Adriana tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata Laura. “Bukankah itu terdengar sangat kekanakan?” Dia tidak berhenti tertawa bahkan setelah satu menit terlewatkan. Laura langsung melipat wajahnya, dan memanyunkan bibirnya. Matanya berkilat-kilat karena marah. Selama dia hidup dia tidak pernah menemui orang yang berani menertawakan dirinya. Tidak seorang pun. Semua orang selalu tunduk padanya, bahkan bersedia bertekuk lutut di hadapannya.“Jangan tertawa!”Adriana seketika menutup bibirnya. Dengan sekuat tenaga dia mencoba untuk tidak tertawa lagi. Laura terlihat sangat marah, juga ingin menangis karena mata Laura kini berkaca-kaca.“Kau tidak mungkin mendapatkan keinginanmu. Karena pihak percetakan telah mencetak novelmu. Hampir delapan puluh persen,” ucap Adriana tegas. Ekspresi wajahnya kini berubah menjadi lebih serius. “Jadi percuma saja kau memintaku untuk membatalkannya," tambahnya.“Aku akan mengganti seluruh kerugiannya. Sebutkan saja berapa.”Adriana mendengus kesal. Wani
"Sepertinya aku melewatkan berita panas di kantor ini," ucap Mala saat sampai di ruangannya. Di belakangnya Adriana mengekori dirinya seperti seekor anak ayam yang mengikuti induknya."Berita apa itu?" tanya Adriana benar-benar tidak tahu maksud ucapan Mala.Mala meletakkan tasnya di atas meja kerjanya, lalu melepas jas yang dia pakai dan menggantungnya di gantungan di pojok ruangan itu. "Berita tentang Laura yang akan menyumbangkan keuntungan lima puluh persen dari penjualan novelnya untuk anak yatim," ucap Mala sambil menatap lekat-lekat Adriana. "Bukankah itu suatu kejadian yang langka? Laura tidak pernah melakukannya sebelum ini."Adriana membulatkan bibirnya, lalu mengulas tersenyum malu-malu. Rupanya kabar mengenai Laura telah tersebar di seluruh penjuru kantor perusahaan itu. Tanpa terkecuali atasannya yang baru saja kembali dari liburannya."Saya berusaha meyakinkan dia untuk tidak membatalkan proses cetak novel. Jadi, saya memberi solusi itu untuk dia.""Tidak apa-apa. Justru
Adriana mematung selama beberapa saat. Otaknya membeku sehingga dia tidak bisa berpikir apa-apa. Pelan-pelan dia menelan ludahnya yang terasa pahit. Pilihan satu-satunya untuk dia saat ini adalah menghindari tatapan menyelidik dari Daren. Dia pun memalingkan wajahnya, dan melihat sepasang kekasih yang baru saja masuk di bilik tidak jauh darinya."Apa yang kau lakukan di sini?" Dari suaranya yang sedikit ketus saat bertanya, Daren terlihat sangat tidak senang bertemu dengan Adriana di sini. Seolah Adriana sengaja datang ke kedai ini untuk memata-matai Daren. Semua tercetak jelas dari sorot matanya yang tajam dan raut wajahnya yang kaku."Tentu saja aku ingin makan malam di sini. Memangnya apa lagi," jawab Adriana sambil mengedikkan bahunya. Karena tidak ingin berdebat dengan Daren, dia memutar tubuhnya lalu di duduk di atas karpet di lantai, dengan posisi membelakangi Daren. Kedai ini memang memiliki konsep lesehan untuk para pengunjungnya."Daren .... Kenapa kita tidak masuk ke bilik
Adriana menggeser map yang sempat dia pegang menjauh. Dia bangkit dari tempat duduknya. Tatapan matanya tidak beralih dari wajah Daren yang menghadap ke arahnya. Daren tidak pernah berubah, sedikit pun. Masih egois, dan berbuat seenaknya.“Apa kau sedang mabuk? Aku sangat yakin tentunya kepalamu masih baik-baik saja.”Sikap Adriana yang tenang dan dingin, sebagaimana perkataannya, membuat Daren kesal. Dengan cepat Daren bergerak maju hingga tidak ada lagi jarak di antara mereka. Matanya tidak berkedip saat memandang Adriana. Lalu dia menundukkan kepalanya, dan mendaratkan ciuman ringan di bibir Adriana.Seketika Adriana menarik tubuhnya menjauh. Tangannya terangkat lalu menutup bibirnya. Dia menatap jijik ke arah Daren, dan menunjukkan rasa bencinya dengan terang-terangan. “Berani-beraninya kau ….”“Apa? Seperti aku tidak pernah menciummu sebelumnya,” potong Daren, lalu mendekatkan jarak mereka lagi. Tangannya meraih pinggang Adriana, dan merangkul pinggang ramping itu dengan erat. “
