Adriana membeku di tempatnya. Dia memandang Daren dan nenek Daren secara bergantian. Pikirannya sekarang sedang berkecamuk. Bolehkah dia menjawab pertanyaan itu dengan sejujurnya? Atau dia bisa berbohong, dan mengarang cerita lain?"Kenapa kau hanya diam, Adriana?"Suara nenek Daren terdengar sangat berat. Wajahnya terlihat gusar dan tidak sabaran. Ucapan Adriana beberapa saat yang lalu sangat mengganggu pikirannya."Nenek, aku bisa menjelaskan semuanya," ucap Daren kemudian."Aku tidak bertanya padamu," sergah nenek Daren sengit.Adriana menatap Daren lurus. Dari sorot matanya dia memberi isyarat pada Daren untuk berkata yang sebenarnya. Sepertinya dia tidak bisa menghindar lagi."Nenek sebelumnya aku ingin meminta maaf," ucap Adriana setenang mungkin. "Sejak awal aku tidak pernah berniat membohongi nenek.""Katakan saja yang sejujurnya. Aku tidak ingin mendengar kau bertele-tele," tukas nenek Daren ketus."Aku memang bukan istri Daren, Nek."Adriana memejamkan matanya. Tidak sanggup
Adriana mengurung diri selama beberapa hari di dalam kamarnya. Dia tidak pernah meninggalkan kamarnya walau hanya lima menit. Dirinya benar-benar terpuruk setelah kejadian itu. Ditambah lagi, dia harus menerima kenyataan pahit lainnya. Airin akan pergi meninggalkannya sendirian di sini.Hal ini membuat Sita merasa kasihan pada kondisi majikannya sekarang. Untuk menjaga kesehatan Adriana, Sita selalu mengantarkan makanan ke dalam sana. Sayangnya dia harus menelan rasa kecewa karena Adriana tidak mau menyentuh makanannya. Adriana hanya meneguk air minumnya."Non Adriana tidak makan? Apakah rasanya tidak enak?" tanya Sita dengan suara parau setelah melihat makanan yang dia antarkan ke kamar Adriana masih utuh seperti semula."Non ...." Sita setengah berteriak saat memanggil Adriana. Majikannya itu bergeming, tidak bergerak sedikit pun.Adriana memutar kepalanya. Dia menatap Sita dengan sorot sayu dan tidak bercahaya. Tanpa melihat pun dia bisa merasakan cekungan yang cukup dalam di bawah
Daren meraih kotak itu. Dia menemukan secarik kertas di bawah kotak itu yang ternyata berisi sebuah pesan dari neneknya. Neneknya meminta Daren untuk memberikan kalung itu pada Adriana kembali.Daren mundur beberapa langkah hingga tubuhnya membentur pinggiran tempat tidurnya. Tangannya masih memegang kotak itu dengan erat. Benaknya berputar-putar. Apa maksud neneknya sebenarnya? Dia sama sekali tidak mendapatkan petunjuk apa-apa. Jalan pikiran neneknya sulit ditebak.Kemudian, Daren mengambil ponselnya dari saku kemejanya. Dia ingin menghubungi Adriana. Bagaimanapun situasinya, dia tetap harus menyampaikan pesan neneknya."Bagaimana kabarmu?" tanya Daren setelah Adriana mengangkat teleponnya."Kabarku baik," jawab Adriana pendek."Aku ingin bertemu denganmu," kata Daren langsung pada intinya. Dia tidak ingin berbasa-basi lebih lama.Ada jeda yang panjang. Adriana memilih diam. Yang terdengar di telinga Daren hanya suara hembusan napas Adriana."Adriana .... Apa kau masih di sana?" Ad
"Adriana ...."Langkah kaki Adriana langsung terhenti saat dia mendengar seseorang memanggil namanya. Tanpa ragu-ragu Adriana membalikkan badannya. Tatapan matanya beradu dengan mata Daren yang sayu. Lalu, dia memindai penampilan Daren saat ini yang jauh berbeda dari biasanya Laki-laki itu terlihat sedikit berantakan.Wajahnya terlihat kusam dengan bakal cambang yang baru tumbuh di dagunya. Lengan kemejanya tergulung sampai ke siku. Dua kancing teratas lepas dari lubangnya."Apa yang kau inginkan?" tanya Adriana tanpa basa-basi. Menurutnya dia tidak perlu mengucapkan kata-kata yang manis dan enak didengar oleh telinga."Aku tidak mungkin membicarakannya di sini," ucap Daren lesu sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar. mereka kini tengah berdiri di depan rumah Adriana disertai dengan suara bising kendaraan bermotor yang lalu-lalang di depannya.Adriana menarik napas panjang. Sepertinya dia tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui permintaan Daren. Dengan berat hati dia pun meng
