Akhirnya setelah sekian lama, Bintara pulang menemui Aruna. Perjalanan di mobil terasa seperti perjalanan menuju kebebasan, dengan langit cerah siang hari dan sinar matahari yang hangat menerangi jalanan.
Perasaan lega dan antusias bercampur menjadi satu dalam hati Bintara. Ia melihat pemandangan yang melintas di jendela mobil, seakan setiap pepohonan dan rumah yang dilewatinya berbisik, "Selamat datang kembali."Bintara menyandarkan kepalanya di sandaran kursi, mengingat perjalanan panjang yang telah dilaluinya. Udara segar dan semilir angin yang masuk melalui celah jendela mobil memberinya ketenangan. "Aku akan segera sampai," batinnya, sambil tersenyum tipis, membayangkan pertemuan yang telah lama dinantikannya.Setelah beberapa saat, mobil berhenti di depan rumah kontrakan Aruna. Bintara turun, melangkah dengan tegas namun lembut. Di halaman rumah, Aruna sedang melayani pembeli sayur, wajahnya penuh konsentrasi dan kesabaran, menunjukkan profesionalismSinar matahari pagi mulai menembus jendela kamar mereka. Aruna bangun lebih dulu karena Rohana merengek minta ASI. Dengan gerakan lembut dan penuh kasih sayang, Aruna mengambil Rohana dari ranjang bayi dan mulai menyusui.Bintara terbangun dari tidurnya, matanya mengamati Aruna yang sedang menenangkan Rohana. Dia melihat betapa lembut dan penuh perhatian Aruna terhadap putri mereka, tetapi dia juga malah salah fokus memandang bukit kembar Aruna yang terlihat lebih indah.Bintara hanya bisa menelan ludah karena saat ini ia merasakan jarak yang masih ada di antara mereka. Aruna masih bersikap dingin, tanpa menoleh atau mengucapkan selamat pagi.Bintara bergeser mendekati Aruna yang tengah menyusui Rohana di sampingnya. "Pagi Sayang," ucapnya dengan suara pelan, berharap bisa mencairkan suasana.Aruna hanya mengangguk singkat tanpa mengucapkan sepatah kata pun, fokus pada Rohana yang sedang menyusu. Bintara merasa sedikit kecewa, tapi dia t
Bibir lembab Bintara menjalar ke leher jenjang Aruna. Sementara Aruna telah pasrah merasakan sensasi menyengat dari bibir Bintara juga hembusan nafasnya yang membuat bulu kuduk Astoria meremang.“Sshh Bi-Bin ahh …,” rintih Aruna ketika ia rasakan kedua tangan Bintara mulai meraba naik ke dadanya di balik daster, sementara bibir Bintara masih belum absen memberikan tanda kemerahan di leher Aruna.Kecupan Bintara naik ke telinga Aruna, “Aruna …, aku mencurahkan perasaanku di setiap sentuhan ini …,” ucapnya sambil melepas tali bra istrinya itu dari balik dasternya.Aruna melingkarkan lengannya di leher Bintara, wajahnya memerah panas ketika mendengar kata-kata Bintara. Bintara juga juga mengecup pipi Aruna dengan begitu lembut, mengecup kening, trun ke hidung, lalu menatap Aruna sendu.“Jangan bandingkan perlakuanku pada Serena …, aku bahkan melakukannya dengan kasar … dan masih membayangkanmu saat hasratku keluar,” lanjut Bintara, semakin mendekatka
Keesokan harinya, Bintara, Aruna, dan Rohana bersiap-siap untuk mengunjungi rumah orang tua Aruna. Perjalanan menuju rumah tersebut terasa seperti perjalanan penting yang penuh dengan harapan dan penantian. Sesampainya di rumah orang tua Aruna, mereka disambut dengan senyuman dan pelukan hangat. Pak Brahma, dengan wajah yang selalu tegas, namun kali ini tampak lebih lembut, menyambut Bintara dengan jabatan tangan yang kuat. "Senang melihatmu lagi, Bintara," katanya, suaranya penuh makna. Bintara mengangguk dengan hormat. "Senang bertemu kembali, Ayah. Saya datang untuk membuktikan bahwa saya serius dengan janji saya." Mereka semua duduk di ruang tamu yang hangat, dengan aroma kopi yang baru diseduh menyelimuti udara. Ibu Lasmi menggendong Rohana dengan senyuman hangat, sementara Bintara memulai pembicaraan dengan hati-hati. Ia menjelaskan bagaimana semua masalah telah diselesaikan, bagaimana Serena telah dipenjara, dan menceraikannya ser
