot menantang. Kali ini dia tidak akan membiarkan Daren mengembalikan dirinya seenaknya. Mulai sekarang dia akan menentukan semua keputusan yang harus dia ambil."Terserah padamu. Kau setuju atau pun tidak, keputusanku tetap sama."Daren langsung menutup mulutnya rapat. Dia tidak ingin bertindak gegabah karena semua ini menyan
Adriana tengah berdiri di depan jendela kamar itu sambil menatap ke arah gedung di seberang sana. Lampu-lampu jalan di bawah sana telah menyala dan memberi kesan keindahan malam yang syahdu. Kotak beledu berisi kalung berlian pemberian nenek Daren masih teronggok di atas kasur. Dia belum menyentuhnya lagi karena dia merasa tidak pantas untuk menerimanya."Apa yang kau lakukan?"Adriana menoleh sebentar saat Daren masuk ke kamar itu. Daren baru saja pulang dari kantor dan belum sempat berganti pakaian. Dia melepaskan ikatan dasinya yang melilit lehernya, lalu melemparnya begitu saja di atas kursi."Hanya melihat ke arah luar," jawab Adriana pelan. Daren melihat punggung Adriana yang tegang. Tanpa Adriana bercerita, dia tahu Adriana tengah memikirkan sesuatu. Sesuatu yang sangat mengusik pikiran Adriana.“Aku sangat mengenal dirimu. Kau tidak mudah berbohong.” Daren mendekati Adriana, lalu memeluk pinggang Adriana sambal meletakkan dagunya di bahu Adriana.Adriana menarik napas panjang
"Selamat pagi," sapa Adriana pada Airin yang tengah menggambar sketsa di ruang tamu butik.Airin mengangkat kepalanya, lalu menghentikan pekerjaannya. "Selamat pagi," balas Airin sambil menatap Adriana lurus. Airin memicingkan matanya, menangkap sekelabat bayangan hitam yang sempat muncul di wajah Adriana. Sahabatnya itu memang tersenyum kepadanya. Tapi dia menyadari Adriana menggunakan senyum itu untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.Adriana menghempaskan tubuhnya di sofa dengan anggun. "Maafkan aku karena kemarin terlambat memberi tahumu aku tidak bisa masuk kerja," ucap Adriana penuh dengan ras bersalah."Tidak apa-apa. Apakah ada masalah yang sedang kau hadapi?"Adriana menggigit bibir bawahnya, dan memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan Airin yang penuh selidik. "Nenek Daren datang dari Hongkong. Aku harus tinggal di apartemen Daren selama neneknya tinggal di sini.""Hah?" Airin menjatuhkan pensilnya di atas meja. Matanya membulat, lalu tangannya meraih tanga
"Kau menyakitiku," desis Adriana dengan sorot mata terluka. Sebutir kristal bening jatuh dari ujung matanya, lalu mengenai sofa.Daren mengangkat tubuhnya menjauh dari Adriana. Dia bisa menangkap kebencian yang Adriana rasakan padanya. Mungkin sikapnya kali ini benar-benar telah keterlaluan dan di luar kendali. Seharusnya dia bisa menahan diri untuk tidak melampiaskan kekesalannya pada Adriana.Bukan salah Adriana bila neneknya kecewa karena tidak ada orang yang menemaninya setelah jauh-jauh datang ke sini. Neneknya pasti menginginkan kunjungannya ini akan disambut dengan hati terbuka oleh dirinya. Bila disuruh memilih, neneknya pasti lebih memilih untuk tidak datang ke Indonesia bila akhirnya cucu dan cucu menantunya lebih mementingkan pekerjaannya.Yang pasti, ini memang salahnya bila dia terlalu berharap pada Adriana untuk bisa meluangkan waktunya dan meninggalkan pekerjaannya demi neneknya. Seharusnya dia tahu bahwa Adriana tidak mungkin pura-pura berperan menjadi istrinya. Dan pa