"Tolong ...."Adriana semakin panik karena lift itu mendadak turun dengan kecepatan tinggi, lalu berhenti dan membuat tubuhnya terpelanting hingga membentur dinding lift. Suasananya terasa sangat menegangkan, membuat jantungnya berdegup kencang.Sebuah tangan yang kokoh memegang tangan Adriana agar dia tidak terjatuh ke bawah. Adriana berjingkat secara reflek saat dia merasakan seseorang menyentuhnya. Dia lalu menoleh ke belakang. Kedua matanya bertumbuk dengan sepasang mata berwarna coklat meneduhkan. Dia menarik tangannya pelan-pelan.“Maafkan aku,” ucap Adriana pelan. Dia tidak berani menatap lawan bicaranya. Matanya menatap ke sudut lift di depannya. Buru-buru dia menarik tangannya agar terlepas dari pegangan laki-laki itu.“Tidak apa-apa. Para teknisi pasti akan segera membenahi kerusakan ini,” balas laki-laki itu dengan suara lembut menenangkan. Tangannya menekan tombol alarm di depan Adriana.Adriana memutuskan untuk diam dan berusaha tetap tenang seperti kata-kata laki-laki itu
"Daren ...."Adriana membuka mulutnya lebar-lebar. Siapa yang menyangka dia akan bertemu Daren di sini. Dia sulit mengungkapkan perasaannya sebenarnya saat ini. Ada rasa senang karena ada Daren yang bisa membantu dirinya. Ada rasa canggung setelah hubungan mereka berakhir dengan tidak baik."Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Daren setelah mereka terdiam cukup lama. Adriana berdeham, lalu menyunggingkan senyum kaku. "Aku dalam perjalanan pulang. Mobilku tiba-tiba mogok," jawab Adriana menatap Daren lurus."Memangnya kau dari mana? Malam-malam seperti ini kau masih berkeliaran di luar," kata Daren memberi komentar yang sangat pedas.Raut wajah Adriana berubah seketika, menjadi sendu. Dia memandang ke arah lain, mencoba menghindari tatapan Daren yang menghakimi. Mereka memang saling mengenal. Tapi itu tidak menjadikan Daren berkata seenaknya."Aku habis bekerja. Aku baru saja dari kantor percetakan tadi," tukas Adriana ketus. "Kantor percetakan? Apa kau bekerja di sana?" tanya Daren
"Selamat pagi," sapa Adriana saat bertemu Daniel di lobi gedung itu."Selamat pagi," balas Daniel. Dia hanya melihat Adriana sekilas, lalu berjalan tergesa-gesa mendahului Adriana. Adriana sengaja memperlambat jalannya karena tidak ingin mengganggu Daniel. Dia berjalan selangkah demi selangkah dengan ritme yang sangat lambat. Hingga dia melihat Daniel masuk ke dalam lift."Apa kau tidak mau masuk?" tanya Daniel sambil menekan tombol agar pintu lift tetap terbuka.Adriana menggeleng cepat. "Aku masih menunggu seseorang. Silakan Anda naik duluan," jawab Adriana sesopan mungkin.Tempo hari, setelah insiden itu, Adriana mencari tahu identitas laki-laki yang terjebak bersama dia di dalam lift. Salah satu pegawai memberi tahu bahwa laki-laki itu adalah Daniel, pemilik perusahaan penerbitan itu. Adriana merasa lega karena saat itu dia tidak bersikap lebih memalukan dari yang dia lakukan sebelumnya. Pintu lift itu akhirnya tertutup. Adriana menghembuskan napas yang sempat dia tahan sekuat t
