Daren meraih kotak itu. Dia menemukan secarik kertas di bawah kotak itu yang ternyata berisi sebuah pesan dari neneknya. Neneknya meminta Daren untuk memberikan kalung itu pada Adriana kembali.Daren mundur beberapa langkah hingga tubuhnya membentur pinggiran tempat tidurnya. Tangannya masih memegang kotak itu dengan erat. Benaknya berputar-putar. Apa maksud neneknya sebenarnya? Dia sama sekali tidak mendapatkan petunjuk apa-apa. Jalan pikiran neneknya sulit ditebak.Kemudian, Daren mengambil ponselnya dari saku kemejanya. Dia ingin menghubungi Adriana. Bagaimanapun situasinya, dia tetap harus menyampaikan pesan neneknya."Bagaimana kabarmu?" tanya Daren setelah Adriana mengangkat teleponnya."Kabarku baik," jawab Adriana pendek."Aku ingin bertemu denganmu," kata Daren langsung pada intinya. Dia tidak ingin berbasa-basi lebih lama.Ada jeda yang panjang. Adriana memilih diam. Yang terdengar di telinga Daren hanya suara hembusan napas Adriana."Adriana .... Apa kau masih di sana?" Ad
"Adriana ...."Langkah kaki Adriana langsung terhenti saat dia mendengar seseorang memanggil namanya. Tanpa ragu-ragu Adriana membalikkan badannya. Tatapan matanya beradu dengan mata Daren yang sayu. Lalu, dia memindai penampilan Daren saat ini yang jauh berbeda dari biasanya Laki-laki itu terlihat sedikit berantakan.Wajahnya terlihat kusam dengan bakal cambang yang baru tumbuh di dagunya. Lengan kemejanya tergulung sampai ke siku. Dua kancing teratas lepas dari lubangnya."Apa yang kau inginkan?" tanya Adriana tanpa basa-basi. Menurutnya dia tidak perlu mengucapkan kata-kata yang manis dan enak didengar oleh telinga."Aku tidak mungkin membicarakannya di sini," ucap Daren lesu sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar. mereka kini tengah berdiri di depan rumah Adriana disertai dengan suara bising kendaraan bermotor yang lalu-lalang di depannya.Adriana menarik napas panjang. Sepertinya dia tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui permintaan Daren. Dengan berat hati dia pun meng
"Tolong ...."Adriana semakin panik karena lift itu mendadak turun dengan kecepatan tinggi, lalu berhenti dan membuat tubuhnya terpelanting hingga membentur dinding lift. Suasananya terasa sangat menegangkan, membuat jantungnya berdegup kencang.Sebuah tangan yang kokoh memegang tangan Adriana agar dia tidak terjatuh ke bawah. Adriana berjingkat secara reflek saat dia merasakan seseorang menyentuhnya. Dia lalu menoleh ke belakang. Kedua matanya bertumbuk dengan sepasang mata berwarna coklat meneduhkan. Dia menarik tangannya pelan-pelan.“Maafkan aku,” ucap Adriana pelan. Dia tidak berani menatap lawan bicaranya. Matanya menatap ke sudut lift di depannya. Buru-buru dia menarik tangannya agar terlepas dari pegangan laki-laki itu.“Tidak apa-apa. Para teknisi pasti akan segera membenahi kerusakan ini,” balas laki-laki itu dengan suara lembut menenangkan. Tangannya menekan tombol alarm di depan Adriana.Adriana memutuskan untuk diam dan berusaha tetap tenang seperti kata-kata laki-laki itu
"Daren ...."Adriana membuka mulutnya lebar-lebar. Siapa yang menyangka dia akan bertemu Daren di sini. Dia sulit mengungkapkan perasaannya sebenarnya saat ini. Ada rasa senang karena ada Daren yang bisa membantu dirinya. Ada rasa canggung setelah hubungan mereka berakhir dengan tidak baik."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Daren setelah mereka terdiam cukup lama. Adriana berdeham, lalu menyunggingkan senyum kaku. "Aku dalam perjalanan pulang. Mobilku tiba-tiba mogok," jawab Adriana menatap Daren lurus."Memangnya kau dari mana? Malam-malam seperti ini kau masih berkeliaran di luar," kata Daren memberi komentar yang sangat pedas.Raut wajah Adriana berubah seketika, menjadi sendu. Dia memandang ke arah lain, mencoba menghindari tatapan Daren yang menghakimi. Mereka memang saling mengenal. Tapi itu tidak menjadikan Daren berkata seenaknya."Aku habis bekerja. Aku baru saja dari kantor percetakan tadi," tukas Adriana ketus. "Kantor percetakan? Apa kau bekerja di sana?" tanya Daren
