Hati dan perasaan Maura senang tak bisa diungkapkan saat ini. Sambil memakan mie goreng pedas kesukaannya, dia tak berhenti tersenyum. Ucapan Gani tadi masih terngiang-ngiang di telinganya.“Kamu kenapa senyum-senyum terus sih, Sayang?” tanya Gani heran.“Eh, nggak apa-apa kok, Mas! Aku lagi senang aja,” jawab Maura sambil senyum manis.“Senang kenapa sih? Senang karna bisa makan?”“Dih! Apaan sih, Mas? Kalau makan mah udah biasa, kenapa mesti senang banget gini.”“Jadi, senangnya kenapa? Kamu nggak kasih tau aku, gimana aku bisa tau coba! Kasih tau, dong Sayang. Aku kan jadi penasaran.”“Nggak! Rahasia, Mas.”“Sama suami sendiri pakai rahasia segala?”“Emangnya nggak boleh, Mas? Kan itu hak aku mau kasih tau atau nggak,” jawab Maura dengan gayanya yang terlihat polos dan lucu.Gani menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan. Dia menyadari jika terkadang Maura mampu bersikap dewasa dan sangat berwibawa. Namun, hal itu tidak membuat sisi kekanak-kanakkan dan polosnya hil
“Mas, kamu dermawan banget sih sama penjual tadi? Total belanja 250 ribu, kamu bayar 500 ribu. Dia pasti senang banget tuh, Mas. Dapat rezeky nomplok tengah malam.”“Syukurlah kalau dia memang senang menerimanya, Sayang. Aku juga ikut senang dan mungkin kita bisa datang lagi kapan-kapan ke sana. Aku suka mie gomeknya itu, enak.”“Iya, Sayang. Aku juga suka kamu.”Mendengar ucapan Maura itu, Gani langsung menginjak rem secara mendadak dan menatap istrinya dengan tatapan penuh cinta. “Apa tadi kamu bilang?” tanya Gani ingin mendengar sekali lagi yang tadi diucapkan oleh Maura kepadanya.“Yang mana sih, Sayang?”Maura berbalik tanya dan berpura-pura tidak tahu. Dia memandang Gani dengan kening berkerut seperti sedang meminta Gani mengulangi lagi yang mana yang sedang dia tanyakan.“Yang tadi itu. Kamu bilang suka apa gitu tadi. Coba kamu ulangi sekali lagi, dong Sayang. Aku kurang denger tadi.”“Kurang denger atau memang mau denger lagi?”“Anggap aja gitu deh. Buruan deh, Sayang!” desak
Maura baru saja terlelap dan hanyut dalam mimpi indahnya saat merasakan ada seseorang di sekitarnya. Namun, dia tidak punya cukup keberanian untuk membuka mata karena terlalu takut.Keadaan kamar yang cahayanya pun tidak terlalu terang pun mampu membuat rasa takut Maura semakin naik ke permukaan. Apalagi, dia merasakan seseorang menyentuh pahanya. Maura merasakan sentuhan itu seperti sentuhan yang tidak sewajarnya.“Ya Tuhan, siapa ini? Apa dia orang jahat yang dikirimkan seseorang untuk mencelakaiku? Aku berteriak akankah dia menyakitiku? Jika aku diam aja, dia juga pasti akan menyakitiku kan?”Maura bertanya dalam hati di antara ketidak berdayaannya saat ini. Tidak ada pilihan lain baginya selain tetap memberikan perlawanan. Apapun hasilnya, dia tetap akan disakiti. Setidaknya, Maura berpikir bahwa dia sudah berusaha mempertahankan dirinya dari kejahatan.“Jangan sentuh aku!” teriak Maura dan segera beranjak dari tempat tidur itu.Gerakan tangannya cepat walau dalam cahaya yang tid
Semakin hari hubungan antara Maura dan Gani semakin dekat dan tak terpisahkan saja. Gani lebih senang pergi ke mana-mana dengan Maura dari pada dengan Sarah. Begitu pula jika itu tentang mengurus dirinya dan juga masakan.Sudah satu bulan setelah Maura dan Gani melakukan perjalanan bulan madu saat itu. Sarah tampak semakin tak senang dan mencari masalah selalu dengan Maura. Maura sudah melakukan pemeriksaan terhadap pil yang waktu itu dia temukan dari kamar Sarah. Namun, hasilnya masih dia rahasiakan dari Gani karena menurutnya itu tidak baik untuk Gani tahu.“Sayang, kamu masak apa hari ini?” tanya Gani dan memeluk tubuh Maura dari belakang.Wanita itu sedang mengaduk masakan yang sengaja dipersiapkan untuk pergi piknik hari ini. Maura dan Gani sudah sepakat sejak beberapa hari lalu. Weekend ini mereka akan pergi piknik bersama-sama. Namun, sayang sekali Sarah menolak untuk ikut bersama mereka.“Aku bikin puding anggur kesukaan kamu, Sayang. Terus, aku juga bikin goreng ayam balado d
