"Telepon dari siapa?" tanya Adriana berusaha duduk di sofa."Daniel? Dia siapa?" balas Daren bertanya. Laki-laki itu langsung menutup teleponnya begitu mendengar suaranya."Pemilik perusahaan penerbitan. Apa dia mengatakan sesuatu?" Adriana sangat penasaran karena tidak biasanya Daniel menghubungi dia melalui sambungan telepon."Dia tidak mengatakan apa-apa karena langsung mematikan ponselnya," jawab Daren sambil mengangkat bahunya.Adriana tidak melanjutkan obrolannya. Dia merebahkan tubuhnya di atas sofa lagi. Perlahan dia mencoba untuk memejamkan matanya. Dengan memejamkan matanya, dia tidak perlu menghadapi tatapan curiga dari Daren."Aku akan pergi keluar sebentar. Untuk makan siang nanti, kau ingin makan apa ?" tanya Daren usai melihat Adriana yang tengah pura-pura tidur. Bukannya dia tidak tahu bahwa Adriana tidak tidur sungguhan, dia hanya tidak ingin berselisih pendapat lagi dengan Adriana."Terserah padamu. Aku akan memakan semua makanan yang kau belikan," sahut Adriana deng
“Laki-laki itu adalah suamiku.”Kalimat itu berdengung di telingan Daniel berulang-ulang. Butuh waktu beberapa saat untuk mencerna kalimat itu. Benar-benar sebuah kejutan yang dia dapatkan dalam waktu yang singkat dan tidak pernah dia duga sebelumnya.“Kau bilang suami?” Daniel megalihkan tatapannya pada Adriana. Konsentrasinya langsung buyar seketika.Adriana merasa jeri membalas tatapan Daren. Kepalanya menunduk dalam. Bibirnya membuka, lalu menutup. Rasanya sulit untuk menjawab pertanyaan Daniel. Sebuah pertanyaan yang berasal dari ulahnya sendiri.“Benar …. Dia adalah suamiku,” jawab Adriana lirih, hampir berbisik. Pelan-pelan dia mengangkat kepalanya. Dia memberanikan diri menatap Daniel.Waktu seolah melambat menjadi detik-detik panjang menyiksa saat Daniel mengamatinya dengan ekspresi sakit hati, merasa dikhianati. Akankah laki-laki itu membenci dirinya karena ini? Daniel pasti berpikir dia sengaja menyembunyikan fakta itu karena dia memiliki maksud terselubung untuk mendapatka
"Mama dan Laura bisa pulang lebih dulu. Aku masih ingin berbicara dengan Adriana." Daniel berkata dengan tegas dan raut wajahnya terlihat sangat serius. Dia melirik tajam pada Adriana, memberi isyarat agar Adriana bertahan di sini dan tidak ikut pulang seperti yang lain. Mala pamit pulang mendahului mereka karena masih ada perlu yang harus Mala lakukan.Kedua ibu beranak itu melangkah perlahan meninggalkan mereka setelah berpamitan. Kedua mata Adriana mengekori keduanya hingga bayangan mereka menghilang dari pandangannya. Pelan-pelan dia memutar tubuhnya, menghadap Daniel. Kepalanya terangkat, dan dia menatap Daniel tajam tanpa merasa takut."Kau ingin membicarakan apa? Sepertinya kita telah membahas semua hal penting yang menyangkut penyelenggaraan peluncuran novel Laura. Aku rasa tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan," ucap Adriana dengan berani. Daniel meluas senyum sinis. Lalu dia mengguman pelan. "Itu menurutmu, tidak menurutku." "Baiklah kalau itu menurutmu. Aku akan mende
Daren memijat keningnya karena kepalanya mendadak berdenyut-denyut. Dirinya sungguh kesal karena Adriana berbicara dengan berputar-putar, dan mencari banyak alasan. Seolah sengaja membuang-buang waktunya percuma."Kau apa?" Gusar, Daren bertanya dengan nada sedikit ketus. "Aku terpaksa melakukannya karena Daniel ternyata anak tiri ibuku," jawab Adriana tanpa berani memandang Daren. "Tidak mungkin aku bilang padanya bahwa kau adalah kekasihku karena yang ibuku tahu kau adalah suamiku."Daren menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Tangannya melepaskan dua buah kancing teratas kemejanya, memperlihatkan dada bidangnya yang berwarna putih pucat. Dari tempatnya duduk dia bisa melihat raut wajah Adriana yang tegang. "Jadi sekarang kau mengakuiku sebagai suamimu. Bukankah ini seperti dirimu sedang memanfaatkan diriku?" tanya Daren sinis.Adriana tampak terkejut setelah mendengar pertanyaan Daren. Memang benar dia telah memanfaatkan Daren. Tapi dia tidak pernah menyangka Daren akan memberikan
