Tepat jam makan malam, Doni datang ke hotel berniat untuk minta maaf pada Diana dan sekalian ingin membicarakan sesuatu pada mereka berdua.Setelah mendengar sendiri bagaimana sikap Raka tadi, Doni rasa Abian dan Diana harus segera mengklasifikasikan hubungan mereka supaya tidak terjadi perselisihan sengit di kemudian lagi. Ia juga kasihan terhadap Raka yang terlanjur mencintai Diana setengah mati. Doni tidak mau pria itu terus berharap sesuatu yang tidak pasti. Apalagi sesuatu itu adalah milik sahabatnya sendiri. Bisa ada perang Baratayuda jika hal ini tidak segera diklarifikasikan."Ayo ...." Abian tampak menarik tangan Diana yang bersembunyi takut-takut di belakang tubuh pria itu. Dari tempat duduknya sekarang, Doni bisa melihat betapa sungkannya Diana bertemu dengan Doni. Itu pasti karena pertengkaran mereka kemarin.Doni sendiri memang merasa dirinya sudah keterlaluan pada Diana. Dia marah sampai tidak ingat kalau Diana hanyalah gadis remaja dengan usia 19 tahun. Pikirannya past
"Oh ya, Don! Gimana dengan Raka? Apa dia tidak curiga saat kamu ke sini? Biasanya dia selalu ngintil kan? Dia tanya tentang aku dan Diana tidak?""Satu-satu pertanyaanmu Bian! Aku bingung mau jawab yang mana! Tadinya Raka memaksa untuk ikut. Tapi aku bilang kalau aku ada perlu di luar.""Terus dia ngomong apa saja?""Raka sudah mulai curiga kalau kamu dan Diana ada hubungan. Maka dari itu selain minta maaf ada hal lain juga yang ingin aku bicarakan dengan kalian!" Doni kembali membenarkan posisi duduknya. Pandangan terlihat serius, beda sekali dengan tadi yang terlihat biasa saja."Mau ngomong apa?" Ini Diana yang menjawab. Mereka semua sudah selesai dengan kegiatan makan malam. Sebenarnya tinggal pulang, tapi Doni sepertinya masih ada yang perlu dibicarakan. Padahal perasaan Abian sudah campur aduk tidak karuan. Dia terus memikirkan adegan anu-anu yang akan dilakukan bersama Diana nanti. Kira-kira Abian harus memulai dari mana supaya Diana merasa nyaman. Dan terlebih mereka tidak g
Raka tersenyum sinis, dia menatap sejenak Kakek Bram kemudian membuang pandangannya ke arah lain.Kakek Bram ini sungguh menyebalkan. Mirip sekali dengan cucunya. Dia ambisius. Apa pun segala keinginannya harus terpenuhi meski cara yang digunakan tidak benar. Mengenal Kakek Bram sejak kecil cukup membuat Raka memahami bagaimana karakternya. Namun meskipun begitu Raka tahu kalau Kakek Bram cukup baik.“Tolong jangan ganggung hubungan Abian dan Diana. Aku harap kamu bisa mengerti walau mungkin ini sulit. Karena bagaimanapun juga Abian dan Diana sudah ditakdirkan bersama.”“Maksudnya takdir yang Anda buat sendiri?” tanya Raka dengan bahasa menyindir. “Apa Anda bisa memastikan Diana bisa bahagia dengan Abian? Anda pasti tidak tahu kan betapa menderitanya Diana selama ini? Raka masih berhubungan dengan pacarnya. Dia mengabaikan Diana. Itu sebabnya Diana bisa sampai dekat denganku!”Senyum tipis mengembang di bibir Kakek Bram. Dia bisa melihat betapa tingginya emosi yang memenuhi Raka. Nam
