"Memangnya kamu nggak mau sama aku?" Pertanyaan penuh serangan jahat yang dilayangkan Abian dengan nada manja itu membuat Diana tertegun.Lelaki itu lantas membuka risleting celana. Tangan nakal Abian menuntun tangan Diana untuk menyentuh benda tegang miliknya lebih dalam lagi.Saat jari-jemari Diana menyentuh benda itu dengan lembut, Abian mendesah. Kepalanya mendongak dengan mata setengah terpejam."Mass ...."Diana masih berusaha menahan untuk tidak terpancing dengan permintaan Abian."Aku takut!"Sejenak Abian kembali menatap gadis itu. "Apa yang kamu takutin? Miranda? Aku kan udah bilang kalau Miranda nggak ada.""Tapi Mas Raka bisa aja ngasih tahu ke Mbak Miranda kalau Mas Abian masuk ke kamarku, kan? Sumpah aku nggak mau kejadian waktu itu terulang kembali. Kalau sekarang aku sampai diusir lagi, aku harus gimana? Aku aja baru pertama kali ini pergi keluar pulau," aku Diana setengah panik.Hal itu membuat Abian tersenyum tipis. "Tenang aja. Nggak akan ada yang berani ngusir kamu
"Mas, apa aku berhak cemburu juga?" Detik berikutnya Abian tersentak. Kalimat Diana ini sungguh menyiksa batin, jiwa, bahkan raga pria itu sekalipun. Diana benar-benar membut Abian merasa jadi manusia paling jahat sedunia karena memanfaatkan tubuh gadis itu . Tapi bukankah Diana juga menyukainya?"Boleh," jawab pria itu lemah pada akhirnya.Melihat kegundaan tercetak jelas di mata Abian, Diana pun berusaha tersenyum menutupi lukanya. "Nggak Mas, aku cuma bercanda kok! Mas Bian nggak usah mikirin pertanyaan aku. Kayak yang Mas Abian bilang waktu itu, hubungan kita cuma sekadar simbiosis mutualisme. Dan aku sadar kalau aku nggak berhak untuk cemburu.""Kenapa harus ngomong gitu sih?" Tangan pria itu menangkup dua sisi wajah Diana. Jelas Abian langsung merasa bersalah apalagi setelah Diana berkata jangan pikirkan masalah itu.Kalau tidak mau dipikirkan kenapa harus diutarakan coba?"Aku sadar posisiku Mas! Gimanapun juga aku adalah orang ketiga di antara kalian. Jadi aku paham kalau po
Diana mematut-matut tubuhnya di depan cermin. Sore ini waktunya mereka ke pantai untuk melinat sunset. Namun ia merasa bimbang karena tidak ada baju yang cocok untuk dikenakan.Tadi ia sempat melihat Miranda memakai bikini seksi yang dipadu padankan dengan outer panjang, penampilan gadis itu terlihat sempurna, dan sebagai anak gadis jelas Diana ingin berpenampilan layaknya wanita lain juga.Apalagi di pantai Bali ini hampir semua wanita memakai pakaian seksi. Diana takut dibully oleh Miranda kalau pakaian yang ia kenakan paling kuno dan kampungan sendiri."Aku harus pakai baju yang mana? Kalau pakai celana kira-kira pantas tidak ya?" Gadis itu bermonolog. Dia menatap kaca sembari menggigit bibir bawahnya, bingung.Diana sibuk memilah-milah bajunya, bahkan sampai pintu kamarnya diketuk, gadis itu masih belum menemukan pakaian yang pas untuk dikenakan.Tok ... Tok. Gadis itu pun berlari ke luar. Masih menggunakan pakaian yang sama saat mereka berangkat tadi. "Eh Mas Raka?""Jadi ke pa
