Maura baru saja terlelap dan hanyut dalam mimpi indahnya saat merasakan ada seseorang di sekitarnya. Namun, dia tidak punya cukup keberanian untuk membuka mata karena terlalu takut.Keadaan kamar yang cahayanya pun tidak terlalu terang pun mampu membuat rasa takut Maura semakin naik ke permukaan. Apalagi, dia merasakan seseorang menyentuh pahanya. Maura merasakan sentuhan itu seperti sentuhan yang tidak sewajarnya.“Ya Tuhan, siapa ini? Apa dia orang jahat yang dikirimkan seseorang untuk mencelakaiku? Aku berteriak akankah dia menyakitiku? Jika aku diam aja, dia juga pasti akan menyakitiku kan?”Maura bertanya dalam hati di antara ketidak berdayaannya saat ini. Tidak ada pilihan lain baginya selain tetap memberikan perlawanan. Apapun hasilnya, dia tetap akan disakiti. Setidaknya, Maura berpikir bahwa dia sudah berusaha mempertahankan dirinya dari kejahatan.“Jangan sentuh aku!” teriak Maura dan segera beranjak dari tempat tidur itu.Gerakan tangannya cepat walau dalam cahaya yang tid
Semakin hari hubungan antara Maura dan Gani semakin dekat dan tak terpisahkan saja. Gani lebih senang pergi ke mana-mana dengan Maura dari pada dengan Sarah. Begitu pula jika itu tentang mengurus dirinya dan juga masakan.Sudah satu bulan setelah Maura dan Gani melakukan perjalanan bulan madu saat itu. Sarah tampak semakin tak senang dan mencari masalah selalu dengan Maura. Maura sudah melakukan pemeriksaan terhadap pil yang waktu itu dia temukan dari kamar Sarah. Namun, hasilnya masih dia rahasiakan dari Gani karena menurutnya itu tidak baik untuk Gani tahu.“Sayang, kamu masak apa hari ini?” tanya Gani dan memeluk tubuh Maura dari belakang.Wanita itu sedang mengaduk masakan yang sengaja dipersiapkan untuk pergi piknik hari ini. Maura dan Gani sudah sepakat sejak beberapa hari lalu. Weekend ini mereka akan pergi piknik bersama-sama. Namun, sayang sekali Sarah menolak untuk ikut bersama mereka.“Aku bikin puding anggur kesukaan kamu, Sayang. Terus, aku juga bikin goreng ayam balado d
Beberapa kali terdengar suara Sarah sedang muntah di dalam kamar mandi. Maura yang mendengar tentu saja tidak tenang dan khawatir. Berulang kali dia mengetuk pintu kamar Sarah, akan tetapi wanita itu tak kunjung membukanya juga.“Duh, gimana sekarang? Mba Sarah kenapa, ya? Mana mas Gani udah berangkat kerja lagi!” gumam Maura seorang diri di depan pintu kamar Sarah yang masih tertutup rapat.“Mba ... buka pintunya sebentar, dong Mba. Mba kenapa?” tanya Maura dari luar setengah berteriak.Tidak ada jawaban dari dalam kamar itu, tapi setelahnya pintu kamar terbuka dan tampak Sarah berdiri di belakang pintu dengan wajah pucat. Mukanya basah, sepertinya Sarah baru saja membasuh muka.“Kenapa? Heboh banget deh dari tadi manggil-manggil!” ucap Sarah dengan nada ketus.“Maaf kalau aku mengganggu Mba Sarah. Tapi, aku khawatir sama keadaan Mba Sarah. Dari tadi aku dengar muntah terus. Mba Sarah sakit apa?” tanya Maura setelah menjelaskan panjang lebar.“Aku nggak apa-apa kok. Palingan masuk an
Gani sampai di rumah dan langsung terburu-buru masuk ke dalam kamar Sarah. Di sana dia melihat Sarah masih pingsan dan kepalanya dipangku oleh Maura. Gani mengangkat tubuh Sarah dan membaringkannya di atas ranjang.“Sarah ... Sayang, bangun. Kamu kenapa?” tanya Gani dan mencoba membangunkan Sarah, akan tetapi hasilnya nihil.Maura yang masih bersimpuh di lantai merasa kakinya keram dan tak bisa berdiri. Namun, dia menahannya seorang diri karena jelas saat ini Gani lebih peduli pada kesehatan Sarah dari pada dirinya.“Pak Gani.” Suara seorang pria terdengar dari depan pintu kamar Sarah.“Dok, silakan masuk. Periksa keadaan istri saya sekarang juga, Dok!” titah Gani saat melihat dokter yang dikenalnya sudah sampai dan berdiri di depan pintu kamar.“Mba ini kenapa? Apa sakit juga?” tanya dokter Cakra saat melihat Maura bersimpuh di lantai dengan menahan rasa sakit.“Nggak apa-apa, Dok. Periksa mba Sarah aja dulu. Kaki saya cumaa keram aja kelamaan duduk di lantai,” jelas Maura dengan ras
