Suasana sore yang tenang menyelimuti rumah Aruna. Cahaya matahari yang hangat menerobos jendela, menciptakan bayangan lembut di lantai ruang tamu. Aruna duduk di sofa, menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Pesan dari Bintara beberapa hari yang lalu masih tertera di layar, belum dibalas.
[Aruna, aku minta maaf atas segala yang kau lihat. Aku punya rencana, tolong tetap percaya.]Pesan itu terus berulang di pikirannya. Dia merasakan campuran emosi—rindu, marah, dan kebingungan—semuanya bercampur menjadi satu. Kenangan saat dia melihat Bintara bersama Serena di food court menghantui pikirannya. Bagaimana bisa Bintara, yang pernah begitu dekat dengannya, kini tampak begitu jauh dan asing?Aruna menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Dia ingin mempercayai Bintara, tapi keraguan terus menghantuinya. Apakah benar Bintara memiliki alasan yang kuat? Ataukah ini hanya caranya untuk menjauh darinya dan kembali kepada Serena?Dalam kehDi keheningan malam, Bintara terjaga di kamar rawat inap, matanya tak lepas dari sosok ibunya yang terlelap di ranjang rumah sakit.Cahaya lampu redup memantulkan bayangan lembut di wajah ibunya, memperlihatkan garis-garis usia dan perjuangan yang telah ia lalui. Suara alat medis yang berdetak pelan menjadi satu-satunya suara di ruangan itu, seolah ikut menjaga ketenangan malam.Bintara duduk di kursi di samping ranjang, perasaan gundah memenuhi hatinya. Ada rasa lega karena akhirnya bisa bertemu lagi dengan ibunya, namun juga ada rasa sakit dan marah yang mendalam. Melihat ibunya dalam kondisi seperti ini membuat Bintara semakin sadar betapa berharganya waktu bersama keluarga. Ia menyesal karena selama ini terlalu sibuk dengan urusan dan ambisinya sendiri, hingga tak menyadari bahwa orang yang paling berarti dalam hidupnya hanya tersimpan dalam kenangan.Ia mengulurkan tangan, menggenggam tangan ibunya yang dingin namun tetap terasa hangat di ha
Pagi yang cerah di Bandung diselimuti embun tipis yang mulai menguap oleh sinar matahari. Serena meninggalkan hotel dengan langkah cepat, tangannya menggenggam erat bungkusan sarapan yang ia bawa khusus untuk Bintara. Hatinya sedikit berdebar, memikirkan bagaimana reaksi Bintara setelah malam yang panjang menjaga ibunya di rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Serena langsung menuju ruang inap VIP tempat Bu Najiah dirawat. Di sepanjang koridor, suasana rumah sakit mulai hidup dengan suara langkah kaki perawat dan dokter yang berlalu lalang, serta suara monitor yang berdering pelan di kejauhan. Ketika ia sampai di depan pintu kamar, Serena menarik napas dalam-dalam, memperbaiki senyumnya, dan masuk dengan tenang. Di dalam, ia melihat dokter Hasan sedang memeriksa kondisi Bu Najiah yang masih terbaring lemah di ranjang. Bintara duduk di samping ibunya, wajahnya menunjukkan kelelahan namun matanya tetap penuh perhatian te
Siang hari itu, rumah sakit tampak ramai dengan pasien dan keluarga yang hilir mudik. Cahaya matahari yang menyengat menembus jendela-jendela besar, membuat suasana semakin terik. Di dalam kamar rawat inap VIP, Serena duduk di samping tempat tidur Bu Najiah dengan wajah bosan. Ia melirik jam di tangannya berkali-kali, tampak gelisah."Bintara," katanya akhirnya, memecah kesunyian. "Aku akan pergi sebentar untuk membeli beberapa pakaian ganti untukmu. Biar kamu lebih nyaman nanti."Bintara, yang masih duduk di samping ibunya, mengangguk pelan. "Baiklah, Serena. Hati-hati di jalan."Serena segera bangkit dari kursinya, meraih tasnya, dan berjalan keluar dengan langkah cepat. Sesampainya di parkiran, ia masuk ke dalam mobil Bintara dan menghela napas lega. "Akhirnya," gumamnya sambil menyalakan mesin mobil.Di perjalanan menuju mall, Serena menyandarkan punggungnya dengan nyaman di jok mobil. Matanya menatap jalanan yang sibuk, tetapi pikirannya mela
Ponsel Bintara terasa bergetar di saku celananya. Bintara melangkah keluar dari ruangan Bu Najiah, Ia berjalan ke ruang tunggu, mencari tempat duduk yang sepi. Setelah menemukan kursi kosong, ia mengangkat teleponnya yang masih berdering."Sebastian," ujar Bintara pelan namun tegas.Suara Sebastian di ujung telepon terdengar serius. "Bintara, aku baru saja mendapat kabar dari polisi. Mereka telah menemukan siapa yang menculik Rohana. Dialah Rocky yang menculik Rohana di taman bermain, sepertinya Serena melemparkan semua kesalahannya pada Rocky."Jantung Bintara berdegup kencang. Nama yang disebut Sebastian membuatnya terkejut. "Rocky? Bagaimana mungkin? Bukankah dia telah di tahan ?""Ya, sepertinya saat itu Serena membebaskannya tanpa sepengetahuanmu, agar dia bisa memerintah Rocky dengan leluasanya," jawab Sebastian dengan nada penuh keyakinan. "Polisi telah mengumpulkan cukup bukti untuk mengaitkannya dengan penculikan itu. Mereka sedang dalam
