“Kamu udah nolong Mama dan sebagai balasannya, rekaman itu udah kamu hapus. Kita impas dan nggak ada lagi hutang budi satu sama yang lain,” ungkap Wulan kepada Sarah.“Oke, deal!” sahut Sarah dengan senyum penuh kemenangan.Setelah mencapai kesepakatan itu, Sarah dan Wulan saling beradu diam. Mereka seperti larut dalam pikiran masing-masing.“Aku masih punya salinannya kalau kamu macam-macam sama aku dan Maura suatu saat nanti, Sarah. Aku tau kamu nggak akan semudah itu menyerah ataupun mengalah,” batin Wulan berkata.Sarah duduk menyilangkan kakinya dan berselancar di ponsel canggihnya. Matanya berbinar saat melihat ada sepatu dan tas keluaran terbaru dari merek branded. Namun, saat dia teringat pertengkaran terakhir kali dengan Gani, senyum itu pun surut.Wulan tidak ingin ambil pusing dengan yang dilakukan Sarah saat ini. Dia ingin menanyakan tentang Maura, tapi tidak pada Sarah.Setelah menunggu setengah jam, akhirnya Gani pun datang dengan dua kantong belanjaan. Ada minuman dingi
“Nak! Selesaikan masalah keluarga kalian berdua, jangan di depan Mama. Mama nggak mau nanti menjadi penyebab masalah kalian,” kata Wulan pelan.“Bukannya Mama udah jadi penyebab keretakan rumah tangga kami? Mama yang menghadirkan Maura dalam kehidupan aku dan mas Gani. Mama yang membuat aku menderita dan menjadi istri yang tersisihkan saat ini!” ungkap Sarah dengan derai air matanya.Tidak lagi bisa dibedakan, apakah itu air mata buaya atau air mata deritanya. Sarah sudah terlalu sering berakting seperti itu dan sulit untuk orang mengerti kebenarannya.Wulan tersentak mendengan ucapan Sarah yang tentu saja ada benarnya. Memang dialah yang menghadirkan Maura dalam pernikahan Gani dan Sarah. Namun, tidak pernah terbesit dalam benak Wulan untuk membuat rumah tangga mereka menjadi hancur.Sebagai orang tua, dia hanya ingin mencoba cara yang masih bisa dia coba. Wulan takut tidak punya waktu lama lagi dan tak bisa menimang cucu penerus keluarga dan keturunannya. Hanya Gani satu-satunya ana
Malam itu akhirnya Gani memilih untuk mengikuti saran dan kemauan Wulan. Dia tidak bisa terlalu membantah kemauan ibunya yang sedang sakit itu.“Oke, Ma. Aku bentar lagi pulang, Mama tidur aja dulu.” Gani berkata.“Iya, Nak. Mama juga udah ngantuk banget,” balas Wulan dan menguap sambil meringis menahan rasa sakit yang mulai terasa di bagian tangan melepuh itu.“Sayang, kamu juga tidur gih di ranjang yang di sana. Aku tungguin di sini, biar nanti kalau kamu dan mama udah tidur, aku baru bisa pulang dengan tenang,” ucap Gani pula kepada Sarah.“Iya, Mas. Besok pagi kamu langsung datang ke sini lagi kan, Mas? Aku soalnya mau pulang dan mandi, gerah banget.”“Iya. Kamu tenang aja. Atau besok pas Maura ke sini titip bawain baju ganti aja? Mau mandi di sini sebelum pulang atau gimana?” tanya Gani menawarkan hal itu.“Nggak usah, Mas. A-aku pulang aja, mandi di rumah aja deh,” tolak Sarah dengan cepat dan terdengar sangat gugup sekali.Gani mengerutkan keningnya seperti sedang mencurigai se
“Aamiin. Semoga jadi kenyataan secepatnya.”“Mas memang serius pengen aku hamil?”“Serius, dong Sayang. Kalau nggak serius, masa aku kerjain kamu terus siang malam pas bulan madu.”“Ih, Mas! Bahasanya itu loh!”“Kenapa, Sayang?”Gani dan Maura masih berdebat di atas ranjang dan saat ini posisi Maura sudah bersandar di depan tubuh Gani. Gani memeluk istrinya dari belakang dan mereka bersenda gurau.Setelah puas bercengkrama, Maura tahu bahwa Gani benar-benar tak sabar ingin punya anak. Baik itu dari dirinya ataupun dari Sarah. Bagi Gani itu sama saja, selagi dua wanita itu adalah istrinya.“Udah siap, Sayang?” tanya Maura kepada Gani.“Duh, senengnya kalau dipanggil sayang sama istri sendiri.” Gani berkata dengan senyum cerah dan mengancingkan jaket bulunya yang tebal.“Gitu baru bener, Mas. Jangan seneng dipanggil sayang sama perempuan lain, ya!”“Memangnya kenapa? Kamu bakalan cemburu kan?”“Nggak cemburu sih! Tapi, kalau pria beristri seneng dipanggil sayang sama perempuan lain, itu