"Ibu baik-baik aja, tapi dia gak mau di bawa ke Jakarta, padahal aku khawatir kalau dia tinggal di Bandung sendirian," jawab Bintara akhirnya. "Gak apa-apa, kita bisa bujuk Ibu pelan-pelan." Aruna menatap hangat pada Bintaran sambil menepuk bahu Bintara pelan.Bintara terdiam sejenak, merenungi kata-kata Aruna. Tatapan matanya penuh kekhawatiran yang mendalam. “Aku tahu, Aruna,” ujarnya pelan, “Tapi Ibu sangat keras kepala. Dia selalu bilang nggak mau merepotkan kita. Aku hanya nggak mau dia merasa kesepian atau sakit sendiri di sana.”Aruna tersenyum lembut, menepuk bahu Bintara lagi, kali ini dengan penuh kasih sayang. “Kita nggak akan biarkan ibu merasa sendiri. Kita bisa sering berkunjung ke Bandung, atau bahkan kita bisa pindah sementara ke sana. Lagi pula, bisnis sayuran di Bandung bisa jadi peluang yang bagus buat kita. Aku juga ingin Rohana tumbuh dekat dengan neneknya.”Bintara memandang Aruna dengan penuh rasa syukur. “Kamu benar,” kata
Bu Najiah terduduk, tubuhnya gemetar hebat. Suara Adi Jaya di telepon terdengar begitu jauh, namun menghantam jantungnya dengan keras. Pertanyaan sederhana itu, "Apa kabarmu?", seperti duri yang menancap dalam di hatinya.Kenapa sekarang? Kenapa setelah sekian tahun berlalu, setelah semua luka dan kehancuran yang ia alami, Adi Jaya tiba-tiba muncul kembali, menanyakan sesuatu yang tak lagi berhak ia ketahui? Air mata mengalir di wajah Bu Najiah. Ia menahan isak, tak ingin menunjukkan kelemahannya di depan Bintara dan Aruna, apalagi di hadapan suara dari masa lalu yang membawanya ke jurang kehancuran. Adi Jaya, suami yang dulu begitu ia percayai dan cintai, yang dengan begitu mudahnya mengkhianati dan meninggalkannya dalam keadaan paling terpuruk. Dialah yang membuat Bu Najiah mendekam di penjara, dipersalahkan atas kejahatan yang tak pernah ia lakukan, kejahatan yang sepenuhnya merupakan hasil perbuatan Adi Jaya.
Subuh di rumah Bu Najiah terasa tenang, dengan suara kesibukan di dapur yang menggema lembut. Bu Najiah sudah bangun lebih awal, menyiapkan dagangannya. Dia dengan cekatan menggoreng telur dadar, menyiapkan topping untuk nasi kuning yang akan dijual pagi itu. Aroma harum masakan memenuhi udara, memberikan nuansa hangat dan nyaman di rumah itu. Mendengar kesibukan dari dapur, Aruna terbangun. Dengan perlahan, dia berjalan ke dapur dan melihat ibu mertuanya tengah sibuk mengurus dagangan. "Ibu udah sibuk aja, kenapa gak istirahat dulu? Sini, biar Aruna bantu," ujarnya dengan penuh perhatian. Bu Najiah tersenyum, melambai pelan dengan tangan yang masih memegang spatula. "Ibu harus tetap berdagang, nanti pelanggannya kecewa kalau gak jualan. Lagi pula, kondisi ibu baik-baik saja," jawabnya dengan nada yang lembut namun tegas, menunjukkan tekadnya untuk tetap aktif. Aruna mengangguk dan segera bergabung membantu. Dia membersihka
Setelah survei rumah dan mempertimbangkan dengan matang, akhirnya Bintara memutuskan untuk membeli dua rumah. Satu rumah akan dijadikan tempat tinggal mereka, sementara yang lain berupa ruko untuk usaha sayur mayur Aruna. Setelah menyelesaikan transaksi, ponsel Bintara berdering. Telepon dari Dr. Hasan, dokter yang merawat ibunya, mengingatkan bahwa hari ini adalah jadwal kontrol Bu Najiah ke rumah sakit. "Ku tunggu sampai sore pukul lima, ya," ujar Dr. Hasan. Bintara mengangguk, merasa sedikit khawatir tapi juga bersyukur ada yang memperhatikan kesehatan ibunya. Dia pun mengajak Aruna pulang ke rumah ibunya dan membantu menutup warung nasi kuning. Setelah sampai di rumah sakit, Aruna dan Bintara segera menuju ke ruang tunggu. Di sana, Aruna bertemu dengan Dr. Hasan. Ketika mata mereka bertemu, Aruna terkejut dan tersenyum lebar. "Hasan! Ternyata kamu dokter yang dimaksud!" serunya, senang sekaligus terkejut.
Bintara kembali ke Jakarta, tenggelam dalam kesibukan mempersiapkan pembukaan cabang hotel baru di Bandung. Sementara itu, Aruna tinggal di Bandung bersama Bu Najiah, membantu dan merawat ibu mertuanya dengan penuh perhatian. Mereka menjaga komunikasi erat, meski terpisah oleh jarak.Di Jakarta, Bintara menghadiri rapat penting dengan ayahnya, Adi Jaya, untuk membahas detail perencanaan hotel baru. Jinu, yang sebelumnya keluar dari perusahaan, akan direkrut kembali dan diangkat sebagai General Manager di Hotel King Jakarta, milik Adi Jaya dan Bintara. Sebastian juga akan berperan besar dalam proyek baru ini, mengikuti Bintara ke Bandung untuk membangun hotel baru.Setelah rapat berakhir, Adi Jaya meminta Bintara untuk tetap di ruangan. Suasana berubah menjadi lebih serius ketika mereka duduk berdua. Adi Jaya memandang putranya dengan tatapan penuh pertimbangan. "Bintara, aku ingin berbicara secara pribadi denganmu tentang sesuatu yang sudah lama aku pendam," kata A