Diana terbangun di pagi hari dengan perasaan campur aduk. Posisinya saat ini tak mengenakan pakaian sehelai benang pun. Hanya ada selembar selimut yang menutupi tubuhnya hingga sebatas dada, itu pun masih harus ia bagi dengan Abian yang juga tidak mengenakan sehelai benang pun.Aaaaaaaa .... Pagi ini rasanya Diana ingin menjerit sekeras mungkin kala menyadari apa yang terjadi padanya bukan mimpi. Semalam ia dan Abian sudah melakukan hubungan layaknya pasangan suami istri normal. Meskipun ini bukan pertama kalinya merek bangun dalam keadaan polos, tetap saja rasanya berbeda karena ada hal yang telah mereka lepaskan secara bersamaan.Semalam adalah momen mereka kehilangan kesucian yang telah mereka jaga selama ini. 19 tahun Diana bertengger pada takhta keperwanan, dan sekarang gadis itu sudah kehilangan segalanya.Tangis Diana perlahan pecah. Buru-buru gadis itu mengusap air mata lalu berbalik badan memunggungi Abian yang masih terlelap."Apa pun yang aku lakukan semalam, itu artinya
Alex pulang ke Jakarta dengan tangan kosong karena tidak bisa gegabah terhadap Diana. Ia tahu Diana banyak yang jaga, tapi setidaknya laki-laki itu membawa berita penting tentang hubungan Abian dan Diana yang selama ini tidak diketahui oleh siapa pun.Tidak perlu tahu dari mana asalnya. Yang jelas Alex pastikan berita yang ia bawa cukup akurat. Dia bertindak hati-hati untuk memastikan semua yang dibawah adalah kebenaran.Sementara Miranda, wanita itu murka bukan main ketika mendapati Alex pulang tanpa membereskan Diana sama sekali."Jadi perempuan jalang itu masih bisa hidup dengan tenang di sekitaran Abian? Apa gunanya aku memberikan semua yang kupunya kalau begini hasilnya?" Prang!!!!prang!!!prang!!!Berbagai macam benda yang ada di hotel itu dibuang ke segala penjuru ruangan. Miranda benar-benar putus asa sampai tidak sadar mengamuk di hotel. Untung hotel yang ditempati mereka sekarang adalah milik keluarga Alex."Tenang dulu Miranda. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa jika mengg
Liburan yang seharusnya dilalui dengan kegembiraan berakhir dengan perpecahan yang sulit diatasi. Karena masih diselimuti rasa kecewa cukup dalam, Raka memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Sementara Doni ikut pulang juga menemani Raka karena Abian yang menyuruh. Pria itu khawatir Raka kenapa-napa jika dibiarkan sendiri, itu sebabnya Doni dipaksa Abian supaya ikut turun tangan juga.Abian dan Diana sendiri pulang sore harinya dengan menggunakan penerbangan berbeda. Keadaan Diana cukup tertekan. Terbukti gadis itu hanya diam saja sepanjang perjalanan, tapi Abian berusaha mengingatkan berkali-kali kalau semua akan kembali membaik. Diana hanya perlu yakin dan percaya pada Abian seorang.“Apa yang harus aku lakukan sesampainya di Jakarta? Apa sebaiknya aku pulang ke rumah Kakek sampai keadaan kalian lebih kondusif?”“Kalau kamu mau seperti itu aku juga akan pulang ke rumah Kakek. Mulai sekarang di mana pun ada kamu, harus ada aku juga!” ucap Abian posesif. Bersemulah wajah polos Dian
Di saat Diana sedang kepikiran soal Abian, pria itu malah mendatangi Miranda untuk menyelesaiakan urusan mereka yang belum kelar. Memang semua sesuai dugaan Diana. Abian pasti akan menemui Miranda cepat atau lambat. Dan tahu kah apa yang terjadi setelahnya?Drama di babapk baru pun dimulai....“Nggak! Aku nggak mau putus!” Itu adalah suara teriakan Miranda yang menangis histeris saat Abian mengatakan kalau dirinya minta putus. Posisi Abian saat itu benar-benar tersudut sampai dia pusing dan bingung memikirkan bagaimana caranya melepas Miranda. Gadis itu bagai benalu yang terus menempel pada tubuh Abian. Menyebalkan, dan sialnya sulit untuk dilepaskan."Kita udah sering menghadapi masalah seperti ini Bian. Bahkan masalah lebih besar pun pernah. Putus nyambung di hubungan kita udah biasa. Kenapa sekarang kamu berubah?" teriak Miranda lagi.Abian memijit pelipisnya. Teriakan Miranda cukup keras. Ia takut orang lain akan terganggu dan berakhir menghardik mereka."Masalahnya hubungan k
