"Daren ...."Adriana membuka mulutnya lebar-lebar. Siapa yang menyangka dia akan bertemu Daren di sini. Dia sulit mengungkapkan perasaannya sebenarnya saat ini. Ada rasa senang karena ada Daren yang bisa membantu dirinya. Ada rasa canggung setelah hubungan mereka berakhir dengan tidak baik."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Daren setelah mereka terdiam cukup lama. Adriana berdeham, lalu menyunggingkan senyum kaku. "Aku dalam perjalanan pulang. Mobilku tiba-tiba mogok," jawab Adriana menatap Daren lurus."Memangnya kau dari mana? Malam-malam seperti ini kau masih berkeliaran di luar," kata Daren memberi komentar yang sangat pedas.Raut wajah Adriana berubah seketika, menjadi sendu. Dia memandang ke arah lain, mencoba menghindari tatapan Daren yang menghakimi. Mereka memang saling mengenal. Tapi itu tidak menjadikan Daren berkata seenaknya."Aku habis bekerja. Aku baru saja dari kantor percetakan tadi," tukas Adriana ketus. "Kantor percetakan? Apa kau bekerja di sana?" tanya Daren
"Selamat pagi," sapa Adriana saat bertemu Daniel di lobi gedung itu."Selamat pagi," balas Daniel. Dia hanya melihat Adriana sekilas, lalu berjalan tergesa-gesa mendahului Adriana. Adriana sengaja memperlambat jalannya karena tidak ingin mengganggu Daniel. Dia berjalan selangkah demi selangkah dengan ritme yang sangat lambat. Hingga dia melihat Daniel masuk ke dalam lift."Apa kau tidak mau masuk?" tanya Daniel sambil menekan tombol agar pintu lift tetap terbuka.Adriana menggeleng cepat. "Aku masih menunggu seseorang. Silakan Anda naik duluan," jawab Adriana sesopan mungkin.Tempo hari, setelah insiden itu, Adriana mencari tahu identitas laki-laki yang terjebak bersama dia di dalam lift. Salah satu pegawai memberi tahu bahwa laki-laki itu adalah Daniel, pemilik perusahaan penerbitan itu. Adriana merasa lega karena saat itu dia tidak bersikap lebih memalukan dari yang dia lakukan sebelumnya. Pintu lift itu akhirnya tertutup. Adriana menghembuskan napas yang sempat dia tahan sekuat t
Adriana mematung selama beberapa saat di depan pintu keluar gedung kantornya. Beberapa langkah dari tempatnya berdiri, dia melihat mobil Daren berhenti menunggu dirinya. Lidahnya terasa kelu.Daren menurunkan kaca jendela mobilnya, dan kepalanya melongok keluar. "Kenapa kau hanya diam di situ?" Adriana menggeleng, lalu melemparkan senyum kaku. Karena tidak ingin menjadi tontonan banyak orang, dia berjalan cepat menghampiri mobil Daren. Dia memutuskan untuk segera masuk ke dalam mobil Daren."Bukankah sudah kubilang kau tidak perlu datang menjemputku," ucap Adriana setelah duduk di samping Daren. Daren pura-pura tidak mendengar ucapan Adriana. Setelah itu dia menginjak pedal gas dan membawa mobilnya meluncur dengan kecepatan sedang. Lalu lintas malam ini tidak terlalu padat jadi dia bisa mengendarai mobilnya dengan leluasa."Sampai kapan kau akan selalu memaksakan kehendakmu?" tanya Adriana setelah mereka terdiam cukup lama. Dia merasa ada sedikit yang mengganjal di hatinya karena sej
Adriana tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata Laura. “Bukankah itu terdengar sangat kekanakan?” Dia tidak berhenti tertawa bahkan setelah satu menit terlewatkan. Laura langsung melipat wajahnya, dan memanyunkan bibirnya. Matanya berkilat-kilat karena marah. Selama dia hidup dia tidak pernah menemui orang yang berani menertawakan dirinya. Tidak seorang pun. Semua orang selalu tunduk padanya, bahkan bersedia bertekuk lutut di hadapannya.“Jangan tertawa!”Adriana seketika menutup bibirnya. Dengan sekuat tenaga dia mencoba untuk tidak tertawa lagi. Laura terlihat sangat marah, juga ingin menangis karena mata Laura kini berkaca-kaca.“Kau tidak mungkin mendapatkan keinginanmu. Karena pihak percetakan telah mencetak novelmu. Hampir delapan puluh persen,” ucap Adriana tegas. Ekspresi wajahnya kini berubah menjadi lebih serius. “Jadi percuma saja kau memintaku untuk membatalkannya," tambahnya.“Aku akan mengganti seluruh kerugiannya. Sebutkan saja berapa.”Adriana mendengus kesal. Wani