Sementara itu, Raka menjadi pihak yang paling tidak tenang. Dia terus kepikiran Diana, dan tentunya khawatir dengan kondisi gadis itu juga. Ia ingin sekali menyusul gadis itu tapi Raka tidak berani alias takut diusir seperti tadi."Kenapa woi! Kamu gak jadi liat sunset sama Diana? Abian saja sudah otw, bukannya romantis-romantisan malah mendekam di pinggir kolam. Kesambet?" ledek Doni. Lelaki itu setengah ngakak melihat penampilan Raka yang terlihat kusut."Anaknya ngambek gara-gara dihina sama Miranda dan Abian, Don. Dua manusia itu emang keterlaluan!" Raka mendengkus sembari melipat tangan di depan dada. Kini ia hanya mampu menunggu Diana kembali sambil memandang kolam yang tampak tenang."Lah, kenapa lagi?" Doni ikutan duduk di kursi sebelah."Entahlah! Kayaknya Miranda ada masalah pribadi sama Diana. Makanya dia benci banget sama Diana. Tadi Miranda menghina penampilan Diana habis-habisan sampai gadis itu nangis. Abian bukannya nasehatin pacarnya malah ikutan menghina juga! Aku ja
Abian terduduk di atas pasir sembari memijit pelipisnya. Dia menatap kepergian Miranda yang semakin jauh, tapi entah kenapa kakinya terasa berat untuk mengejar gadis itu.Pikirannya terlalu melanglang buana pada Diana yang tadi sempat menunjukkan wajah kecewa saat Abian mengejek bajunya. Apa gadis itu benar-benar serius menanggapi ucapan Abian? Padahal Abian hanya mengejek baju Diana yang jelek, bukan orangnya. Lagi pula baju itu Abian yang belikan, jadi sekalipun Abian mengejek, itu sama halnya Abian mengejek pilihannya sendiri."Apa aku harus cari Diana? Bagaimana jika dia sedang bersama Raka," gumam pria itu galau.Kegundaan menyelimuti hati Abian. Ia menatap ke arah Miranda di mana tubuh sintal wanita itu makin tidak terlihat dari jarak pandangnya.Abian terus menatap ke arah pacarnya hingga Miranda hilang dari pandangan lelaki itu. Kini Abian menunduk dengan kaki ditekuk. Dua tangannya bertumpu pada lutut. Matahari di jauh sana mulai tenggelam seolah menambah kesepian di hati A
"Buat apa aku bohong? Diana memang udah punya suami! Tapi setau aku suaminya nggak bertanggung jawab. Maka dari itu Diana pergi ke kota buat mengadu nasib," jelas Raka apa adanya."Diana nikah sama siapa, Rak?" Miranda mulai menatap serius. Bahkan air mata yang tadi mengalir deras tiba-tiba saja berhenti tanpa sebab."Kalau kata Diana sih dia dijodohkan. Tapi aku sendiri juga belum pernah lihat langsung seperti apa muka suaminya.""Jangan-jangan ...." Miranda menatap Raka semakin serius."Jangan-jangan apa!! Abian?" Raka malah terkekeh. "Abian masih single Mir! Kalau nggak percaya liat aja KTP-nya. Lagian mana mungkin sih Abian kenal sama Diana. Kalau tidak dipaksa kakeknya mungkin Abian juga nggak mau nampung Diana di rumahnya," ujar Raka. Tahu persis kalau Abian pernah curhat kerisihannya dengan kehadiran Diana.Sayang Miranda masih belum percaya. Duduk perempuan itu terlihat gusar bukan main. "Serius bukan Abian orangnya? Jujur kehadiran Diana yang tiba-tiba cukup aneh di mata aku
"Kenapa ngomongnya nggak diterusin?" Abian menaik turunkan alisnya. Sementara punggungnya sudah menyandar di pohon dengan lagak santai dan selengean ala pria badboy."Kalau yang pakai baju ini Mbak Miranda pasti Mas Bian bakalan bilang bagus!" Diana mengulang kalimatnya lebih jelas dengan nada ketus."Terus?" Abian semakin meninggikan alis. Menunggu jawaban Diana berikutnya dengan senyuman gemas."Beda cerita kalau aku yang pakai, Mas Abian langsung bilang baju yang aku pakai jelek! Padahal baju ini Mas Abian sendiri yang pilihin!"Bibirnya mencebik. Gadis itu hendak berbalik dan menjauh, tapi tangan Abian dengan sigap menarik pinggang Diana hingga tubuh mereka saling bertabrakan satu sama lain.Tak mau membuang kesempatan, Abian bahkan langsung melingkarkan tangannya di pinggang gadis itu."Apa begini bentukan seorang Diana kalau lagi cemburu?""Apaan si Mas!" Diana berusaha menggeliat. Tak mau jika ada orang yang melihat mereka meski kondisi pantai sudah mulai gelap.Ditatap sepert