Adriana menatap ke arah pintu yang telah tertutup rapat. Daren telah pergi sejak beberapa menit yang lalu. Tapi bayangan laki-laki itu seakan masih berada di ruangan ini dan tengah memperhatikannya.Kedua tangan Adriana terkepal erat, lalu memukul pahanya berkali-kali untuk melepaskan kekesalannya. Dia masih merasa malu dan terhina. Bisa-bisanya hati kecilnya tidak berpihak padanya, dan membiarkan Daren menguasai dirinya, menghipnotis sampai dia tidak berdaya, tidak mampu berbuat atau berkata apa-apa. Dia hanya bisa mengerang, dan mendesah nikmat oleh sentuhan tangan Daren yang lihai dan memabukkan.Adriana membuka kembali map yang sempat dia buka tadi. Mungkin dengan bekerja, pikirannya bisa teralihkan, batinnya dalam hati. Dia pun mulai bekerja dalam diam. Bayang-bayang wajah Daren semakin memudar saat Adriana berkonsentrasi pada barisan kalimat demi kalimat yang harus dia teliti dengan hati-hati.Karena sudah larut malam Adriana memutuskan untuk segera masuk ke kamarnya. Dia merapik
Adriana memutar kepalanya. Dia memegang pinggiran meja kuat-kuat. Meskipun sekarang dia berada dalam posisi duduk, tubuhnya seperti mau limbung ke bawah. Tidak seorang pun yang memperhatikan wajahnya yang telah pucat pasi."Mama ...." Laura memanggil wanita itu dengan riang dan manja. Dia langsung berdiri, dan menghampiri wanita yang dia panggil mama."Maaf aku datang terlambat," ucap wanita itu. Ambar. Ibu kandung Adriana. Juga Laura.Adriana langsung mematung saat mengetahui fakta baru yang ada di depannya. Dia baru menyadari bahwa ternyata Laura adalah adik tirinya. Mungkin bila dia tidak menghadiri acara makan malam ini dia tidak akan perlu menyaksikan gambaran seorang ibu dan anak gadisnya yang terlihat sangat bahagia. Terus terang, Adriana merasa iri dengan Laura. Laura mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu yang pernah dia impikan bertahun-tahun yang telah lewat."Mama .... Mama pasti lelah setelah melakukan penerbangan yang panjang dari London, lalu hadir di sini," kata Dan
Adriana menelan ludahnya yang terasa pahit. Di depannya Daniel masih menunggunya berbicara. Sepertinya Daniel tidak ingin membiarkan dia pergi begitu saja tanpa memberi penjelasan apa-apa."Apakah tebakanku benar?" tanya Daniel sekaligus memancing Adriana agar bersedia bercerita padanya.Adriana menggeleng sambil menyunggingkan senyum manis. "Kau pasti salah paham. Tidak terjadi apa-apa di antara kami." Adriana menggoyangkan tangannya, menyangkal tuduhan Daniel."Aku dengar dari Mala bawa kau sempat bersitegang dengan ibuku saat kalian berada di toilet," ucap Daniel setelah itu.Adriana menghilangkan pelan-pelan. Rupanya seperti itu. Dia merasa lega karena Daniel hanya mengetahui bahwa dia dan ibunya tengah berselisih paham."Malam itu aku tidak sengaja menyenggol ibumu hingga membuat gaunnya basah terkena cipratan air." Adriana mengarang cerita. Dia sangat bersyukur di saat tegang seperti ini otaknya mampu berpikir dengan benar.Daniel menundukkan kepalanya, dan mendekatkan wajahnya
