"Apa kamu bilang? Istri?" Doni terbelalak tak percaya. Sejenak, otaknya terasa kosong dan ia mengabaikan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya. Pria itu perlahan mendekat ke arah Abian yang tengah berjuang mengatur napas sambil meringis menahan rasa sakit. Keduanya sama-sama menyandar di pinggir kolam ikan dengan napas terengah-engah. Abian lantas menyeka bibirnya yang mengeluarkan darah. Dia terbatuk pelan karena tonjokan Doni yang menghantam pipinya begitu keras. "Apa maksudnya dengan istri? Kau dan Diana sudah—?" Desakan dari Doni membuatnya ingin menjerit sejadi-jadinya. "Iya, aku sudah menikah!" Abian sigap memotong kata-kata Doni. Suasana memanas, penuh tekanan yang hampir terasa menyempitkan paru-paru mereka berdua. Dan dalam kegelapan itu, mereka mencoba mencari kebenaran di mata satu sama lain.Sontak mata lelaki itu membeliak, terasa seperti ditampar oleh kenyataan yang terasa begitu menyakitkan. Ia tak bisa menerima bahwa situasi yang terjadi saat ini nyata, buk
Abian refleks menjenggut rambutnya dengan kedua tangan. Pertanyaan Doni barusan sukses membuat kepala Abian makin berdenyut ngilu mendengarnya. Dia merasa menjadi manusia paling berdosa di muka bumi ini."Aku tidak tahu Doni! Aku pusing!" keluh pria itu terlihat seperti orang putus asa sekali.Doni yang sebenarnya masih marah karena merasa dibohongi seakan dipaksa untuk tidak marah melihat keadaan Abian yang seperti itu. Tangannya bergerak halus meremas bahu Abian seakan memberi lelaki itu kekuatan untuk berpikir jernih. "Pusing aku Don! Kenapa masalah terus-terusan menghantuiku," tanya pria itu dengan bodohnya. Jelas Doni langsung menggertakan seluruh gigi-giginya. "Menurutmu sekarang aku harus gimana?" tanya pria itu lagi. Kini Doni benar-benar tak tahan. Dengan kekesalan yang memuncak peuh, ia menjenggut kuat-kuat rambut Abian sampai lelaki itu meringis kaget!""Bodoh! Dasar manusia bodoh. Perusahaan saja kamu elus-elus giliran masalah beginian kamu gak becus!" makinya."Aku but
Miranda baru saja membuka pintu kamar hotel saat sebuah tangan menyambutnya dengan rangkulan yang sangat kuat. Tubuh gadis itu terangkat, terhoyong dan berakhir jatuh di atas ranjang.“Alex, apa yang kamu lakukan, hei?”“Kamu lelet sekali Mir! Apa kamu tahu aku menunggumu di tempat ini sejak pagi?” ucap Alex galak, pria itu langsung menindih tubuh Miranda tak sabaran. Sebisa mungkin Miranda mengatur napasnya agar dapat menghindari perlakuan Alex yang membagongkan. Alex adalah anak pemilik club malam tempat Miranda bekerja. Dia sudah lama menginginkan Miranda, tapi Miranda tetap kekeh menjaga kesuciannya karena ia ingin menyerahkan yang satu itu hanya untuk Abian seorang. Sementara Alex, pria itu hanya mendapat foreplay dan sedikit service dari Miranda. Itu pun kalau gadis itu membutuhkan bantuan seperti ini. Kalau tidak Miranda akan menjauh karena Alex cukup berbahaya. Dia perokok, pemabuk, suka main wanita, dan semua yang ada di diri Alex bukan tipe Miranda sama sekali.“Tahan dulu