Adriana mematung selama beberapa saat di depan pintu keluar gedung kantornya. Beberapa langkah dari tempatnya berdiri, dia melihat mobil Daren berhenti menunggu dirinya. Lidahnya terasa kelu.Daren menurunkan kaca jendela mobilnya, dan kepalanya melongok keluar. "Kenapa kau hanya diam di situ?" Adriana menggeleng, lalu melemparkan senyum kaku. Karena tidak ingin menjadi tontonan banyak orang, dia berjalan cepat menghampiri mobil Daren. Dia memutuskan untuk segera masuk ke dalam mobil Daren."Bukankah sudah kubilang kau tidak perlu datang menjemputku," ucap Adriana setelah duduk di samping Daren. Daren pura-pura tidak mendengar ucapan Adriana. Setelah itu dia menginjak pedal gas dan membawa mobilnya meluncur dengan kecepatan sedang. Lalu lintas malam ini tidak terlalu padat jadi dia bisa mengendarai mobilnya dengan leluasa."Sampai kapan kau akan selalu memaksakan kehendakmu?" tanya Adriana setelah mereka terdiam cukup lama. Dia merasa ada sedikit yang mengganjal di hatinya karena sej
Adriana memukul dada Daren berkali-kali untuk meluapkan kekesalannya, kecewanya, juga rindu yang dia rasakan pada Daren. Daren hanya diam saja, membiarkan Adriana meluapkan perasaannya. Lalu, kedua tangan Adriana terkulai lemah di samping tubuhnya."Seharusnya kau tidak menghubungi aku lagi. Seharusnya kau terus pergi, seharusnya kau biarkan aku melupakanmu untuk selamanya," ucap Adriana disertai dengan isak tangis. "Maafkan aku. Tak seharusnya aku berbuat seperti itu padamu. Aku terpaksa melakukannya karena kondisi nenek sangat buruk. Saat dia sadar, dia hanya ingin bertemu denganmu."Adriana masuk ke ruang ICU, tempat nenek Daren berbaring. Perlahan dia menghampiri ranjang nenek Daren. Dia berbisik di telinga nenek Daren."Nenek .... Ini aku Adriana."***"Maafkan aku atas kejadian tadi," ucap Adriana setelah mereka sampai di apartemen Daren. Nenek Daren langsung masuk ke kamarnya dan ingin beristirahat karena dia merasa sangat kelelahan."Bukan masalah besar. Aku tidak merasa terg
Setelah setelah berpikir selama sehari penuh. Setelah mendengar nasehat dari Airin untuk yang kesekian kali. Akhirnya ada memutuskan untuk pergi dari kehidupan Daren selamanya. Tidak ada masa depan bagi dia juga Daren.Namun sesuatu yang tidak pernah Adriana sangka kini terjadi. Di saat dia telah begitu yakin dengan keputusannya, hatinya kembali goyah. Karena Daren menghubungi dia setelah sekian hari menghilang tanpa kabar berita."Bisakah kau datang ke Hongkong? Nenek ingin bertemu denganmu."Deg. Adriana kembali mengingat nenek Daren. Pertemuan singkat mereka sangat mengesankan juga menyakitkan.***"Daren .... Apa kau mendengarkanku?"Mata Daren mengerjap saat dia menyadari tangan Adriana melambai-lambai di depan wajahnya. Dia menoleh ke samping, dan mendapati Adriana tengah menatapnya dengan sorot heran yang kentara. Daren mengulas senyum tipis, lalu menarik Adriana agar lebih mendekat padanya."Maaf, aku tidak mendengar kapan kau masuk," pinta Daren sambil menepuk punggung Adrian
Adriana terbangun dari tidurnya sambil menangis sesenggukan. Mimpinya seolah benar-benar nyata sehingga dia bisa menangis tersedu-sedu. Dalam mimpinya dia melihat Daren tengah mengadakan upacara pernikahan dengan wanita lain. Dia menatap ke arah tempat kosong yang Daren tinggalkan. Bahkan meskipun Daren telah pergi berhari-hari, dia masih bisa mencium aroma tubuh kekasihnya itu.Adriana menarik napas panjang. Dia mencoba menenangkan dirinya, lalu menepis mimpi buruknya itu. Apakah itu pertanda bahwa dia harus melepaskan Daren selamanya? Tidak ada pengharapan yang tersisa untuknya walau hanya secuil? Adriana melipat lututnya. Dia menangis lagi sambil memeluk lututnya itu.Adriana terlonjak kaget karena bunyi dering ponselnya. Dia meraba-raba saklar lampu, lalu menyalakan lampu kamarnya hingga terang benderang. Ponselnya masih berdering menunggu dia mengangkat panggilan telepon dari seseorang di sana. Adriana langsung melompat turun. Dia berpikir mungkin saja itu telepon dari Daren.