Beberapa kali terdengar suara Sarah sedang muntah di dalam kamar mandi. Maura yang mendengar tentu saja tidak tenang dan khawatir. Berulang kali dia mengetuk pintu kamar Sarah, akan tetapi wanita itu tak kunjung membukanya juga.“Duh, gimana sekarang? Mba Sarah kenapa, ya? Mana mas Gani udah berangkat kerja lagi!” gumam Maura seorang diri di depan pintu kamar Sarah yang masih tertutup rapat.“Mba ... buka pintunya sebentar, dong Mba. Mba kenapa?” tanya Maura dari luar setengah berteriak.Tidak ada jawaban dari dalam kamar itu, tapi setelahnya pintu kamar terbuka dan tampak Sarah berdiri di belakang pintu dengan wajah pucat. Mukanya basah, sepertinya Sarah baru saja membasuh muka.“Kenapa? Heboh banget deh dari tadi manggil-manggil!” ucap Sarah dengan nada ketus.“Maaf kalau aku mengganggu Mba Sarah. Tapi, aku khawatir sama keadaan Mba Sarah. Dari tadi aku dengar muntah terus. Mba Sarah sakit apa?” tanya Maura setelah menjelaskan panjang lebar.“Aku nggak apa-apa kok. Palingan masuk an
Gani sampai di rumah dan langsung terburu-buru masuk ke dalam kamar Sarah. Di sana dia melihat Sarah masih pingsan dan kepalanya dipangku oleh Maura. Gani mengangkat tubuh Sarah dan membaringkannya di atas ranjang.“Sarah ... Sayang, bangun. Kamu kenapa?” tanya Gani dan mencoba membangunkan Sarah, akan tetapi hasilnya nihil.Maura yang masih bersimpuh di lantai merasa kakinya keram dan tak bisa berdiri. Namun, dia menahannya seorang diri karena jelas saat ini Gani lebih peduli pada kesehatan Sarah dari pada dirinya.“Pak Gani.” Suara seorang pria terdengar dari depan pintu kamar Sarah.“Dok, silakan masuk. Periksa keadaan istri saya sekarang juga, Dok!” titah Gani saat melihat dokter yang dikenalnya sudah sampai dan berdiri di depan pintu kamar.“Mba ini kenapa? Apa sakit juga?” tanya dokter Cakra saat melihat Maura bersimpuh di lantai dengan menahan rasa sakit.“Nggak apa-apa, Dok. Periksa mba Sarah aja dulu. Kaki saya cumaa keram aja kelamaan duduk di lantai,” jelas Maura dengan ras
Ternyata, Maura mendengar yang dijelaskan oleh dokter Cakra tadi. Namun, karena dia tidak ingin terlihat menyedihkan, jadi Maura berprura-pura tidak mendengar dan asik dengan rasa keram di kakinya. Maura tahu pasti Gani akan memandang ke arahnya setelah dokter menjelaskan hal itu.Kini, Maura tersandar di belakang pintu dengan isak tangis yang sulit sekali rasanya untuk bisa berhenti. Pikirannya berkelana entah ke mana setelah tahu bahwa saat ini Sarah tengah mengandung anak Gani. Anak yang selama ini ditunggu dan diidamkan oleh Wulan – ibu mertuanya.Setelah puas menangis, Maura memutuskan untuk kembali ke kamarnya saja. Dia sudah kehabisana energi karena menangis. Langkahnya tertatih, kaki seperti dipaksa untuk diseret ke lantai atas menuju kamar tidurnya dengan Gani selama dua bulan belakangan ini.“Aku siap untuk mengalah dan pergi, kalau itu memang harus. Aku nggak mau menjadi penghancur rumah tangga mba Sarah dan mas Gani semakin jauh. Meski saat ini aku udah terlalu cinta, tapi
“A-aku nggak apa-apa kok, Ma. Sepertinya masuk angin doang, Ma. Soal barang-barang dan koper aku itu, aku memang sengaja membereskan aja, Ma. Soalnya kalau terjadi apa-apa gampang bawanya,” ungkap Maura dengan nada bergetar seperti menahan kegetiran dalam hatinya.“Maksud kamu gimana? Apa terjadi sesuatu?” tanya Wulan curiga dengan sikap dan ucapan Maura.“Mama udah tau kabar mba Sarah? Tadi dia juga dibawa ke rumah sakit sama mas Gani.” Maura berkata tanpa menjawab pertanyaan Wulan terlebih dahulu.“Mama tau Gani bawa dia ke rumah sakit. Tapi, Mama belum dengar kabar dia gimana. Tadi, Gani bilang masih dalam pemeriksaan dokter spesialis.”“Semoga kabar yang aku dengar tadi benar. Aku ikut senang kalau ternyata itu benar, dan selamat untuk Mama.”“Selamat? Memangnya apa sih? Mama jadi penasaran, Sayang.”“Sepertinya ... mba Sarah hamil, Ma. Tadi dokter periksa mba Sarah di rumah dan mengatakan hal itu ke mas Gani. Itu sebabnya dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut,” jel