"Sepertinya aku melewatkan berita panas di kantor ini," ucap Mala saat sampai di ruangannya. Di belakangnya Adriana mengekori dirinya seperti seekor anak ayam yang mengikuti induknya."Berita apa itu?" tanya Adriana benar-benar tidak tahu maksud ucapan Mala.Mala meletakkan tasnya di atas meja kerjanya, lalu melepas jas yang dia pakai dan menggantungnya di gantungan di pojok ruangan itu. "Berita tentang Laura yang akan menyumbangkan keuntungan lima puluh persen dari penjualan novelnya untuk anak yatim," ucap Mala sambil menatap lekat-lekat Adriana. "Bukankah itu suatu kejadian yang langka? Laura tidak pernah melakukannya sebelum ini."Adriana membulatkan bibirnya, lalu mengulas tersenyum malu-malu. Rupanya kabar mengenai Laura telah tersebar di seluruh penjuru kantor perusahaan itu. Tanpa terkecuali atasannya yang baru saja kembali dari liburannya."Saya berusaha meyakinkan dia untuk tidak membatalkan proses cetak novel. Jadi, saya memberi solusi itu untuk dia.""Tidak apa-apa. Justru
Adriana mematung selama beberapa saat. Otaknya membeku sehingga dia tidak bisa berpikir apa-apa. Pelan-pelan dia menelan ludahnya yang terasa pahit. Pilihan satu-satunya untuk dia saat ini adalah menghindari tatapan menyelidik dari Daren. Dia pun memalingkan wajahnya, dan melihat sepasang kekasih yang baru saja masuk di bilik tidak jauh darinya."Apa yang kau lakukan di sini?" Dari suaranya yang sedikit ketus saat bertanya, Daren terlihat sangat tidak senang bertemu dengan Adriana di sini. Seolah Adriana sengaja datang ke kedai ini untuk memata-matai Daren. Semua tercetak jelas dari sorot matanya yang tajam dan raut wajahnya yang kaku."Tentu saja aku ingin makan malam di sini. Memangnya apa lagi," jawab Adriana sambil mengedikkan bahunya. Karena tidak ingin berdebat dengan Daren, dia memutar tubuhnya lalu di duduk di atas karpet di lantai, dengan posisi membelakangi Daren. Kedai ini memang memiliki konsep lesehan untuk para pengunjungnya."Daren .... Kenapa kita tidak masuk ke bilik
Adriana menggeser map yang sempat dia pegang menjauh. Dia bangkit dari tempat duduknya. Tatapan matanya tidak beralih dari wajah Daren yang menghadap ke arahnya. Daren tidak pernah berubah, sedikit pun. Masih egois, dan berbuat seenaknya.“Apa kau sedang mabuk? Aku sangat yakin tentunya kepalamu masih baik-baik saja.”Sikap Adriana yang tenang dan dingin, sebagaimana perkataannya, membuat Daren kesal. Dengan cepat Daren bergerak maju hingga tidak ada lagi jarak di antara mereka. Matanya tidak berkedip saat memandang Adriana. Lalu dia menundukkan kepalanya, dan mendaratkan ciuman ringan di bibir Adriana.Seketika Adriana menarik tubuhnya menjauh. Tangannya terangkat lalu menutup bibirnya. Dia menatap jijik ke arah Daren, dan menunjukkan rasa bencinya dengan terang-terangan. “Berani-beraninya kau ….”“Apa? Seperti aku tidak pernah menciummu sebelumnya,” potong Daren, lalu mendekatkan jarak mereka lagi. Tangannya meraih pinggang Adriana, dan merangkul pinggang ramping itu dengan erat. “
Adriana menatap ke arah pintu yang telah tertutup rapat. Daren telah pergi sejak beberapa menit yang lalu. Tapi bayangan laki-laki itu seakan masih berada di ruangan ini dan tengah memperhatikannya.Kedua tangan Adriana terkepal erat, lalu memukul pahanya berkali-kali untuk melepaskan kekesalannya. Dia masih merasa malu dan terhina. Bisa-bisanya hati kecilnya tidak berpihak padanya, dan membiarkan Daren menguasai dirinya, menghipnotis sampai dia tidak berdaya, tidak mampu berbuat atau berkata apa-apa. Dia hanya bisa mengerang, dan mendesah nikmat oleh sentuhan tangan Daren yang lihai dan memabukkan.Adriana membuka kembali map yang sempat dia buka tadi. Mungkin dengan bekerja, pikirannya bisa teralihkan, batinnya dalam hati. Dia pun mulai bekerja dalam diam. Bayang-bayang wajah Daren semakin memudar saat Adriana berkonsentrasi pada barisan kalimat demi kalimat yang harus dia teliti dengan hati-hati.Karena sudah larut malam Adriana memutuskan untuk segera masuk ke kamarnya. Dia merapik