Esoknya, beberapa pengawal tiba di rumah sakit dengan pakaian kasual agar tidak mencolok. Mereka bergerak dengan tenang dan profesional, menyebar di sekitar area rumah sakit untuk memantau setiap gerakan yang mencurigakan. Bintara sudah menyusun strategi bersama mereka untuk menangkap Rocky, yang diperkirakan sedang memantau ibunya atas perintah Serena.Bintara berkumpul dengan para pengawalnya di sebuah toilet, sikap mereka seolah tak saling kenal namun berkomunikasi sambil mencuci tangan di depan wastafel.Mereka memetakan rencana mereka dengan cermat, memastikan bahwa setiap detail telah diperhitungkan. Pengawalnya, yang berpengalaman dalam operasi semacam ini, mengangguk setuju saat Bintara menjelaskan rencananya."Kita akan memancing Serena agar teralihkan," kata Bintara dengan suara tegas. "Aku akan mengajak Serena berwisata ke Lembang. Sementara itu, kalian akan menangkap Rocky. Jangan biarkan dia lolos."Para pengawal mengangguk, menunjukk
Bintara merapatkan jaketnya saat ia memasuki toilet di café susu Lembang. Bunyi dering ponselnya terdengar menggema di dalam ruangan kecil tersebut. Ia segera menjawab telepon itu, melihat nomor yang dikenalnya, salah satu pengawal yang ia percayai."Kami berhasil, Pak. Rocky sudah kami ringkus," kata suara tegas di seberang telepon.Bintara menghela napas lega, tetapi tetap menjaga ketenangannya. "Jaga dia baik-baik. Pastikan dia tidak kabur. Aku akan bicara dengannya nanti setelah pulang dari sini," ujarnya dengan nada tegas."Baik, Pak. Kami akan memastikan dia tetap di tempat," balas pengawal tersebut dengan mantap.Setelah telepon berakhir, Bintara mengantongi ponselnya dan menghela napas panjang. Ia membuka pintu toilet dan melangkah keluar. Suasana café siang itu penuh dengan keriuhan yang menyenangkan. Aroma harum susu dan kopi bercampur dalam udara, memenuhi setiap sudut ruangan dengan kehangatan yang menenangkan.Meja-meja penuh
Di malam hari menjelang tidur, Aruna sedari tadi menatap layar ponselnya. Layar menampilkan pesan Bintara yang sudah lama belum ia balas. Pikirannya berkecamuk, antara rasa rindu yang membuncah dan kekhawatiran yang tak pernah surut.Dengan perlahan, ia mulai mengetik pesan pada Bintara. Jari-jarinya bergerak lambat, mencurahkan perasaannya melalui kata-kata yang tersusun hati-hati. "Rohana butuh sosok ayahnya. Sudah beberapa bulan kamu tidak hadir sampai Rohana sekarang sudah bisa merangkak dan belajar berjalan. Aku berharap kamu bisa segera kembali." Setelah menekan tombol kirim, ia menatap layar ponselnya sejenak, berharap ada balasan yang segera datang.Bintara yang sedang rebahan di sofa bed kamar inap ibunya di rumah sakit mendengar ponsel keduanya, ponsel rahasianya yang ia bawa diam-diam, bergetar karena pesan dari Aruna. Dengan cepat ia mengambil ponsel itu dan membuka pesan dari Aruna. Sejenak, hatinya diliputi rasa bersalah dan kerinduan yang mendalam.
Lampu-lampu di ruang kerja Sietta masih menyala terang, sementara di luar sudah malam. Sietta duduk di meja kerjanya, dikelilingi oleh sketsa-sketsa dan kain-kain contoh. Ia berkonsentrasi penuh, mencoret-coret di atas kertas dengan pensilnya, mencoba menyempurnakan desain terakhir untuk peluncuran karya barunya. Matanya lelah, tapi semangatnya tetap membara.Tiba-tiba, pintu ruang kerjanya terbuka perlahan. Dong Min masuk dengan hati-hati, membawa secangkir teh hangat di tangannya. "Aku bawakan minuman hangat untukmu, Sayang," katanya dengan suara lembut, seolah-olah ia adalah suami yang sempurna, penuh perhatian.Sietta tidak menoleh. Ia tetap fokus pada pekerjaannya, seolah tidak mendengar apa yang dikatakan Dong Min. "Letakkan saja di meja," katanya dingin, tanpa sedikit pun menatap suaminya. Dong Min terlihat sedikit kecewa, tapi ia tetap menuruti permintaan istrinya. Ia meletakkan cangkir teh di sudut meja kerja Sietta, kemudian berdiri di sana, berharap mend