"Selamat pagi," sapa Adriana saat bertemu Daniel di lobi gedung itu."Selamat pagi," balas Daniel. Dia hanya melihat Adriana sekilas, lalu berjalan tergesa-gesa mendahului Adriana. Adriana sengaja memperlambat jalannya karena tidak ingin mengganggu Daniel. Dia berjalan selangkah demi selangkah dengan ritme yang sangat lambat. Hingga dia melihat Daniel masuk ke dalam lift."Apa kau tidak mau masuk?" tanya Daniel sambil menekan tombol agar pintu lift tetap terbuka.Adriana menggeleng cepat. "Aku masih menunggu seseorang. Silakan Anda naik duluan," jawab Adriana sesopan mungkin.Tempo hari, setelah insiden itu, Adriana mencari tahu identitas laki-laki yang terjebak bersama dia di dalam lift. Salah satu pegawai memberi tahu bahwa laki-laki itu adalah Daniel, pemilik perusahaan penerbitan itu. Adriana merasa lega karena saat itu dia tidak bersikap lebih memalukan dari yang dia lakukan sebelumnya. Pintu lift itu akhirnya tertutup. Adriana menghembuskan napas yang sempat dia tahan sekuat t
Adriana mematung selama beberapa saat di depan pintu keluar gedung kantornya. Beberapa langkah dari tempatnya berdiri, dia melihat mobil Daren berhenti menunggu dirinya. Lidahnya terasa kelu.Daren menurunkan kaca jendela mobilnya, dan kepalanya melongok keluar. "Kenapa kau hanya diam di situ?" Adriana menggeleng, lalu melemparkan senyum kaku. Karena tidak ingin menjadi tontonan banyak orang, dia berjalan cepat menghampiri mobil Daren. Dia memutuskan untuk segera masuk ke dalam mobil Daren."Bukankah sudah kubilang kau tidak perlu datang menjemputku," ucap Adriana setelah duduk di samping Daren. Daren pura-pura tidak mendengar ucapan Adriana. Setelah itu dia menginjak pedal gas dan membawa mobilnya meluncur dengan kecepatan sedang. Lalu lintas malam ini tidak terlalu padat jadi dia bisa mengendarai mobilnya dengan leluasa."Sampai kapan kau akan selalu memaksakan kehendakmu?" tanya Adriana setelah mereka terdiam cukup lama. Dia merasa ada sedikit yang mengganjal di hatinya karena sej
Adriana tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata Laura. “Bukankah itu terdengar sangat kekanakan?” Dia tidak berhenti tertawa bahkan setelah satu menit terlewatkan. Laura langsung melipat wajahnya, dan memanyunkan bibirnya. Matanya berkilat-kilat karena marah. Selama dia hidup dia tidak pernah menemui orang yang berani menertawakan dirinya. Tidak seorang pun. Semua orang selalu tunduk padanya, bahkan bersedia bertekuk lutut di hadapannya.“Jangan tertawa!”Adriana seketika menutup bibirnya. Dengan sekuat tenaga dia mencoba untuk tidak tertawa lagi. Laura terlihat sangat marah, juga ingin menangis karena mata Laura kini berkaca-kaca.“Kau tidak mungkin mendapatkan keinginanmu. Karena pihak percetakan telah mencetak novelmu. Hampir delapan puluh persen,” ucap Adriana tegas. Ekspresi wajahnya kini berubah menjadi lebih serius. “Jadi percuma saja kau memintaku untuk membatalkannya," tambahnya.“Aku akan mengganti seluruh kerugiannya. Sebutkan saja berapa.”Adriana mendengus kesal. Wani
"Sepertinya aku melewatkan berita panas di kantor ini," ucap Mala saat sampai di ruangannya. Di belakangnya Adriana mengekori dirinya seperti seekor anak ayam yang mengikuti induknya."Berita apa itu?" tanya Adriana benar-benar tidak tahu maksud ucapan Mala.Mala meletakkan tasnya di atas meja kerjanya, lalu melepas jas yang dia pakai dan menggantungnya di gantungan di pojok ruangan itu. "Berita tentang Laura yang akan menyumbangkan keuntungan lima puluh persen dari penjualan novelnya untuk anak yatim," ucap Mala sambil menatap lekat-lekat Adriana. "Bukankah itu suatu kejadian yang langka? Laura tidak pernah melakukannya sebelum ini."Adriana membulatkan bibirnya, lalu mengulas tersenyum malu-malu. Rupanya kabar mengenai Laura telah tersebar di seluruh penjuru kantor perusahaan itu. Tanpa terkecuali atasannya yang baru saja kembali dari liburannya."Saya berusaha meyakinkan dia untuk tidak membatalkan proses cetak novel. Jadi, saya memberi solusi itu untuk dia.""Tidak apa-apa. Justru