"Ada apa?" tanya nenek Daren seakan merasakan ketegangan yang melingkupi diri Adriana. Dia meraba-raba mencari tangan Adrian. Setelah menemukannya, nenek menggenggam tangan Adriana erat."Tidak ada apa-apa, Nek," jawab Adriana berbohong.Adriana menghadap ke depan kembali sambil menghitung dalam hati. Sebentar lagi dia akan berhadapan dengan wanita itu. Entah kenapa rasa sakit yang dulu sudah dia lupakan kini hadir kembali bersamaan dengan kemunculan wanita itu. Ibu kandungnya yang telah mencampakkan dia sejak usia dua tahun.Setelah ayahnya meninggal Adriana sempat menemui ibunya saat lulus SMA, tapi dia mendapat perlakuan yang sangat buruk. Ibunya langsung mengusir dia tanpa belas kasihan. Seolah Adriana adalah sampah busuk yang harus dihindari."Kau ...." Wanita itu, Ambar, menunjuk Adriana dengan mata terbuka lebar. Dia menutup mulutnya, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Kedua matanya memindai Adriana dari ujung rambut hingga ujung kaki."Sedang apa kau di sini?" tanya Ambar de
Adriana membeku di tempatnya. Dia memandang Daren dan nenek Daren secara bergantian. Pikirannya sekarang sedang berkecamuk. Bolehkah dia menjawab pertanyaan itu dengan sejujurnya? Atau dia bisa berbohong, dan mengarang cerita lain?"Kenapa kau hanya diam, Adriana?"Suara nenek Daren terdengar sangat berat. Wajahnya terlihat gusar dan tidak sabaran. Ucapan Adriana beberapa saat yang lalu sangat mengganggu pikirannya."Nenek, aku bisa menjelaskan semuanya," ucap Daren kemudian."Aku tidak bertanya padamu," sergah nenek Daren sengit.Adriana menatap Daren lurus. Dari sorot matanya dia memberi isyarat pada Daren untuk berkata yang sebenarnya. Sepertinya dia tidak bisa menghindar lagi."Nenek sebelumnya aku ingin meminta maaf," ucap Adriana setenang mungkin. "Sejak awal aku tidak pernah berniat membohongi nenek.""Katakan saja yang sejujurnya. Aku tidak ingin mendengar kau bertele-tele," tukas nenek Daren ketus."Aku memang bukan istri Daren, Nek."Adriana memejamkan matanya. Tidak sanggup
Adriana mengurung diri selama beberapa hari di dalam kamarnya. Dia tidak pernah meninggalkan kamarnya walau hanya lima menit. Dirinya benar-benar terpuruk setelah kejadian itu. Ditambah lagi, dia harus menerima kenyataan pahit lainnya. Airin akan pergi meninggalkannya sendirian di sini.Hal ini membuat Sita merasa kasihan pada kondisi majikannya sekarang. Untuk menjaga kesehatan Adriana, Sita selalu mengantarkan makanan ke dalam sana. Sayangnya dia harus menelan rasa kecewa karena Adriana tidak mau menyentuh makanannya. Adriana hanya meneguk air minumnya."Non Adriana tidak makan? Apakah rasanya tidak enak?" tanya Sita dengan suara parau setelah melihat makanan yang dia antarkan ke kamar Adriana masih utuh seperti semula."Non ...." Sita setengah berteriak saat memanggil Adriana. Majikannya itu bergeming, tidak bergerak sedikit pun.Adriana memutar kepalanya. Dia menatap Sita dengan sorot sayu dan tidak bercahaya. Tanpa melihat pun dia bisa merasakan cekungan yang cukup dalam di bawah
Daren meraih kotak itu. Dia menemukan secarik kertas di bawah kotak itu yang ternyata berisi sebuah pesan dari neneknya. Neneknya meminta Daren untuk memberikan kalung itu pada Adriana kembali.Daren mundur beberapa langkah hingga tubuhnya membentur pinggiran tempat tidurnya. Tangannya masih memegang kotak itu dengan erat. Benaknya berputar-putar. Apa maksud neneknya sebenarnya? Dia sama sekali tidak mendapatkan petunjuk apa-apa. Jalan pikiran neneknya sulit ditebak.Kemudian, Daren mengambil ponselnya dari saku kemejanya. Dia ingin menghubungi Adriana. Bagaimanapun situasinya, dia tetap harus menyampaikan pesan neneknya."Bagaimana kabarmu?" tanya Daren setelah Adriana mengangkat teleponnya."Kabarku baik," jawab Adriana pendek."Aku ingin bertemu denganmu," kata Daren langsung pada intinya. Dia tidak ingin berbasa-basi lebih lama.Ada jeda yang panjang. Adriana memilih diam. Yang terdengar di telinga Daren hanya suara hembusan napas Adriana."Adriana .... Apa kau masih di sana?" Ad
