Siang hari itu, rumah sakit tampak ramai dengan pasien dan keluarga yang hilir mudik. Cahaya matahari yang menyengat menembus jendela-jendela besar, membuat suasana semakin terik. Di dalam kamar rawat inap VIP, Serena duduk di samping tempat tidur Bu Najiah dengan wajah bosan. Ia melirik jam di tangannya berkali-kali, tampak gelisah.
"Bintara," katanya akhirnya, memecah kesunyian. "Aku akan pergi sebentar untuk membeli beberapa pakaian ganti untukmu. Biar kamu lebih nyaman nanti."Bintara, yang masih duduk di samping ibunya, mengangguk pelan. "Baiklah, Serena. Hati-hati di jalan."Serena segera bangkit dari kursinya, meraih tasnya, dan berjalan keluar dengan langkah cepat. Sesampainya di parkiran, ia masuk ke dalam mobil Bintara dan menghela napas lega. "Akhirnya," gumamnya sambil menyalakan mesin mobil.Di perjalanan menuju mall, Serena menyandarkan punggungnya dengan nyaman di jok mobil. Matanya menatap jalanan yang sibuk, tetapi pikirannya melaPonsel Bintara terasa bergetar di saku celananya. Bintara melangkah keluar dari ruangan Bu Najiah, Ia berjalan ke ruang tunggu, mencari tempat duduk yang sepi. Setelah menemukan kursi kosong, ia mengangkat teleponnya yang masih berdering."Sebastian," ujar Bintara pelan namun tegas.Suara Sebastian di ujung telepon terdengar serius. "Bintara, aku baru saja mendapat kabar dari polisi. Mereka telah menemukan siapa yang menculik Rohana. Dialah Rocky yang menculik Rohana di taman bermain, sepertinya Serena melemparkan semua kesalahannya pada Rocky."Jantung Bintara berdegup kencang. Nama yang disebut Sebastian membuatnya terkejut. "Rocky? Bagaimana mungkin? Bukankah dia telah di tahan ?""Ya, sepertinya saat itu Serena membebaskannya tanpa sepengetahuanmu, agar dia bisa memerintah Rocky dengan leluasanya," jawab Sebastian dengan nada penuh keyakinan. "Polisi telah mengumpulkan cukup bukti untuk mengaitkannya dengan penculikan itu. Mereka sedang dalam
Esoknya, beberapa pengawal tiba di rumah sakit dengan pakaian kasual agar tidak mencolok. Mereka bergerak dengan tenang dan profesional, menyebar di sekitar area rumah sakit untuk memantau setiap gerakan yang mencurigakan. Bintara sudah menyusun strategi bersama mereka untuk menangkap Rocky, yang diperkirakan sedang memantau ibunya atas perintah Serena.Bintara berkumpul dengan para pengawalnya di sebuah toilet, sikap mereka seolah tak saling kenal namun berkomunikasi sambil mencuci tangan di depan wastafel.Mereka memetakan rencana mereka dengan cermat, memastikan bahwa setiap detail telah diperhitungkan. Pengawalnya, yang berpengalaman dalam operasi semacam ini, mengangguk setuju saat Bintara menjelaskan rencananya."Kita akan memancing Serena agar teralihkan," kata Bintara dengan suara tegas. "Aku akan mengajak Serena berwisata ke Lembang. Sementara itu, kalian akan menangkap Rocky. Jangan biarkan dia lolos."Para pengawal mengangguk, menunjukk
Bintara merapatkan jaketnya saat ia memasuki toilet di café susu Lembang. Bunyi dering ponselnya terdengar menggema di dalam ruangan kecil tersebut. Ia segera menjawab telepon itu, melihat nomor yang dikenalnya, salah satu pengawal yang ia percayai."Kami berhasil, Pak. Rocky sudah kami ringkus," kata suara tegas di seberang telepon.Bintara menghela napas lega, tetapi tetap menjaga ketenangannya. "Jaga dia baik-baik. Pastikan dia tidak kabur. Aku akan bicara dengannya nanti setelah pulang dari sini," ujarnya dengan nada tegas."Baik, Pak. Kami akan memastikan dia tetap di tempat," balas pengawal tersebut dengan mantap.Setelah telepon berakhir, Bintara mengantongi ponselnya dan menghela napas panjang. Ia membuka pintu toilet dan melangkah keluar. Suasana café siang itu penuh dengan keriuhan yang menyenangkan. Aroma harum susu dan kopi bercampur dalam udara, memenuhi setiap sudut ruangan dengan kehangatan yang menenangkan.Meja-meja penuh
Di malam hari menjelang tidur, Aruna sedari tadi menatap layar ponselnya. Layar menampilkan pesan Bintara yang sudah lama belum ia balas. Pikirannya berkecamuk, antara rasa rindu yang membuncah dan kekhawatiran yang tak pernah surut.Dengan perlahan, ia mulai mengetik pesan pada Bintara. Jari-jarinya bergerak lambat, mencurahkan perasaannya melalui kata-kata yang tersusun hati-hati. "Rohana butuh sosok ayahnya. Sudah beberapa bulan kamu tidak hadir sampai Rohana sekarang sudah bisa merangkak dan belajar berjalan. Aku berharap kamu bisa segera kembali." Setelah menekan tombol kirim, ia menatap layar ponselnya sejenak, berharap ada balasan yang segera datang.Bintara yang sedang rebahan di sofa bed kamar inap ibunya di rumah sakit mendengar ponsel keduanya, ponsel rahasianya yang ia bawa diam-diam, bergetar karena pesan dari Aruna. Dengan cepat ia mengambil ponsel itu dan membuka pesan dari Aruna. Sejenak, hatinya diliputi rasa bersalah dan kerinduan yang mendalam.