"Ahhhh! Biannn Teruskan!" Miranda mulai diselimuti hasrat dan gairah cukup tinggi. Dia bisa merasakan aroma nafas Abian yang selama ini ia rindukan. Aroma yang terasa hangat dan menusuk kulit. Membuat Miranda menggelinjang bahkan sekujur tubuhnya ikut merinding bukan main.Rasanya seperti mimpi merasakan tangan Abian mulai bergerilya menjelajah anggota tubuhnya. Ini jarang terjadi meskipun hubungan mereka sedang baik-baik saja."Nikmati aku Bian. Saat ini aku milikmu. Lakukan apa pun yang ingin kamu lakukan padaku," bisik Mira pada Abian. Sengaja supaya laki-laki itu tergoda akan bisikan setan yang keluar dari bibir Miranda. Namun ....Sesuatu yang tidak terduga terjadi begitu saja ....Bugh! Abian terjatuh ke lantai dalam keadaan tidak sadarkan diri. Sontak Miranda terkejut bukan main. Ini tidak sesuai dengan rencana yang telah disarankan oleh Alex. Harusnya setelah Abian meminum air putih yang sudah diberi obat perangsang oleh Miranda, Abian akan menerkamnya. Mereka lalu bercinta
Hari itu, ruangan dokter terasa lebih hangat dari biasanya bagi Abian. Dengan senyum yang tak bisa disembunyikan, dia memandangi layar USG yang menunjukkan gambar bayi mereka yang kedua. Antusiasme terpancar dari matanya yang berbinar saat membayangkan kehadiran anggota keluarga baru."Semoga aja yang kedua perempuan. Jadi formasi keluarga kita bakalan lengkap. Tapi kalau laki-laki juga tidak masalah. Aku juga suka," ujarnya sambil terus menatap foto hasil usg, seolah bisa melihat masa depan keluarganya yang bahagia.Di sampingnya, Diana yang mendengar ucapan Abian itu menoleh dengan ekspresi yang rumit. Matanya yang tadinya memancarkan kebahagiaan kini seolah tertutup oleh awan kegelisahan. "Sebenarnya hubungan kita ini bagaimana sih Mas? Kita jadi cerai atau tidak?" tanyanya dengan suara yang mendadak serius.Abian menoleh, ekspresi bahagianya berganti dengan tatapan yang lebih dalam. "Kamu maunya gimana?" tanyanya, mencoba menggali perasaan dan keinginan Diana yang sebenarnya."Ak
Lupakan isi hati perempuan yang sulit dipahami. Abian berusaha memaklumi sikap Diana yang aneh karena wanita itu sedang hamil sekarang.Pagi harinya, Abian dikejutkan oleh kabar Diana yang pingsan mendadak. Dia dilarikan ke rumah sakit karena kekurangan cairan.Abian saat itu cukup panik. Dia baru saja duduk di kursi kantor saat kabar itu datang. Tanpa basa-basi Abian langsung pergi menuju rumah sakit tempat Diana dilarikan.Sesampainya di rumah sakit ada kakeknya yang menunggu Diana. "Gimana keadaannya, Kek?" tanya Abian dengan wajah pucat pasi."Masih di dalam, dokter sedang menanganinya," jawab kakeknya sambil memandang lekat-lekat ke arah pintu ruang gawat darurat.Abian menghela napas berat. Pundaknya terasa seolah ditumpuk beban berat. Dia duduk di samping kakeknya, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertanya lebih lanjut tapi kata-kata terasa tersangkut di tenggorokannya.Beberapa menit terasa seperti jam berlalu hingga akhirnya seorang dokter keluar dari ruang tersebut. A