"Adriana ...."Langkah kaki Adriana langsung terhenti saat dia mendengar seseorang memanggil namanya. Tanpa ragu-ragu Adriana membalikkan badannya. Tatapan matanya beradu dengan mata Daren yang sayu. Lalu, dia memindai penampilan Daren saat ini yang jauh berbeda dari biasanya Laki-laki itu terlihat sedikit berantakan.Wajahnya terlihat kusam dengan bakal cambang yang baru tumbuh di dagunya. Lengan kemejanya tergulung sampai ke siku. Dua kancing teratas lepas dari lubangnya."Apa yang kau inginkan?" tanya Adriana tanpa basa-basi. Menurutnya dia tidak perlu mengucapkan kata-kata yang manis dan enak didengar oleh telinga."Aku tidak mungkin membicarakannya di sini," ucap Daren lesu sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar. mereka kini tengah berdiri di depan rumah Adriana disertai dengan suara bising kendaraan bermotor yang lalu-lalang di depannya.Adriana menarik napas panjang. Sepertinya dia tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui permintaan Daren. Dengan berat hati dia pun meng
"Tolong ...."Adriana semakin panik karena lift itu mendadak turun dengan kecepatan tinggi, lalu berhenti dan membuat tubuhnya terpelanting hingga membentur dinding lift. Suasananya terasa sangat menegangkan, membuat jantungnya berdegup kencang.Sebuah tangan yang kokoh memegang tangan Adriana agar dia tidak terjatuh ke bawah. Adriana berjingkat secara reflek saat dia merasakan seseorang menyentuhnya. Dia lalu menoleh ke belakang. Kedua matanya bertumbuk dengan sepasang mata berwarna coklat meneduhkan. Dia menarik tangannya pelan-pelan.“Maafkan aku,” ucap Adriana pelan. Dia tidak berani menatap lawan bicaranya. Matanya menatap ke sudut lift di depannya. Buru-buru dia menarik tangannya agar terlepas dari pegangan laki-laki itu.“Tidak apa-apa. Para teknisi pasti akan segera membenahi kerusakan ini,” balas laki-laki itu dengan suara lembut menenangkan. Tangannya menekan tombol alarm di depan Adriana.Adriana memutuskan untuk diam dan berusaha tetap tenang seperti kata-kata laki-laki itu
"Daren ...."Adriana membuka mulutnya lebar-lebar. Siapa yang menyangka dia akan bertemu Daren di sini. Dia sulit mengungkapkan perasaannya sebenarnya saat ini. Ada rasa senang karena ada Daren yang bisa membantu dirinya. Ada rasa canggung setelah hubungan mereka berakhir dengan tidak baik."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Daren setelah mereka terdiam cukup lama. Adriana berdeham, lalu menyunggingkan senyum kaku. "Aku dalam perjalanan pulang. Mobilku tiba-tiba mogok," jawab Adriana menatap Daren lurus."Memangnya kau dari mana? Malam-malam seperti ini kau masih berkeliaran di luar," kata Daren memberi komentar yang sangat pedas.Raut wajah Adriana berubah seketika, menjadi sendu. Dia memandang ke arah lain, mencoba menghindari tatapan Daren yang menghakimi. Mereka memang saling mengenal. Tapi itu tidak menjadikan Daren berkata seenaknya."Aku habis bekerja. Aku baru saja dari kantor percetakan tadi," tukas Adriana ketus. "Kantor percetakan? Apa kau bekerja di sana?" tanya Daren
"Selamat pagi," sapa Adriana saat bertemu Daniel di lobi gedung itu."Selamat pagi," balas Daniel. Dia hanya melihat Adriana sekilas, lalu berjalan tergesa-gesa mendahului Adriana. Adriana sengaja memperlambat jalannya karena tidak ingin mengganggu Daniel. Dia berjalan selangkah demi selangkah dengan ritme yang sangat lambat. Hingga dia melihat Daniel masuk ke dalam lift."Apa kau tidak mau masuk?" tanya Daniel sambil menekan tombol agar pintu lift tetap terbuka.Adriana menggeleng cepat. "Aku masih menunggu seseorang. Silakan Anda naik duluan," jawab Adriana sesopan mungkin.Tempo hari, setelah insiden itu, Adriana mencari tahu identitas laki-laki yang terjebak bersama dia di dalam lift. Salah satu pegawai memberi tahu bahwa laki-laki itu adalah Daniel, pemilik perusahaan penerbitan itu. Adriana merasa lega karena saat itu dia tidak bersikap lebih memalukan dari yang dia lakukan sebelumnya. Pintu lift itu akhirnya tertutup. Adriana menghembuskan napas yang sempat dia tahan sekuat t