Lampu-lampu di ruang kerja Sietta masih menyala terang, sementara di luar sudah malam. Sietta duduk di meja kerjanya, dikelilingi oleh sketsa-sketsa dan kain-kain contoh. Ia berkonsentrasi penuh, mencoret-coret di atas kertas dengan pensilnya, mencoba menyempurnakan desain terakhir untuk peluncuran karya barunya. Matanya lelah, tapi semangatnya tetap membara.Tiba-tiba, pintu ruang kerjanya terbuka perlahan. Dong Min masuk dengan hati-hati, membawa secangkir teh hangat di tangannya. "Aku bawakan minuman hangat untukmu, Sayang," katanya dengan suara lembut, seolah-olah ia adalah suami yang sempurna, penuh perhatian.Sietta tidak menoleh. Ia tetap fokus pada pekerjaannya, seolah tidak mendengar apa yang dikatakan Dong Min. "Letakkan saja di meja," katanya dingin, tanpa sedikit pun menatap suaminya. Dong Min terlihat sedikit kecewa, tapi ia tetap menuruti permintaan istrinya. Ia meletakkan cangkir teh di sudut meja kerja Sietta, kemudian berdiri di sana, berharap mend
Setelah sesi tanya jawab dengan wartawan, Sietta mengangkat tangannya, meminta perhatian dari semua yang hadir. "Terima kasih atas pertanyaan-pertanyaan yang luar biasa. Sekarang, mari kita saksikan koleksi terbaru kami. Nikmati pertunjukannya, dan pastikan tetap di sini hingga akhir acara. Ada kejutan yang telah kami siapkan."Kerumunan mulai bergerak menuju area peragaan busana, suasana dipenuhi dengan antisipasi dan kegembiraan. Lampu-lampu menyorot runway yang dihiasi dengan dekorasi elegan, menciptakan atmosfer mewah dan memukau. Musik mulai mengalun, mengiringi langkah-langkah para model yang berlenggak-lenggok memperlihatkan karya-karya Sietta.Rancangan busana Sietta segera mencuri perhatian hadirin. Setiap desain tampak memancarkan kekuatan dan keanggunan yang menjadi tema malam itu. Bahan-bahan berkualitas tinggi, potongan-potongan yang presisi, dan detail-detail yang rumit membuat setiap pakaian menjadi karya seni tersendiri. Para hadirin bertepuk tangan
Malam itu, Aruna masih terjaga di ruang tamu, bermain bersama Rohana yang mulai aktif merangkak di sekitar ruang. Televisi di sudut ruangan menayangkan berita siaran langsung fashion show Sietta yang mendadak menjadi berita utama. Aruna menghentikan gerakannya sejenak, pandangannya tertuju pada layar yang menunjukkan penangkapan Serena.Tangan Aruna bergetar saat ia meraih remote untuk menaikkan volume. Wajah Serena yang terkejut dan marah, disertai Dong Min yang tampak tak percaya, terlihat jelas di layar. Kamera mengikuti setiap langkah polisi yang mengawal mereka keluar dari ballroom, suara reporter menggema dengan berita penangkapan ini."Setelah sekian lama, akhirnya kejahatan Serena terungkap di hadapan publik. Penangkapan ini dilakukan dengan kerjasama antara pihak berwenang dan pihak Sietta. Kami juga melihat keterlibatan langsung dari Bintara, suami dari Serena sendiri yang turut hadir di acara tersebut," ucap reporter dengan nada serius.Air mata
Akhirnya setelah sekian lama, Bintara pulang menemui Aruna. Perjalanan di mobil terasa seperti perjalanan menuju kebebasan, dengan langit cerah siang hari dan sinar matahari yang hangat menerangi jalanan.Perasaan lega dan antusias bercampur menjadi satu dalam hati Bintara. Ia melihat pemandangan yang melintas di jendela mobil, seakan setiap pepohonan dan rumah yang dilewatinya berbisik, "Selamat datang kembali."Bintara menyandarkan kepalanya di sandaran kursi, mengingat perjalanan panjang yang telah dilaluinya. Udara segar dan semilir angin yang masuk melalui celah jendela mobil memberinya ketenangan. "Aku akan segera sampai," batinnya, sambil tersenyum tipis, membayangkan pertemuan yang telah lama dinantikannya.Setelah beberapa saat, mobil berhenti di depan rumah kontrakan Aruna. Bintara turun, melangkah dengan tegas namun lembut. Di halaman rumah, Aruna sedang melayani pembeli sayur, wajahnya penuh konsentrasi dan kesabaran, menunjukkan profesionalism