"Maaf .... Aku sopir taksi yang kebetulan membawa gadis ini. Sekarang dia pingsan, dan aku tidak tahu di mana tepatnya dia tinggal."Daren mendengar laki-laki itu berbicara melalui ponsel Adriana. Niatnya semula adalah dia ingin bertemu dengan Adriana. Tapi dia malah mendapat kabar bahwa Adriana pingsan."Beri tahu lokasi Anda di mana. Aku akan menyusul ke sana," pinta Daren. Tidak lama berselang Daren mendapatkan alamat yang dia minta. Mobilnya berputar arah. Dia tidak ingin membuang waktu lebih lama, jadi dia menginjak pedal gas hingga maksimal lalu mobilnya melaju sangat kencang."Maaf, sebelumnya. Apa hubunganmu dengan wanita ini?" Sopir taksi itu bertanya saat Daren sampai di tempat dia berhenti. Laki-laki berumur itu memicingkan matanya, menatap Daren dengan curiga."Saya kekasihnya," jawab Daren cepat. Untuk meyakinkan laki-laki itu, Daren membuka ponselnya, memperlihatkan sederet foto dirinya yang tengah bersama dengan Adriana.Sopir taksi itu mempercayai Daren. Dia pun mengi
Adriana memukul dada Daren berkali-kali untuk meluapkan kekesalannya, kecewanya, juga rindu yang dia rasakan pada Daren. Daren hanya diam saja, membiarkan Adriana meluapkan perasaannya. Lalu, kedua tangan Adriana terkulai lemah di samping tubuhnya."Seharusnya kau tidak menghubungi aku lagi. Seharusnya kau terus pergi, seharusnya kau biarkan aku melupakanmu untuk selamanya," ucap Adriana disertai dengan isak tangis. "Maafkan aku. Tak seharusnya aku berbuat seperti itu padamu. Aku terpaksa melakukannya karena kondisi nenek sangat buruk. Saat dia sadar, dia hanya ingin bertemu denganmu."Adriana masuk ke ruang ICU, tempat nenek Daren berbaring. Perlahan dia menghampiri ranjang nenek Daren. Dia berbisik di telinga nenek Daren."Nenek .... Ini aku Adriana."***"Maafkan aku atas kejadian tadi," ucap Adriana setelah mereka sampai di apartemen Daren. Nenek Daren langsung masuk ke kamarnya dan ingin beristirahat karena dia merasa sangat kelelahan."Bukan masalah besar. Aku tidak merasa terg
Setelah setelah berpikir selama sehari penuh. Setelah mendengar nasehat dari Airin untuk yang kesekian kali. Akhirnya ada memutuskan untuk pergi dari kehidupan Daren selamanya. Tidak ada masa depan bagi dia juga Daren.Namun sesuatu yang tidak pernah Adriana sangka kini terjadi. Di saat dia telah begitu yakin dengan keputusannya, hatinya kembali goyah. Karena Daren menghubungi dia setelah sekian hari menghilang tanpa kabar berita."Bisakah kau datang ke Hongkong? Nenek ingin bertemu denganmu."Deg. Adriana kembali mengingat nenek Daren. Pertemuan singkat mereka sangat mengesankan juga menyakitkan.***"Daren .... Apa kau mendengarkanku?"Mata Daren mengerjap saat dia menyadari tangan Adriana melambai-lambai di depan wajahnya. Dia menoleh ke samping, dan mendapati Adriana tengah menatapnya dengan sorot heran yang kentara. Daren mengulas senyum tipis, lalu menarik Adriana agar lebih mendekat padanya."Maaf, aku tidak mendengar kapan kau masuk," pinta Daren sambil menepuk punggung Adrian
Adriana terbangun dari tidurnya sambil menangis sesenggukan. Mimpinya seolah benar-benar nyata sehingga dia bisa menangis tersedu-sedu. Dalam mimpinya dia melihat Daren tengah mengadakan upacara pernikahan dengan wanita lain. Dia menatap ke arah tempat kosong yang Daren tinggalkan. Bahkan meskipun Daren telah pergi berhari-hari, dia masih bisa mencium aroma tubuh kekasihnya itu.Adriana menarik napas panjang. Dia mencoba menenangkan dirinya, lalu menepis mimpi buruknya itu. Apakah itu pertanda bahwa dia harus melepaskan Daren selamanya? Tidak ada pengharapan yang tersisa untuknya walau hanya secuil? Adriana melipat lututnya. Dia menangis lagi sambil memeluk lututnya itu.Adriana terlonjak kaget karena bunyi dering ponselnya. Dia meraba-raba saklar lampu, lalu menyalakan lampu kamarnya hingga terang benderang. Ponselnya masih berdering menunggu dia mengangkat panggilan telepon dari seseorang di sana. Adriana langsung melompat turun. Dia berpikir mungkin saja itu telepon dari Daren.