Diana menatap pintu kamar anaknya yang tertutup rapat, berharap suara lembut dari luar tidak akan membangunkan si kecil. Punggungnya terasa kaku, tangannya gemetar sedikit saat memegang gagang pintu. Ketika Abian berbicara, suaranya menimbulkan desas-desus yang menambah ketegangan di udara."Azka sudah tidur?""Sudah," sahut Diana, suaranya hampir tak terdengar, berusaha keras menyembunyikan kegugupannya."Kalau sudah selesai ayo tidur ke kamar. Bagaimanapun kita belum resmi cerai. Jadi usahakan jangan membuat orang salah paham," kata Abian dengan nada yang mencoba terdengar tenang namun Diana bisa mendengar sedikit kekecewaan di dalamnya.Kata-kata itu seperti jarum yang menusuk-nusuk perasaan Diana, membuatnya semakin merasa tidak nyaman. Tanpa menjawab, ia melangkah pergi, meninggalkan Abian yang masih berdiri di ambang pintu. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah lantai di bawahnya menjadi lumpur yang menahan kakinya."Kamar kita masih sama kayak dulu. Ada di atas," sambun
Kakek Bram berdiri tegak di halaman villa, keriput di wajahnya semakin terlihat jelas, namun matanya masih tajam dan penuh semangat.Diana baru saja sampai di villa dan melihat sosok Kakek Bram yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Tubuh Kakek Bram tampak lebih renta, namun ia tetap berdiri tegap dan berkharisma."Kakek," sapa Diana dengan suara agak gemetar, mengetahui Kakek Bram pasti punya maksud tertentu mendatanginya.Kakek Bram tersenyum tipis, "Apa kabar Diana? Lama tidak berjumpa!""Kabar baik, Kek!" jawab Diana sambil berusaha tersenyum, menutupi rasa cemas yang menyelimuti hatinya."Ayo masuk, Kakek pasti sudah menunggu lama di sini kan," ajak Diana, berharap bisa mengalihkan pembicaraan.Namun Kakek Bram menggelengkan kepalanya pelan, "Maaf, Diana. Kakek tidak mau basa-basi. Kamu pasti paham tujuan Kakek ke sini buat apa."Diana menelan ludah, hatinya berdebar semakin kencang. Ia tidak tahu apa yang akan dibahas Kakek Bram, namun ia tahu, apa pun itu, pasti sangat pentin
Diana menatap Prass dengan mata berkaca-kaca, seolah tak sanggup menahan kesedihan yang mendalam. Prass, yang sejak tadi mencoba menunjukkan sikap tegas, mulai merasa jantungnya berdegup kencang. Ia sadar, ini bukan hanya tentang kebahagiaan dirinya, tapi juga tentang Diana dan Bian."Maafkan aku, Mas Prass. Menurutku ini jalan terbaik untuk kita bertiga. Aku dengan jalanku, Mas Bian dengan jalannya, dan Mas Prass dengan langkah Mas sendiri," ungkap Diana dengan nada lirih.Prass mengepalkan tangannya, merasakan rasa kecewa yang begitu dalam. "Jadi begitu menurutmu. Jujur aku kecewa sekali dengan putusnya hubungan kita , Diana. Tapi aku cukup tercengang dengan isi pikiranmu. Menurutku kamu salah!"Diana terkejut, "Salah?""Hum. Kalau kamu masih sayang pada Abian. Kejarlah dia. Untuk apa kamu ikut menyerah?" kata Prass, mencoba menyadarkan Diana."Biar adil untuk Mas. Menurutku tidak etis jika aku berbahagia dia atas penderitaan orang," jawab Diana dengan suara terputus-putus."Sejak
Diana merasa hampa, ia menatap lantai dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa tidak berdaya, tidak bisa mencegah Abian pergi meninggalkannya. Diana memang terlalu egois untuk mengatakan bahwa dirinya masih membutuhkan laki-laki itu.Saat sedang tenggelam dalam kesedihan, tiba-tiba pintu terbuka dan Firman datang. Firman, bapak Nuna yang dulunya jahat namun kini sudah bertobat."Nuna, apa yang terjadi?" tanya Firman cemas, melihat wajah anaknya yang sembab karena menangis. "Mas Bian baru saja pergi, Yah. Dia minta tinggal satu bulan di sini sebelum kita bercerai, dan sekarang waktunya sudah tinggal di sini habis," jawab Nuna dengan suara serak."Terus kenapa kamu nangis?" tanya Firman heran, berusaha menenangkan Nuna.Nuna menangis semakin keras, Firman mencoba merangkul dan mengusap punggung Nuna, berusaha memberi dukungan pada anaknya yang sedang berduka. Di tengah kekacauan hati ini, Diana merasa sendiri dan terluka, namun ia bersyukur masih memiliki Firman yang peduli dan siap mend