Adriana lihat sangat lesu saat dia bekerja. Diam-diam Mala memperhatikannya, merasa sangat kasihan pada bawahnya itu. Hubungan mereka tidak terlalu dekat, jadi dia merasa sungkan untuk bertanya pada Adriana.Ponsel Adriana berbunyi, menyadarkan Adriana dari lamunannya. Telepon dari Daniel. Dia bergegas mengangkatnya."Ya, Daniel. Aku akan ke ruanganmu sekarang," ucap Adriana. Adriana memandang Mala, memberi isyarat pada atasannya itu bahwa dia harus menghadap ke ruangan Daniel. Mala mengangguk mengerti. Adriana langsung berjalan cepat menuju ruangan Daniel."Ini adalah undangan perayaan empat bulan usia kehamilan Jillian. Kau harus datang ke sana. Kami akan menunggumu," pinta Daniel memaksa.Adriana tertawa lebar. "Baiklah kalau itu maumu. Sepertinya aku tidak bisa melewatkan acara khusus untuk calon keponakanku." Setelah itu Adriana kembali ke ruangannya sendiri.***Adriana akhirnya datang ke acara Gender Reveal anak Daniel dan Jillian itu. Dia merasa cemburu terhadap pasangan lain
Waktu berjalan begitu cepat. Tahu-tahu sekarang sudah menjelang akhir tahun. Adriana melihat kalender duduknya berada di atas meja di kamarnya. Selama itu tidak ada perubahan status hubungan antara dia dan Daren.Bila yang lain telah hidup berbahagia dengan pasangan masing-masing dalam ikatan pernikahan. Tidak dengan dirinya. Daren seolah tidak memiliki keinginan yang sama dengan dia. Kekasihnya itu tidak ingin terikat dalam komitmen pernikahan. Entah apa yang menyebabkan Daren seperti itu, jarang tidak pernah membuka hatinya untuk dirinya."Ternyata kau di sini. Sejak tadi aku mencarimu kemana-mana tapi aku tidak menemukanmu," ucap Daren terlihat sangat gusar sekali.Adriana memandang Daren melalui cermin di depannya. "Apakah ada sesuatu yang buruk terjadi padamu?" tanya Adriana sambil mengerutkan keningnya."Aku harus ke Hongkong hari ini," jawab Daren cepat.Adriana langsung memutar tubuhnya. "Ada apa? Nenek baik-baik saja' kan?" tanya Adriana terlihat sangat khawatir. Meskipun se
Satu bulan kemudian.Adriana tersenyum lebar melihat calon pengantin wanita yang terlihat bahagia itu. Dia begitu iri karena impiannya belum tercapai sampai sekarang. Daren seolah tidak mengerti perasaannya sebenarnya.Selama satu bulan ke belakang, Adriana mulai akrab dengan Jillian. Jillian sudah menganggapnya sebagai seorang sahabat meskipun mereka baru saling mengenal. Karena selama ini Jillian tidak pernah memiliki seorang sahabat dekat."Kau terlihat sangat cantik hari ini. Pengantin wanita tercantik yang pernah aku lihat, ucap Adriana memberi komentar.Jillian tersenyum senang mendengar ucapan Adriana. Dia kini berdiri di depan cermin setinggi badan, memandang pantulan dirinya dalam balutan gaun pengantin pilihannya. Kurang dari satu jam dia akan menikah dengan Daniel. Dia merasa sangat gelisah juga takut. Karena setelah ini dia akan tinggal bersama dengan Daniel dan keluar dari rumah yang selama ini dia tinggali."Terima kasih," ucap Jillian tanpa bisa menutupi rasa gugupnya.