Adriana lihat sangat lesu saat dia bekerja. Diam-diam Mala memperhatikannya, merasa sangat kasihan pada bawahnya itu. Hubungan mereka tidak terlalu dekat, jadi dia merasa sungkan untuk bertanya pada Adriana.Ponsel Adriana berbunyi, menyadarkan Adriana dari lamunannya. Telepon dari Daniel. Dia bergegas mengangkatnya."Ya, Daniel. Aku akan ke ruanganmu sekarang," ucap Adriana. Adriana memandang Mala, memberi isyarat pada atasannya itu bahwa dia harus menghadap ke ruangan Daniel. Mala mengangguk mengerti. Adriana langsung berjalan cepat menuju ruangan Daniel."Ini adalah undangan perayaan empat bulan usia kehamilan Jillian. Kau harus datang ke sana. Kami akan menunggumu," pinta Daniel memaksa.Adriana tertawa lebar. "Baiklah kalau itu maumu. Sepertinya aku tidak bisa melewatkan acara khusus untuk calon keponakanku." Setelah itu Adriana kembali ke ruangannya sendiri.***Adriana akhirnya datang ke acara Gender Reveal anak Daniel dan Jillian itu. Dia merasa cemburu terhadap pasangan lain
Waktu berjalan begitu cepat. Tahu-tahu sekarang sudah menjelang akhir tahun. Adriana melihat kalender duduknya berada di atas meja di kamarnya. Selama itu tidak ada perubahan status hubungan antara dia dan Daren.Bila yang lain telah hidup berbahagia dengan pasangan masing-masing dalam ikatan pernikahan. Tidak dengan dirinya. Daren seolah tidak memiliki keinginan yang sama dengan dia. Kekasihnya itu tidak ingin terikat dalam komitmen pernikahan. Entah apa yang menyebabkan Daren seperti itu, jarang tidak pernah membuka hatinya untuk dirinya."Ternyata kau di sini. Sejak tadi aku mencarimu kemana-mana tapi aku tidak menemukanmu," ucap Daren terlihat sangat gusar sekali.Adriana memandang Daren melalui cermin di depannya. "Apakah ada sesuatu yang buruk terjadi padamu?" tanya Adriana sambil mengerutkan keningnya."Aku harus ke Hongkong hari ini," jawab Daren cepat.Adriana langsung memutar tubuhnya. "Ada apa? Nenek baik-baik saja' kan?" tanya Adriana terlihat sangat khawatir. Meskipun se
Satu bulan kemudian.Adriana tersenyum lebar melihat calon pengantin wanita yang terlihat bahagia itu. Dia begitu iri karena impiannya belum tercapai sampai sekarang. Daren seolah tidak mengerti perasaannya sebenarnya.Selama satu bulan ke belakang, Adriana mulai akrab dengan Jillian. Jillian sudah menganggapnya sebagai seorang sahabat meskipun mereka baru saling mengenal. Karena selama ini Jillian tidak pernah memiliki seorang sahabat dekat."Kau terlihat sangat cantik hari ini. Pengantin wanita tercantik yang pernah aku lihat, ucap Adriana memberi komentar.Jillian tersenyum senang mendengar ucapan Adriana. Dia kini berdiri di depan cermin setinggi badan, memandang pantulan dirinya dalam balutan gaun pengantin pilihannya. Kurang dari satu jam dia akan menikah dengan Daniel. Dia merasa sangat gelisah juga takut. Karena setelah ini dia akan tinggal bersama dengan Daniel dan keluar dari rumah yang selama ini dia tinggali."Terima kasih," ucap Jillian tanpa bisa menutupi rasa gugupnya.