Abian merasakan perasaan yang tidak adil menyeruak dalam hatinya. Ini seharusnya hari yang penuh kebahagiaan karena ia mengetahui istrinya sedang mengandung anak mereka. Namun, kebahagiaan itu sirna saat ia melihat Diana menangis sambil menyebut nama Prass, pria yang membuat harapan Abian dalam mendapatkan Diana kembali sedikit terhambat, malahan terancam hancur berantakan."Kenapa kamu nangis, Diana? Harusnya kamu bahagia dengan kehamilanmu," ujar Abian dengan nada sedih yang mencoba ditekan."Bahagia gimana? Kamu lupa kalau kita mau cerai. Dan juga, aku sudah terlanjur janji sama Mas Prass kalau kita akan menikah setelah pengajuan perceraianku dikabulkan. Sekarang gimana caranya aku cerai kalau aku hamil!" isak Diana yang tak mampu menahan tangisnya."Pras lagi Prass lagi! Kalau kamu hamil artinya Tuhan tidak ingin kita berdua cerai. Harusnya kamu sadar Diana. Bisa jadi ini petunjuk dari Tuhan," gerutu Abian, rasanya ingin meludah mendengar nama pria itu. Namun sekali lagi, ia ber
Mata Abian terus menatap Diana yang muntah-muntah di pojok kamar mandi. Dengan cepat, ia bergegas ke apotik untuk membeli obat.Sambil mengendarai mobil, pikirannya terus menerka apakah Diana benar-benar hamil atau tidak.Setibanya di rumah, Abian segera menyodorkan 5 buah tespack kepada Diana yang masih terengah-engah."Apa ini?" tanya Diana heran."Dicoba saja! Barangkali..." ucap Abian dengan nada bersemangat."Kamu gila ya? Aku tidak hamil. Datang bulanku bahkan masih kurang satu minggu lagi," bantah Diana."Apa salahnya mencoba," sahut Abian. Ia segera menarik tangan Diana dan membawanya ke kamar mandi. Abian memberikan sebuah wadah kecil untuk menampung urin Diana."Kamu ngapain?" tanya Diana dengan kesal."Ayo, kita buktikan sekarang juga. Aku hanya ingin memastikan secara langsung kalau kamu tidah hamil," jawab Abian dengan nada lembut namun tegas."Gila ya? Kalau mau coba benda ini paling tidak kamu keluar dulu!""Tidak mau! Mana tahu kamu nanti ganti air urin nya dengan air
"Wah ... Wah. Sepertinya ada tontonan gratis dan seru nih," gumam Bian."Mas Bian ngapain kesini?" Diana rasanya ingin menonjok muka Abian. Mau apa dia malah menyusul ke sini.Sudah tahu situasinya sedang tidak baik-baik saja, Abian malam datang seakan menyiram kobaran api dengan minyak tanah."Salam buat si miniom Prass," seru Abian.Prass merasa darahnya mendidih ketika mendengar kata-kata Abian.Wajahnya tampak merah padam, sedangkan tangannya mengepal erat hingga kulit putih memerah. Dia menatap sengit ke arah Abian, yang berdiri di ambang pintu gerbang dengan senyum sinis yang menghina."Kamu tenang aja. Mas nggak ada bayangin apa-apa. Kamu dan Abian masih sepasang suami istri. Kalian sah jika melakukan hal semacam itu," ujar Prass dengan suara bergetar. Dia berusaha menenangkan diri dan tidak terpancing oleh provokasi Abian."Akhirnya kamu sadar!" celetuk Abian, sambil tertawa kecil. Laki-laki itu muncul seperti hantu, dengan wajah pucat dan mata yang menyala mengejek."Menyerah