"Waktumu di sana cuma dua hari. Ini alamat resort tempat mereka menginap. Aku mau kamu menyingkirkan Diana di Bali saja!" Miranda memberikan secarik kertas yang sudah ia tulis di dalam kertas catatan kepada Alex. Pria itu menerimanya dengan gaya slengean dan membacanya sekilas."Baiklah ... Tapi aku tidak bisa janji banyak! Aku takut pacarmu bikin rese dan membuatku kesulitan melenyapkan anak itu. Jadi kasih waktu untuk membaca situasi terlebih dahulu.""Jangan terlalu lama, Alex. Aku sudah memberikan semua yang kamu mau bahkan rela mengambil risiko dibuang Abian," kecam gadis yang sudah tidak gadis itu.Miranda tahu betul kalau Abian sangat menjunjung yang namanya kesucian. Mereka suka mesum-mesuman. Suka ciuman dan pegang sana-sini, tapi semua yang keduanya lakukan tidak pernah melewati batas karena Abian pintar sekali menahan diri. Mirandah bahkan sering kewalahan menghadapi Abian. Tapi itu sudah menjadi keputusan lelaki itu untuk tidak melakukan seks sebelum menikah. Mau tidak ma
Sebuah meja bundar besar menjadi penghalang duduk antara Kakek Bram dan Diana. Dari posisinya kini, Bram bisa melihat jelas raut bingung dan sedikit takut yang terpancar di wajah gadis itu.Bram yakin Diana pasti bingung karena dirinya hadir tanpa aba. Mungkin saja Diana sedang berpikir apa salahnya sampai Kakek Bram nekat menemuinya."Santai saja Diana. Wajahmu terlihat ketakutan begitu. Aku jadi tidak enak dilihat banyak orang," kelakar Kakek Bram. "Maaf Kek!""Santai saja, jika ada yang ingin kamu tanyakan silakan ditanyakan dulu."Diana meneguk ludah. Gadis itu membenarkan posisi duduknya. Matanya terus menatap Kakek Bram tak berkedip diiringi wajah sungkannya yang menambah kegemasan. Ya, Bram gemas melihat tingkah bocah kampung 19 tahun itu."Maaf Kek. Sebelumnya kalau boleh tahu, dari mana Kakek tahu kalau aku dan Mas Bian menginap di hotel ini?"Senyum Kakek Bram mengembang. Pertanyaan polos ini terlihat lucu untuk Kakek Bram yang memiliki banyak mata di mana pun. Apa bocah pol
Keraguan tampak menyelimuti wajah Kakek Bram saat pria tua itu hendak bicara. Diana jelas gusar dengan sikapnya, dia mulai tak tahan dengan bicara Kakek tua itu yang lelet sekali. Tapi apa daya?Tak ada yang bisa Diana lakukan selain menunggu Kakek Bram menjelaskan semuanya dengan sabar. Sesekali ia memainkan jarinya, atau menggesek jempol kakinya di bawah sana dengan tumit."Sebenarnya Ayahmu adalah orang jahat Diana. Satu hari setelah membawamu ke Jakarta, aku sengaja mencari tahu asal-usulmu, itu untuk memastikan apakah kamu layak untuk Abian atau tidak. Ada banyak hal yang harus aku pastikan sebelum memutuskan untuk menikahkan kalian.”Respon Diana hanya diam saja mendengar ucapan Kakek Bram di bagian itu. Ia yang sudah terbiasa dijahati dan disiksa oleh ayahnya setiap hari merasa bahwa apa yang dikatakan Kakek Bram terlalu basi untuk didengar.“Penyelidikanku tentang dirimu tak tanggung-tanggung, orangku bahkan sampai menanyakan langsung pada ayahmu! Dan apakah kamu ingin tahu al
"Kamu serius? Kok tiba-tiba banget kepengin begituan? Kamu nggak lagi becandain aku kan? Kok bisa! Ah, Diana! Aku bingung. Aku nggak tahu harus ngomong apa!"Abian malah berguling sambil menutupi wajah malunya. Diajak seperti itu oleh Diana rasanya masih tidak menyangka saja."Mas Abian kenapa kayak gitu? Mas Bian gak ma--""Mau!" potong Abian cepat."Aku mau banget Diana! Cuma aku masih bingung. Aku takut yang aku dengar sekarang cuma mimpi. Gimana kalau beneran mimpi? Nanti aku malah kecewa."Abian bergulang-guling di ranjang seperti orang gila. Diana jadi bingung harus bereaksi apa. Dia sendiri juga malu. Apa yang dia katakan tadi terlalu tabu! Ditambah lagi respon Abian seperti belut disiram garam begitu.Setelah puas menutupi wajahnya, Abian kembali mengambil posisi duduk. Dia menghadapi Diana sembari menatap lekat-lekat wajahnya.Sejenak mereka berdua saling pandang dengan muka sama-sama merona karena malu.“Diana, tapi kamu nawarin aku bukan karena terpaksa kan? Sebenarnya aku
