Adriana menggeser map yang sempat dia pegang menjauh. Dia bangkit dari tempat duduknya. Tatapan matanya tidak beralih dari wajah Daren yang menghadap ke arahnya. Daren tidak pernah berubah, sedikit pun. Masih egois, dan berbuat seenaknya.“Apa kau sedang mabuk? Aku sangat yakin tentunya kepalamu masih baik-baik saja.”Sikap Adriana yang tenang dan dingin, sebagaimana perkataannya, membuat Daren kesal. Dengan cepat Daren bergerak maju hingga tidak ada lagi jarak di antara mereka. Matanya tidak berkedip saat memandang Adriana. Lalu dia menundukkan kepalanya, dan mendaratkan ciuman ringan di bibir Adriana.Seketika Adriana menarik tubuhnya menjauh. Tangannya terangkat lalu menutup bibirnya. Dia menatap jijik ke arah Daren, dan menunjukkan rasa bencinya dengan terang-terangan. “Berani-beraninya kau ….”“Apa? Seperti aku tidak pernah menciummu sebelumnya,” potong Daren, lalu mendekatkan jarak mereka lagi. Tangannya meraih pinggang Adriana, dan merangkul pinggang ramping itu dengan erat. “
Adriana menatap ke arah pintu yang telah tertutup rapat. Daren telah pergi sejak beberapa menit yang lalu. Tapi bayangan laki-laki itu seakan masih berada di ruangan ini dan tengah memperhatikannya.Kedua tangan Adriana terkepal erat, lalu memukul pahanya berkali-kali untuk melepaskan kekesalannya. Dia masih merasa malu dan terhina. Bisa-bisanya hati kecilnya tidak berpihak padanya, dan membiarkan Daren menguasai dirinya, menghipnotis sampai dia tidak berdaya, tidak mampu berbuat atau berkata apa-apa. Dia hanya bisa mengerang, dan mendesah nikmat oleh sentuhan tangan Daren yang lihai dan memabukkan.Adriana membuka kembali map yang sempat dia buka tadi. Mungkin dengan bekerja, pikirannya bisa teralihkan, batinnya dalam hati. Dia pun mulai bekerja dalam diam. Bayang-bayang wajah Daren semakin memudar saat Adriana berkonsentrasi pada barisan kalimat demi kalimat yang harus dia teliti dengan hati-hati.Karena sudah larut malam Adriana memutuskan untuk segera masuk ke kamarnya. Dia merapik
Adriana memutar kepalanya. Dia memegang pinggiran meja kuat-kuat. Meskipun sekarang dia berada dalam posisi duduk, tubuhnya seperti mau limbung ke bawah. Tidak seorang pun yang memperhatikan wajahnya yang telah pucat pasi."Mama ...." Laura memanggil wanita itu dengan riang dan manja. Dia langsung berdiri, dan menghampiri wanita yang dia panggil mama."Maaf aku datang terlambat," ucap wanita itu. Ambar. Ibu kandung Adriana. Juga Laura.Adriana langsung mematung saat mengetahui fakta baru yang ada di depannya. Dia baru menyadari bahwa ternyata Laura adalah adik tirinya. Mungkin bila dia tidak menghadiri acara makan malam ini dia tidak akan perlu menyaksikan gambaran seorang ibu dan anak gadisnya yang terlihat sangat bahagia. Terus terang, Adriana merasa iri dengan Laura. Laura mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu yang pernah dia impikan bertahun-tahun yang telah lewat."Mama .... Mama pasti lelah setelah melakukan penerbangan yang panjang dari London, lalu hadir di sini," kata Dan
Adriana menelan ludahnya yang terasa pahit. Di depannya Daniel masih menunggunya berbicara. Sepertinya Daniel tidak ingin membiarkan dia pergi begitu saja tanpa memberi penjelasan apa-apa."Apakah tebakanku benar?" tanya Daniel sekaligus memancing Adriana agar bersedia bercerita padanya.Adriana menggeleng sambil menyunggingkan senyum manis. "Kau pasti salah paham. Tidak terjadi apa-apa di antara kami." Adriana menggoyangkan tangannya, menyangkal tuduhan Daniel."Aku dengar dari Mala bawa kau sempat bersitegang dengan ibuku saat kalian berada di toilet," ucap Daniel setelah itu.Adriana menghilangkan pelan-pelan. Rupanya seperti itu. Dia merasa lega karena Daniel hanya mengetahui bahwa dia dan ibunya tengah berselisih paham."Malam itu aku tidak sengaja menyenggol ibumu hingga membuat gaunnya basah terkena cipratan air." Adriana mengarang cerita. Dia sangat bersyukur di saat tegang seperti ini otaknya mampu berpikir dengan benar.Daniel menundukkan kepalanya, dan mendekatkan wajahnya