Cahaya bulan masuk ke kamar itu melalui jendela yang tidak tertutup oleh gorden. Adriana menebak saat ini pasti tengah malam. Karena suasana gelap, jadi dia tidak bisa melihat jam. Adriana menoleh ke samping. Daren tertidur lelap seperti bayi tidak berdosa setelah percintaan mereka beberapa jam yang lalu. Dalam tidurnya, Daren mengulas senyum tipis.Adriana memandang wajah Daren cukup lama. Sekarang ini dia tidak tahu harus berkata apa. Apakah dia perlu bersyukur karena sekarang Daren mengakuinya sebagai seorang kekasih? Atau dia menuntut lebih pada Daren karena bukan ini yang dia inginkan? Meskipun sejak dulu Adriana telah menganggap Daren sebagai kekasihnya."Kau tidak tidur?"Adriana terkejut dengan pertanyaan Daren. Sejak kapan kekasihnya itu bangun? Apakah Daren bisa merasakan isi hatinya sekarang?"Sebentar lagi," jawab Adriana pendek. "Biarkan aku memandang wajahmu sampai puas. Setelah itu aku akan menyusulmu tidur," lanjut Adriana terus terang.Daren membuka matanya lebar. Ta
Adriana terdiam cukup lama sampai berhasil menyelesaikan kekacauan di depannya. Dia menutup mapnya, lalu bangkit berdiri. Daniel juga ikut berdiri."Kau tidak perlu bertanya pada orang lain. Coba tanya ibumu sendiri," ucap Adriana akhirnya setelah berhasil mengeluarkan suaranya. "Kenapa bukan kau yang bercerita? Hah?"Suara Daniel meninggi. Dia terlihat frustasi karena jawaban yang diberikan Adriana tidak memuaskan ras ingin tahunya. Adriana sengaja memutar kata-katanya."Aku tidak berhak mengatakannya. Aku ingin kejujuran itu keluar dari mulut ibumu sendiri. Tanpa paksaan atau desakan dari siapapun," jawab Adriana sesantai mungkin. Padahal sebenarnya dia tengah memendam amarah yang menggelegak di dalam dadanya."Kau sama saja dengan mama. Senang membuat teka-teki," timpal Daniel datar."Terus terang aku tidak akan pernah sama dengan ibumu," bantah Adriana. Meskipun darahnya mengalir di tubuhku, dia menambahkan dalam hati. "Sepertinya aku tidak mampu membuatmu membuka suara. Baiklah
"Aku bilang aku tidak mau," seru Laura. Sejak tadi dia sudah memberitahu ibunya bahwa dia tidak menyetujui usul ibunya. Tapi ibunya terus memaksa agar dia mau mengikuti permintaan yang benar-benar bukan keluar dari keinginannya."Ini semua demi kebaikanmu. Kau akan semakin populer," tukas Ambar bersikeras dengan keputusannya. "Banyak orang akan mengenalmu. Tidak hanya itu tanpa kau sadari kau melakukan promosi gratis pada hotel milik papamu."Laura memijat keningnya yang tiba-tiba berdenyut. Suasana hatinya malam ini berubah seketika. Itu semua karena ide gila dari ibunya. Mungkin menurut ibunya itu bagus tapi tidak menurut dia. Dia memiliki cara lain untuk lebih terkenal. Yang pasti bukan dengan cara yang ibunya sampaikan."Coba mama bayangkan. Untuk bertemu denganku mereka harus membeli banyak novelku," ucap Laura pelan tapi nada suaranya terdengar sangat tegas."Tidak ada yang salah dengan itu. Justru hal itu bisa mendongkrak hasil penjualan novelmu," tukas ibunya santai. "Kau akan
"Apa tubuhmu ada yang terluka?" Daren mengamati Adriana dengan seksama. Tubuh Adriana terguncang dan bergetar di bawah pegangan tangannya. Kedua mata Adriana terlihat berkaca-kaca. Melihat itu Daren merasa sangat sakit hati. Dia lalu memeluk Adriana, menenangkan kekasihnya itu."Semua sudah berakhir. Percayalah semua akan baik-baik saja," ucap Daren menenangkan.Adriana terisak di dalam pelukan Daren. Dia tidak pernah menyangka akan mendapatkan perlakuan kasar seperti itu. Semula dia berpikir dia akan mendengar suara protes dari para tamu undangan.Ternyata Adriana salah. Tidak hanya protes yang dia terima. Cacian, hujatan, ujaran kebencian, juga lemparan barang-barang yang beraneka rupa. Dia sempat merasakan lemparan benda keras tepat mengenai keningnya. Kini dia baru menyadari bahwa keningnya berdarah, lalu tangannya menyentuh keningnya untuk mengusap darahnya."Kau berdarah. Kau harus segera diobati." Daren membelalakkan matanya saat melihat kening Adriana terluka.Daren mengajak A