Sesuai dengan janjinya semalam, Daniel menjemput Jillian di kantor Jillian sepulang dia bekerja. Dari tempatnya menghentikan mobilnya di halaman gedung kantor Media tech, dia melihat Jillian keluar dari gedung itu dengan langkah terburu-buru. Jillian melihat ke samping kanan-kirinya, memeriksa memeriksa bahwa tidak ada orang lain yang melihatnya.Jillian masuk masuk ke dalam mobil Daniel. Dia meminta dana segera pergi dari sana. Jangan sampai ada teman yang melihat dia masuk ke dalam mobil Daniel."Kenapa kau bertingkah sangat aneh?" tanya Daniel heran dengan sikap Jillian."Aku tidak ingin ada yang melihatku masuk ke dalam mobilmu lalu menjadikanku sebagai bahan gosip di kantor," jawab Jillian yang cepat. "Kau tidak tahu bahwa teman-temanku adalah penggosip yang ulung, yang bisa membuatmu stres karena menjadi bahan pembicaraan selama berhari-hari.""Mengetahui buruknya sifat karyawan perusahaanmu, membuatku memutuskan bahwa sebaiknya kau segera mengundurkan diri dari pekerjaanmu. Aku
Tubuh Daniel membeku saat dia melihat orang lain yang membuka pintu rumah Jillian. Dia memicingkan matanya, seharusnya yang dia temui adalah Jillian. Tapi saat ini orang lain lah yang berdiri di depan pintu. Wanita paruh baya yang wajahnya mirip dengan Jillian"Maaf sebelumnya. Silakan masuk.""Apa Jillian ada?" Daniel mengedarkan pandangannya ke penjuru ruang tamu rumah itu. Sayangnya wajah Jillian tidak tampak sama sekali."Jillian ada di kamarnya. Dia baru saja pingsan," jawab wanita itu dengan hati-hati."Boleh saya melihatnya?" "Tunggu sebentar. Kalau kau tidak keberatan siapa namamu?"Daniel menyunggingkan senyum tipis. "Saya Daniel," jawab Daniel mantap.Setelah itu Daniel menemui Jillian di kamarnya. Rupanya Jillian sudah sadar. Jillian berusaha membuka matanya saat menyadari Daniel berada di kamarnya."Daniel .... Maafkan aku karena mengacaukan acara makan malam kita," ucap Jillian penuh rasa bersalah."Tidak apa-apa. Kita bisa melakukannya lain kali," balas Daniel penuh peng
Mendengar ucapan Daniel, membuat mantan tunangan Jillian murka. Sesuatu terjadi di luar perkiraan Jillian dan Daniel. Rey, mantan tunangan Jillian, mengeluarkan sebilah pisau dari saku celananya. Dalam gerakan cepat dia berhasil melukai wajah Jillian dan lengan Daniel. Setelah itu dia langsung kabur dari sana.Jillian mengaduh kesakitan. Telapak tangannya dipenuhi oleh darah. Dia pun akhirnya jatuh pingsan ke tanah karena merasa terkejut atas tindakan yang dilakukan oleh Rey.Daniel lalu memanggil sopir pribadinya. Tanpa menunggu waktu lebih lama dia langsung membawa Jillian ke rumah sakit. Jillian membutuhkan bantuan segera.Sesampainya di rumah sakit, Daniel meminta dokter menangani luka di wajah Jillian terlebih dahulu. Setelah itu baru dirinya. Tapi ternyata mereka mendapat penanganan secara bersama-sama."Kondisi pasien baik-baik saja. Dia belum sadarkan diri karena masih terkejut dengan apa yang dialami. Luka di wajahnya sudah ditangani oleh dokter, tapi mungkin nanti akan mening