“Kamu sama siapa, Mau?” tanya pria yang tak lain adalah Rama – sahabat Maura sejak masih kuliah.“Sama mas Gani.” Maura menjawab singkat.“Suami kamu di sini?” tanya Rama lagi.“Iya. Itu masih di dalam mobil.”“Jadi, kamu yang disuruh buat beli sate sendiri dan dia nunggu di mobil doang?”“Nggak kok. Aku sama suamiku memang mau makan di sini. Aku tadi buru-buru turun dan sengaja ninggalin mas Gani di mobil.”Maura tidak menyangka kalau dia akan bertemu dengan Rama tengah malam seperti ini. Apalagi di tempat makan yang dulu memang sering mereka datangi saat kuliah dan bekerja. Di satu sisi Maura juga merasa tidak nyaman dengan pertemuan tidak sengaja itu. Dia takut Gani akan berpikir macam-macam tentang hal ini.“Kenapa kamu jadi gugup banget? Kamu nggak nyaman ketemu sama aku?” tanya Rama dan menyentuh tangan Maura dengan lembut.“Bu-bukan gitu. Aku nggak nyangka aja ketemu kamu di sini.” Maura menjawab dan menepis tangan Rama dengan perlahan dari lengannya itu. Tentu saja Maura tidak
“Loh ... Sayang. Kok kamu jadi ngomong gitu sih? Aku nggak ada maksud sama sekali untuk pisah dan mengarahkan pembicaraan kita ke sana. Kamu udah salah paham banget, Sayang!” terang Gani sebisa mungkin membuat Maura menjadi yakin kepada dirinya.Memang, dia tidak ada niat sedikit pun untuk mengarahkan pembicaraan mereka ke arah perpisahan. Gani sungguh tidak pernah terpikirkan tentang hal itu saat sedang bersama Maura. Tentu saja ucapan Maura tadi berhasil mengejutkan jantung dan hatinya Gani.“Aku nggak suka bertele-tele, Mas. Pembahasan kamu tadi itu nggak masuk akal sama sekali. Seperti anak-anak dan aku nggak suka!” ungkap Maura sekali lagi.“Oke kalau kamu nggak suka. Aku minta maaf sama kamu dan tolong jangan bahas tentang perpisahan lagi. Aku nggak mau pisah sama kamu, Maura sayang ...,” lirih Gani dan menggenggam tangan Maura dengan erat.Maura tersentuh dengan sikap Gani itu dan merasa kalau itu bukan hanya sekedar sandiwara saja. Gani serius mengatakan hal itu dan Maura mau
Hati dan perasaan Maura senang tak bisa diungkapkan saat ini. Sambil memakan mie goreng pedas kesukaannya, dia tak berhenti tersenyum. Ucapan Gani tadi masih terngiang-ngiang di telinganya.“Kamu kenapa senyum-senyum terus sih, Sayang?” tanya Gani heran.“Eh, nggak apa-apa kok, Mas! Aku lagi senang aja,” jawab Maura sambil senyum manis.“Senang kenapa sih? Senang karna bisa makan?”“Dih! Apaan sih, Mas? Kalau makan mah udah biasa, kenapa mesti senang banget gini.”“Jadi, senangnya kenapa? Kamu nggak kasih tau aku, gimana aku bisa tau coba! Kasih tau, dong Sayang. Aku kan jadi penasaran.”“Nggak! Rahasia, Mas.”“Sama suami sendiri pakai rahasia segala?”“Emangnya nggak boleh, Mas? Kan itu hak aku mau kasih tau atau nggak,” jawab Maura dengan gayanya yang terlihat polos dan lucu.Gani menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan. Dia menyadari jika terkadang Maura mampu bersikap dewasa dan sangat berwibawa. Namun, hal itu tidak membuat sisi kekanak-kanakkan dan polosnya hil
“Mas, kamu dermawan banget sih sama penjual tadi? Total belanja 250 ribu, kamu bayar 500 ribu. Dia pasti senang banget tuh, Mas. Dapat rezeky nomplok tengah malam.”“Syukurlah kalau dia memang senang menerimanya, Sayang. Aku juga ikut senang dan mungkin kita bisa datang lagi kapan-kapan ke sana. Aku suka mie gomeknya itu, enak.”“Iya, Sayang. Aku juga suka kamu.”Mendengar ucapan Maura itu, Gani langsung menginjak rem secara mendadak dan menatap istrinya dengan tatapan penuh cinta. “Apa tadi kamu bilang?” tanya Gani ingin mendengar sekali lagi yang tadi diucapkan oleh Maura kepadanya.“Yang mana sih, Sayang?”Maura berbalik tanya dan berpura-pura tidak tahu. Dia memandang Gani dengan kening berkerut seperti sedang meminta Gani mengulangi lagi yang mana yang sedang dia tanyakan.“Yang tadi itu. Kamu bilang suka apa gitu tadi. Coba kamu ulangi sekali lagi, dong Sayang. Aku kurang denger tadi.”“Kurang denger atau memang mau denger lagi?”“Anggap aja gitu deh. Buruan deh, Sayang!” desak