Tepat jam makan malam, Doni datang ke hotel berniat untuk minta maaf pada Diana dan sekalian ingin membicarakan sesuatu pada mereka berdua.Setelah mendengar sendiri bagaimana sikap Raka tadi, Doni rasa Abian dan Diana harus segera mengklasifikasikan hubungan mereka supaya tidak terjadi perselisihan sengit di kemudian lagi. Ia juga kasihan terhadap Raka yang terlanjur mencintai Diana setengah mati. Doni tidak mau pria itu terus berharap sesuatu yang tidak pasti. Apalagi sesuatu itu adalah milik sahabatnya sendiri. Bisa ada perang Baratayuda jika hal ini tidak segera diklarifikasikan."Ayo ...." Abian tampak menarik tangan Diana yang bersembunyi takut-takut di belakang tubuh pria itu. Dari tempat duduknya sekarang, Doni bisa melihat betapa sungkannya Diana bertemu dengan Doni. Itu pasti karena pertengkaran mereka kemarin.Doni sendiri memang merasa dirinya sudah keterlaluan pada Diana. Dia marah sampai tidak ingat kalau Diana hanyalah gadis remaja dengan usia 19 tahun. Pikirannya past
Hari itu, ruangan dokter terasa lebih hangat dari biasanya bagi Abian. Dengan senyum yang tak bisa disembunyikan, dia memandangi layar USG yang menunjukkan gambar bayi mereka yang kedua. Antusiasme terpancar dari matanya yang berbinar saat membayangkan kehadiran anggota keluarga baru."Semoga aja yang kedua perempuan. Jadi formasi keluarga kita bakalan lengkap. Tapi kalau laki-laki juga tidak masalah. Aku juga suka," ujarnya sambil terus menatap foto hasil usg, seolah bisa melihat masa depan keluarganya yang bahagia.Di sampingnya, Diana yang mendengar ucapan Abian itu menoleh dengan ekspresi yang rumit. Matanya yang tadinya memancarkan kebahagiaan kini seolah tertutup oleh awan kegelisahan. "Sebenarnya hubungan kita ini bagaimana sih Mas? Kita jadi cerai atau tidak?" tanyanya dengan suara yang mendadak serius.Abian menoleh, ekspresi bahagianya berganti dengan tatapan yang lebih dalam. "Kamu maunya gimana?" tanyanya, mencoba menggali perasaan dan keinginan Diana yang sebenarnya."Ak
Lupakan isi hati perempuan yang sulit dipahami. Abian berusaha memaklumi sikap Diana yang aneh karena wanita itu sedang hamil sekarang.Pagi harinya, Abian dikejutkan oleh kabar Diana yang pingsan mendadak. Dia dilarikan ke rumah sakit karena kekurangan cairan.Abian saat itu cukup panik. Dia baru saja duduk di kursi kantor saat kabar itu datang. Tanpa basa-basi Abian langsung pergi menuju rumah sakit tempat Diana dilarikan.Sesampainya di rumah sakit ada kakeknya yang menunggu Diana. "Gimana keadaannya, Kek?" tanya Abian dengan wajah pucat pasi."Masih di dalam, dokter sedang menanganinya," jawab kakeknya sambil memandang lekat-lekat ke arah pintu ruang gawat darurat.Abian menghela napas berat. Pundaknya terasa seolah ditumpuk beban berat. Dia duduk di samping kakeknya, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertanya lebih lanjut tapi kata-kata terasa tersangkut di tenggorokannya.Beberapa menit terasa seperti jam berlalu hingga akhirnya seorang dokter keluar dari ruang tersebut. A