Satu kecupan jatuh di bibir Diana yang ranum. Gadis itu sampai melipat bibirnya karena malu. Bisa-bisanya Abian mencium dirinya di saat keadaan Miranda sedang ngambek begitu!! Dimana akal sehat seorang Abian Putra Mahendra yang biasanya bucin parah pada pacarnya?Diana seperti tidak mengenali Abian. Dipikir-pikir pria itu banyak berubah semenjak dekat dengan dirinya.Abian lalu menatap Diana. Tersenyum puas saat mendapati rona merah pada pipi gadis itu. Dia menaikkan satu tangan lalu menyentuh pipi gembil Diana. Sementara tangan satunya lagi masih setia berada di pinggang seakan takut gadis itu kabur dari jangkauan."Dari sikap kamu yang kayak gini aku udah bisa baca Diana! Kamu pasti langsung negatif thingking karena aku bilang bajumu jelek! Seolah-olah aku lagi ngehina kamu yang jelek. Padahal tidak ada niatanku menghinamu sama sekali. Aku ulangi sekali lagi ya, yang jelek itu baju pilihanku, bukan kamu!" tegas Abian.Respon Diana hanya diam. Hal itu membuat Abian langsung menebak ka
Hari itu, ruangan dokter terasa lebih hangat dari biasanya bagi Abian. Dengan senyum yang tak bisa disembunyikan, dia memandangi layar USG yang menunjukkan gambar bayi mereka yang kedua. Antusiasme terpancar dari matanya yang berbinar saat membayangkan kehadiran anggota keluarga baru."Semoga aja yang kedua perempuan. Jadi formasi keluarga kita bakalan lengkap. Tapi kalau laki-laki juga tidak masalah. Aku juga suka," ujarnya sambil terus menatap foto hasil usg, seolah bisa melihat masa depan keluarganya yang bahagia.Di sampingnya, Diana yang mendengar ucapan Abian itu menoleh dengan ekspresi yang rumit. Matanya yang tadinya memancarkan kebahagiaan kini seolah tertutup oleh awan kegelisahan. "Sebenarnya hubungan kita ini bagaimana sih Mas? Kita jadi cerai atau tidak?" tanyanya dengan suara yang mendadak serius.Abian menoleh, ekspresi bahagianya berganti dengan tatapan yang lebih dalam. "Kamu maunya gimana?" tanyanya, mencoba menggali perasaan dan keinginan Diana yang sebenarnya."Ak
Lupakan isi hati perempuan yang sulit dipahami. Abian berusaha memaklumi sikap Diana yang aneh karena wanita itu sedang hamil sekarang.Pagi harinya, Abian dikejutkan oleh kabar Diana yang pingsan mendadak. Dia dilarikan ke rumah sakit karena kekurangan cairan.Abian saat itu cukup panik. Dia baru saja duduk di kursi kantor saat kabar itu datang. Tanpa basa-basi Abian langsung pergi menuju rumah sakit tempat Diana dilarikan.Sesampainya di rumah sakit ada kakeknya yang menunggu Diana. "Gimana keadaannya, Kek?" tanya Abian dengan wajah pucat pasi."Masih di dalam, dokter sedang menanganinya," jawab kakeknya sambil memandang lekat-lekat ke arah pintu ruang gawat darurat.Abian menghela napas berat. Pundaknya terasa seolah ditumpuk beban berat. Dia duduk di samping kakeknya, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertanya lebih lanjut tapi kata-kata terasa tersangkut di tenggorokannya.Beberapa menit terasa seperti jam berlalu hingga akhirnya seorang dokter keluar dari ruang tersebut. A