Ternyata, Maura mendengar yang dijelaskan oleh dokter Cakra tadi. Namun, karena dia tidak ingin terlihat menyedihkan, jadi Maura berprura-pura tidak mendengar dan asik dengan rasa keram di kakinya. Maura tahu pasti Gani akan memandang ke arahnya setelah dokter menjelaskan hal itu.Kini, Maura tersandar di belakang pintu dengan isak tangis yang sulit sekali rasanya untuk bisa berhenti. Pikirannya berkelana entah ke mana setelah tahu bahwa saat ini Sarah tengah mengandung anak Gani. Anak yang selama ini ditunggu dan diidamkan oleh Wulan – ibu mertuanya.Setelah puas menangis, Maura memutuskan untuk kembali ke kamarnya saja. Dia sudah kehabisana energi karena menangis. Langkahnya tertatih, kaki seperti dipaksa untuk diseret ke lantai atas menuju kamar tidurnya dengan Gani selama dua bulan belakangan ini.“Aku siap untuk mengalah dan pergi, kalau itu memang harus. Aku nggak mau menjadi penghancur rumah tangga mba Sarah dan mas Gani semakin jauh. Meski saat ini aku udah terlalu cinta, tapi
“A-aku nggak apa-apa kok, Ma. Sepertinya masuk angin doang, Ma. Soal barang-barang dan koper aku itu, aku memang sengaja membereskan aja, Ma. Soalnya kalau terjadi apa-apa gampang bawanya,” ungkap Maura dengan nada bergetar seperti menahan kegetiran dalam hatinya.“Maksud kamu gimana? Apa terjadi sesuatu?” tanya Wulan curiga dengan sikap dan ucapan Maura.“Mama udah tau kabar mba Sarah? Tadi dia juga dibawa ke rumah sakit sama mas Gani.” Maura berkata tanpa menjawab pertanyaan Wulan terlebih dahulu.“Mama tau Gani bawa dia ke rumah sakit. Tapi, Mama belum dengar kabar dia gimana. Tadi, Gani bilang masih dalam pemeriksaan dokter spesialis.”“Semoga kabar yang aku dengar tadi benar. Aku ikut senang kalau ternyata itu benar, dan selamat untuk Mama.”“Selamat? Memangnya apa sih? Mama jadi penasaran, Sayang.”“Sepertinya ... mba Sarah hamil, Ma. Tadi dokter periksa mba Sarah di rumah dan mengatakan hal itu ke mas Gani. Itu sebabnya dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut,” jel
“Ma ... apa yang terjadi sama Maura?” tanya Gani yang tiba-tiba muncul dari balik gorden ruang IGD itu.Maura dan Wulan sama-sama terkejut mendengar pertanyaan dari Gani dan kehadiran lelaki itu. Maura dengan cepat menghapus air matanya dan melepaskan genggaman tangan dengan Wulan tadi. Keduanya tampak seperti salah tingkah dan membuat Gani menaruh rasa curiga.“Kenapa? Kok jadi pada bengong dan kaget gitu? Ada yang aneh?” tanya Gani kemudian dan menyadarkan Wulan dari keterkejutannya itu.“Ah, nggak apa-apa kok, Nak. Maura hanya kecapean dan masuk angin aja kata dokternya tadi.” Wulan menjawab pertanyaan Gani.“Masuk angin? Kok bisa sih, Sayang? Sekarang gimana? Kamu udah enakan sekarang kan?” tanya Gani panik dan menghampiri Maura di sisi berlawanan dengan tempat Wulan duduk.Maura melempar senyum dengan berat hati. “Aku nggak apa-apa kok, Mas. Aku udah baikan sekarang dan sebentar lagi udah bisa pulang,” jelas Maura pula menjawab pertanyaan Gani.“Syukurlah kalau gitu, Sayang. Aku
“Sayang ... kamu baik-baik aja kan?” tanya Wulan melihat Maura yang tampak murung.“Aku nggak apa-apa kok, Ma. Mama janji nggak akan kasih tau sama mas Gani tentang yang tadi kan, Ma? Aku nggak mau konsentrasi mas Gani terbagi. Mba Sarah lebih berhak, Ma.”“Maura sayang ... Mama nggak setuju dengan keputusan kamu ini. Kamu juga berhak, Nak. Anak dalam kandungan kamu itu juga berhak. Kamu istri Gani juga,” ungkap Wulan dengan nada yang menyayat hati.“Ma! Aku nggak mau merebut kebahagiaan mba Sarah. Saat ini, dia pasti sangat senang dengan kehadiran buah hati dalam rahimnya itu. Mereka udah menunggu selama lima tahun lamanya. Mama juga sama kan? Aku yang menunggu dua bulan aja, rasanya tiap hari itu seperti bom waktu.Kita nggak tau perjuangan sebesar apa yang udah dilakukan mba Sarah selama ini, Ma. Kita nggak tau hal apa yang udah harus dikorbankan oleh mba Sarah hingga akhirnya dia memiliki janin dalam rahimnya saat ini. Kita nggak pernah tau, Ma ... kesulitan dan duka lara apa yang