Diana menatap pintu kamar anaknya yang tertutup rapat, berharap suara lembut dari luar tidak akan membangunkan si kecil. Punggungnya terasa kaku, tangannya gemetar sedikit saat memegang gagang pintu. Ketika Abian berbicara, suaranya menimbulkan desas-desus yang menambah ketegangan di udara."Azka sudah tidur?""Sudah," sahut Diana, suaranya hampir tak terdengar, berusaha keras menyembunyikan kegugupannya."Kalau sudah selesai ayo tidur ke kamar. Bagaimanapun kita belum resmi cerai. Jadi usahakan jangan membuat orang salah paham," kata Abian dengan nada yang mencoba terdengar tenang namun Diana bisa mendengar sedikit kekecewaan di dalamnya.Kata-kata itu seperti jarum yang menusuk-nusuk perasaan Diana, membuatnya semakin merasa tidak nyaman. Tanpa menjawab, ia melangkah pergi, meninggalkan Abian yang masih berdiri di ambang pintu. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah lantai di bawahnya menjadi lumpur yang menahan kakinya."Kamar kita masih sama kayak dulu. Ada di atas," sambun
Kakek Bram berdiri tegak di halaman villa, keriput di wajahnya semakin terlihat jelas, namun matanya masih tajam dan penuh semangat.Diana baru saja sampai di villa dan melihat sosok Kakek Bram yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Tubuh Kakek Bram tampak lebih renta, namun ia tetap berdiri tegap dan berkharisma."Kakek," sapa Diana dengan suara agak gemetar, mengetahui Kakek Bram pasti punya maksud tertentu mendatanginya.Kakek Bram tersenyum tipis, "Apa kabar Diana? Lama tidak berjumpa!""Kabar baik, Kek!" jawab Diana sambil berusaha tersenyum, menutupi rasa cemas yang menyelimuti hatinya."Ayo masuk, Kakek pasti sudah menunggu lama di sini kan," ajak Diana, berharap bisa mengalihkan pembicaraan.Namun Kakek Bram menggelengkan kepalanya pelan, "Maaf, Diana. Kakek tidak mau basa-basi. Kamu pasti paham tujuan Kakek ke sini buat apa."Diana menelan ludah, hatinya berdebar semakin kencang. Ia tidak tahu apa yang akan dibahas Kakek Bram, namun ia tahu, apa pun itu, pasti sangat pentin
Diana menatap Prass dengan mata berkaca-kaca, seolah tak sanggup menahan kesedihan yang mendalam. Prass, yang sejak tadi mencoba menunjukkan sikap tegas, mulai merasa jantungnya berdegup kencang. Ia sadar, ini bukan hanya tentang kebahagiaan dirinya, tapi juga tentang Diana dan Bian."Maafkan aku, Mas Prass. Menurutku ini jalan terbaik untuk kita bertiga. Aku dengan jalanku, Mas Bian dengan jalannya, dan Mas Prass dengan langkah Mas sendiri," ungkap Diana dengan nada lirih.Prass mengepalkan tangannya, merasakan rasa kecewa yang begitu dalam. "Jadi begitu menurutmu. Jujur aku kecewa sekali dengan putusnya hubungan kita , Diana. Tapi aku cukup tercengang dengan isi pikiranmu. Menurutku kamu salah!"Diana terkejut, "Salah?""Hum. Kalau kamu masih sayang pada Abian. Kejarlah dia. Untuk apa kamu ikut menyerah?" kata Prass, mencoba menyadarkan Diana."Biar adil untuk Mas. Menurutku tidak etis jika aku berbahagia dia atas penderitaan orang," jawab Diana dengan suara terputus-putus."Sejak
Diana merasa hampa, ia menatap lantai dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa tidak berdaya, tidak bisa mencegah Abian pergi meninggalkannya. Diana memang terlalu egois untuk mengatakan bahwa dirinya masih membutuhkan laki-laki itu.Saat sedang tenggelam dalam kesedihan, tiba-tiba pintu terbuka dan Firman datang. Firman, bapak Nuna yang dulunya jahat namun kini sudah bertobat."Nuna, apa yang terjadi?" tanya Firman cemas, melihat wajah anaknya yang sembab karena menangis. "Mas Bian baru saja pergi, Yah. Dia minta tinggal satu bulan di sini sebelum kita bercerai, dan sekarang waktunya sudah tinggal di sini habis," jawab Nuna dengan suara serak."Terus kenapa kamu nangis?" tanya Firman heran, berusaha menenangkan Nuna.Nuna menangis semakin keras, Firman mencoba merangkul dan mengusap punggung Nuna, berusaha memberi dukungan pada anaknya yang sedang berduka. Di tengah kekacauan hati ini, Diana merasa sendiri dan terluka, namun ia bersyukur masih memiliki Firman yang peduli dan siap mend