Sesuai dengan janjinya semalam, Daniel menjemput Jillian di kantor Jillian sepulang dia bekerja. Dari tempatnya menghentikan mobilnya di halaman gedung kantor Media tech, dia melihat Jillian keluar dari gedung itu dengan langkah terburu-buru. Jillian melihat ke samping kanan-kirinya, memeriksa memeriksa bahwa tidak ada orang lain yang melihatnya.Jillian masuk masuk ke dalam mobil Daniel. Dia meminta dana segera pergi dari sana. Jangan sampai ada teman yang melihat dia masuk ke dalam mobil Daniel."Kenapa kau bertingkah sangat aneh?" tanya Daniel heran dengan sikap Jillian."Aku tidak ingin ada yang melihatku masuk ke dalam mobilmu lalu menjadikanku sebagai bahan gosip di kantor," jawab Jillian yang cepat. "Kau tidak tahu bahwa teman-temanku adalah penggosip yang ulung, yang bisa membuatmu stres karena menjadi bahan pembicaraan selama berhari-hari.""Mengetahui buruknya sifat karyawan perusahaanmu, membuatku memutuskan bahwa sebaiknya kau segera mengundurkan diri dari pekerjaanmu. Aku
Tubuh Daniel membeku saat dia melihat orang lain yang membuka pintu rumah Jillian. Dia memicingkan matanya, seharusnya yang dia temui adalah Jillian. Tapi saat ini orang lain lah yang berdiri di depan pintu. Wanita paruh baya yang wajahnya mirip dengan Jillian"Maaf sebelumnya. Silakan masuk.""Apa Jillian ada?" Daniel mengedarkan pandangannya ke penjuru ruang tamu rumah itu. Sayangnya wajah Jillian tidak tampak sama sekali."Jillian ada di kamarnya. Dia baru saja pingsan," jawab wanita itu dengan hati-hati."Boleh saya melihatnya?" "Tunggu sebentar. Kalau kau tidak keberatan siapa namamu?"Daniel menyunggingkan senyum tipis. "Saya Daniel," jawab Daniel mantap.Setelah itu Daniel menemui Jillian di kamarnya. Rupanya Jillian sudah sadar. Jillian berusaha membuka matanya saat menyadari Daniel berada di kamarnya."Daniel .... Maafkan aku karena mengacaukan acara makan malam kita," ucap Jillian penuh rasa bersalah."Tidak apa-apa. Kita bisa melakukannya lain kali," balas Daniel penuh peng
Mendengar ucapan Daniel, membuat mantan tunangan Jillian murka. Sesuatu terjadi di luar perkiraan Jillian dan Daniel. Rey, mantan tunangan Jillian, mengeluarkan sebilah pisau dari saku celananya. Dalam gerakan cepat dia berhasil melukai wajah Jillian dan lengan Daniel. Setelah itu dia langsung kabur dari sana.Jillian mengaduh kesakitan. Telapak tangannya dipenuhi oleh darah. Dia pun akhirnya jatuh pingsan ke tanah karena merasa terkejut atas tindakan yang dilakukan oleh Rey.Daniel lalu memanggil sopir pribadinya. Tanpa menunggu waktu lebih lama dia langsung membawa Jillian ke rumah sakit. Jillian membutuhkan bantuan segera.Sesampainya di rumah sakit, Daniel meminta dokter menangani luka di wajah Jillian terlebih dahulu. Setelah itu baru dirinya. Tapi ternyata mereka mendapat penanganan secara bersama-sama."Kondisi pasien baik-baik saja. Dia belum sadarkan diri karena masih terkejut dengan apa yang dialami. Luka di wajahnya sudah ditangani oleh dokter, tapi mungkin nanti akan mening