Diana menatap pintu kamar anaknya yang tertutup rapat, berharap suara lembut dari luar tidak akan membangunkan si kecil. Punggungnya terasa kaku, tangannya gemetar sedikit saat memegang gagang pintu. Ketika Abian berbicara, suaranya menimbulkan desas-desus yang menambah ketegangan di udara."Azka sudah tidur?""Sudah," sahut Diana, suaranya hampir tak terdengar, berusaha keras menyembunyikan kegugupannya."Kalau sudah selesai ayo tidur ke kamar. Bagaimanapun kita belum resmi cerai. Jadi usahakan jangan membuat orang salah paham," kata Abian dengan nada yang mencoba terdengar tenang namun Diana bisa mendengar sedikit kekecewaan di dalamnya.Kata-kata itu seperti jarum yang menusuk-nusuk perasaan Diana, membuatnya semakin merasa tidak nyaman. Tanpa menjawab, ia melangkah pergi, meninggalkan Abian yang masih berdiri di ambang pintu. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah lantai di bawahnya menjadi lumpur yang menahan kakinya."Kamar kita masih sama kayak dulu. Ada di atas," sambun
Kakek Bram berdiri tegak di halaman villa, keriput di wajahnya semakin terlihat jelas, namun matanya masih tajam dan penuh semangat.Diana baru saja sampai di villa dan melihat sosok Kakek Bram yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Tubuh Kakek Bram tampak lebih renta, namun ia tetap berdiri tegap dan berkharisma."Kakek," sapa Diana dengan suara agak gemetar, mengetahui Kakek Bram pasti punya maksud tertentu mendatanginya.Kakek Bram tersenyum tipis, "Apa kabar Diana? Lama tidak berjumpa!""Kabar baik, Kek!" jawab Diana sambil berusaha tersenyum, menutupi rasa cemas yang menyelimuti hatinya."Ayo masuk, Kakek pasti sudah menunggu lama di sini kan," ajak Diana, berharap bisa mengalihkan pembicaraan.Namun Kakek Bram menggelengkan kepalanya pelan, "Maaf, Diana. Kakek tidak mau basa-basi. Kamu pasti paham tujuan Kakek ke sini buat apa."Diana menelan ludah, hatinya berdebar semakin kencang. Ia tidak tahu apa yang akan dibahas Kakek Bram, namun ia tahu, apa pun itu, pasti sangat pentin
Diana menatap Prass dengan mata berkaca-kaca, seolah tak sanggup menahan kesedihan yang mendalam. Prass, yang sejak tadi mencoba menunjukkan sikap tegas, mulai merasa jantungnya berdegup kencang. Ia sadar, ini bukan hanya tentang kebahagiaan dirinya, tapi juga tentang Diana dan Bian."Maafkan aku, Mas Prass. Menurutku ini jalan terbaik untuk kita bertiga. Aku dengan jalanku, Mas Bian dengan jalannya, dan Mas Prass dengan langkah Mas sendiri," ungkap Diana dengan nada lirih.Prass mengepalkan tangannya, merasakan rasa kecewa yang begitu dalam. "Jadi begitu menurutmu. Jujur aku kecewa sekali dengan putusnya hubungan kita , Diana. Tapi aku cukup tercengang dengan isi pikiranmu. Menurutku kamu salah!"Diana terkejut, "Salah?""Hum. Kalau kamu masih sayang pada Abian. Kejarlah dia. Untuk apa kamu ikut menyerah?" kata Prass, mencoba menyadarkan Diana."Biar adil untuk Mas. Menurutku tidak etis jika aku berbahagia dia atas penderitaan orang," jawab Diana dengan suara terputus-putus."Sejak
Diana merasa hampa, ia menatap lantai dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa tidak berdaya, tidak bisa mencegah Abian pergi meninggalkannya. Diana memang terlalu egois untuk mengatakan bahwa dirinya masih membutuhkan laki-laki itu.Saat sedang tenggelam dalam kesedihan, tiba-tiba pintu terbuka dan Firman datang. Firman, bapak Nuna yang dulunya jahat namun kini sudah bertobat."Nuna, apa yang terjadi?" tanya Firman cemas, melihat wajah anaknya yang sembab karena menangis. "Mas Bian baru saja pergi, Yah. Dia minta tinggal satu bulan di sini sebelum kita bercerai, dan sekarang waktunya sudah tinggal di sini habis," jawab Nuna dengan suara serak."Terus kenapa kamu nangis?" tanya Firman heran, berusaha menenangkan Nuna.Nuna menangis semakin keras, Firman mencoba merangkul dan mengusap punggung Nuna, berusaha memberi dukungan pada anaknya yang sedang berduka. Di tengah kekacauan hati ini, Diana merasa sendiri dan terluka, namun ia bersyukur masih memiliki Firman yang peduli dan siap mend