"Ada apa?" tanya nenek Daren seakan merasakan ketegangan yang melingkupi diri Adriana. Dia meraba-raba mencari tangan Adrian. Setelah menemukannya, nenek menggenggam tangan Adriana erat."Tidak ada apa-apa, Nek," jawab Adriana berbohong.Adriana menghadap ke depan kembali sambil menghitung dalam hati. Sebentar lagi dia akan berhadapan dengan wanita itu. Entah kenapa rasa sakit yang dulu sudah dia lupakan kini hadir kembali bersamaan dengan kemunculan wanita itu. Ibu kandungnya yang telah mencampakkan dia sejak usia dua tahun.Setelah ayahnya meninggal Adriana sempat menemui ibunya saat lulus SMA, tapi dia mendapat perlakuan yang sangat buruk. Ibunya langsung mengusir dia tanpa belas kasihan. Seolah Adriana adalah sampah busuk yang harus dihindari."Kau ...." Wanita itu, Ambar, menunjuk Adriana dengan mata terbuka lebar. Dia menutup mulutnya, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Kedua matanya memindai Adriana dari ujung rambut hingga ujung kaki."Sedang apa kau di sini?" tanya Ambar de
Adriana membeku di tempatnya. Dia memandang Daren dan nenek Daren secara bergantian. Pikirannya sekarang sedang berkecamuk. Bolehkah dia menjawab pertanyaan itu dengan sejujurnya? Atau dia bisa berbohong, dan mengarang cerita lain?"Kenapa kau hanya diam, Adriana?"Suara nenek Daren terdengar sangat berat. Wajahnya terlihat gusar dan tidak sabaran. Ucapan Adriana beberapa saat yang lalu sangat mengganggu pikirannya."Nenek, aku bisa menjelaskan semuanya," ucap Daren kemudian."Aku tidak bertanya padamu," sergah nenek Daren sengit.Adriana menatap Daren lurus. Dari sorot matanya dia memberi isyarat pada Daren untuk berkata yang sebenarnya. Sepertinya dia tidak bisa menghindar lagi."Nenek sebelumnya aku ingin meminta maaf," ucap Adriana setenang mungkin. "Sejak awal aku tidak pernah berniat membohongi nenek.""Katakan saja yang sejujurnya. Aku tidak ingin mendengar kau bertele-tele," tukas nenek Daren ketus."Aku memang bukan istri Daren, Nek."Adriana memejamkan matanya. Tidak sanggup
Adriana mengurung diri selama beberapa hari di dalam kamarnya. Dia tidak pernah meninggalkan kamarnya walau hanya lima menit. Dirinya benar-benar terpuruk setelah kejadian itu. Ditambah lagi, dia harus menerima kenyataan pahit lainnya. Airin akan pergi meninggalkannya sendirian di sini.Hal ini membuat Sita merasa kasihan pada kondisi majikannya sekarang. Untuk menjaga kesehatan Adriana, Sita selalu mengantarkan makanan ke dalam sana. Sayangnya dia harus menelan rasa kecewa karena Adriana tidak mau menyentuh makanannya. Adriana hanya meneguk air minumnya."Non Adriana tidak makan? Apakah rasanya tidak enak?" tanya Sita dengan suara parau setelah melihat makanan yang dia antarkan ke kamar Adriana masih utuh seperti semula."Non ...." Sita setengah berteriak saat memanggil Adriana. Majikannya itu bergeming, tidak bergerak sedikit pun.Adriana memutar kepalanya. Dia menatap Sita dengan sorot sayu dan tidak bercahaya. Tanpa melihat pun dia bisa merasakan cekungan yang cukup dalam di bawah
Daren meraih kotak itu. Dia menemukan secarik kertas di bawah kotak itu yang ternyata berisi sebuah pesan dari neneknya. Neneknya meminta Daren untuk memberikan kalung itu pada Adriana kembali.Daren mundur beberapa langkah hingga tubuhnya membentur pinggiran tempat tidurnya. Tangannya masih memegang kotak itu dengan erat. Benaknya berputar-putar. Apa maksud neneknya sebenarnya? Dia sama sekali tidak mendapatkan petunjuk apa-apa. Jalan pikiran neneknya sulit ditebak.Kemudian, Daren mengambil ponselnya dari saku kemejanya. Dia ingin menghubungi Adriana. Bagaimanapun situasinya, dia tetap harus menyampaikan pesan neneknya."Bagaimana kabarmu?" tanya Daren setelah Adriana mengangkat teleponnya."Kabarku baik," jawab Adriana pendek."Aku ingin bertemu denganmu," kata Daren langsung pada intinya. Dia tidak ingin berbasa-basi lebih lama.Ada jeda yang panjang. Adriana memilih diam. Yang terdengar di telinga Daren hanya suara hembusan napas Adriana."Adriana .... Apa kau masih di sana?" Ad