"Maaf .... Aku sopir taksi yang kebetulan membawa gadis ini. Sekarang dia pingsan, dan aku tidak tahu di mana tepatnya dia tinggal."Daren mendengar laki-laki itu berbicara melalui ponsel Adriana. Niatnya semula adalah dia ingin bertemu dengan Adriana. Tapi dia malah mendapat kabar bahwa Adriana pingsan."Beri tahu lokasi Anda di mana. Aku akan menyusul ke sana," pinta Daren. Tidak lama berselang Daren mendapatkan alamat yang dia minta. Mobilnya berputar arah. Dia tidak ingin membuang waktu lebih lama, jadi dia menginjak pedal gas hingga maksimal lalu mobilnya melaju sangat kencang."Maaf, sebelumnya. Apa hubunganmu dengan wanita ini?" Sopir taksi itu bertanya saat Daren sampai di tempat dia berhenti. Laki-laki berumur itu memicingkan matanya, menatap Daren dengan curiga."Saya kekasihnya," jawab Daren cepat. Untuk meyakinkan laki-laki itu, Daren membuka ponselnya, memperlihatkan sederet foto dirinya yang tengah bersama dengan Adriana.Sopir taksi itu mempercayai Daren. Dia pun mengi
"Telepon dari siapa?" tanya Adriana berusaha duduk di sofa."Daniel? Dia siapa?" balas Daren bertanya. Laki-laki itu langsung menutup teleponnya begitu mendengar suaranya."Pemilik perusahaan penerbitan. Apa dia mengatakan sesuatu?" Adriana sangat penasaran karena tidak biasanya Daniel menghubungi dia melalui sambungan telepon."Dia tidak mengatakan apa-apa karena langsung mematikan ponselnya," jawab Daren sambil mengangkat bahunya.Adriana tidak melanjutkan obrolannya. Dia merebahkan tubuhnya di atas sofa lagi. Perlahan dia mencoba untuk memejamkan matanya. Dengan memejamkan matanya, dia tidak perlu menghadapi tatapan curiga dari Daren."Aku akan pergi keluar sebentar. Untuk makan siang nanti, kau ingin makan apa ?" tanya Daren usai melihat Adriana yang tengah pura-pura tidur. Bukannya dia tidak tahu bahwa Adriana tidak tidur sungguhan, dia hanya tidak ingin berselisih pendapat lagi dengan Adriana."Terserah padamu. Aku akan memakan semua makanan yang kau belikan," sahut Adriana deng
“Laki-laki itu adalah suamiku.”Kalimat itu berdengung di telingan Daniel berulang-ulang. Butuh waktu beberapa saat untuk mencerna kalimat itu. Benar-benar sebuah kejutan yang dia dapatkan dalam waktu yang singkat dan tidak pernah dia duga sebelumnya.“Kau bilang suami?” Daniel megalihkan tatapannya pada Adriana. Konsentrasinya langsung buyar seketika.Adriana merasa jeri membalas tatapan Daren. Kepalanya menunduk dalam. Bibirnya membuka, lalu menutup. Rasanya sulit untuk menjawab pertanyaan Daniel. Sebuah pertanyaan yang berasal dari ulahnya sendiri.“Benar …. Dia adalah suamiku,” jawab Adriana lirih, hampir berbisik. Pelan-pelan dia mengangkat kepalanya. Dia memberanikan diri menatap Daniel.Waktu seolah melambat menjadi detik-detik panjang menyiksa saat Daniel mengamatinya dengan ekspresi sakit hati, merasa dikhianati. Akankah laki-laki itu membenci dirinya karena ini? Daniel pasti berpikir dia sengaja menyembunyikan fakta itu karena dia memiliki maksud terselubung untuk mendapatka
"Mama dan Laura bisa pulang lebih dulu. Aku masih ingin berbicara dengan Adriana." Daniel berkata dengan tegas dan raut wajahnya terlihat sangat serius. Dia melirik tajam pada Adriana, memberi isyarat agar Adriana bertahan di sini dan tidak ikut pulang seperti yang lain. Mala pamit pulang mendahului mereka karena masih ada perlu yang harus Mala lakukan.Kedua ibu beranak itu melangkah perlahan meninggalkan mereka setelah berpamitan. Kedua mata Adriana mengekori keduanya hingga bayangan mereka menghilang dari pandangannya. Pelan-pelan dia memutar tubuhnya, menghadap Daniel. Kepalanya terangkat, dan dia menatap Daniel tajam tanpa merasa takut."Kau ingin membicarakan apa? Sepertinya kita telah membahas semua hal penting yang menyangkut penyelenggaraan peluncuran novel Laura. Aku rasa tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan," ucap Adriana dengan berani. Daniel meluas senyum sinis. Lalu dia mengguman pelan. "Itu menurutmu, tidak menurutku." "Baiklah kalau itu menurutmu. Aku akan mende