Abian merasakan perasaan yang tidak adil menyeruak dalam hatinya. Ini seharusnya hari yang penuh kebahagiaan karena ia mengetahui istrinya sedang mengandung anak mereka. Namun, kebahagiaan itu sirna saat ia melihat Diana menangis sambil menyebut nama Prass, pria yang membuat harapan Abian dalam mendapatkan Diana kembali sedikit terhambat, malahan terancam hancur berantakan."Kenapa kamu nangis, Diana? Harusnya kamu bahagia dengan kehamilanmu," ujar Abian dengan nada sedih yang mencoba ditekan."Bahagia gimana? Kamu lupa kalau kita mau cerai. Dan juga, aku sudah terlanjur janji sama Mas Prass kalau kita akan menikah setelah pengajuan perceraianku dikabulkan. Sekarang gimana caranya aku cerai kalau aku hamil!" isak Diana yang tak mampu menahan tangisnya."Pras lagi Prass lagi! Kalau kamu hamil artinya Tuhan tidak ingin kita berdua cerai. Harusnya kamu sadar Diana. Bisa jadi ini petunjuk dari Tuhan," gerutu Abian, rasanya ingin meludah mendengar nama pria itu. Namun sekali lagi, ia ber
Mata Abian terus menatap Diana yang muntah-muntah di pojok kamar mandi. Dengan cepat, ia bergegas ke apotik untuk membeli obat.Sambil mengendarai mobil, pikirannya terus menerka apakah Diana benar-benar hamil atau tidak.Setibanya di rumah, Abian segera menyodorkan 5 buah tespack kepada Diana yang masih terengah-engah."Apa ini?" tanya Diana heran."Dicoba saja! Barangkali..." ucap Abian dengan nada bersemangat."Kamu gila ya? Aku tidak hamil. Datang bulanku bahkan masih kurang satu minggu lagi," bantah Diana."Apa salahnya mencoba," sahut Abian. Ia segera menarik tangan Diana dan membawanya ke kamar mandi. Abian memberikan sebuah wadah kecil untuk menampung urin Diana."Kamu ngapain?" tanya Diana dengan kesal."Ayo, kita buktikan sekarang juga. Aku hanya ingin memastikan secara langsung kalau kamu tidah hamil," jawab Abian dengan nada lembut namun tegas."Gila ya? Kalau mau coba benda ini paling tidak kamu keluar dulu!""Tidak mau! Mana tahu kamu nanti ganti air urin nya dengan air
"Wah ... Wah. Sepertinya ada tontonan gratis dan seru nih," gumam Bian."Mas Bian ngapain kesini?" Diana rasanya ingin menonjok muka Abian. Mau apa dia malah menyusul ke sini.Sudah tahu situasinya sedang tidak baik-baik saja, Abian malam datang seakan menyiram kobaran api dengan minyak tanah."Salam buat si miniom Prass," seru Abian.Prass merasa darahnya mendidih ketika mendengar kata-kata Abian.Wajahnya tampak merah padam, sedangkan tangannya mengepal erat hingga kulit putih memerah. Dia menatap sengit ke arah Abian, yang berdiri di ambang pintu gerbang dengan senyum sinis yang menghina."Kamu tenang aja. Mas nggak ada bayangin apa-apa. Kamu dan Abian masih sepasang suami istri. Kalian sah jika melakukan hal semacam itu," ujar Prass dengan suara bergetar. Dia berusaha menenangkan diri dan tidak terpancing oleh provokasi Abian."Akhirnya kamu sadar!" celetuk Abian, sambil tertawa kecil. Laki-laki itu muncul seperti hantu, dengan wajah pucat dan mata yang menyala mengejek."Menyerah