Abian merasakan perasaan yang tidak adil menyeruak dalam hatinya. Ini seharusnya hari yang penuh kebahagiaan karena ia mengetahui istrinya sedang mengandung anak mereka. Namun, kebahagiaan itu sirna saat ia melihat Diana menangis sambil menyebut nama Prass, pria yang membuat harapan Abian dalam mendapatkan Diana kembali sedikit terhambat, malahan terancam hancur berantakan."Kenapa kamu nangis, Diana? Harusnya kamu bahagia dengan kehamilanmu," ujar Abian dengan nada sedih yang mencoba ditekan."Bahagia gimana? Kamu lupa kalau kita mau cerai. Dan juga, aku sudah terlanjur janji sama Mas Prass kalau kita akan menikah setelah pengajuan perceraianku dikabulkan. Sekarang gimana caranya aku cerai kalau aku hamil!" isak Diana yang tak mampu menahan tangisnya."Pras lagi Prass lagi! Kalau kamu hamil artinya Tuhan tidak ingin kita berdua cerai. Harusnya kamu sadar Diana. Bisa jadi ini petunjuk dari Tuhan," gerutu Abian, rasanya ingin meludah mendengar nama pria itu. Namun sekali lagi, ia ber
Mata Abian terus menatap Diana yang muntah-muntah di pojok kamar mandi. Dengan cepat, ia bergegas ke apotik untuk membeli obat.Sambil mengendarai mobil, pikirannya terus menerka apakah Diana benar-benar hamil atau tidak.Setibanya di rumah, Abian segera menyodorkan 5 buah tespack kepada Diana yang masih terengah-engah."Apa ini?" tanya Diana heran."Dicoba saja! Barangkali..." ucap Abian dengan nada bersemangat."Kamu gila ya? Aku tidak hamil. Datang bulanku bahkan masih kurang satu minggu lagi," bantah Diana."Apa salahnya mencoba," sahut Abian. Ia segera menarik tangan Diana dan membawanya ke kamar mandi. Abian memberikan sebuah wadah kecil untuk menampung urin Diana."Kamu ngapain?" tanya Diana dengan kesal."Ayo, kita buktikan sekarang juga. Aku hanya ingin memastikan secara langsung kalau kamu tidah hamil," jawab Abian dengan nada lembut namun tegas."Gila ya? Kalau mau coba benda ini paling tidak kamu keluar dulu!""Tidak mau! Mana tahu kamu nanti ganti air urin nya dengan air
"Wah ... Wah. Sepertinya ada tontonan gratis dan seru nih," gumam Bian."Mas Bian ngapain kesini?" Diana rasanya ingin menonjok muka Abian. Mau apa dia malah menyusul ke sini.Sudah tahu situasinya sedang tidak baik-baik saja, Abian malam datang seakan menyiram kobaran api dengan minyak tanah."Salam buat si miniom Prass," seru Abian.Prass merasa darahnya mendidih ketika mendengar kata-kata Abian.Wajahnya tampak merah padam, sedangkan tangannya mengepal erat hingga kulit putih memerah. Dia menatap sengit ke arah Abian, yang berdiri di ambang pintu gerbang dengan senyum sinis yang menghina."Kamu tenang aja. Mas nggak ada bayangin apa-apa. Kamu dan Abian masih sepasang suami istri. Kalian sah jika melakukan hal semacam itu," ujar Prass dengan suara bergetar. Dia berusaha menenangkan diri dan tidak terpancing oleh provokasi Abian."Akhirnya kamu sadar!" celetuk Abian, sambil tertawa kecil. Laki-laki itu muncul seperti hantu, dengan wajah pucat dan mata yang menyala mengejek."Menyerah